34. Vague
"Mengapa Rendi tidak boleh pergi ke Danau Toba, Ayah?" Bocah itu bertanya sesekali, setidaknya dua kali dalam satu minggu. Untuk setiap pertanyaan yang bocah itu lontarkan, sang ayah selalu menjawab dengan kalimat-kalimat yang tidak jelas.
"Oh, Rendi. Kamu harus belajar berenang," jawab sang ayah kali ini.
Rendi mengernyitkan keningnya, menatap sang ayah yang sedang mengukir kayu menjadi sebuah sepeda. "Tapi, Rendi bisa berenang, Ayah."
"Pergilah bantu ibumu memetik pepaya di kebun, Rendi." Sang ayah berkata tanpa menoleh menatap sang anak.
Walau pria pengukir kayu itu selalu menjawab pertanyaan Rendi dengan asing, apalagi perihal Danau Toba yang jaraknya tidak cukup jauh dari rumah mereka, Rendi tetap mendengarkan apa yang sang ayah pinta.
Danau Toba adalah atraksi paling ramai dikunjungi oleh para warga. Teman-teman Rendi, setiap harinya, katanya, selalu berenang di sana dan mencoba untuk melihat siapa di antara mereka yang bisa menahan napas paling lama.
Rendi tidak pernah memiliki kesempatan untuk ikut bermain bersama mereka karena larangan sang ayah. Seringkali, bocah berusia delapan tahun itu bertanya kepada ibunya, tetapi sang ibu malah melempar pertanyaan Rendi kepada sang ayah.
Bocah itu sampai di kebun, mendapati sang ibu yang sudah memanggul satu keranjang penuh pepaya. Dengan sigap, sang bocah membantu ibunya membawa keranjang penuh pepaya tersebut.
"Ibu," Rendi berkata setelah menyimpan keranjang yang ia bawa di hadapan pintu masuk rumah mereka yang terbuat dari susunan bambu, "mengapa Ayah tidak pernah menjawab pertanyaan-pertanyaan Rendi dengan jelas?"
"Pertanyaan seperti apa, Nak?"
Rendi mengedikkan bahu, berjongkok di hadapan keranjang yang ia bawa. "Semuanya."
Wanita dengan ujung-ujung jari penuh kasih sayang itu menghela napas pelan, lalu membelai puncak kepala Rendi dengan lembut. "Ayahmu ... orangnya sangat sentimental dan sensitif."
"Rendi tidak mengerti."
"Suatu saat nanti, Rendi akan mengerti bahwa Ayah menyayangi Rendi sama besarnya seperti cinta Ibu."
"Tapi, Rendi tidak merasa seperti itu. Sejak kecil, Ayah seolah menghindari Rendi. Bahkan apabila itu hanyalah tatapan."
Sang ibu terduduk di samping bocah dengan potongan rambut cepak itu, memeluknya erat dengan hati-hati. "Ayahmu memiliki banyak cerita yang belum bisa ia ceritakan kepadamu. Namun, suatu saat nanti, kamu pasti akan mendengarnya."
"Tidak bisakah Ibu saja yang menceritakannya kepada Rendi?" tanya sang bocah sembari membalas pelukan sang ibu.
"Ibu rasa, ada baiknya cerita-cerita Ayah hanya datang dari Ayah. Kamu anak yang baik, Rendi. Kamu pasti mengerti."
"Soal Ayah?"
"Soal mengapa Ayah tidak pernah menjawab permintaan izinmu untuk pergi bermain di Danau Toba dengan jelas. Itu, 'kan, masalahnya?"
Rendi tertawa kecil. "Ibu terlalu memahami Rendi. Rendi harap, Ayah juga bisa seperti ibu."
Diam-diam, sang wanita mengernyitkan dahi. Kedua alisnya bertemu, menahan apa pun yang membuat kedua manik matanya terasa panas. Dia mengecup puncak kepala Rendi, mengelus punggung dan kepala sang anak dengan penuh kasih.
"Ayah juga memahami Rendi seperti Ibu, Nak."
"Rendi harap demikian."
Sang wanita menggigit bibir bawahnya pelan.
Samosir, tidakkah asal-usul keluargamu harus diceritakan lebih awal kepada Rendi?
Sampai kapan kamu mau berlari, Sayang?
***
480 kata.
Dedicated to Blackpandora_Club
Cerita Rakyat Retelling
Minimal 157 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top