24. Remember Me
Gadis itu menatap dedaunan yang gugur tertiup angin. Beberapa daun itu membentur kaca mobil, lalu terjatuh dan mendarat di tanah yang ditutupi banyak dedaunan lainnya.
Tidak heran, sebentar lagi musim gugur akan tiba. Daun-daun yang zat hijaunya sudah mengering akan melepaskan diri, merelakan tubuhnya kepada tanah di bawah sana.
Mau ke mana gadis itu pergi, bersama kedua orang tuanya di kursi depan? Kalau kauingin tahu, mereka akan pergi ke sebuah asrama yang letaknya sedikit di tengah hutan.
Jangan bertanya mengapa asrama itu bisa ada di sana, karena tidak ada yang tahu. Banyak rumor yang menyebar soal asrama itu.
Ada yang bilang, dulunya asrama itu bekas kuburan tua---cerita klise yang selalu ada di sekolahmu saat kau masih seorang bocah.
Ada juga yang bilang, asrama itu bekas rumah sakit. Di rumah sakit tersebut, terjadi pembantaian masal. Semuanya meninggal, dan menghantui gedungnya.
Ada yang bilang, asrama itu bekas hotel. Itulah mengapa ada beberapa murid yang kebagian kamar sendiri. Ada juga yang mengatakan kalau asrama itu bekas mansion, tetapi karena terlalu tidak masuk akal, rumor yang ini jarang digubris.
Yang terakhir, ada rumor yang mengatakan bahwa asrama tersebut bekas sebuah vila. Tidak ada yang menyangkal, karena struktur bangunan dan isinya memang mirip dengan vila kebanyakan. Dari lima rumor yang paling terkenal, tidak ada yang bisa dipastikan kebenarannya.
Semuanya seolah disangkal begitu saja dengan lokasi di mana asrama itu berada. Gedung asrama berada hampir di tengah hutan, langsung menyangkal rumor pertama sampai rumor keenam. Satu-satunya yang masih masuk akal hanya rumor bahwa asrama itu awalnya adalah sebuah vila.
Gadis yang kini sedang menatap malas ke luar jendela sebetiknya tahu setiap rumor yang ada mengenai asrama yang sedang dia tujui.
Akan tetapi, dia tidak terlalu memedulikannya, lagipula itu hanya rumor semata, belum terbukti benar adanya. Yang penting sekarang adalah bagaimana caranya dia beradaptasi dengan lingkungan baru.
Mengapa dia harus beradaptasi dengan lingkungan baru, kautanya? Bisa dibilang, sekarang ini si gadis akan menjadi murid pindahan.
Mengapa? Karena orang tuanya menyadari, anak gadis mereka selalu pulang sore hanya untuk terdiam di kelas sampai semua orang di sekolah pulang levih dahulu.
Daripada seperti itu, lebih baik dia tinggal di sekolahnya, 'kan? Karenanya, orang tua si gadis mendaftarkan anak mereka ke sebuah asrama. Mengapa mereka bisa menemukan tentang asrama yang letaknya hampir di tengah hutan?
Jangan salah, walau letaknya tidak lazim bagi sebuah sekolah dengan asrama, sebetulnya asrana tersebut memiliki akreditasi yang baik.
Setelah lama berkendara, akhirnya mereka sampai. Masing-masing dari mereka turun dari mobil, menatap gedung tua dengan cat yang masih terawat.
Jika kau melihat papan nama asrama itu, kau akan berpikir bahwa gedung ini sudah benar-benar tua sampai tulisan di sana tak bisa dibaca dengan mata kepalamu sendiri.
Si gadis menatapnya malas, kemudian berjalan ke arah bagasi mobil dan membukanya. Dia mengambil tas ransel berisi buku-buku miliknya, lalu sebuah koper besar berisi baju dan perlengkapan mandinya. Untuk satu semester ke depan, si gadis tidak akan bertemu dengan orang tuanya lagi.
"Kamu yakin apa yang dikatakan website sekolah itu benar? Kelihatannya, bukan seperti sekolah dengan akreditasi yabg cukup baik bagi anak kita. Bagaimana kalau bangunan ini runtuh sewaktu-waktu?" tanya sang istri kepada suaminya.
Sang suami merangkul istrinya lembut. "Tenang, Clarin. Aku yakin anak kita akan baik-baik saja. Lagipula, kita sudah melihat banyak foto mengenai sekolah ini."
"Kau benar, kau benar." Clarin beralih kepada anaknya yang masih menatap gerbang sekolah dengan malas. "Kalau ada sesuatu, telepon ayah atau ibumu, ya. Jangan ragu, karena sekarang saja Ibu sudah mengkhawatirkanmu."
Si gadis mengangguk. Dia menatap lurus ke depan, melangkah bagai raga tanpa jiwa. Orang tuanya membuntuti sang anak dari belakang, celingak-celinguk melihat keadaan gedung sekolah dengan saksama.
Walau papan nama di luar sana sudah pudar sehingga mereka tidak bisa melihat nama asramanya lagi, dalamnya memang persis seperti yang mereka lihat di foto.
Clarin menghela napas lega. "Astaga, aku sudah sangat khawatir beberapa menit lalu. Untung saja, tidak ada satu pun dari foto yang kita lihat merupakan rekayasa."
"Tapi," Clarin menatap punggung anaknya sendu, "apa kita benar-benar harus memasukannya ke asrama? Aku mulai ragu dengan pilihan kita yang satu ini, Cole. Aku sudah terbiasa melihat dia di rumah walau kebiasaan pulang sorenya tidak biasa."
