21. End This Misery
Dia menendangmu sampai kau merasakan dinding yang tadinya ada beberapa meter di belakang punggungmu. Kau meringis kesakitan, menatap tiga siswa yang usianya sepantaran denganmu. Saat kau hendak berdiri, salah satu dari mereka mulai menendang perutmu hingga kau bisa merasakan makanan yang sudah dicerna lambung akan kembali naik ke tenggorokan.
Apa yang mereka inginkan darimu? Setiap harinya. Mereka akan meminta sesuatu dan menendangmu sampai kau tidak bisa berdiri untuk beberapa menit hanya karena tidak memberikan apa yang mereka minta. Apakah kau melakukan kesalahan? Karena kau tidak merasa demikian.
Mereka tertawa di atas penderitaanmu, tidak ada yang bisa kaulakukan karena kau lebih lemah dari mereka. Kamu ingin berdiri dan lari, tetapi kakimu rasanya terlalu sakit hanya untuk ditekuk.
Mereka terlihat puas, mulai bosan dengan acara menyakitimu sehingga pergi tanpa pamit. Meninggalkanmu yang merasakan sakit menjalar ke seluruh tubuh.
Mengapa mereka melakukan itu? Kau hanya seorang laki-laki biasa yang ingin menjalani kehidupan sekolah biasa.
Ingin memiliki teman, begitu katamu. Alih-alih teman, yag kau dapat hanya segerombolan preman sekolah. Setiap hari kau menjadi target, terkadang membuatmu muak dengan kehidupanmu.
Muak dengan perasaan yang kau rasa setiap kali datang ke sekolah. Niatmu ingin belajar dan menjalin pertemanan seluas yang kau bisa, tetapi apa ini?
Hidup memang tidak bisa berjalan mulus. Kapan kau akan hidup begitu tenang, sampai kau tidak merasakan perasaan itu lagi? Kau tidak tahu.
Bel tanda masuk berbunyi, memaksamu untuk berdiri walau seluruh tubuhmu kesakitan. Haruskah kau kembali ke ruang usaha kesehatan?
Akan tetapi, kamu tidak bisa melakukan itu. Kalau saja mereka---para preman sekolah---tahu kamu datang ke sana dan menceritakan kepada penjaga ruang usaha kesehatan, mereka akan menendangmu jauh lebih keras daripada ini.
Akhirnya kamu pasrah. Kau berjalan terseok-seok ke kiri, meninggalkan tempat yang biasa menjadi saksi bisu penganiayaanmu setiap harinya. Itu tidak penting, yang penting untukmu sekarang bagaimana caranya untuk menghindari pandangan aneh setiap orang di lorong lantai satu.
Mau tidak mau, kau harus membiarkan mereka menatapmu. Padahal, sebelumnya para preman sekolah itu tidak pernah membuatmu sesakit Ini. Apakah kesalahan yang kaulakukan kali ini terbilang fatal untuk mereka? Kau kebingungan.
Lihatlah, setiap orang yang ada di lorong menatapmu dengan tatapan heran. Beberapa di antara mereka menatapmu aneh, ada juga yang menatap prihatin. Keprihatinan mereka tidak berguna untukmu, karena yang mereka lakukan hanya memperhatikan. Bukankah mereka sama saja dengan orang-orang lain?
Beberapa di antara mereka bahkan tertawa kepadamu. Mengapa? Kamu tidak mengerti. Padahal, apa yang kau rasakan sakit bukan main. Para preman sekolah itu memukulmu, meninju, menendang hanya karena kau tidak memberikan apa yang mereka inginkan.
Lagipula, apa yang mereka inginkan? Kamu bahkan tidak mengerti. Setiap harinya, mereka datang dan mengulurkan tangan kepadamu tanda meminta sesuatu. Namun, mereka tidak pernah mengatakan apa yang mereka inginkan, jadi kau tidak pernah memberi.
Sudah berapa lama hal ini berlangsung? Sudah berapa lama kau harus meladeni mereka yang bahkan tidak peduli kepadamu? Kau tidak tahu. Apakah kau pernah mendengarkan hati kecilmu untuk melaporkan mereka kepada guru? Kau tidak pernah.
