3. Bride and Seek (a)
Mana janjimu untuk mencintaiku sampai akhir napasmu?
***
Tamu pernikahan berseru meriah. Pernikahan pun berjalan dengan lancar, sesuai rencana kedua mempelai. Mereka semua tertawa, bergembira, dan bersilaturahmi dengan sesama.
Damai Heraldi namanya. Seorang pria berusia dua puluh empat tahun yang menikah dengan adik kelasnya dahulu, Yunita Arkasa. Mereka kenal sejak menduduki bangku sekolah menengah akhir. Namun mereka menjalin rasa saat bertemu di tempat kerja Damai.
Damai adalah seorang pekerja keras yang jujur dan serius dengan pekerjaannya. Dia adalah pria yang tidak bisa bercanda, atau dengan kata lain, Damai adalah orang yang canggung. Iya. Damai adalah pria pendiam yang selalu rapi dan disiplin. Dengan sikapnya dan wajahnya yang tampan, tak heran Damai populer saat sekolah dulu bahkan sekarang.
Sedangkan Yunita merupakan wanita berusia dua puluh dua tahun yang selalu ceria. Yunita tidak pernah mengeluh, tidak pernah terlihat menangis, bahkan tidak pernah marah. Lingkungan sekelilingnya selalu terlihat cerah setiap Yunita hadir di sana. Yunita bekerja di perusahaan lain sebagai sekretaris.
Kedudukannya itu lah yang mempertemukannya lagi dengan Damai, manager perusahaan Gerlaya.
Damai yang selalu canggung dan Yunita yang lucu dan ceria adalah perpaduan yang pas untuk pasangan suami-istri, setidaknya begitu lah yang mereka dengar dari para tamu undangan.
"Ramai, ya, Mas?" tanya Yunita dengan senyumnya yang manis. Damai terpesona, masih terpesona dengan senyum Yunita yang seperti itu. Tersipu, Damai hanya menjawab pertanyaannya dengan anggukan kecil.
"Saya belum pernah menikah," ucap Yunita. "Ini pernikahan pertama, dan tentu saja terakhir bagi saya." sambungnya. Manik mata Yunita tertuju pada suami sahnya, Damai.
Cantik, batin Damai.
"Boleh saya bertanya?" Damai menunduk, meminta izin pada Yunita.
"Boleh."
"Apa yang membuat kamu jatuh hati pada saya?"
Yunita terdiam. Lalu kemudian tersenyum, "Semuanya."
Damai semakin tersipu. Yunita memenangkan hatinya untuk yang kesekian kalinya. Pria tampan itu menatap mempelainya, terpesona dengan keanggunan dan keceriaannya. Senyum itu, tatapan itu. Aku menyukainya. Sangat, sangat menyukainya.
"Mas, suka apa dari saya?" kini giliran Yunita yang bertanya.
Damai berdeham, lalu kemudian berkata, "Saya juga suka semuanya dari kamu." Yunita tersenyum, lalu kemudian tertawa renyah. Hati Damai, sekali lagi, dimenangkan oleh Yunita.
***
Ruangan itu dipenuhi dengan perbincangan tamu. Kedua mempelai sudah siap untuk menutup acara tersebut, namun tentu saja, Yunita berpikir bahwa acara itu tidak bisa ditutup begitu saja.
Bagaimana kalau kita bermain sebentar, dengan semua tamu yang datang?
Mempelai wanita menggenggam tangan mempelai pria, lalu tersenyum. Damai kembali tersipu, dan memalingkan wajahnya seraya bertanya ada apa.
"Bagaimana kalau kita bermain sebuah permainan kecil dengan para tamu sebentar? Sebagai penutupan acara pernikahan kita." usul Yunita dengan mata yang berbinar-binar.
Damai menoleh, "Eh?"
"Boleh, ya, Mas?"
Damai tak sampai hati menolak permintaan Yunita, dengan wajahnya yang memelas seperti itu. Akhirnya, ia mengangguk, membuat Yunita tersenyum bahagia. Mempelai wanita itu berdiri, dan berseru, membuat semua orang yang ada di ruangan itu menaruh seluruh perhatian mereka padanya.
"Karena acaranya sudah selesai, dan saya juga tidak enak hati bila menutupnya begitu saja," ucap Yunita semangat. "Bagaimana kalau kita semua bermain petak umpet?"
Ruangan itu seketika dipenuhi bisikan para tamu, yang heran mengapa Yunita mengajak mereka bermain permainan anak-anak. Yunita tersenyum, lalu berdeham dan kembali berbicara.
"Pernah mendengar bride and seek? Itu adalah permainan yang dimainkan untuk menutup acara pernikahan. Mempelai wanita dan para tamu akan bersembunyi, sementara mempelai pria mencari mereka semua. Bagaimana?"
Setelah lama berbisik-bisik, satu demi satu tamu yang hadir bersedia untuk ikut. Yunita menoleh kepada Damai, yang hanya bisa mengangguk menyetujui permainannya.
Bride and seek dimulai.
***
Damai sudah menemukan semuanya. Semuanya, kecuali Yunita. Tidak ada di belakang kursi mempelai, tidak ada di toilet, tidak ada di bawah meja makanan, tidak ada di mana pun. Seolah Yunita tidak ada di area gedung pernikahan.
Mempelai pria itu panik, kembali mengecek semua tempat yang memungkinkan menjadi tempat sembunyi. Tapi hasilnya tetal sama. Tidak ada di belakang kursi mempelai, tidak ada di toilet, tidak ada di bawah meja makanan, tidak ada di mana pun.
Semua tamu, dan tentu saja orangtuanya ikut mencari Yunita. Memanggil-manggil namanya, meneriakinya agar keluar karena permainan telah berakhir. Damai menyerah.
"Yunita!" seru Damai. "Kamu menang, sayang! Keluarlah!" sambungnya. Namun tidak ada yang menyahut.
"Yunita!" kakak perempuan Damai, Dea, ikut menyerukan nama Yunita. "Yunita, suamimu sudah menyuruhmu untuk berhenti bermain!"
"Ini tidak lucu! Tolong keluar lah!" Damai memohon. Rasanya seperti Yunita tidak bersembunyi dimana pun. Rasanya seperti Yunita tidak ada di sana.
Damai, yang tidak bisa bercanda, mulai kesal. Kesal dan takut bercampur aduk. Pikiran bahwa Yunita bisa saja pergi keluar dari gedung untuk bersembunyi dan dibawa oleh orang asing menghantuinya. Bagaimana kalau ternyata Yunita hilang?
Tidak.
"Yunita! Ini sudah malam, mau sampai kapan terus bermain?" Damai sekali lagi menyerukan nama Yunita, sementara para tamu sudah diintruksikan untuk keluar oleh mertuanya.
Bapak mertuanya, Fardi, menghampirinya. "Maafkan anakku. Kadang dia memang suka kekanak-kanakan seperti ini. Mungkin sampai kau menemukannya, dia tidak akan berhenti bersembunyi."
"Tapi, Pak." ujar Damai, menyerah. "Yunita tidak ada dimana pun. Bagaimana kalau dia menghilang?"
"Hei," Dea menengahi. "Melihat sifatnya yang selalu ceria dan berani, dia tidak mungkin menghilang."
Damai yang cemas dan kesal dengan sikap Yunita sekarang ini, berteriak, "SAYA PULANG, YUNITA! PULANG LAH SENDIRI, SAYA TIDAK AKAN MENEMUKANMU. KAU MENANG."
Damai pergi, meninggalkam orangtua, mertua, dan kakaknya di gedung pernikahan. Ia masuk ke ruang mempelai pria dan mengambil barang-barangnya; tas, kunci mobil, dan baju ganti. Damai melangkah keluar dari gedung itu, lalu masuk ke mobilnya. Menyalakan mesin dan menempelkan dahinya terlebih dahulu ke setir mobil.
Jangan seperti ini, Yunita. Jangan membuatku kesal pada hari pertama kita. Pulang lah.
Mempelai pria itu duduk tegak, memasang sabuk pengaman dan menancapkan gas; menjauhi gedung pernikahannya. Amarahnya semakin meluap saat ia melihat kaca spion; hanya orangtua, mertua, dan kakaknya yang berdiri melihat Damai pergi.
Yunita belum keluar dari tempat persembunyiannya.
***
Delapan belas hari.
Sudah delapan belas hari sejak pernikahan Damai dan Yunita diselenggarakan. Sudah delapan belas hari sejak acara penutupan pernikahan. Sudah delapan belas hari sejak Yunita bersembunyi.
Yunita belum pulang.
Damai cemas. Tidak, Damai bukannya cemas. Damai khawatir, takut, dan bingung. Ke mana perginya Yunita, di mana ia bersembunyi sampai tidak pulang selama delapan belas hari?