"Clarin, kita jelas tahu dia membutuhkan ini. Daripada dia sekolah di sekolah umum dan harus menunggu semua orang pulang hingga sore, mengapa kita tidak membiarkannya tinggal di sekolah saja? Kaulihat seperti apa sorot matanya saat aku berkata kita akan membiarkannya sekolah di sebuah asrama? Berbinar," ujar Cole.
Mereka memang orang tua yang baik, sayangnya terkadang terlalu naif. Kali ini, mereka melakukan ini karena kelihatannya sang anak meminta tanpa mengatakan apa pun. Sulit, ya, memiliki anak yang jarang berbicara tetapi dia menginginkan sesuatu.
Si gadis berhenti di depan sebuah pintu, membuat kedua orang tuanya juga berhenti di belakang sana. Mereka menatap pintu itu, kemudian menatap papan bertuliskan Ruang Kepala Sekolah pada pintu. Clarin dan Cole tersenyum tipis, lalu mengetuk pintunya pelan.
Ada suara lembut yang menyahut dari dalam. Untuk itu, mereka membuka kenop pintunya. Ruangan bernuansa vintage dengan sebuah meja dan bebefapa sofa di tengahnya menyapa pandangan mereka, memberi kesan mewah kepada ruangan Kepala Sekolah yang satu ini.
Tidak sampai nuansa yang diberikan ruangan, tetapi pajangan dan perabotan yang ada di dana juga menambah kesan estetik. Perlu Clarin dan Cole akui, mereka terpukau dengan pemandangan ruangan ini.
"Ah, murid baru?" tanya sebuah suara dari balik kursi yang menghadap dinding di belakang meja kerja tak jauh dari sofa-sofa di tengah ruangan. "Silahkan, kalian boleh duduk di tempat yang sudah disediakan."
Mereka menurut. Clarin dan Cole duduk di sofa untuk dua orang, berdampingan seperti biasa. Sementara si gadis duduk di sofa untuk tiga orang, membiarkan tempat yang lega itu untuk dirinya sendiri.
Mereka menunggu Kepala Sekolah untuk datang dan bergabung, sayangnya butuh beberapa waktu agar Kepala Sekolah itu memutsr kursinya dan memperlihatkan wajahnya kepada mereka.
Benar. Setelah beberapa menit satu keluarga itu diam dalam keheningan, akhirnya Kepala Sekolah beranjak juga dari kursinya. Bunyi sepatu hak tinggi memenuhi ruangan seiring Keoala Sekolah berjalan mendekat, lalu terduduk di sofa yang diperuntukan untuk satu orang.
Dia menyibakkan rambutnya, menatap masing-masing individu yang ada dalam ruangan tersebut. Wanita itu tersenyum lebar, menoleh kepada si gadis yang sudah pasti merupakan murid baru untuk sekolahnya. Wanita tersebut menyimpan map yang dibawanya tadi di atas meja kaca, kemudian bertepuk tangan sekali.
"Kamu murid baru itu? Lihat dirimu, begitu unik dan cantik! Katakan kepadaku, kamu mau seragam seperti apa?" tanya wanita tersebut. Si gadis melirik meja kerja Kepala Sekolah, mendapati papan nama bertuliskan Ms. Georgina di sana.
Kemudian, si gadis kembali menatap wanita yang menjabat sebagai Kepala Sekolah itu. "Aku bisa memilih seragamku sendiri, Ms. Georgina?" tanyanya dengan nada datar.
"Tentu saja! Salah satu fasilitas sekolah yang kami berikan adalah para siswa di Asrama Sunshine bisa memilih seragam seperti apa yang akan dikenakan mereka. Kautahu, terkadang seragam itu rasanya membelenggu. Jadi, kami ingin siswa-siswi kami merasa nyaman bersekolah di sini," jawab Ms. Georgina antusias.
Si gadis mengangguk. Dengan begitu, Ms. Georgina membuka mapnya dan memperlihatkan kertas dengan gambar seragam berbagai model di atasnya. Ada deretan warna tersedia di samping kertas, artinya dia juga bisa memilih warna seragamnya sendiri.
"Miss, apa Anda yakin dengan ini? Apa siswa-siswi di sekolah ini berjalan di atas gedung menggunakan model seragam berbeda-beda dengan warna yang juga berbeda-beda?" tanya si gadis dengan sedikit kerutan pada dahinya.
Ms. Georgina mengangguk. "Tentu saja. Mereka terlihat bahagia dengan seragam yang mereka miliki, kenapa tidak?"
Mendengar itu, si gadis akhirnya mengedikan bahu dan memilih model seragam serta warna yang diinginkannya. Ms. Georgina menepuk tangan, mengeluarkan pulpen dari saku dan mencatat seragam seperti apa yang diinginkan murid barunya.
Dia menarik napas dalam-dalam. Menatap si gadis dengan ramah. Mereka masih berbincang tentang kamar mana yang akan si gadis huni, kapan saja orang tuanya bisa berkunjung dan segala peraturan yang ada di Asrama Sunshine. Setelah beberapa ketentuan, akhirnya Ms. Georgina kembali menepuk tangan.
Dengan antusias dia berkata, "Selamat datang di Asrama Sunshine, Claudia Northwest!"
***
Karena seragam yang dipilihnya masih dalam proses, Claudia mengenakan seragam lama dari sekolahnya yang lama. Dia memperkenalkan diri sebagai murid baru dengan gayanya yang kelihatan seperti raga tanpa jiwa.
Itu membuat suasana menjadi canggung, tetapi semua teman kelasnya berusaha untuk bersikap seramah mungkin kepadanya.
