27. My Heart Instantly Recognize You

Saya tidak sengaja bertubrukan dengan seseorang di perpustakaan kota. Dia sedang membawa beberapa buku, tetapi ketika saya tidak sengaja bertubrukan dengannya, buku-buku itu kini terjatuh.

Suara yang dihasilkan oleh buku-buku tersebut menggema ke seluruh penjuru perpustakaan. Atensi setiap orang di sekitar kami tercuri sesaat, kemudian mereka kembali kepada rak dan buku masing-masing.

Merasa bersalah, saya berlutut untuk memunguti buku-buku yang terjatuh itu. Orang yang tadi saya tubruk berusaha untuk mencegah saya melakukannya, tetapi, saya memaksa untuk membantu.

"Aduh, Tuan, saya tidak apa-apa!" seru perempuan itu. "Sungguh, biar saya bereskan sendiri."

"Tidak," bantah saya. "Saya yang telah menabrakmu, buku-buku ini jatuh karena saya. Biarkan saya ...."

Sebuah keberuntungan saya mendongak untuk menatap wajahnya.

"... membantu."

Netra kami bertumbuk. Saya dapat merasakan sesuatu yang terasa tidak asing dalam dada saya, menjalar ke seluruh tubuh, hingga ujung-ujung jemari, entah memberikan sinyal apa kepada otak saya. Namun, saya tahu bahwa saya harus berbicara lebih lama dengan perempuan ini.

Kenapa?

Perempuan di hadapan saya mengernyitkan dahi; kebingungan. Tangan kanan perempuan tersebut mulai meraba-raba wajahnya.

Kenapa?

"Apa ada sesuatu di wajah saya?" tanya perempuan itu.

Saya menggelengkan kepala saya perlahan, lalu mencoba untuk melepaskan pandangan saya darinya. Kepala saya kini tertunduk, tertuju kepada tiga buku lain yang masih berserakan. Cepat-cepat saya pungut ketiga buku tersebut, kemudian, saya beranjak dari duduk. Perempuan itu melakukan hal yang sama dengan saya.

"Aduh," perempuan tersebut menerima buku-bukunya dari saya, "terima kasih, kamu jadi repot-repot. Terima kasih banyak."

"Ah, tidak." Saya membalas dengan suara terpelan yang pernah saya hasilkan.

"Baiklah, saya duluan kalau begitu, ya!" Gadis itu berpamitan dengan senyum tipis terlukis pada wajahnya yang merona. Dia kemudian berjalan melewati saya.

Akan tetapi, dia berhenti ketika saya memanggilnya kembali. Gadis tersebut berbalik dengan kaku. Sayangnya, dia tidak membuat kontak mata seperti yang telah kami lakukan beberapa menit lalu. Alih-alih kontak mata, dia menatap dasi yang meliliti kerah baju saya.

"Iya?" Gadis itu kembali tersenyum tipis.

Kenapa?

"Ah, siapa namamu?" tanya saya.

Ada jeda beberapa detik di antara kami. Namun, akhirnya jeda itu patah ketika si gadis memberitahukan namanya kepada saya.

"Everdawn," jawabnya. "Kenapa, Tuan?"

Saya menggelengkan kepala dengan pelan. "Tidak, hanya saja ... saya merasa, sebelumnya kita sepertinya pernah bertemu di suatu tempat yang ... jauh?"

Everdawn tertawa kecil (mengingat ini masih perpustakaan). "Tidak, saya yakin kita belum pernah bertemu sebelumnya. Kalau begitu, saya duluan, ya! Terima kasih banyak, sekali lagi."

Hanya dengan beberapa patah kata itu, dia berbalik dan menghilang dari pandangan saya. Walau demikian, saya masih terbayang akan sosoknya sampai saya tiba di rumah saya.

Rambutnya yang sependek bahu, ikal dan kecokelatan karena terkena sinar matahari.

Pipinya yang merona dan bulat.

Hidungnya yang mungil dan pesek.

Tahi lalat pada lehernya yang pendek.

Bibirnya yang sedikit pucat.