Kamu beranggapan bahwa bila mereka tahu kau mengadu, mereka akan memukulimu lebih parah daripada hari ini. Padahal, hari ini saja rasanya sudah cukup untuk membuatmu tidak bisa berjalan.
Pada akhirnya, rasa takut lebih besar daripada rasa kesalmu. Rasa yang selalu membuat jantungku memompa darah lebih cepat daripada biasanya, membuat sekujur tubuhmu rasanya seolah merinding hanya karena tiga siswa yang menginginkan sesuatu darimu.
Kapan terakhir kali kau pergi ke sekolah dengan tenang? Kau bahkan tidak ingat. Namun, kamu ingat saat pertama kali kau sampai di sekolah. Saat itu, cuacanya cerah.
Banyak orang yang melambai kepadamu walau mereka tak mengenalmu, teman-teman sekelas juga ramah kepadamu.
Semua hal baik di sekolah ini hanya bertahan selama dua minggu, karena setelahnya kau bertemu dengan tiga siswa yang bahkan tidak kau tahu siapa nama mereka.
Kapan kamu bertemu dengan mereka? Kamu tidak ingat. Yang pasti, hari itu kau sedang makan siang di kantin. Mereka mendatangimu dan berkata ingin berbincang sebentar di belakang sekolah.
Kau tidak berasumsi yang aneh-aneh, karena mereka meminta dengan sopan. Saat kau sampai di belakang sekolah, mereka mengulurkan tangan dan berkata, "Ayo mana?"
Karena kebingungan, kau mengernyit. Saat kau bertanya mereka menginginkan apa, mereka malah kelihatan sangat kesal.
Sejak saat itu, penganiayaan di sekolah bagai rutinitas normalmu setiap hari. Satu-satunya waktu kau bisa tenang tanpa perasaan was-was adalah hari Sabtu dan Minggu.
Walau kedengerannya menyedihkan, kau menyukai dua hari di akhir pekan tersebut. Kau bisa mengunci pintu kamar tanpa khawatir ada seseorang yang mendobrak dan mulai menganiaya sebagaimana tiga preman sekolah itu.
Kau bertanya kepada sendiri, mengapa tidak menceritakan ini kepada orang tuamu? Ah, kau sempat lupa bahwa kau takut mereka mengetahui apa yang kau lakukan. Jika kau bercerita kepada orang tuamu, mereka akan melaporkannya kepada sekolah.
Kalau sudah begitu, sekolah akan memanggil tiga siswa itu dan menanyakan mengapa mereka melakukannya.
Jangan lupa, ada kemungkinan pihak sekolah juga memanggilku menghadap mereka. Menginginkan tiga siswa itu meminta maaf kepadamu di depan kepala sekolah.
Apa yang akan kaulakukan setelahnya? Menyiapkan fisik dan mental untuk dianiaya di belakang sekolah. Dengan kata lain, tidak ada yang bisa kaulakukan. Satu-satunya hal yang bisa kau lakukan sekarang hanya meratapi nasibmu, memendam rasa takut itu sampai ke dasar.
Omong-omong soal perasaan, kau penasaran dengan apa yang orang-orang rasakan ketika kau melewati lorong dengan keadaan yang sudah babak belur seperti sekarang.
Walau kautahu, mereka sebetulnya tidak terlalu peduli. Lihatlah mereka, walau melihat prihatin, sorot matanya masih menyiratkan rasa jijik karena penampilanmu.
Memang benar, kau yang babak belur kelihatan mengerikan. Rambut cokelat terangmu acak-acakan, kulit pucatmu dipenuhi lebam sana-sini, sudut bibirmu sobek, kakimu rasanya seperti patah sampai kau harus menyeretnya. Seolah kamu baru saja selesai berkelahi dengan seseorang.
Bedanya, lawanmu tidak luka sama sekali. Tidak sepertimu yang wujudnya sudah tak bisa diidentifikasi bahkan oleh manikmu sendiri saat kau berkaca di toilet nanti. Terkadang kau berpikir, apa yang harus kau lakukan agar semuanya berhenti?