Guru yang sekarang sedang ada di depan kelas menyuruh Claudia untuk duduk di satu-satunya bangku yang kosong.
Claudia mengangguk, dia berjalan lemah ke belakang kelas seraya menatap teman-teman sekelasnya sambil lewat. Mereka kelihatan gugup, padahal yang statusnya murid baru di sini adalah Claudia.
Setelah beberapa langkah, dia akhirnya sampai di bangku kosong tersebut. Claudia menarik kursinya ke belakang tanpa menatap wajah teman sebangkunya, kemudian terduduk di sana dengan tenang.
Dia menyimpan buku-buku yang dibawanya di atas meja, tidak lupa dengan alat-alat tulisnya.
Karena Claudia sudah duduk dibangkunya sendiri, guru yang ada di depan sana memutuskan untuk memulai pembelajaran. Semua murid memperhatikan dengan tenang, tidak ada yang mengobrol di tengah kelas. Jauh berbeda dengan sekolah lamanya yang tidak bisa dikontrol, di sini lebih rapi.
Aku suka di sini.
Claudia meraih buku paket yang dia dapat dari perpustakaan dan membukanya pada halaman seratus tujuh belas seperti apa yang guru di depan sana instruksikan.
Dilihat dari materinya, mereka akan mempelajari mengenai anatomi tubuh manusia. Dengan kelas sehening ini, Claudia bisa mendengar suara guru di depan sana dengan baik.
Semuanya berjalan dengan baik, murid-murid di kelasnya bahkan berami bertanya. Mereka diajari sampai paham terlebih dahulu, baru sang guru memberikan latihan soal. Benar-benar jauh dari sekolah lamanya yang hanya mengajarkan seadanya kemudian melempar latihan soal.
Saat seorang murid bertanya? Guru di sekolah lamanya akan kelihatan jengkel, mungkin karena benar-benar ada yang bertanya dan tidak mengerti dengan apa yang diterangkannya.
Setelah semua siswa di kelas selesai mengerjakan latihan soal yang diberikan, sang guru keliling kelas untuk memberikan nilai. Belum sempat memberikan nilai kepada semua murid, bel tanda pergantian mata pelajaran berbunyi.
"Baiklah," sang guru berjalan kembali kepada mejanya dan membereskan barang-barang bawaannya, "sampai berjumpa di pertemuan berikutnya. Semoga hari kalian menyenangkan!"
Seorang siswa---yang Claudia asumsikan sebagai ketua kelas---berdiri, lalu dia memberikan aba-aba. Semua orang di kelas ikut berdiri, termasuk Claudia yang sebetulnya telat mengikuti. Mereka memberikan salam dan ucapan terimakasih atas ilmu yang telah guru itu berikan kepada mereka.
Setelah sang guru keluar dari kelas, barulah mereka terduduk kembali untuk menunggu guru mata pelajaran selanjutnya datang. Tidak ada satupun dari teman sekelasnya yang meninggalkan bangku. Mereka berbincang dengan teman sebangku masing-masing, sesekali dengan teman di depan dan di belakang mereka.
Claudia mengerjap, dia suka dengan suasana baru seperti ini. Walau letak sekolahnya hampir di tengah hutan, isinya ternyata tidak main-main. Mereka sangat disiplin, benar-benar jauh dengan sekolah lamanya di kota.
Saat dia sedang memperhatikan satu persatu teman sekelasnya yang asyik mengobrol, dia merasakan sebuah sentuhan pada pundaknya. Claudia menoleh, menatap teman sekelasnya yang baru saja berusaha untuk menarik perhatian Claudia.
Laki-laki. Claudia agak terkejut, dia tidak sempat memerhatikan semua orang---termasuk teman sebangkunya---karena lebih fokus terhadap guru di depan kelas. Kesampingkan hal itu, sekarang dia sedang menatap teman sebangkunya.
Ah, di sini perempuan dan laki-laki boleh duduk berdua ya?
Teman sebangkunya mengenakan kemeja putih dibalut dengan rompi berwarna jingga pucat, celananya berwarna hitam, ditambah lagi dia memakai kupluk berwarna merah. Remaja di sampingnya sekarang kelihatan gugup, entah mau mengatakan apa kepada Claudia.
"Kamu takut?" tanya Claudia dengan suara yang hampir bisa dikatakan sebuah bisikan.
Setelah lama menerka apa yang ditanyakan Claudia, remaja itu cepat-cepat menggeleng tanda dia tidak bermaksud untuk memberikan kesan takut kepada Claudia.
Remaja itu berdeham. "H-halo. Apa kamu ... mengenalku?"
Claudia menatap teman sebangkunya lekat, tidak mengerti dengan apa yang diinginkannya. Pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut remaja itu membuat Claudia kebingungan. Tentu saja dia tidak mengenalnya, lagipula Claudia itu murid baru.
"Tidak," jawab Claudia seadanya.
Remaja di sampingnya mengerjap sesekali, kemudian mendesah. "Kamu ... tidak mengingatku ya?"
Eh?
Saat itu juga, Claudia mengerti mengapa teman sebangkunya bertanya apakah dia mengenalnya atau tidak.
Mungkin, mereka pernah bertemu di suatu tempat dan Claudia yang sulit mengingat orang setelah lama tak bertemu tidak bisa menemukan memori di mana dia menyimpan identifikasi wajah orang tersebut.
"Ah, tidak ingat ternyata." Remaja itu menggaruk tengkuknya yang kelihatan tidak gatal sama sekali. Tadinya, Claudia ingin meminta maaf kalau saja dia membuat teman sebangkunya sedih secara tak sengaja, tetapi remaja di sampingnya langsung tersenyum lebar.