Ah.

Kenapa?

Kenapa saya merasa seperti itu untuknya?

Saya terduduk di sofa yang berhadapan dengan televisi. Sesekali, saya menatap langit-langit ruang ini, kemudian mengembuskan napas yang panjang.

"Everdawn ...," gumam saya.

Everdawn.

***

"Kita pernah bertemu, Everdawn." Saya membuka percakapan kedua kami di pertemuan kedua ini.

Everdawn tidak mengatakan apa pun. Dia hanya menatap saya dengan kedua alis yang bertemu. Tatapannya itu membuat saya terkekeh (entah mengapa).

Saya berjalan mendekat, tetapi, dia tidak bergerak sama sekali. Dengan satu tangan, saya menjambak rambut pendek Everdawn agar dia mampu melihat saya yang berdiri di hadapannya.

Fakta bahwa Everdawn kini ada di ruang bawah tanah saya lagi membuat saya tersenyum lebar.

"Ternyata kamu tidak pergi dari kota, ya? Melainkan mengganti identitas dan penampilanmu saja. Tapi, wajahmu tidak sekalian kamu operasi? Seharusnya, kalau kamu mau lari dari saya, Verydale, kamu bersungguh-sungguh dengan aksimu.

"Kamu sengaja, ya, agar saya bisa menemukanmu lagi? Kamu sengaja, 'kan, Verydale? Kamu sebenarnya tidak ingin kabur, 'kan, hari itu? Hanya saja, kamu malu untuk segera kembali ke pelukan saya, 'kan?"

Verydale tidak menjawab.

Ah, tentu saja. Saya, 'kan, membekapnya dengan selotip.

Dengan satu tarikan pelan, saya lepaskan selotip yang menutup mulut Verydale untuk mengizinkannya menjawab pertanyaan saya.

Bulir-bulir air matanya yang semula mengalir membasahi selotip kini dengan mudahnya membasahi dagu gadis yang terikat pada kursi kayu di hadapanku.

Dia menarik napas panjang. "Ak-aku minta maaf, Marc. Aku benar-benar minta maaf. Maafkan aku. Tolong, tolong jangan sakiti aku. Kumohon, aku minta maaf."

"Kamu bicara apa, sih, Sayang?" Saya berlutut agar dapat memeluknya erat. "Saya tidak mungkin menyakitimu kalau kamu mau menuruti saya. Seperti empat tahun lalu, peraturan saya hanya ada satu; sayangi dan jangan pernah meninggalkan saya, hm?"

Walau samar, saya dapat merasakan anggukan Verydale yang lemah.

Hal itu membuat sesuatu di balik dasa saya bergejolak.

"Saya senang kamu mau menurut," ucap saya seraya melepaskan pelukan saya. Saya memandangi Verydale yang masih menangis dengan kepala yang sedikit tertunduk dengan saksama, merasakan kehangatan tubuhnya untuk kali pertama dalam empat tahun merupakan satu-satunya surga bagi saya.

"Lain kali, jangan kabur lagi, ya? Ah, jangan berbohong juga. Walau kamu terlihat imut ketika berusaha untuk melakukannya, tetapi, saya tidak suka. Hubungan yang dipenuhi kebohongan itu tidak sehat."

Sekali lagi, Verydale mengangguk pelan. Sekali lagi, itu membuat saya tersenyum lebar.

Biarpun dia pergi jauh dalam waktu yang lama, biarpun dia berubah atau bereinkarnasi, hati saya pasti bisa mengenalinya bahkan dari jarak puluhan ribu kilometer.

Ah, saya senang.

Saya senang.

Saya senang.

Saya senang!

Sayangnya, saya tidak tahu mengapa saya merasa seperti ini kepadanya. Namun, saya senang.

Akhirnya, dia kembali ke dalam pelukan saya.

***

886 kata.

Dedicated to Blackpandora_Club

September's Prompt:

"Aku merasa, sebelumnya kita sepertinya pernah bertemu, di suatu tempat yang jauh."
Cerpen min. 500 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top