Apa yang telah kau lakukan sehingga mereka menyiksamu seperti ini? Apa kau pantas mendapatkannya? Kau tidak pernah mengerti dengan pola pikir manusia lain. Yang jelas, kau hanya samsak bagi tiga siswa itu.
Saat kau hendak berbelok untuk pergi ke kelas, seseorang menepuk pundakmu pelan. Walau pelan, rasa sakitnya luar biasa karena tiga preman sekolah itu menendang seluruh tubuhmu sekeras yang mereka bisa. Akhirnya, kau meringis.
"Eh, maaf. Sakit ya? Apa terlalu keras?" Seseorang bertanya di belakang sana. Sebetulnya, kau ingin berbalik. Dan menatap orang yang baru saja menepuk pundakmu, tetapi kau tidak mau orang itu melihat wajah babak belur.
Kamu menggeleng lemah, tidak berani untuk mengeluarkan sepatah katapun. Orang di belakangmu berkata, "Aku sudah melihat bagaimana memarmu, tenang saja. Tidak perlu takut, kamu boleh berbalik."
Kedengarannya, kalimat orang yang ada di belakangmu bisa dipercaya. Namun kau tidak mau begitu saja berbalik, karena kamu berasumsi bahwa siapa pun dia di belakangmu hanya mendatangi dengan dasar kasihan. Kau tidak memerlukan itu, begitu katamu dalam hati.
Akan tetapi, siapa kamu untuk menolak sedikit kasihan dari manusia lain? Kamu hanya ingin memiliki teman seperti dulu, maka ini mungkin saja kesempatanmu untuk menjalin salah satunya. Jadi, kau memutuskan untuk berbalik walau perlu menunduk agar dia tidak terlalu terkejut.
"Tidak apa-apa, aku sudah melihatnya. Kau tidak perlu menunduk seperti itu," ucap orang tersebut lembut. Kau mengangguk lemah, kemudian mendongak untuk menatap orang itu. Seperti suaranya yang kembut, sorot mata orang tersebut juga lembut.
Jika beberapa orang berpikir yang tadi menepuk pundakmu adalah seorang perempuan, nyatanya dia adalah laki-laki. Laki-laki dengan postur tubuh yang lebih tinggi darimu, laki-laki yang lebih tampan darimu, laki-laki yang kelihatannya peduli walau dia tidak mengenalmu.
Benarkah demikian? Kau tidak yakin bahwa laki-laki itu tidak mengenalmu. Beberapa hari yang lalu, ada beberapa orang yang menghampiri dan menyebut namamu.
Kau yakin tidak pernah bertemu dengan mereka, tetapi mereka tahu siapa kau.
Agaknya, menjadi target tiga preman sekolah yang terkenal ke seluruh penjuru gedung berwarna putih yang sudah tua ini membuatmu terkenal dengan jalan yang salah. Seharusnya. kau terkenal suka menjalin pertemanan. Nyatanya, sekarang dunia berbalik dari angan-anganmu.
Siswa laki-laki di hadapanmu tersenyum tipis. Dia terduduk di hadapanmu untuk menyetarakan tinggi kalian.
Dengan pandangannya yang lembut dia berkata, "Maukah kau bercerita kepadaku apa yang sebetulnya terjadi? Sudah berbulan-bulan aku melihatmu babak belur setiap bel tanda masuk kelas berbunyi."
Untuk sesaat, jantungmu kembali memompa darah ke seluruh tubuh dengan cepat. Kamu sempat lupa, bahwa tujuan utamamu sekarang pergi ke kelas sebelum guru mata pelajaran kali ini masuk ke kelas. Nyatanya, kau tidak bisa berjalan secepat itu karena kakimu yang sakit.
Siswa itu melambaikan tangan kanannya di depan wajahmu. Kau mengerjap, sempat lupa bahwa sekarang ada seseorang yang berbincang denganmu. Rasanya, sudah lama sekali sejak kau berbicara dengan seorang manusia. Beginikah rasanya? Kau tidak terlalu yakin harus merasakan apa.
"Kamu baik-baik saja?" tanya siswa itu dengan kerutan di dahinya---bukan. Itu bukan kerutan heran, melainkan kerutan cemas yang tergambar jelas. Ada sesuatu dalam hatimu yang mengatakan bahwa kau senang, akhirnya ada orang yang benar-benar peduli padamu.