Remaja dengan kupluk merah itu berkata, "Namaku Caien. Caien Hortless. Kau bisa memanggilku Caien, Claudia."
"Claudia," ucap Claudia seraya menyambut jabatan tangan Caien dengan lemah.
Caien tersenyum kepada Claudia, saat guru mata pelajaran selanjutnya masuk dan memperkenalkan diri saat melihat ada Claudia duduk di samping Caien.
Bukannya mendengarkan guru tersebut, benak Claudia malah melayang entah ke mana. Dia merasa pernah mendengar nama Caien di suatu tempat, nama Hortless dalam berkas-berkas memorinya yang telah tertimbun. Pada akhirnya, Claudia merasa mengenal Caien di suatu tempat.
Namanya memang asing, tapi aku tidak pernah melihat wajahnya. Apa kami teman sekelas saat aku masih sekolah di sekolah umum? Sepertinya tidak. Lagipula, setahuku tidak ada teman sekelas yang pindah. Kalau ada pun, aku.
Tidak mungkin teman satu klub, aku 'kan tidak mengikuti klub apa pun di sekolah. Di mana lagi? Selain sekolah, aku tidak pernah ke mana-mana. Apa mungkin aku pernah bertemunya di kantin sekolah dan kami berbincang sesaat? Tapi seingatku, aku tidak punya teman untuk diajak makan bersama. Orang asing saja menghindariku.
Kenapa juga aku ingin mencari tahu tentang Caien? Tumben sekali, biasanya aku tidak peduli. Kali ini, rasanya aku benar-benar penasaran.
"Nona Northwest!" seru seseorang dari depan kelas. Claudia mengerjap, seluruh kesadarannya kini kembali ke bumi setelah seseorang memanggilnya dengan suara yang cukup keras.
Dia menatap ke depan, mendapati guru itu sedang menatapnya menelisik. "Kamu baik-baik saja? Apa kau sakit?"
"Tidak," jawab Claudia tanpa memberikan jeda. "Maaf, saya tidak memperhatikan Ibu."
Hening.
Semuanya terdiam. Guru yang ada di depan sana menatap Claudia tidak percaya, entah karena dia mengaku tidak memperhatikan atau seorang murid tidak memperhatikan semua omongannya selama lima belas menit ke belakang.
Caien mengerjap. Dia tahu mengapa Claudia sempat melamun, karena setidaknya, Caien mengenal gadis berwajah datar itu. Walau dia kelihatannya tidak pernah tertarik dengan sesuatu, sebetulnya dia juga memikirkannya dengan baik.
Beberapa menit lalu, Caien memperkenalkan dirinya. Sebelum itu, dia bertanya kepada Claudia apakah si gadis mengingatnya atau tidak; sebuah kesalahan yang Caien lakukan.
Jika Claudia merasa seseorang mengenalnya sedangkan dia tidak, Claudia akan berusaha mencari ingatan tentang orang tersebut walau kemungkinan orang itu salah mengira.
Guru di depan kelas berbicara, "Tidak apa-apa, terima kasih sudah mau jujur. Lain kali, jangan diulangi lagi, ya. Baik, saya akan mengulangi materi yang baru saja saya terangkan."
Semua murid menyetujui. Untuk pertama kalinya, Claudia merasa bersalah karena lebih memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak diprioritaskan saat kelas sedang berlangsung. Untuk ke depannya, dia berjanji dalam hati agar tidak melakukannya lagi.
Setelah mata pelajaran itu berakhir---kalau kau penasaran mata pelajaran apa yang baru saja mereka pelajari, mereka baru daja belajar mengenai teks eksplanasi---bel tanda istirahat berbunyi.
Murid-murid keluar untuk pergi ke kantin, beberapa dari mereka bahkan mengeluarkan bekal dari tas dan pergi ke kantin untuk makan di sana.
Sekolah ini melarang murid-muridnya makan di kelas dengan alasan dan kondisi apa pun. Tersisa dua murid lain yang tidak pergi ke luar, mereka malah lebih memilih untuk menghampiri bangku Caien.
"Hei, Caien," panggil salah satunya. "Mau ke kantin atau diam saja di kelas?"
Cair mengerjap sejenak, kemudian berpaling kepada Claudia yang sedang merapikan meja bagiannya. "Bagaimana denganmu, Claudia? Kamu mau makan siang?"
Mereka bertiga---Caien dan dua temannya---menunggu sebuah jawaban lolos dari mulut Claudia yang hampir tidak pernah mengukir sebuah senyuman tipis. Daripada menunggu lama, lebih baik kalian berkenalan dengan teman-teman Caien.
Teman pertama, namanya Rashley. Dia seorang remaja berusia enam belas tahun yang menyukai warna biru lebih dari apa pun. Itu menjelaskan mengapa seragamnya serba biru. Sayang, biru kontras dengan rambutnya yang berwarna merah.
Rashley adalah teman Caien yang paling jahil. Walau menyebalkan, dia sosok pendengar yang baik. Kalau kau mau tahu hobi seperti apa yang dimilikinya, kau pasti tidak akan menyangka dia punya hobi seperti itu.
Lain dari remaja laki-laki kebanyakan, Rashley lebih suka berkebun daripada kegiatan fisik yang menguras tenaga macam olahraga.
Jadi, iya. Rashley ada di klub pecinta lingkungan. Sementara untuk teman Caien yang lainnya, namanya Jenny. Jenny ini orangnya ceroboh, bisa dikatakan pelupa.
