26. Hey, Steven, What's The Meaning of Love?
Saya masih mengingat bagaimana kamu menyapa saya untuk kali pertama, dengan senyuman tipis dan lambaian tangan lemah dari kejauhan. Namun, saya tidak sempat membalas dan malah pergi dari tempat saya berdiri.
Hari itu, saya hanya berpikir kamu adalah orang yang menakutkan. Entah mengapa saya mendapatkan impresi seperti itu dari kamu yang sebenarnya ramah dan lapang dada. Mungkin, karena hari itu adalah hari pertama saya disapa duluan oleh orang lain.
Saya ingat bagaimana kita terjebak hujan bersama di sebuah warung dekat kompleks. Hari itu, saya sedang menginginkan es krim, sedangkan seingat saya, kamu membeli beberapa nabati dan teh gelas yang kamu makan langsung di tempat sambil menatap rintik hujan mendarat di depan mata.
Kamu bertanya apakah saya memiliki hobi.
Saya jawab, "Entahlah, aku melakukan apa pun di waktu senggang."
Lalu, semuanya setelah itu hanya kabut, kabur dari ingatan saya, tetapi saya masih mengingat rasanya memiliki percakapan normal denganmu; menyenangkan dan cukup membuat ... tenang.
Ingatkah kamu, kita sering menghabiskan waktu bersama setelah itu? Beruntung untuk saya, kamu adalah tetangga saya. Beruntung juga bagi saya, katena ternyata kita sepantaran. Lebih beruntungnya lagi saya, karena telah mengenal orang seperti kamu.
Kamu yang pintar memasak.
Kamu yang pintar dalam ranah akademik.
Kamu yang selalu sarkastik (saya menganggap ini lucu, karena kamu jarang sekali mengatakan hal yang sarkastis untuk orang lain, tetapi untuk kartun).
Kamu yang sulit dibuat marah.
Kamu yang punya banyak bakat (ayolah, memasak, menyanyi, menulis lagu, bermain gitar. Cukup banyak untuk saya).
Kamu, seorang pendengar yang baik.
Untuk beberapa alasan, saya merasa nyaman ketika saya berada di sampingmu; ketika kamu ada di samping saya; ketika saya tahu kamu ada di sekitar.
Saya merasa aman ketika saya bercerita kepadamu mengenai apa pun, seolah kamu bisa saja menjadi bunker aman untuk segala cerita dan rahasia saya.
Lalu, tanpa saya sadari, saya mulai merasakan sesuatu terhadapmu; sesuatu yang tidak bisa saya pahami.
Setiap kamu muncul di hadapan saya, sesuatu di balik dada saya terasa ... menjalar.
Setiap saya mendengar suaramu, saya berharap kamu tidak berhenti berbicara.
Setiap kita bertemu, saya harap waktu berhenti saat itu juga.
Saya bertanya-tanya, normalkah itu?
Apakah yang saya rasakan adalah alergi?
Apakah saya sudah berubah menjadi pribadi yang lebih abnormal?
Apa ini, yang saya rasakan kepadamu?
Saya ingin menanyakan hal ini kepadamu dalam waktu yang lama, sungguh. Namun, entah mengapa, setiap mulut saya sudah terbuka, lidah saya kelu; seolah mempertanyakan apa yang saya rasakan terhadapmu adalah sesuatu yang tabu.
Saya menyadari bahwa saya takut apabila kamu menyadari apa yang saya katakan.
Kenapa?
Kenapa saya takut?
Saya juga tidak tahu. Saya ingin tahu.
Sampai setidaknya kita mengunjungi sebuah taman dengan sebatang es krim di tangan masing-masing, dan kamu mengatakan bahwa kami menyukai saya.
"Ai, aku suka sama kamu." Adalah kalimatmu hari itu.
Tahukah kamu apa yang saya rasakan?
Saya kebingungan.
Sesuatu di balik dada saya semakin menyebar.
Kedua tangan saya berubah dingin.
Saya tidak bisa memikirkan apa pun untuk dikatakan kepadamu kembali.
Dengan bodohnya, dengan paniknya, saya membalas pernyataanmu dengan: "Oh, iya. Tentu saja. Kita 'kan teman."
Setelah itu, kamu mencoba untuk mengulang hal tersebut sebanyak empat kali. Jangan salah, saya juga masih ingat.