Pria berusia dua puluh empat tahun itu kembali menitikkan air mata untuk yang kesekian kalinya hari ini. Dadanya sesak. Sudah dua kali dalam minggu ini ia kembali ke gedung pernikahan, namun tidak pernah menemukan Yunita di sana.
Tidak ada di toilet.
Tidak ada di ruang ganti.
Tidak ada di balik pohon.
Tidak ada di belakang gedung.
Tidak ada dimanapun.
Kepalanya dipenuhi dengan Yunita dan senyum terakhirnya yang dia lihat. Cantik. Istri sahnya menghilang, seolah dia tidak pernah muncul di kehidupan Damai. Semua pikiran negatif kembali hinggap di otak Damai.
Bagaimana jika Yunita diculik?
Bagaimana jika Yunita terperosok ke jurang dekat gedung?
Dea, sang kakak, meletakkan cangkir berisi teh hangat di depan Damai. Memberikan isyarat kepada adiknya untuk meminumnya. Damai, seperti biasanya, menolak apapun untuk masuk ke dalam perutnya sampai Yunita ditemukan.
"Mai," panggil Dea. "Jangan seperti ini. Kau butuh tenaga untuk menemukan Yunita."
"Apa Yunita diculik, Kak? Tidak mungkin dia masih bersembunyi, 'kan? Ini sudah delapan belas hari sejak pernikahan, Yunita belum pulang juga." keluh Damai seraya mengusap air matanya.
"Tidak mungkin Yunita diculik. Dia, 'kan, tahu caranya bela diri." sanggah Dea.
"Lalu, kenapa Yunita tidak pulang?" tanya Damai. Pertanyaan itu seolah menjadi penutup percakapan mereka. Dea sendiri juga tidak tahu kemana perginya Yunita. Kemana hilangnya dia.
Greek.
Damai bangkit dari duduknya, menatap ke luar jendela. Langitnya mendung, seperti hari-harinya sejak hilangnya Yunita. Mertuanya sedang berusaha untuk mencari Yunita, bahkan melacak ponsel pintarnya. Sayangnya, Yunita tidak membawa ponselnya saat bersembunyi. Benda canggih itu ditinggalkan Yunita di tas selempangnya.
Meja makan yang dibasahi beberapa tetes dari air mata Damai menjadi saksi bisu kesedihan dan kekhawatirannya selama delapan belas hari. Dea ikut berdiri, dan menenangkan adiknya, merangkulnya, memeluknya dalam dekapan yang hangat.
Damai kembali menangis dalam pelukan kakaknya. "Shh, hei. Pria dewasa sepertimu tidak boleh menangis seperti ini. Aku yakin kita bisa menemukan Yunita sebentar lagi." hibur Dea.
"Berapa lama lagi?" tanya Damai.
"Tidak lama."
"Kalau tak kunjung ditemukan, kita pergi ke kantor polisi."
"Untuk apa?"
"Membuat laporan orang hilang."
Dea melepas pelukannya perlahan, "Jangan. Itu tidak perlu."
"Sudah lebih dari sehari Yunita menghilang, kak! Kenapa tidak perlu?" air mata Damai, bukannya berhenti, malah semakin deras.
"Kita tidak mau membuat kerabat dan teman-temannya cemas juga, 'kan?" tanya Dea.
Damai mengernyit. "Aku suaminya. Aku orang yang mencintainya. Aku mencemaskannya lebih dari siapapun. Apapun yang kakak katakan, aku akan tetap melapor ke polisi soal ini. Aku merindukan Yunita, kak."
"Tolong mengerti." Damai memelas. Dea, yang sejak dulu tidak bisa melawan adiknya kalau sudah memelas, akhirnya luluh.
***
Mertua Damai mengetuk pintu rumahnya. Damai yang berharap mendapat kabat baik, saat melihat air wajah mereka, senyumnya sirna. Damai tahu kenapa, dan apa dari hasil pencarian mereka hari ini.
Langit sore tidak terlihat seindah biasanya. Ruang tamu tidak pernah sehening ini. Semuanya, bagi Damai, berubah sejak hilangnya Yunita.
"Maafkan Bapak, nak." ucap Fardi. "Yunita tidak ada di rumah teman-temannya."
"Mungkin dia pergi ke rumah bibinya?" tanya ibu mertua Damai, Rhea. Fardi menghembuskan napas berat.
"Kalau memang benar begitu, bibinya pasti sudah menghubungi kita sejak lama." sanggah Fardi.
Brak!
Fardi dan Rhea tersentak dengan gerakan tiba-tiba yang dilakukan oleh Damai. Damai berdiri tegak, dengan wajahnya yang kusut, penuh dengan air kekhawatiran. Ia pergi mengambil jaket dan mengenakan sepatunya, tidak lupa mengambil kunci mobilnya.
Mertuanya menyusul cepat. "Mau ke mana, Nak Damai?"
Damai berhenti, sebelum tangannya membuka pintu mobil. Ia menoleh. "Ke kantor polisi, saya akan membuat laporan orang hilang."
Fardi dan Rhea berseru, mencegah Damai untuk melakukan hal tersebut. Namun kali ini, tidak ada yang bisa menghentikannya. Dibukanya pintu mobil itu, dinyalakannya mesin mobil tersebut, dan menancapkan gas lalu melaju dengan kecepatan yang tidak lambat.
Yang ada di pikirannya sekarang adalah bagaimana caranya agar Yunita cepat ditemukan. Walaupun itu berarti harus melibatkan pihak berwajib.
Air asin kembali keluar dari mata Damai, mengaburkan pandangannya dari jalanan. Sesekali, ia hapus dengan kasar air matanya itu menggunakan ujung lengan jaketnya. Sesekali, Damai terisak. Sesekali, Damai berbisik memanggil nama Yunita.
Damai menginjak pedal rem kuat-kuat, berhenti di depan kantor polisi terdekat. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya lagi secara perlahan. Ia lalu menggerakkan tangannya untuk membuka sabuk pengaman, lalu tersadar bahwa saat perjalanannya menuju kemari, Damai tidak memakai sabuk pengaman sama sekali.
Dia tidak peduli.
Damai turun dari mobil, lalu menguncinya. Saat hendak masuk, matanya menangkap dua sosok remaja yang tidak asing; tetangganya. Anak kembar dengan wajah resting bitch face. Damai, yang pada dasarnya ramah dan sopan, menyapa kedua anak kembar tersebut.
"Hai, sedang apa remaja seperti kalian berdua di kantor polisi?" tanya Damai. Anak kembar tersebut saling tukar pandang.
"Ah, kalian tidak mengenalku, ya?" tanya Damai seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal; canggung.
Kalau ada Yunita, sepertinya kami bisa akrab.
Seketika, dadanya terasa sesak kembali. Air matanya menggebu, memaksa ingin keluar. Namun Damai menahannya.
"Paman ... tetangga sebelah rumah kami?" tanya remaja laki-laki tersebut mengalihkan perhatian Damai. Damai menatapnya sejenak, lalu mengangguk.
"Nama saya Damai. Panggil saja Mas Damai." ujar Damai dengan senyuman yang sedikit dipaksa.
"Saya Hardi," ucap remaja laki-laki itu. "Ini Harka, kembaran saya. Kami hanya berbeda lima belas menit. Saya lahir duluan."
"Oh." Damai membeo. "Sedang apa di kantor polisi?" tanya Damai sekali lagi.
"Kucing kami hilang." jawab Harka datar. "Mas Damai sendiri sedang apa di kantor polisi?" kini, giliran Harka yang bertanya.
Damai terdiam sejenak. Ia tersenyum lalu menjawab, "Saya juga ingin melaporkan sesuatu yang hilang. Siapa tahu pihak berwajib bisa membantu."
"Semoga cepat ketemu!" seru Hardi dengan senyuman hangatnya. "Kami pamit dulu, Paman. Sampai jumpa!" serunya sekali lagi, berjalan pergi dengan Harka menjauhi tempat Damai berdiri.
Damai menghembuskan napas berat, lalu masuk ke kantor polisi. Ada seorang polwan duduk di belakang meja informasi, menunggu warga lainnya untuk melaporkan sesuatu yang darurat.
Pria dengan jaket berwarna cokelat tua yang hampir pudar itu mendekati meja informasi, dan menyapa polwan di baliknya. Polwan itu tersenyum ramah, lalu menanyakan tujuan Damai datang ke kantor polisi tersebut.
Damai menghela napas. Ia menceritakan semuanya kepada polwan itu. Di sela-sela dirinya bercerita, kadang air matanya menetes, kadang ia terisak. Polwan itu menutup mulutnya, prihatin dengan cerita Damai.
"Baik, Pak. Nama saya Diah. Bapak bisa ikut saya ke sebelah sini." Diah merentangkan tangan kanannya ke sebelah kanan. "Mari." ajaknya.
Damai mengangguk, lalu mengikuti langkah Diah. Opsir-opsir lain menatapnya. Begitupun dengan warga yang sedang menunggu di situ, entah menunggu apa. Damai di bawa ke sebuah ruangan, lalu disuruh untuk duduk di kursi yang telah disediakan dan menunggu.