Sampai berapa lama orang di hadapanmu akan peduli?
Kau mengangguk, sulit untukmu mengatakan beberapa patah kata karena tenggorokanmu rasanya tercekat. Kau tidak terbiasa membantah atau mengatakan apapun selama berbulan-bulan lamanya, walau kau merasa sudah bertahun-tahun hal ini berlangsung.
Siswa itu tersenyum. "Kau pasti merasa kesakitan. Ayo, biar aku mengantarmu ke ruang usaha kesehatan sekolah. Suster sekolah akan merawatmu di sana."
Dengan panik, kau menggeleng lemah guna menolak tawaran siswa itu. Manikmu tak sengaja membaca kalimat yang tertera di papan nama yang terjahit pada seragam orang di hadapanmu. 'Arka B.' tertulis rapi di sana, membiarkanmu mengetahui siapa namanya walau dia belum memperkenalkan diri.
Arka beranjak dari duduknya, menatapmu dari atas sana. Sebetulnya, kau tidak terlalu pendek dibandingkan dengan Arka kalau saja kau tidak membungkukan tubuhmu.
Kenapa kau melakukannya? Mungkin karena tekanan dari otak yang mengatakan bahwa kau harus menyembunyikan diri.
Sebuah tangan terulur di depan wajahmu yang tadinya menatap lantai dan sepatu hitam Arka.
Tanpa sadar, kau mundur beberapa langkah sampai tersandung dan membentur anak tangga paling pertama. Badanmu tremor hebat, kedua tangamu menghalangi kepala agar tidak ada apapun yang bisa merusaknya.
Kamu ketakutan.
Sementara Arka, dia mengernyit. Kelihatannya, dia cemas bukan main. Padahal dia mengulurkan tangan untuk mengantarmu ke ruang usaha kesehatan sekolah sebagai ajakan kalau saja kau tidak tahu di aman tempatnya. Namun, sepertinya kau kelihatan ketakutan hanya dengan satu gerakan Arka yang itu.
"Kau baik-baik saja, kawan?" tanya Arka seraya mendekatimu.
Saat kamu sadar bahwa Arka bukam ketiga preman sekolah yang selalu mengulurkan tangan dan memukul tanpa alasan setelahnya, perlahan kamu menatap Arka yang juga menyorotimu dengan segala tatapan cemasnya.
Kau menggeleng. Ingin rasanya mengatakan sesuatu, setidaknya 'iya' dan 'tidak' saja sudah cukup untukmu. Namun, rasanya tercekat ini membuatmu tak bisa mengatakan apapun. Seolah, bila kau mengatakan sesuatu, ada sesuatu lain yang buruk yang akan menimpamu.
Sekali lagi, Arka berlutut di hadapanmu. "Aku tidak punya niatan untuk menyakitimu. Mari, kuantar ke ruang kesehatan sekolah. Kalau kau mau, aku bisa menemanimu di sana."
Tangan kanan Arka kembali terulur. Kau sempat tersentak, tetapi setelah beberapa lama, uluran tangan Arka kelihatannya lebih ramah daripada uluran tangan mereka yang biasa memukulmu.
Dengan ragu, kau mengangguk seraya menyambut uluran tangan Arka. Arka menarikmu sampai kau berdiri perlahan-lahan, dan menuntuu menuju ruang usaha kesehatan sekolah.
Kalian pergi ke arah kanan, lurus terus sampai berhenti di ujung lorong. Setelah itu, Arka berbelok sembali memegangi tanganmu.
Rasanya aneh, karena kau juga seorang anak laki-laki. Untungnya, tidak ada seorang pun di lorong yang ini---mungkin karena jumlah murid yang cedera cenderung sedikit.
Satu-satunya yang memecahkan rekor cedera terbanyak hanya kau seorang. Sekarang, ada orang lain pula yang menggusurmu untuk pergi ke ruang usaha kesehatan sekolah. Untuk pergi ke sana, kalian harus melewati beberapa ruangan komputer dan ruang guru.
Setelah itu, kalian harus melewati beberapa kamat kecil, kemudian gudang tempat menyimpan peralatan olahraga. Kalian juga harus melewati beberapa deret loker berwarna biru pudar untuk menyimpan barang-barangmu di sana.