Saya tidak tahu mengapa saya sampai panik ketika mendengar lima kata itu keluar dari mulutmu. Saya bahkan tidak tahu mengapa saya menjadi bodoh ketika kamu ada di hadapan saya.
Saya pikir, kenapa memangnya kalau kamu suka?
Bukankah itu normal?
Suka itu apa?
Apa yang sebenarnya saya rasakan?
Saya berusaha untuk mencari jawabannya, sungguh. Karena saat itu, saya juga merasakan hal yang identik kepada orang lain dari ekstrakulikuler yang sama. Namun, bedanya, saya tidak merasa malu atau bodoh ketika berada di hadapannya.
Saya adalah orang yang penasaran, saya butuh jawaban.
Beberapa teman sudah saya tanyakan, tetapi saya tetap tidak mengerti.
Mereka bilang, "Kamu suka sama dia."
"Itu tuh kamu tertarik sama dia sebagai lawan jenis."
"Kamu puber."
Saya mengerti tetapi saya juga tidak mengerti. Hari itu, saya pikir, saya menyukai semua orang; saya menyayangi semua orang. Lalu, kenapa saya merasakan hal yang begitu berbeda saat bersamamu?
Saya masih kebingungan, sampai setidaknya, kamu menyatakan perasaanmu untuk yang keenam kali (iya, enam kali. Bukan lima. Kamu salah ingat). Kamu sempat menangis hari itu, katamu, kamu frustrasi karena saya tidak memahami apa yang kamu bicarakan.
Oh, saya paham.
Saya paham apa yang kamu katakan, selama ini, saya sebenarnya paham. Saya hanya tidak mau menerimanya.
Entah apa yang menbuat saya enggan untuk menerima perasaanmu, atau perasaan saya, sejak awal. Mungkin, karena kenyataan di mana saya menyukaimu lebih daripada orang lain di sekitar saya membuat saya merasa seolah saya meng-emas-kan kamu.
Akan tetapi, saya sekarang tahu, bahwa tidak ada yang salah dari itu.
Bahwa tidak ada yang salah dari saya yang menyukaimu lebih daripada saya menyukai orang lain.
Bahwa tidak ada yang salah kalau saya memperhatikanmu lebih daripada saya memperhatikan orang lain.
Bahwa tidak salah bagi saya untuk menyukaimu.
Jadi, saya juga mengakui perasaan saya kepadamu (walau nyatanya itu terjadi beberapa minggu kemudian, ketika saya masih merasa kebingungan).
Saya sempat bertanya padamu, apakah kamu ingat?
Saya sempat bertanya, kenapa saya menyukaimu lebih daripada saya menyukai orang lain?
Kamu menjawab, "Perasaanmu tidak sama. Mungkin terlihat sama secara sekilas, tetapi sebenarnya tidak. Kalau diibaratkan, perasaanmu itu ada yang oval dan ada yang lingkaran. Kamu memberikan lingkaran untuk teman-temanmu, dan mungkin oval untukku."
Saya menyukai jawabanmu.
Seolah kamu memiliki banyak cara untuk menjawab pertanyaan saya; seolah kamu mengerti apa yang akan saya pahami.
Dengan itu, saya menyukaimu; tambah menyukaimu.
Kita banyak melalukan hal-hal menyenangkan setelah bertahun-tahun saya mengenalmu. Semakin hari, bukannya saya bosan menemuimu, tetapi setelah lima menit kamu pulang pun, saya ingin melihat wajahmu lagi.
Setelah sepuluh menit berpisah pun, saya merindukanmu.
Apakah itu normal?
Tentu saja.
Apakah saya berubah menjadi pribadi yang lebih abnormal?
Tidak. Saya hanya orang yang menyukaimu, dan itu tidak aneh.
Lalu, untuk apa saya menulis ini?
Entahlah.
Saya ingin menceritakan sesuatu kepadamu, berbincang satu arah, itu saja. Saya juga ingin kamu tahu bahwa saya bukannya tidak mengerti, tetapi saya hanya---dengan bodohnya---menolak untuk memahami.
Dan hati saya merindukanmu, kamu sibuk akhir-akhir ini.
Jadi, apa kabarmu, wahai cinta pertama?
***
Dedicated to Blackpandora_Club
Monthly prompt: Apa kabarmu wahai cinta pertama? (Flashfic, minimal 100 kata).
***
1000 kata.
(Dedicated to stvngrs as well).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top