Ada meja, laptop, beberapa lembar kertas kosong, tempat pulpen, rak berkas di sudut ruangan, dan tanaman hias di sudut lainnya. Ada perasaan lega yang terselip di hati Damai, ia percaya bahwa sebentar lagi, dengan bantuan pihak berwajib, Yunita dapat ditemukan.
Setelah beberapa menit menunggu, seorang opsir berkumis tebal dengan perawakan tinggi-besar masuk dengan Diah di belakangnya, lalu menutup pintunya rapat-rapat. Opsir itu mengenalkan dirinya sebagai Wildan, lalu duduk di balik meja depan Damai.
"Jadi, laporan orang hilang, ya?" tanya Opsir Wildan. Damai hanya menjawab pertanyaan tersebut dengan anggukan kecil.
"Sudah berapa lama hilangnya? Dua hari?" tanya Opsir Wildan seraya mengutak-atik laptop di depannya.
"Delapan belas hari." jawab Damai. Opsir Wildan menatap Damai lekat.
"Kenapa baru melapor sekarang?" tanya Opsir Wildan.
"Mertua dan Kakak saya menahan saya untuk melakukannya." jawab Damai jujur. Opsir Wildan mengangguk-anggukan kepalanya, lalu kembali menatap Damai lekat.
"Siapa yang hilang?" tanya Opsir Wildan.
"Istri saya, namanya Yunita Arkasa." jawab Damai.
"Baik," ucap Opsir Wildan. "Beritahu saya semua tentang Bu Yunita. Pakaian yang beliau pakai terakhir kali, umurnya, tingginya, dan ciri-cirinya." lanjut Opsir Wildan dengan mata yang tertuju pada laptop di depannya.
Damai menarik napas. "Umurnya 22 tahun, tingginya 166 cm, rambutnya panjang sepinggang, agak ikal. Kulitnya putih bersih, bibirnya tipis, merah. Pipinya tembam dan merona. Terakhir bertemu, Yunita memakai baju pengantin berwarna putih lengkap dengan sarung tangan dan mahkota bunga melati."
Opsir Wildan, yang mendengar baju apa yang dipakai terakhir kali oleh Yunita, kembali menatap Damai lekat.
"Kapan hilangnya?" tanya Opsir Wildan.
"Delapan belas hari yang lalu, di acara pernikahan kami." jawab Damai sendu.
"Kabur?" tanya Opsir Wildan.
Satu kata itu, membuat dada Damai semakin sesak. Air matanya tidak bisa dibendung, walaupun Damai tahu Yunita tidak akan pernah melakukan hal seperti itu. Jelas-jelas, saat itu, Yunita mengatakan bahwa ia mencintai Damai.
"Maaf," ucap Opsir Wildan. "Saya tidak bermaksud membuat Anda tersinggung."
"Di mana hilangnya?" tanya Opsir Wildan.
"Gedung pernikahan, di ________, sejak penutupan acara." jawab Damai.
"Apa Anda punya foto beliau?" tanya Opsir Wildan. Damai menjawab pertanyaan itu dengan anggukan kecil dan mengeluarkan ponsel pintarnya dari saku jaketnya.
Dibukanya galeri, dan menemukan foto Yunita yang paling ia suka; duduk manis dengan senyum lebar terukir di wajahnya. Tangisan Damai semakin menjadi, isakannya semakin kuat. Ia tak henti-hentinya memanggil nama Yunita.
Diah mendekatinya dan mengusap punggungnya, menenangkan Damai yang larut dengan kesedihannya sendiri.
"Tenangkan diri Anda, Pak. Kami pihak berwenang akan membantu Anda mencari Bu Yunita. Dengan keadaan sehat dan bahagia." ucap Diah, menenangkan. Damai mengangguk seraya memberikan ponselnya kepada Opsir Wildan.
Opsir Wildan menerimanya. "Saya akan memindahkan fotonya ke laptop saya untuk dibuat poster." ucal Opsir Wildan yang sekali lagi hanya dibalas oleh anggukan kecil dari Damai.
Selang beberapa lama, Opsir Wildan mengembalikan ponselnya kepada Damai. Wildan memberikan sapu tangannya, yang diterima oleh Damai dan dipakainya untuk mengusap air matanya.
"Jangan khawatir, Pak Damai. Kami akan melakukan yang terbaik agar Bu Yunita ditemukan. Sebelum itu, kami minta nomor telepon Anda agar kami bisa langsung menghubungi Anda setelah menemukan Bu Yunita." ujar Opsir Wildan.
Damai memberikan nomor ponselnya, lalu menghembuskan napas berat.
Cepat pulang, Yunita. Aku merindukanmu.
***
Damai terdiam menatap langit sore yang mulai menghilang, hampir digantikan langit malam yang gelap. Ia percaya dengan ucapan Opsir Wildan dan Diah, bahwa mereka para pihak berwenang akan menemukan Yunita dalam keadaan sehat dan bahagia.
Dengan itu saja, sebetulnya Damai lega.
Kini, perutnya ikut berbicara. Damai yang belum makan sejak hilangnya Yunita, merasakan kembali rasanya lapar. Ia berdiri, meninggalkan kursi depan kantor polisi itu dan mendekati mobilnya. Saat itulah manik matanya menangkap sebuah tempat bertajuk Café.
Damai tergoda.
Kakinya, tanpa diperintahkan, melahkah mendekati tempat itu. Aroma kue, kopi, dan bolu tercium dari jarak beberapa meter. Damai semakin tergoda untuk datang berkunjung ke café tersebut.
Namun, dilihat dari jendela, tempat itu sedang sepi pengunjung. Apa makanan dan minuman yang disajikan tidak enak?
Damai menepis pikiran itu, didukung oleh cacing dalam perutnya yang masih demo meminta jatah makanan untuk delapan belas hari terakhir. Tangannya meraih gagang pintu, dan aroma kue yang kuat menusuk rongga hidungnya.
Dia berjalan ke arah meja pemesanan, namun mendapati tidak ada siapapun yang berjaga. Ceroboh sekali. Bagaimana kalau ada yang membobol mesin kasirnya?
Manik matanya menangkap sebuah bel di atas meja pemesanan. Ia menekannya dua kali dengan ujung jari telunjuknya, lalu menunggu salah satu karyawan di café itu datang dan memberikannya pelayanan.
Benar saja. Tidak lama setelah Damai membunyikan belnya, ada seorang karyawati keluar dari ruangan sebelah kiri meja pemesanan, melangkah agak cepat ke balik meja tersebut.
Wanita itu, dengan name tag bertuliskan Zelda Oriana, topi baret berwarna hijau tua, celemek berwarna serupa dengan garis-garis vertikal berwarna putih, dan rambut pendek sedikit di atas bahu itu memberikan senyum hangatnya kepada Damai. "Selamat datang di Café! Mau pesan apa hari Ini?"
Damai memandanginya sejenak. Lalu mendongak untuk membaca menunya. Wanita itu, dengan name tag bertuliskan Zelda Oriana, membuka percakapan dengan pelanggannya.
"Mata Anda sembab, Tuan." ucapnya. Kalimat itu menarik perhatian Damai. Ia menatap Zelda tanpa suara.
"Saya punya rekomendasi yang cocok untuk Anda! Cappuccino Latte bisa membuat Anda kembali ceria. Lalu, untuk dessert saya merekomendasikan bolu susu kepada Anda. Apa Anda tertarik untuk mencoba, atau ada pilihan lain?" Zelda masih tersenyum kepada Damai yang bahkan tak menggubris tawarannya.
"Tuan?" panggil Zelda. Satu kata itu menarik kesadaran Damai kembali ke bumi.
"Kalau memang benar Cappuccino Latte bisa membuat saya ceria kembali, seperti katamu, saya akan pesan itu." ujar Damai, datar.
Zelda tersenyum lalu mengangguk. Ia mengutak-atik komputer di depannya dan berkata, "Satu Cappuccino Latte. Apa ada tambahan lain?"
Damai menggeleng. Zelda mengangguk, lalu meminta Damai untuk duduk di salah satu meja yang sudah disediakan. Pria berusia 24 tahun itu menurut dan duduk di meja paling dekat dengan meja pemesanan.
Pikirannya melayang entah ke mana.
***
Tak.
Suara cangkir dan meja beradu berhasil membuat Damai kembali ke bumi. Ia menatap cangkir itu dan pelayan yang membawakannya kepadanya; Zelda. Zelda tersenyum.
"Silahkan dinikmati." ucapnya. Wanita itu pergi menghilang ke ruangan yang ada di samping kiri meja pemesanan. Damai, entah kenapa, masih menatap ruangan itu. Ruangan di mana Zelda menghilang ke dalamnya.