Terkadang, dia lupa hari. Lupa tanggal, lupa sepatu, lupa kaos kaki, bahkan lupa namanya sendiri. Sangat parah hingga orang-orang berpikir gadis itu mengidap short-term memory loss.
Walau demikian, Jenny tidak pernah melupakan teman-temannya. Dia orang yang terlalu baik, sampai bisa dimanfaatkan oleh banyak orang.
Suatu ketika, Jenny pernah menjadi tumbal sekelasnya saat dia masih menginjak bangku sekolah dasar. Kala itu, sekolahnya mengadakan lomba Hari Kemerdekaan. Karena tidak ada yang mau mengajukan diri, akhirnya Jenny yang ditunjuk untuk mengikuti semua lomba.
Jenny yang lugu---dan sedikit bodoh---mengiyakan saja. Hasilnya? Dia demam karena kelelahan. Jangan mengharapkan apa pun yang lebih dari Jenny selain wajahnya yang memang imut dan menarik, beberapa murid di Asrama Sunshine pernah tertarik kepadanya.
Pernah? Iya. Mereka berhenti merasakan perasaan semu kepada Jenny ketika mereka tahu ternyata Jenny seceroboh itu. Namun bukan berarti Jenny tidak punya keahlian. Dia merupakan salah satu pemain sepak bola putri terbaik dari Asrama Sunshine.
Baik, kita kembali lagi kepada Claudia yang akan menjawab pertanyaan Caien setelah banyak perdebatan dengan diri sendiri. Maniknya bermain-main, dia melirik kanan-kiri karena kebingungan. Belum pernah ada orang yang mengajaknya pergi ke kantin bersama karena ekspresi wajahnya.
"Kau takut kepada Caien, ya?!" seru Jenny. "Tidak apa-apa! Walau Caien kelihatannya galak, dia sebetulnya baik lho!" imbuhnya.
Caien menoleh kepada Jenny, menatapnya dengan sorot mata yang meminta penjelasan atas apa yang baru saja dikatakan oleh Jenny. Sementara Rashley yang berdiri di samping Jenny hanya tertawa puas, sampai perutnya terasa sakit.
"Galak!" seru Rashley di sela-sela tawanya.
"Hei, jangan mendukungnya!" bentak Caien.
Jenny menunjuk ke arah Caien. "Lihat, 'kan? Galak!"
"Bukan begitu maksudku!"
Mereka kelihatan asyik sekali bercanda bertiga, membuat Claudia mengubah jawaban yang sudah disiapkannya dalam benak. Dia tidak mau menjadi pembunuh suasana menyenangkan, dia tidak mau mereka merasa canggung karena keberadaannya.
Sebelum Claudia bahkan memberikan jawaban, Caien sudah beranjak dari tempat duduknya dan menarik gadis tanpa ekspresi itu dari kelas. Rashley dan Jenny juga mengikuti, mereka tetap berbincang bersama. Claudia kebingungan, apa yang telah dia lewatkan?
Untuk pergi ke kantin, mereka harus menuruni tangga. Iya, kelas mereka ada di lantai dua sedangkan kantin ada di lantai satu.
Jadi, mereka harus menuruni tangga untuk sampai ke sana. Tidak hanya tangga, mereka juga harus melewati beberapa ruangan kelas sepuluh dan ruang usaha kesehatan sekolah.
Setelah itu, yang perlu mereka lakukan adalah berbelok di ujung lorong dan sampailah mereka di kantin utama.
Tidak perlu takut kehabisan tempat, karena kantin yang ada di Asrama Sunshine sangat luas. Biasanya, Caien, Jenny, dan Rashley memilih untuk duduk di sudut karena di sana jarang ada murid yang mau menjamah.
Mengapa mereka memilih tempat yang jarang orang? Karena demi apa pun, mereka bisa dikatakan sebagai tiga murid paling bising bila telah berkumpul bersama. Mereka tidak mau mengganggu orang lain dengan acara makan mereka, jadi lebih baik menyudutkan diri.
Claudia sekarang terduduk di samping Jenny yang sedang menyisiri rambutnya menggunakan lima jari tangan kirinya. Untungnya, Rashley ada bersama mereka. Jadi, Claudia tidak perlu khawatir Jenny akan merasa canggung.
Sayangnya, Rashley malah mengajak Claudia masuk ke dalam obrolan mereka. Sial bagi Claudia yang tidak pernah berinteraksi dengan orang banyak, dia tidak tahu harus bagaimana jika sedang berada di tengah-tengah percakapan dengan dua orang asing di dalamnya.
Mereka sedang membicarakan apa? Aku tidak mengerti.
Grup vokal yang mana? Kalau mereka terkenal, kenapa aku tidak pernah mendengar nama mereka?
Apakah karena aku tidak pernah membuka sosial media atau menonton televisi? Ternyata, hanya berkutat pada buku saja tidak terlalu menguntungkan.
Astaga, aku harus mengatakan apa? Kalau aku mengeluarkan satu kata yang salah saja, bisa-bisa semuanya hancur.
Sial, aku 'kan tidak bisa berbicara dengan intonasi. Manusia mana yang tidak bisa bermain dengan intonasi? Aku.
Claudia hampir berkeringat dingin kalau saja Caien tidak datang dengan nampan berisi makanan.
Remaja dengan kupluk berwarna merah itu membagi-bagi makanan yang dibelinya dengan uang masing-masing. Lalu, dia terduduk di samping Rashley yang sedang membuka rotinya.
"Kalian membicarakan apa sementara aku membeli makanan?" tanya Caien seraya menusuk kotak susunya dengan sedotan berwarna putih.