Ia lalu menatap sekelilingnya. Nuansa yang diberikan tempat ini begitu nyaman, santai, dan tenang. Warna cokelat dan hijau tua memenuhi pandangan Damai. Lampu yang dipakai juga tidak terang, namun tidak redup. Kursi yang dipilih nyaman, apalagi aroma tempatnya yang tidak mengandung bau lilin.
Aku suka tempat ini.
Damai menatap secangkir Cappuccino Latte yang tadi ia pesan. Setelah beberapa detik berlalu, ia meraih cangkir tersebut dan menyeruput isinya. Manis, tapi ada pahitnya.
Aku suka rasanya.
Pikiran Damai melayang entah ke mana. Menjauhi bumi, menjauhi bulan, menjauhi matahari, namun tidak mendekati bintang mana pun. Seperti ini pun tidak apa-apa.
Yunita ... juga suka kopi.
Ah, itu. Sosok wanita yang sangat dicintainya kembali muncul. Berkelebat, seperti film di teater lama. Air asin di pelupuk matanya keluar, namun ia tahan sebisa mungkin. Badannya tremor, kedua tangannya ia kepalkan kuat-kuat.
Kerinduannya tumbuh setiap detik. Lama-kelamaan, Damai berpikir bahwa mungkin ada yang salah dengannya. Atau ada yang salah dengan permainan bride and seek itu.
Apa seharusnya dari awal saja dia tidak mendengarkan permintaan Yunita? Tapi, manik cokelatnya yang berbinar itu---bagaimana Damai bisa menolak kalau seperti itu?
"Anda baik-baik saja?"
Pertanyaan itu berhasil menarik Damai kembali ke bumi. Dia mendongak, mendapati pelayan bernama Zelda sedang berdiri di samping mejanya dengan nampan cokelat lingkaran di dekapannya.
Damai berdeham, menghilangkan jejak peluh dingin yang mengalir di pelipisnya. Pria gundah itu hanya mengangguk lemah, membuat Zelda mengerjap---bingung.
"Kalau Anda baik-baik saja, kenapa pucat?" tanya Zelda sekali lagi. Ia pergi meninggalkan Damai lalu kembali dengan segelas air putih.
"Anda sakit. Kalau sakit harus minum air."
Damai memaksakan senyumannya dan menggeleng. "Saya tidak perlu minum air."
"Kenapa?"
"Saya ... saya tidak apa-apa. Hanya sedang memikirkan istri saya."
Zelda tersenyum lebar. "Oh, istri Anda pasti cantik sekali."
Senyuman kecut terlukis di atas wajah tampan Damai. Semakin lama, senyuman terpaksa itu semakin memudar. Pria yang berusaha untuk tegar kini mengeluarkan air mata.
Zelda panik, ia minta maaf kalau ternyata kalimatnya salah. Pelayan wanita bersuarai surai cokelat gelap pergi ke meja kasir dan mbawa beberapa lembar tisu kembali.
Dengan tangan gemetar karena gugup, ia memberikan tisu itu kepada Damai yang berusaha menghentikan tangisnya.
"Terimakasih." ucap Damai. "Kau tidak perlu minta maaf pada saya." imbuhnya.
"Tapi saya ..." Zelda tak melanjutkan kalimatnya. Sejujurnya, ia bingung. Yang dilakukannya hanya memuji si Istri, kenapa Damai menangis?
Apa mereka bercerai sepihak? Aduh, mulai lagi. Jangan ikut campur, Zelda.
Orang sepertimu tidak pantas memberikan perhatian pada mereka.
"Istri saya menghilang." Damai bercerita begitu saja. "Tepat di hari pernikahan kami."
Manik mata Zelda membola, dia menutup mulutnya dengan tangan kiri---terkejut. "Ah, maaf."
"Apa Anda ... baik-baik saja?" tanya Zelda linglung. Damai hanya menatapnya sendu, dengan itu, Zelda menepuk dahinya sendiri.
"Ah, maaf. Pertanyaan bodoh, ya? Jelas Anda tidak baik-baik saja." Damai mengerjap, mendengar pernyataan lanjutan dari Zelda, entah kenapa ia terhibur.
Damai terkekeh pelan, lalu kembali menghapus jejak air matanya perlahan. Zelda menatap pria tersebut lekat, menelisik wajahnya yang tampan.
Kecemasan, takut, sakit dan sedih tergambar jelas di wajahnya yang pucat. Kelihatan sekali pria tersebut belum makan berhari-hari. Matanya sembab, dia juga menangis berhari-hari.
Ternyata, masih ada pria yang menyayangi wanitanya sedalam ini. Zelda menghembuskannya napas pelan, lalu pergi ke dapur untuk membawa sesuatu.
Ia membuka lemari pendingin dan mengambil sepotong kue cokelat. Seharusnya, kue cokelat itu Zelda yang makan. Toh, itu bagiannya. Hanya saja, mengingat ada orang yang belum makan di tempat yang sama, dia tidak bisa tinggal diam.
Zelda menempatkan kue tersebut di atas nampan, dan membawanya kepada Damai. Dengan hadapan Damai akan memakannya walaupun kue cokelat itu sedikit beku.
Alih-alih dimakan, saat Zelda memberikan kue tersebut, Damai justru melepas tawanya. Wajah Zelda memerah karena malu, takut bahwa ternyata kesimpulannya tentang Damai yang belum makan salah total.
Namun, Damai tersenyum. Kali ini senyuman tulus. Ia menoleh, menatap Zelda dengan tatapan sayu. "Terimakasih."
Zelda mengerjap. Ia mengangguk. "Saya harap istri Anda segera ditemukan."
"Tolong." ucap Damai. "Panggil saya Damai."
Zelda mengangguk-angguk mengerti. "Baik, Pak Damai."
Damai sekali lagi tertawa. "Damai saja, Zelda."
"Ah! Bagaimana Anda bisa mengetahui nama saya?!" seru Zelda. Damai menaikkan kedua alisnya, lalu tertawa. Untuk pertama kalinya setelah delapan belas hari, ia merasa sangat terhibur.
"Kau memakai tanda pengenal." jawab Damai seraya menunjuk tanda pengenal milik Zelda. Pelayan wanita itu ber-oh ria, lalu menutup wajahnya malu.
Ah, lagi-lagi terlihat bodoh.
***
Sudah lama dia tidak merasakan rasanya bangun pagi sesegar ini. Biasanya, matanya selalu perih karena menangis sepanjang malam. Kepalanya akan terasa pening karena dipakai berpikir keras, dan tenggorokannya akan terasa serak karena berteriak sepanjang malam.
Tidak kali ini.
Damai merenggangkan otot-otot tubuhnya seraya menarik napas dalam. Ia menghembuskannya pelan, dan melangkah pergi kamar mandi. Pria berusia dua puluh empat tahun itu berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya.
Kantung mata hitam di bawah manik cokelat gelapnya kini memudar. Sudah dua puluh tujuh hari sejak Yunita menghilang, baru kali ini Damai mendapati penampilannya tidak seburuk yang sudah-sudah.
Pencarian oleh polisi masih berlangsung. Hari ini, merupakan hari kesembilan mereka mencari jejak-jejak Yunita. Damai masih menanti kabarnya, masih menanti sosok Yunita di hadapannya.
Namun, sesuatu terasa salah.
Ia merindukan istrinya. Damai ingin bertemu dengannya, mendekapnya, mengecupnya dan apapun itu yang berkaitan dengan menghujani sang istri oleh kasih sayang.
Namun, tetap ada yang terasa salah.
Hari ini aku merasa lebih ... ringan.
Damai membatin. Dia menggeleng, lalu pergi untuk mandi. Hari ini, ada rapat dengan HRD perusaan mengenai produk yang akan mereka keluarkan beberapa minggu dari sekarang.
Setelah dirasa badannya bersih dan mulutnya harum, dia berpakaian mengenakan setelan kemeja putih dengan jas cokelat tua. Tidak lupa dasi hitam yang melingkari lehernya.
Kaki jenjangnya menuruni tangga, mendapati Dea sang kakak telah menyiapkan sarapan di meja makan. Damai menyapanya, lalu terduduk di salah satu kursi.
"Kau lebih ceria dibanding biasanya, Damai." ucap Dea seraya menaruh segelas kopi di samping piring Damai.
"Oh. Benarkah?" tanya Damai. Dea hanya mengangguk lalu bergabung dengannya di meja. "Iya. Kau tersenyum saat turun tadi."
"Benarkah?"
Dea kembali mengangguk. "Iya. Kantung matamu juga sudah memudar. Kau sudah tidak menangis semalaman lagi, ya?"
Eh?
Damai berhenti melahap sarapannya. Dia terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Tidak."
"Bagus kalau begitu." Dea menghembuskan napas lega. "Kakak pikir kau tidak akan kembali seperti Damai yang dulu."
Damai tidak menjawab apapun. Dia kembali menyendok sarapannya perlahan, berkedip dua kali lalu kembali memikirkan kalimat sang kakak.
Apakah aku tidak menangisi hilangnya Yunita ... buruk? Aku merasa bahwa, seharusnya aku masih menangis semalaman.
Pria berusia dua puluh empat tahun itu beranjak dari duduknya lalu menyimpan piring di wastafel. Dia hendak memakai sepatu saat Dea memanggil, "Damai. Minum dulu kopimu."
Damai terdiam. Dia menoleh seraya berkata, "Ada tempat minum kopi favoritku kali ini, kak."
Sebetulnya, Dea tidak rela Damai mengatakan hal seperti itu. Rasanya, adiknya itu mengatakan bahwa kopi buatan tempat favorit barunya lebih enak daripada kopi buatannya.
Tapi, dia baik-baik saja selama bisa melihat senyuman Damai yang dulu.
***
"Selamat datang di Café! Mau pesan--oh, Tuan Damai!"
Damai tersenyum tipis saat senyuman secerah matahari milik Zelda menyambut kedatangannya. Sejak sembilan hari lalu, Damai rutin mengunjungi tempat Zelda bekerja di pagi dan sore hari.
Dia menengadah guna membaca daftar menu, walaupun sebetulnya itu tidak perlu dilakukannya. Setiap datang, Damai pasti akan memesan---
"Cappuccino Latte, seperti biasa?" tanya Zelda dengan senyuman cerahnya. Damai ikut tersenyum lalu mengangguk. Zelda mengetik pesanan Damai ke dalam komputer yang ada di depannya, lalu memberitahukan total harganya.
Pria bermanik gelap itu mengeluarkan sebuah kartu debit, kemudian memberikannya kepada Zelda. Setelah selesai membayar, seperti biasa, Damai akan memilih tempat duduk yang dekat dengan kasir.
Di manapun asal dia bisa melihat meja kasir. Zelda merupakan satu-satunya orang yang memberikan dukungan atas hilangnya Yunita; tidak seperti orangtua, kakak atau mertuanya yang melepaskan Yunita begitu saja.
Damai berani bertaruh kalau Yunita ada di luar sana, masih bernapas dan juga merindukannya.
Lalu, kenapa kau selalu memilih tempat duduk dekat kasir? Supaya bisa melihat wanita itu dari jauh?
Damai mengernyit. Pertanyaan itu mengambang begitu saja dalam benaknya, tiba-tiba tidak melepas pikirannya.
Kenapa kau memaksakan dirimu untuk datang setiap hari? Supaya bisa bertemu dengan wanita itu?
Kenapa kau berhenti minum kopi di rumah? Sejak kapan kau menyukai kopi buatan kafe?
Kau bukannya menginginkan kopi.
Kau bukannya menyukai tempat ini.
Kau ... ingin bertemu dengannya, 'kan? Zelda.
Kau sudah melupakan Yunita, ya? Hanya dalam kurun waktu sembilan hari?
Damai menggeleng-gelengkan kepalanya kuat. Suaranya menggema dalam benaknya sendiri, seolah-olah menuduhnya telah berpaling dari Yunita begitu saja.
Tidak ada salahnya kalau ia ingin merasakan ketenangan barang sekali, 'kan? Menangis itu mengeluarkan cairan, kalau asupan mineral Damai kurang, bagaimana dia bisa menangis untuk Yunita?
Dia hanya ingin merasakan tenang untuk sekali saja. Hanya ingin merasakan seperti apa namanya kalau direalisasikan. Damai.
Tak.
Damai mendongak, mendapati Zelda yang tersenyum kepadanya. "Pesanan Anda, Tuan Damai."
Seketika, gema dari suara dalam kepalanya sirna perlahan. Damai tersenyum tipis. "Sudah kubilang, panggilnya santai saja."
Zelda terkekeh. "Habisnya, Anda seorang manajer di perusahaan terkenal di kota ini. Saya merasa berbicara dengan orang yang sangat penting."
"Sepenting apapun aku, aku masih seorang manusia. Sama sepertimu, jadi, jangan membeda-bedakan."
Kalimat Damai itu sederhana, dan tidak berarti apapun bila didengar sekilas oleh orang-orang. Namun, bagi Zelda, kalimat itu terdengar bijak dan dewasa.
Aku semakin merasa kau orang yang penting, Tuan Damai.
"Hei, aku perhatikan tidak banyak orang yang berkunjung kemari." ucap Damai seraya menyesap cappuccino latte miliknya. "Kenapa?" sambungnya.
"Oh." Zelda memeluk nampan bundar di dadanya. "Mungkin karena tempat kami tidak terlalu menarik. Pekerja yang sering muncul juga, jujur, hanya saya."
Damai menaikkan sebelah alisnya--terarik dengan percakapan mereka kali ini. "Kenapa?"
"Mungkin karena pekerja lain beranggapan bahwa, tempat ini tidak akan pernah ramai." jawab Zelda agak sendu.
"Tapi ...!" Zelda kembali memasang senyuman secerah mataharinya. "Saya yakin suatu saat nanti, tempat ini akan ramai dengan banyak pengunjung!"
Lihat itu, energi positif yang memancar dari seorang Zelda yang ceria. Wanita yang baru dikenal Damai selama sembilan hari itu selalu membuatnya tersenyum tipis.
Senyuman tulus. Bila dia ada di sekitar Zelda, yang ia rasakan adalah keceriaan dan kehangatan. Sama seperti Yunita, Zelda dipenuhi dengan energi positif.
Yang membedakan hanya sifat mereka. Zelda terkesan kikuk, sedangkan Yunita terkesan dewasa namun ada kekanakannya.
Damai menyimpan cangkir kopinya. "Kalau begitu, mau ku bantu?"
"Eh?" Zelda mengerjap tidak paham.
Damai mengedik. "Akan ku bantu tempat ini menjadi ramai, seperti yang kau inginkan."
"Eh?!" Zelda berseru. "T-tidak perlu! Saya tidak bermaksud untuk membuat Anda kerepotan, saya hanya--"
"Aku tidak kerepotan." Damai memotong. "Aku mengajukan diri untuk membantu. Jadi, mau kubantu?"
Zelda terdiam sejenak. "Kenapa ... Anda mau membantu?"
"Tempat ini nyaman, kopinya juga enak. Jadi, kenapa tidak?"
Zelda terkekeh. "Anda selalu membeli cappuccino latte setiap datang kemari. Bagaimana bisa Anda tahu menu lain yang kami miliki seenak cappuccino latte favorit Anda?"
Damai kembali mengedik. "Tahu saja."
Wanita bersurai cokelat gelap sebahu itu menggelengkan kepalanya pelan. "Biar saya bawakan makanan penutup. Hitung-hitung sebagai ucapan terimakasih karena telah mengajukan diri untuk membantu."
Sebelum Damai menolak, Zelda sudah berlenggang pergi. Dengan senandung nadanya yang asal namun merdu, ia membuka tempat penyimpanan kue dan mengambil sebuah piring kecil.
Wanita itu sedang menimang-nimang, mana di antara kue-kue ini yang cocok untuk pelanggan setianya.
Saat itu juga, bulu kuduk Zelda meremang.
Zelda menoleh, merasa ada seseorang yang memerhatikannya dari belakang. Ia menegak salivanya, lalu kembali memilih sepotong kue untuk Damai.
Gendang telinganya menangkap suara sebuah pintu yang dibuka. Kedengarannya, suara itu berasal dari pintu yang mengarah ke parkiran belakang.
Zelda mengerjap, mencoba untuk tetap tenang. Dia membuka laci tempat menyimpan peralatan makanan. Saat hendak mengeluarkan salah satu sendok kecil dari sana, Zelda mendengar suara pintu ditutup.
Sedikit keras.
"Ricky?" Zelda memanggil rekan kerja yang baru saja izin untuk merokok sebelum Damai tiba. Dia menatap belokan di samping penggiling biji kopi yang mengarah ke parkiran belakang.
Tidak ada sahutan.
"Ricky, kalau kau sudah kembali dari merokok-mu, tolong jaga dulu kasir. Aku akan memberikan kue ini kepada pelanggan kita di depan." ucap Zelda lalu melenggang begitu saja.
Sebelum Zelda dapat mendengarnya, pintu itu terbuka lagi.
***
Sembilan hari.
Sudah sembilan hari mereka menelusuri tempat yang sama; sebuah gedung yang biasanya disewa untuk pernikahan, dekat dengan lembah yang lumayan dalam.
Lokasi yang terletak dekat dengan daratan tinggi membuat area sekitar gedung tersebut terasa lebih dingin dibandingkan suasana kota.
Wildan, opsir yang memimpin pencarian Yunita sejak dua puluh tujuh hari dia menghilang, menggaruk kepalanya frustrasi. Bagaimanapun mereka mencari, tidak ada petunjuk bahwa Yunita dibawa paksa.
Artinya istri dari Damai itu tidak diculik.