Rashley mengedik. "Aku membicarakan grup vokal yang akhir-akhir ini naik daun. Jenny menyukai album mereka yang bernama 'Mawar', sementara aku 'Mimpi'. Bagaimana denganmu, Caien?"
Yang ditanya mengerjap, dia menatap ke sudut kanan matanya terlebih dahulu. Setelah lama berpikir, akhirnya Caien berkata bahwa dia tidak menyukai lagu mana pun dalam grup vokal itu. Rashleh dan Jenny memberikan Caien jempol terbalik, berkata bahwa Caien tidak asyik.
Respons yang ditunjukan oleh Rashley dan Jenny kepada Caien membuat Claudia tambah kebingungan. Apa yang harus dia lakukan untuk memberikan kesan baik kepada tiga orang yang berpotensi menjadi temannya?
Tiga?
Claudia mengerutkan dahinya sedikit, kemudian kembali memasang wajah tanpa ekspresi---kebiasaan bertahun-tahun ternyata sulit untuk dihilangkan.
Berbicara tentang tiga, ada kemungkinan Caien sudah mengenal Claudia bahkan sebelum gadis dengan wajah tanpa ekspresi itu pindah sekolah.
Akan tetapi, Claudia tidak yakin kalau dia mengingat di mana pernah bertemu atau kenal dengan Caien. Seingatnya, tidak ada tempat lain selain rumah dan sekolah yang menjadi tempat singgah untuknya. Jadi, di manakah Caien bertemu dengannya?
"Claudia?" panggil Jenny yang menyadari Claudia tiba-tiba melamun. Mendengar panggilan Itu, Claudia seketika mengerjap dan menatap Jenny lewat ekor matanya. Dia menolehkan kepala perlahan, bagai kepala boneka yang bergerak sendiri dalam film horor.
Jenny mengerjap, pergerakan Claudia yang itu membuatnya sedikit menaikan alis. "Ehm, kamu sendiri? Suka lagu yang mana dari grup vokal itu?"
Sebelum Claudia sempat menjawab, Caien menengahi. "Kurasa kita tidak perlu bertanya tentang pendapat Claudia. Dia lebih menyukai membaca buku dalam hening daripada mendengarkan musik."
"Benarkah? Jangan-jangan kamu asal tebak. Lagipula kita baru bertemu dengannya hari ini, dan kulihat kau tidak banyak berbincang juga dengannya saat di jelas tadi," bantah Rashely.
Caien menggelengkan kepalanya pelan. "Aku serius, dia lebih menyukai buku ketimbang mendengarkan lagu." Beberapa detik setelahnya, Caien menatap Claudia lembut. "Eh, benar 'kan? Atau kau sudah menyukai lagu?"
"Tidak," jawab Claudia tanpa pikir panjang.
"Itu tidak, untuk 'Tidak, itu tidak benar' atau 'Tidak, aku tidak menyukai lagu'?" tanya Rashley seraya mengusap-usap dagu dengan jarinya.
"Aku ... aku masih suka membaca buku, aku pernah mendengarkan lagu tapi tidak sampai menyukai atau hapal di luar kepala," jawab Claudia. Jawaban itu adalah kalimat paling panjang yang pernah lolos dari mulutnya, membuat Caien terpukau.
"Wah, kau sudah pandai bicara," ucap Caien seadanya.
Ucapannya itu disambut oleh lemparan roti dari Jenny yang baru saja selesai menelan satu gigitan. "Tentu saja dia pandai berbicara! Claudia 'kan sudah besar."
"Bukan begitu maksudnya!" seru Caien. "Maksudku, Claudia sudah mulai berbicara panjang."
Hening.
Claudia menatap Caien, menelisik setiap sudut wajahnya. Sekarang, remaja dengan kupluk merah pada kepalanya itu benar-benar membuat Claudia penasaran dan merasa tidak enak dalam waktu yang bersamaan. Bagaimana kalau ternyata mereka adalah teman dekat? Dan Claudia melupakannya begitu saja.
Apakah itu sebabnya Caien sempat memasang wajah sedih saat dia tahu aku tidak mengingatnya? Apa dulu, aku punya teman dekat yang ... benar-benar dekat?
Apakah karena itu Caien tahu apa yang kusukai dan apa yang tidak? Siapa dia? Kapan aku bertemu dengannya?
"Jadi, kalian sudah saling kenal atau bagaimana?" tanya Jenny.
Caien terdiam. Dia berpikir sejenak, kemudian tersenyum tipis. Senyum yang tulus, senyuman hangat yang biasa kau lihat dari seseorang yang menyayangimu sepenuh hati; orang tua.
Kalau kamu tidak atau jarang melihatnya, barangkali kau pernah melihat senyuman tulus itu saat kamu bercermin.
Iya, seperti itu senyuman Caien sekarang. Rasanya hangat, seolah ada mentari yang menyinari hati ketiga orang yang duduk di meja yang sama dengan Caien.
"Daripada itu, sekarang sudah waktunya aku bercerita, lho?" Caien berceletuk.
Ah, iya. Waktunya bercerita. Mereka punya kebiasaan untuk menjadwal siapa yang akan bercerita pada minggu itu. Tujuannya, agar mereka bisa meningkatkan imajinasi sekreatif mungkin. Minggu ini, kebetulan minggu Caien.
Claudia hanya bersiap untuk mendengarkan, tertarik saat mendengar kata 'bercerita'. Caien mulai menarik napasnya dalam-dalam, bersiap untuk menceritakan apa yang sudah tersusun dalam benaknya.