Sangat disayangkan, kemungkinan tanah pada hari pernikahan mereka kering, jadi tidak menyetak jejak Yunita yang kemungkinan besar keluar dari gedung untuk bersembunyi.
Seorang opsir lain yang tengah menyelidiki hilangnya Yunita mendekati Wildan. "Pak, mungkin wanita itu ingin mengakhiri permainan petak umpetnya terlebih dahulu."
Wildan menaikkan sebelah alisnya. "Maksudmu, Tio?"
"Maksud saya, mungkin mempelai wanita itu ingin ditemukan dulu oleh sang suami."
Wildan mengernyit. "Maksudmu, dia masih bersembunyi, di dalam gedung?"
Melihat sorotan mata Wildan yang tajam dan kumis hitamnya yang tegas, Tio menelan salivanya--gugup. "A-atau mungkin di sekitar sini."
"Kau tahu sudah berapa hari wanita itu menghilang?" tanya Wildan seraya mendekati Tio. "Dua puluh tujuh hari. Hampir sebulan."
"Bisa jadi dia ingin menyelesaikan permainan seperti aturan yang sudah---"
Kalimat Tio terpotong. "Simpan argumen tidak pentingmu untuk anak-anakmu di rumah nanti. Tidak mungkin seorang wanita dewasa bermain sampai seserius ini. Kalau dia punya akal, dia pasti sudah pulang ke pelukan suaminya."
Perdebatan mereka ditengahi oleh suara kendaraan yang mendekat. Sebuah mobil pick-up nampak dari kerumunan pohon, lalu parkir di samping gedung tersebut.
Para petugas yang sedang menyelidiki tempat kejadian perkara menatap mobil itu seksama, salah satu dari mereka bahkan mencatat plat nomornya.
Seorang pria paruh baya keluar dari jok kemudi, lalu mengunci mobil tersebut. Dengan perut buncit dan sebuah handuk di lehernya, ia menatap para petugas gusar.
"Kenapa?" tanyanya.
Seorang petugas bernama Denis mendekat. "Anda pemilik mobil pick-up ini?" tanyanya.
Pria paruh baya itu menggeleng. "Ini milik kakak saya. Dia menyuruh saya untuk memarkirkannya di sini."
"Ada apa ini?" giliran pria paruh baya yang bertanya. Peran Wildan kini dibutuhkan. Pria berperawakan tinggi besar tersebut mengeluarkan lencananya lalu memperkenalkan diri.
"Ada kasus orang hilang di sini. Seorang mempelai wanita, beliau telah menghilang selama dua puluh tujuh hari." jelas Wildan.
Pria paruh baya itu mengangguk-angguk. "Lalu, saya tebak kau ingin bertanya soal mobil ini?" tanyanya seraya menepuk-nepuk sesuatu yang menutupi tempat menyimpan barang di mobil tersebut.
Wildan menatap mobil itu. Bila dilihat, walaupun penutupnya tidak dibuka, ia tahu di baliknya hanya akan ada beberapa tong besar. Ditambah lagi, ada sedikit celah di ujungnya, jadi ia bisa mengintip sedikit.
"Saya hanya ingin bertanya, apakah dua puluh tujuh hari yang lalu, mobil ini diparkiran juga di sini?" tanya Wildan.
Pria paruh baya mengangguk.
"Boleh saya tahu kenapa?" sekali lagi Wildan bertanya.
"Kakak saya pemilik mobil dan gedung ini. Dia tidak mempunyai garasi, kalau diparkir di depan rumah takutnya menghalangi pengendara lain. Lagipula, mobil ini hanya saya yang pakai. Karena gedung ini dekat dengan rumah saya, jadi dia memutuskan untuk memarkirkannya saja di sini."
Wildan mengangguk, sementara Denis mencatat. "Di mana rumah Anda?"
Pria paruh baya menunjuk ke belakang Wildan. "Di ujung sana. Dari sini tidak akan terlihat, jadi jangan memicingkan mata. Percuma."
"Apa yang ada di balik penutup ini?" tanya Wildan seraya mendekati mobil.
Pria paruh baya mengedik. "Beberapa tong. Kalau tidak salah, kakakku bilang dia pemasok air bersih. Jadi, dia membutuhkan tong-tong ini."
Tio maju. "Boleh kami lihat?"
Seketika, suasananya mendadak hening---canggung. Namun, pada akhirnya pria paruh baya itu hanya mengedik sedikit tak acuh, lalu membuka penutupnya.
Nampak beberapa tong di atas pick-up, lengkap dengan tutupnya yang berwarna hitam. Setelah puas melihat, pria paruh baya itu kembali memasang kan penutupnya.
"Apa dua puluh tujuh hari terakhir memakai mobil ini?" tanya Tio mengambil alih peran Wildan. Pria paruh baya itu mengangguk lalu menjawab, "Hari ini."
"Oh, jadi dari dua puluh enam hari yang lalu, Anda tidak memakainya?" Tio bertanya lagi. Kali ini, pria paruh baya itu hanya menggeleng.
"Apa Anda ada di sekitar area gedung dua puluh tujuh hari ke belakang?"
Pria paruh baya menggeleng. "Kuingat ada pernikahan di sini, jadi aku tidak berani datang. Takutnya mengganggu. Lagipula, dengan penampilanku yang terlihat seperti pengangguran tanpa rumah, mereka akan ketakutan bila melihatku."
"Anda bilang gedung ini milik kakak Anda. Apa ada seseorang yang rutin membersihkannya?" Wildan kali ini mengambil kembali peranannya.
Pria paruh baya itu menunjuk dirinya sendiri.
"Apa Anda pernah bertemu dengan---" Wildan merogoh saku jas dalamnya lalu mengeluarkan foto Yunita, "Wanita dalam foto?"
Pria paruh baya itu mendekat, lalu menelisik wajah dalam foto. Setelah beberapa lama mengaduk-aduk isi memori dalam otaknya, ia menggeleng.
Para petugas saling bertukar pandang, lalu kembali menghela napas berat. Lagi-lagi, mereka menemui jalan buntu. Entah seberapa pun kerasnya mencari, anehnya jejak Yunita tidak pernah ditemukan.
"Baik. Boleh saya tahu nama Anda?" tanya Wildan frustrasi. Pria paruh baya itu mengedik. "Jono."
"Terimakasih telah menyempatkan diri untuk kami wawancarai, Pak Jono."
Para petugas menyaksikan Jono yang pergi dilahap jarak. Mereka kembali melenguh frustrasi, benar-benar buntu dengan pencarian orang hilang kali ini.
"Kalau besok kita tidak menemukan jejak wanita itu, kita akhiri pencariannya. Kemungkinan besar dia melarikan diri."
Tio mengerjap, lalu menatap penutup pick-up di hadapannya. Sempat berpikir bahwa Yunita bersembunyi di baliknya, Tio sempat senang karena pada akhirnya dia akan bebas dari kasus baru mereka.
Namun ternyata, isinya memang hanya ada tong berukuran sedang dengan warna biru tua. Dilihat dari cara Jono membuka penutupnya, sulit untuk seorang wanita membukanya sendirian.
Lagipula, untuk apa wanita itu bersembunyi di mobil pick-up?
Sekarang, yang harus mereka persiapkan adalah mental untuk menghadapi Damai saat memberikan laporan hasil pencarian.
***
Damai bersandar ke kursi duduknya. Ia menatap langit-langit kantor, sedang membayangkan wajah Yunita yang tersenyum di hari pernikahan mereka.
Entah kenapa, kali ini tidak ada air mata yang menetes dari maniknya. Alih-alih air mata, hanya ada pertanyaan dalam benaknya.
Memangnya, masuk akal bila istrimu bersembunyi selama dua puluh tujuh hari? Menunggu di tempat yang sama hanya untuk ditemukan olehmu?
Ayolah, Damai. Kau tahu terkadang Yunita kekanakan, tapi tidak mungkin dia sebodoh itu.
Dia ... pasti melarikan diri.
Kepala Damai menggeleng kuat. Telinganya mendengar jelas bahwa Yunita mengatakan bahwa ia mencintainya, jadi, untuk apa dia melarikan diri dari Damai?
Kecuali kalau itu semua hanya sandiwaranya sebelum kabur.
"Ah, sial." umpat Damai seraya memijat pangkal hidungnya. Ia kemudian kembali duduk tegak dan menatap beberapa lembar kertas yang berserakan di atas meja kerjanya.
Ada beberapa dokumen yang harus ia tanda tangan dan periksa. Melihat jumlah dokumennya, mungkin ia akan lembur malam ini.
Bagaimana dengan Zelda?
Damai menopang dagu. Kalau dia lembur, berarti tidak ada kesempatan untuk mengunjungi Café sepulang kerja nanti.
Lho, memangnya kenapa dengan Zelda? Kenapa juga kau tiba-tiba memikirkannya?
Damai mengernyit. Pikirannya sekarang kalut dengan keberadaan Yunita dan pertanyaan untuk diri sendiri mengenai pertemuannya dengan Zelda.