Setiap minggu, cerita yang ada merupakan kejutan. Karena pencerita harus menyusun alurnya dadakan hari itu juga. Jenny dan Rashley menyiapkan telinga mereka, antusias dengan cerita yang kali ini akan Caien sampaikan.
"Aku memberi judul cerita ini, In a Heartbeat," ujar Caien memulai kisahnya.
"Ada seorang bocah laki-laki yang sedang bermain mobil mainan di depan rumahnya di kota ... sebut saja, Bougenville. Diceritakan, dia tidak memiliki banyak teman. Ada pun, bocah ini tidak terlalu dekat dengan mereka.
"Suatu hari, ada sebuah mobil terparkir di depan rumah kosong di samping rumahnya. Seorang pria dan wanita turun dari mobil tersebut, menatap rumah kosong di harapan mereka. Bocah laki-laki itu asing dengan orang baru, jadi dia berniat untuk kembali ke dalam rumah saat maniknya menangkap sosok yang menarik.
"Seorang bocah perempuan turun dari mobil, memegangi tempat makannya yang berisi kue kering berbentuk labu. Sambil berjalan, bocah perempuan yang kelihatannya seumuran dengan bocah laki-laki itu melahap kue keringnya hingga meninggalkan jejak-jejak remah kue di sudut bibir.
"Mari kita beri mereka nama. Ayo panggil bocah laki-laki dengan nama Red, sedang untuk bocah perempuan Pumpkin. Red tidak bisa memalingkan wajahnya dari Pumpkin yang mengenakan setelan seadanya; jaket berwarna jingga dengan celana kebesaran berwarna kelabu. Lama diperhatikan oleh Red, akhirnya Pumpkin menyadari ada yang terus menatapnya dalam diam.
"Merasa malu, Red pura-pura bermain dengan mobil-mobilannya. Padahal, Pumpkin kelihatan tidak terlalu tertarik dengan Red. Yang dia lakukan hanya menatap sebentar, kemudian kembali melahap kue keringnya yang ada dalam tempat makan berwarna ungu itu.
"Setelah Red merasa Pumpkin tak lagi memperhatikannya, manik Red kembali melirik untuk menatap Pumpkin dari kejauhan.
"Bukan apa-apa, tapi Red belum pernah bertemu dengan anak lain sebelumnya. Tetangga-tetangga yang dimilikinya sejauh ini hanya sepasang suami-istri. Kalau ada yang belum menikahpun, paling muda itu siswa sekolah menengah akhir. Iya, hidup Red di lingkungan rumahnya ternyata sesepi itu.
"Makanya, saat dia melihat Pumpkin, Red benar-benar tertarik kepadanya. Ditambah lagi, mereka kelihatannya sama-sama tidak punya pilihan selain harus berteman karena Pumpkin memiliki kemungkinan besar akan menjadi tetangga Red. Kautahu apa yang terjadi selanjutnya? Pumpkin benar-benar pindah ke rumah kosong itu.
"Selama beberapa hari, ada truk pengangkut barang yang terus datang dan menurunkan barang-barang ke rumah tersebut. Red menunggu Pumpkin kembali datang, tetapi dia tidak kunjung melihatnya. Sebelum Red sempat menyerah, pada hari keenam, akhirnya mobil Pumpkin datang juga.
"Red belum memiliki kesempatan untuk berkenalan dengan tetangga barunya karena Pumpkin jarang keluar rumah. Padahal, dia sudah menyusun strategi untuk kelihatan mereka bertemu secara tidak sengaja dan akhirnya berbincang akrab." Caien memberikan jeda untuk dirinya dulu sejenak, disambut dengan tepuk tangan riang dari Jenny.
Senyum lebar terukir di wajah Jenny yang cantik. "Red kedengarannya imut sekali!" serunya.
"Benar, kalau aku punya adik seperti Red, sepertinya akan kuhabiskan waktuku seharian untuk mengajaknya bermain." Rashley mengangguk-angguk.
Sementara Rashley dan Jenny berkomentar tentang cerita Caien yang belum selesai, Claudia tidak melontarkan satu kata pun.
Claudia tidak mengerti. Walau Red kesepian dan butuh teman, bukankah orang seperti Pumpkin kelihatannya malah terlalu menyebalkan untuk diajak berteman?
Setelah menegak beberapa tetes air, Caien memutuskan untuk melanjutkan ceritanya yang belum selesai.
"Nah, sekitar delapan minggu Red lalui hanya dengan menunggu Pumpkin keluar rumah, tetapi hal itu tidak pernah terjadi. Pada akhirnya, Red menyerah saja dan bermain sendiri tanpa berpikir Pumpkin akan tiba-tiba membuka pintu rumahnya lalu mereka akan berbincang akrab.
"Ada baiknya Red menyerah, karena keesokan harinya saat dia berlari ke luar rumah untuk membeli es krim di kios terdekat, Pumpkin juga keluar rumah untuk membeli sebuah balon di arah yang berlawanan. Seperti yang kalian kira, mereka bertabrakan sampai keduanya tersentak ke belakang.
"Red bahkan sampai terjatuh dan membentur trotoar. Dia terdiam sejenak untuk menggosok bokongnya yang agak sakit saat Pumpkin mengulurkan tangan dan bertanya, 'Apa kau baik-baik saja? Mau kuambilkan plester atau semacamnya?'
"Saat itu, Red mendongak untuk menatap wajah Pumpkin dari bawah sana. Akhirnya, dia bisa melihat bocah perempuan itu dengan jelas. Sorot mata sayu Pumpkin dengan alis yang saling bertaur karena merasa khawatir padanya merupakan apa yang pertama kali dilihat oleh Red.