Pria tampan berstatus manajer di perusahaan itu beranjak dari duduknya, kemudian membuka jendela agar udara segar masuk ke ruangannya.
Manik mata cokelat gelapnya menatap langit yang cerah. Awan dengan beragam bentuk menghiasi langit, menemaninya agar tidak sendirian.
Benar. Aku memikirkan Zelda karena berjanji akan membantunya memeriahkan kafe.
Aku memikirkannya karena urusan bisnis. Bukan urusan pribadi.
Benar-benar tidak ada hubungannya dengan perasaanku.
Memangnya, siapa yang bilang ada hubungannya dengan perasaanku?
Damai kembali mengernyit. Kepalanya berdenyut hebat. Dia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia menatap ruang kerjanya.
Meja dan kursi berwarna hitam yang menghadap ke sebelah kiri dari tempatnya berdiri merupakan saksi bisu dari pertemuan Damai kembali dengan Yunita.
Manik matanya melirik ke kiri, menatap dua sofa berwarna hitam dengan ukuran sedang yang dipisahkan oleh sebuah meja kaca. Tempat itu biasanya menjadi tempat Damai dan Yunita untuk mendiskusikan pekerjaan mereka.
Di situ juga Damai melamarnya.
Pria tersebut menyibakkan rambut seraya mengangkat tangannya. Ia menatap cincin pernikahan berwarna perak yang melingkar di jari manis kanannya.
Kau terlihat bahagia saat aku melamarmu.
Kau bersemangat saat memilih-milih gaun pengantin.
Kau begitu senang ketika kita membuat undangan untuk keluarga, sanak saudara dan teman-teman.
Matamu berbinar ketika kita menghabiskan waktu bersama sebelum akhirnya menikah.
Kau menatap mataku, lalu berkata bahwa kau mencintaiku dengan senyuman cerahmu.
Apakah semua itu tidak ada artinya?
Damai melepaskan cincin pernikahannya, lalu menggenggam benda itu erat. Sesak di dadanya kembali datang, namun tidak dengan air yang biasanya mengalir dari pelupuk mata.
Apakah semua kenangan yang kita ukir bersama, hanya sandiwara agar kau bisa pergi meninggalkanku seperti ini?
Kenapa?
***
Gadis tersebut terbangun, ia tersentak dengan peluh dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Napasnya tersenggal, jantungnya berdegup tak karuan.
Dia melihat sekeliling. Kamar berbentuk persegi itu diisi dengan ranjang, lemari, karpet, lampu, meja belajar, dan nakas kecil di samping ranjang. Setelah yakin dia memang berada di kamarnya, gadis itu turun dari ranjang.
Kakinya lemas.
Ia berjalan sempoyongan, seperti orang yang belum pernah berjalan dengan dua kaki sebelumnya. Manik matanya bergerak-gerak entah mencari apa.
Tunggu. Dia mencari seseorang.
"Ha---" tenggorokannya tercekat. Suaranya parau, bibirnya kering. Mimpi itu masih menghantui benaknya, enggan pergi walau ia sudah berusaha mengusir.
Gadis itu menggigit bibir bawahnya pelan. Ia kemudian mencoba untuk kembali berbicara, "Ha--!"
Ia berhenti berjalan, lalu bersandar ke lemari di samping kirinya. Baru juga berjalan beberapa meter dari ranjang, napasnya sudah terengah-engah karena mimpi yang menyerangnya.
Sampai kapan aku harus seperti ini?
Sebelum gadis itu mulai berjalan lagi, pintu kamarnya terbuka perlahan. Suara deritan dari engsel yang sudah berkarat tidak membantu jantungnya untuk tetap tenang.
Posisinya yang sedang bersandar ke lemari membuat ia tidak bisa melihat siapa yang membuka pintu. Daun pintu berwarna cokelat muda itu menutup sosok di baliknya.
"Lho, Harka?"
Gadis tersebut mengerjap ketika mendengar suara yang ia kenal. Jantungnya yang tidak berhenti bertalu sejak terbangun kini berdetak normal.
Sosok di balik daun pintu itu kemudian memasuki kamarnya. Seorang remaja laki-laki yang usia sepantar dengannya mencari-cari sosoknya, kemudian mengerjap setelah manik matanya menemukan gadis tersebut.
Sambil mendekat remaja itu berkata, "Kenapa kamu ada di situ, Harka?"
Harka menegak salivanya lamat-lamat. Walaupun detak jantungnya sudah kembali normal perlahan, bibirnya masih terkatup rapat. Tenggorokannya juga masih tercekat.
Dia belum siap berbicara.
Melihat ekspresi saudarinya yang sudah tak asing baginya, remaja laki-laki itu menghela napas pelan. "Mimpi lagi?"
Harka mengangguk pelan. Dia berdiri dengan bantuan saudaranya, lalu berjalan keluar kamar sambil dituntun. Kebiasaan sejak mereka berusia tujuh tahun; Harka akan kehabisan tenaga setelah bermimpi.
"Mimpi apa kali ini?" tanya remaja tersebut. "Padahal kau sudah berhenti bermimpi sejak enam bulan lalu."
Harka diam sejenak. Rangkulan dari saudaranya membuatnya merasa aman, perlahan tenggorokannya yang tercekat kini terasa lega.
Namun bibirnya masih terkatup rapat. Terkadang Harka membenci fakta bahwa setelah bermimpi, tubuhnya memberikan reaksi seperti ia sedang berada dalam bahaya besar.
Padahal mimpi-mimpi itu bukan tentangnya.
"Siapa yang terakhir kali kau temui?" tanya remaja itu pada dirinya sendiri. Ia kemudian beralih kepada Harka, "Edi? Teman sekelas kita, Edi?"
Benar, namun Harka tidak bermimpi tentang Edi. Akhirnya, dia menggelengkan kepalanya lemas. Remaja yang sedang menuntunnya menuju dapur untuk sarapan itu kemudian memutar otaknya.
Harka memaksakan diri untuk membuka suara, "Har-di."
Hardi mengerjap. "Ya?"
"... baru."
Hardi kembali mengerjap karena tidak begitu mendengar kalimat Harka dengan jelas. Kembarannya kalau sudah bermimpi memang seperti orang baru bangun dari koma panjang.
Setelah jeda beberapa menit, Harka menggeleng lemas. Dengan insting saudara kembarnya, Hardi tahu bahwa Harka mengatakan nanti saja hanya dari gelengannya.
"Hei, kugendong ya?" tanya Hardi. Tentu saja Harka menolak, dia takut ketinggian. Namun, rasanya menuntun seperti ini lebih lama bagi Hardi.
Hardi tidak keberatan, dia sudah biasa menuntun Harka yang lemas setelah bermimpi. Memang, jarak dari kamar Harka dan dapur bisa dikatakan lebih dari dua puluh meter, namun bukan berarti Hardi lelah.
Remaja berusia enam belas tahun itu justru kecewa dengan dirinya sendiri.
Bukan hanya terlahir dengan jenis kelamin berbeda dari kembarannya, Hardi juga terlahir berbeda dari segi kemampuan yang ia miliki. Yang pertama, dia buta warna. Bukan warna terbalik yang ia lihat, tapi semuanya hitam-putih.
Terlahir tanpa kemampuan untuk melihat warna, Hardi diberkahi kemampuan lain. Bukan sepenuhnya tidak bisa, Hardi hanya perlu menemukan orang yang tepat.
Sedangkan Harka dilahirkan dengan fisik yang sempurna. Kembarannya yang paling cantik itu tidak punya cacat, kecuali dengan kemampuan lain yang tidak biasa darinya.
Bila Hardi bisa melihat warna dengan bertemu orang yang tepat, Harka bisa bermimpi jika bertemu dengan orang yang sama.
"Kau yakin, Harka? Kalau digendong lebih cepat sampai dapur, lho? Makanannya keburu dingin." sekali lagi Hardi bertanya. Namun Harka tetap menolak.
"Kau ... sudah ma-kan?" Harka bertanya. Hardi tersenyum, kemudian mengangguk mantap. Dia berkata, "Bunda menyiapkan sosis kesukaanmu. Rasanya enak, makanya aku tidak mau kau merasakan makanan dingin."
Mereka berbelok ke kanan setelah melewati sebuah lukisan hutan dengan seekor rusa sedang menatap langit. Lorong berjarak pendek dari belokan menyambut mereka, menuntun kepada dapur.
Dapur dengan suasana cerah menyambut kedua pasang manik mata si Kembar. Meja persegi panjang dengan berbagai lauk dan nasi di tengah-tengah menunggu untuk disantap.
Air liur Harka berkumpul di satu tempat. Baru ia rasakan rasa lapar setelah menatap langsung masakan sang Bunda.
Di depan meja makan, jauh di seberang Harka, ada pintu kaca yang merangkap sebagai jendela lengkap dengan tirainya. Tirai putih tersebut tersingkap, menampakkan pemandangan halaman belakang yang asri.