"Rambut Pumpkin yang panjang terurai bebas, diterpa angin sepoi-sepoi yang berhembus kala itu. Netra mereka saling bersirobok untuk sesaat, kemudian Red tersadar dan berkata, 'Tidak. Aku baik-baik saja.'
"Sejak saat itu, mereka lebih sering berinteraksi. Red sering mengajak Pumpkin bermain lebih dahulu dengan mengetuk pintu rumahnya dan meminta izin kepada kedua orang tua Pumpkin untuk bermain bersama putri kecil mereka. Red senang bermain dengan Pumpkin, karena dia selalu merasakan perasaan aneh yang menyenangkan itu setiap dia bersamanya.
"Kalian ingin tahu apa yang dia rasakan setiap kali bersama Pumpkin? Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya, rasanya aneh tetapi menyenangkan entah karena apa. Ujung-ujung bibirnya tidak bisa dia tarik ke bawah, ada rasa senang dalam hatinya sehingga Red merasa taman bunga bermekaran di sana.
"Setidaknya, sampai hari terakhir mereka harus bertetangga. Pumpkin harus pindah karena ayahnya dimutasi, maka mereka menghabiskan waktu bersama lebih lama dari biasanya. Degup jantung yang cepat setiap Pumpkin di sekitarnya masih bisa Red rasakan, tetapi rasa senang itu tidak ada.
"Ada rasa lain dalam hatinya, seolah padang bunga itu mengering. Hatinya sakit, mendengar kata 'pindah' terlontar dari mulut Pumpkin. Itu artinya, mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Namun Red berjanji kepada Pumpkin, mereka akan bertemu walau harus memakan waktu lama.
"Mereka membuat kesepakatan. Saat Red nanti mengenali Pumpkin ketika bertemu lagi, Red akan memanggilnya dengan kunci nama. Begitu pun sebaliknya. Namun karena Red tahu Pumpkin memiliki ingatan yang buruk, peraturannya sedikit berbeda untuk Pumpkin.
"Red ingin Pumpkin memanggilnya dengan kunci nama setelah Pumpkin mengingat betul-betul siapa dirinya. Mau tahu tidak, kunci nama Red untuk Pumpkin apa? Tetap Pumpkin. Bodohnya, Red tidak menyiapkan kunci nama yang khusus agar Pumpkin bisa mengingat dengan baik.
"Hari itu pun tiba, Pumpkin benar-benar harus pindah. Red kembali sendirian di sana, tidak memiliki teman seperti biasanya.
"Degup jantung yang cepat itu hanya hadir ketika dia memikirkan tentang Pumpkin, selebihnya tidak ada. Rasa sesak selalu memeluknya erat, perasaan rindu selalu hadir dalam hatinya.
"Baru Red sadari ketika dia sudah tumbuh besar, bahwa apa yang dirasakannya kala itu adalah perasaan semu yang orang-orang sebut 'suka.'" Caien mengakhiri ceritanya di sana.
Rashley, Jenny, dan Claudia bertepuk tangan. "Bagaimana? Apakah mereka bertemu?" tanya Rashley.
Caien pura-pura berpikir sebentar, kemudian mengedikan bahu. "Mungkin."
Sementara Jenny dan Rashley membicarakan cerita Caien yang baru saja disampaikan oleh remaja berkupluk merah itu, Claudia terdiam.
Pembawaan Caien pada ceritanya cukup sederhana, tetapi dia bisa merasakan bagaimana sedihnya Red ketika Pumpkin pergi untuk tinggal di kota lain.
Kira-kira, kunci nama untuk Red dari Pumpkin apa, ya? Jangan-jangan Merah, sesuai arti namanya. Atau mungkin Mobil Mainan, karena Red suka bermain mobil mainan di depan rumahnya? Wah, menarik.
Tapi ... kenapa aku merasa cerita itu---
Claudia mengerjap, sesuatu sedang berputar dalam benaknya. Dia melihat seorang bocah laki-laki dengan kupluk merah, duduk di sampingnya.
"Kalau kita bertemu lagi, saat kau melihatku dan mengenali siapa aku, panggil aku dengan kunci nama!"
"Oke."
"Eh, tapi kau mungkin akan lupa. Kalau begitu, saat kita bertemu dan aku aku dengan kunci nama, kamu harus memanggilku juga dengan kunci namaku ketika kau mengingat siapa aku."
"Baiklah."
"Hm, kira-kira apa ya, yang bagus untuk dijadikan kunci namamu? Bagaimana kalau ... Claudia?"
"Tapi, itu namaku."
"Hehe, aku suka namamu. Bagaimana denganmu? Kunci nama apa yang akan kauberikan kepadaku?"
"Aku ...? Aku ... ketika aku mengingat siapa kau nanti saat kita bertemu lagi, aku akan memanggilmu dengan sebutan ...."
"... Red." Tanpa sadar, Claudia mengatakannya keras-keras. Rashley, Jenny, dan Caien menatap Claudia yang juga sedang menatap mereka secara bergantian.
"Kaubilang apa tadi?" tanya Rashley.
Tidak menggubris pertanyaan Rashley, Claudia langsung berpaling kepada Caien. "Kamu ... tidak pernah mengganti kupluk itu."
Caien mengerjap, dia menatap Claudia lembut dengan senyuman hangat di wajahnya. "Hm?"
"Kamu selalu memakai kupluk merah itu ke mana pun kau pergi," imbuh Claudia, "Red."
Deg.
"Butuh dua jam agar kau mengingatku ternyata, Claudia."
Deg.
***
5.306 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top