Pohon rindang tempat si Kembar bermain ayunan ban buatan sang Ayah terlihat jelas, masih kokoh dengan daun-daunnya yang hijau.
Hardi mendudukan saudarinya di salah satu kursi makam terdekat. Begitu telaten sehingga Harka bisa duduk dengan nyaman. Tidak sampai di situ, Hardi juga membawakan piring dan peralatan makan, lalu mengambil nasi dan lauk yang akan disukai Harka.
Kalau Harka disuruh bersyukur, benaknya akan selalu terlintas dengan nama saudara kembarnya yang perhatian. Rasanya, dia memiliki sesuatu yang indah yang paling ia dambakan.
Bukankah keberadaannya hanya beban bagi Hardi yang baik hati? Ia hanya bisa menyusahkan, padahal hanya bermimpi.
Sampai kapan aku harus bergantung padanya?
Hardi terduduk di sebelah Harka, menunggunya mengumpulkan kekuatan seperti biasa. Setelah beberapa menit, baru lah Harka mengambil sendok dan menyuapkan sesendok nasi dari piring.
"Kau benar." Hardi membuka percakapan. "Aku tidak melihat warna saat bertemu dengan Edi."
Setelah menelan makanannya, Harka menjawab, "Pria yang kita temui sebelas hari lalu. Aku ... lupa siapa namanya."
Hardi mengernyit. "Pria?"
Harka mengangguk seraya mengunyah perlahan. Mengingat mimpinya yang baru saja terjadi, membuatnya mengernyit. Ia menatap makanan di atas meja, sempat merasa tidak nyaman lalu kemudian menelan perasaan itu bulat-bulat.
"Apa kita berbincang dengannya?" tanya Hardi yang hanya dibalas anggukan lemah dari Harka.
Hardi mengernyit, mencoba mengingat orang-orang yang sebelas hari lalu bertemu dengan mereka. Tidak mungkin pria acak di jalan setapak, Hardi sengaja menyuruh Harka menunduk agar saudarinya tidak bermimpi dan perlahan menyiksanya.
"Tetangga." ucap Harka akhirnya. "Pria itu tetangga baru kita."
"Ah. Pria yang sedang bersedih itu?" tanya Hardi seraya mencoba untuk mengingat mukanya.
Harka mengernyit. "Darimana kau tahu dia sedang bersedih?"
Hardi mengedik. "Bukankah saat itu pria tersebut berkata bahwa ia ke sana untuk membuat laporan orang hilang? Seseorang yang penting untuknya pasti telah hilang tanpa jejak."
"Hm. Aku tidak melihat wajahnya, jadi aku tidak tahu kalau dia sedih atau tidak." Harka kembali menyuap sesendok nasi.
"Kalau kuingat-ingat, dia sangat berusaha keras untuk tidak menangis." ucap Hardi seraya menatap langit-langit dapur. "Auranya ..."
Tunggu. Auranya ... aneh. Bentuk auranya aneh.
"Hardi?" Harka memanggil. "Kenapa dahimu berkerut seperti itu?"
"Ah, tidak." jawab Hardi. "Kalau kuingat sekali lagi, aura pria itu agak aneh. Bentuknya, maksudku."
"Bentuknya?" kini giliran Harka yang mengernyit.
Hardi mengangguk. "Biasanya, aura mereka bentuknya seperti api yang mengelilingi tubuh. Namun, aura pria itu ..."
"Seperti seseorang yang sedang merangkulnya dari belakang ...?" tanya Harka ragu. Hardi mengerjap, lalu kemudian mengangguk.
"Kenapa kau bisa tahu? Bukankah sudah kukatakan jangan melihat?" tanya Hardi hampir menegur.
Harka menggeleng. "Daripada itu, apa kau ingat warna aura pria tersebut?"
Hardi kemudian mengerjap. Manik mata cokelat terangnya menatap meja hampa; tenggelam dalam lautan memori dalam kepalanya. Tak lama, matanya membola.
"Oh, tidak."
Harka menegak salivanya lamat-lamat, menatap Hardi yang juga menatapnya dengan wajah pucat. Harka mengangguk. "Haruskah kita memperingatkannya?"
Tidak.
Hardi menggeleng ragu.
Aku tidak akan membiarkan nyawamu terancam hanya karena tetangga yang tidak kita kenal.
"Baiklah." walaupun sempat ragu pada akhirnya Harka tidak bisa membantah. "Tapi, bisakah kau mengingatkanku siapa namanya?"
Hardi menghela napas berat, lalu kembali menatap langit-langit dapur yang putih. Logika dan sisi rasionalnya berdebat hebat, antara mementingkan keselamatan Harka atau harus peduli dengan orang lain.
Setelah sempat memberi jeda ia menjawab, "Damai."
***
Zelda tersenyum setelah pelanggan barunya membayar. Ia kemudian menutup mesin kasirnya, lalu menyapa ketika merasa pelanggan selanjutnya berdiri di seberang.
"Cappuccino latte satu. Oh, hari ini aku merasa ingin makan sesuatu yang manis. Ada rekomendasi?"
Wanita dengan surai cokelat sebahu itu mengerjap, kemudian menatap wajah pelanggannya seksama. Setelah beberapa lama, ia tersenyum lebar.
"Saya merekomendasikan bolu susu keju untuk menemani kopi kesukaan Anda, Tuan Damai."
Damai tersenyum. "Tentu, aku akan coba."
Seperti pelanggan lainnya, Damai menunggu Zelda untuk mengucapkan jumlah uang yang harus dikeluarkan, lalu memberikan kartu debit kepadanya.
Setelah transaksi selesai, ia akan pergi ke meja terdekat dari kasir. Namun sayangnya, meja-meja dekat kasir sudah terisi penuh. Adapun yang ditempati oleh satu pengunjung, tidak mungkin Damai ikut duduk di sana.
Belum dilakukan saja Damai bisa membayangkan betapa canggungnya atmosfir mereka.
BRAK!
PRANG!!!
Suara nyaring datang dari dapur kafe. Atensi seluruh pelanggan dan pelayan yang sedang bertugas kemudian tertuju pada sebuah lemari besi yang terjatuh di ujung sana.
Manik mata Damai menangkap sosok tak asing yang terduduk tak jauh dari lemari tersebut. Tanpa berpikir dua kali, ia menerobos pintu yang hanya dikhususkan untuk karyawan.
Damai menghampiri Zelda yang masih syok. "Kau baik-baik saja?" Damai bertanya.
Zelda mengerjap, lalu membenarkan posisi duduknya. Dengan wajah pucat dan napas terengah-engah ia menjawab, "Iya ... iya, saya baik-baik saja."
Pria di samping Zelda itu kini menatap lemari yang nampaknya digunakan untuk menyimpan bahan-bahan membuat kopi dalam menu. Dia meraba permukaannya perlahan.
Keras.
Kalau saja Zelda tertimpa benda berat itu, entah cedera atau kesadaran yang hilang darinya. "Apa lemari ini terjatuh begitu saja?" tanya Damai saat seorang karyawan lain memasuki dapur.
Zelda mengangguk. Karyawan itu membantu Zelda berdiri, diikuti dengan Damai yang masih tertuju pada lemari besi tersebut.
"Bagaimana bisa?" tanya si Karyawan. "Lemari itu 'kan stabil, menempel pula pada dinding. Tidak mungkin jatuh begitu saja."
Zelda mengerjap. "Tapi, memang terjatuh sendiri."
"Kau yakin tidak ada yang menjatuhkannya? Jangan mencoba untuk melindungi orang yang mau menyelakaimu." tegur si Karyawan.
"Tidak, aku berani bersumpah. Lemari itu terjatuh begitu saja."
Di saat Zelda dan karyawan lain sedang mencoba untuk memecahkan sebab dari lemari yang tiba-tiba terjatuh begitu saja tanpa memedulikan keberadaan Damai yang jelas-jelas seharusnya tidak boleh, kelereng gelap Damai mendapati sesuatu.
Bekas tangan siapa itu, di permukaan lemari?
***
8111 kata.
Hola, ¡amigos!
Sampai sini, cerpen penulis terbukti 'kan? Terbukti nggak jelas. HAHAHAHAHAHA! Jadi gini, ini tuh penulis nulisnya ngebut :') kalau nanti nemu ada kepenulisan yang salah atau typo, maklumi (karena penulis ngebut selesai semalam).
Terus, cerita Bride and Seek tadinya penulis nda akan kira bakal sepanjang ini :'v jadi bakal penulis jadiin cerbung (di lain waktu) karena otak penulis ngebul :') (dan stuck sampai situ idenya buat Bride and Seek). Terus mulai lagging kalau jumlah katanya kebanyakan :'
Sampai sini, ya! Sampai jumpa di author's note lainnya!
Adiós, ¡amigos!
A i s h i p i t.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top