"Bagaimana dengan perkenalan diri? Daripada kita diam saja seperti ini rasanya canggung juga," ujar Arka seraya melepas genggaman tangannya.
Sepertinya, Arka baru sadar bahwa menggenggam tangan sesama lelaki rasanya berbeda dengan menggenggam tangan lawan jenis.
Kau mengangguk walau tahu Arka tidak melihat anggukan kepalamu. Arka mulai memperkenalkan diri seraya melirikmu beberapa kali, memastikan langkahnya tidak terlalu cepat. "Namaku Arka Bravaria, kamu bisa memanggilku Arka."
"Apa lagi, ya, selain nama?" tanya Arka kepada dirinya sendiri. "Hm, aku kelas sebelas. Bagaimana denganmu?"
Kau ingin menjawab, tetapi rasa tercekat itu masih mencekikmu. Arka tersenyum tipis, berkata bahwa tidak apa-apa bila kau tidak mau menjawabnya sekarang. Dia berkata, bahwa dia mengerti kalau kau masih merasa canggung kepadanya.
"Usiaku sekarang tujuh belas tahun. Hm, sepertinya itu saja. Mengenai hobiku, kau pasti akan menganggapku aneh." Arka terkekeh seolah dia baru saja meledek dirinya sendiri---karena memang seperti itu kesan yang diberikan Arka kepadamu.
Dengan lemah, kau menggeleng dengan maksud untuk berkata bahwa kau tidak akan menganggap Arka seseorang yang aneh. Ajaibnya, Arka mengerti dengan apa yang kau katakan. Maka dia berucap, "Aku senang menulis."
Kau mengerjap, baru kali ini bertemu dengan seorang laki-laki yang suka menulis. Biasanya, laki-laki memiliki hobi untuk bermain game, playstation, dan berolahraga. Berbeda dari laki-laki lainnya, Arka memilih hobi literasi ketimbang hobi aktif di luar ruangan.
Lama berjalan, akhirnya kalian sampai di ruang usaha kesehatan sekolah. Arka yang mengetuk pintunya, menunggu suster sekolah untuk membukanya. Setelah sebuah sahutan, akhirnya pintu tersebut bergeser masing-masing ke kanan dan kiri.
Saat suster sekolah melihat sosokmu, pupilnya mengecil karena dia terkejut. Suster sekolah itu bahkan sampai berseru agar kau cepat-cepat masuk dan membaringkan tubuhmu di salah satu ranjang putih yang sudah tersedia.
Kau menatap Arka yang juga menatapmu melalui ekor matanya. Dia tersenyum, dan mengangguk seolah berkata bahwa kau sebaiknya menuruti apa yang diperintahkan suster sekolah.
Karena itu, perlahan kau melangkahkan kaki ke ruang usaha kesehatan dan membaringkan tubuhmu di atas salah satu ranjang terdekat.
Rasanya nyaman. Seolah rasa sakitmu berkurang sedikit, kau mengembuskan napasmu yang berat. Arka berdiri di samping ranjangmu, tersenyum kepadamu seolah berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Suster sekolah sedang mencari beberapa obat-obatan, kamu bisa melihatnya melalui ekor mata. Pada akhirmya, kau memutuskan untuk menunggu sembari memandangi atap berwarna putih di atas sana. Kelihatannya putih, tetapi tetap saja kesan tua masih bisa kau dapat.
Setelah beberapa lama, suster kembali dengan beberapa kapas, botol betadine, dan sebuah salep di tangannya. Dia berdiri di sisi ranjangmu yang lainnya, memintaku untuk terduduk dengan lembut. Kau menuruti, kemudian terduduk perlahan seraya meringis perih.
Arka mengernyit saat kau meringis. "Sesakit itu, ya?"
Sebetulnya, kau tidak mau menjawab. Jadi, kau hanya mengangguk sesamar mungkin agar Arka tidak bisa melihatnya. Suster sekolah memintamu untuk diam sejenak, kemudian mengoleskan salep bening itu ke titik-titik memarmu.
Setelah semua memar diolesi dengan lembut menggunakan salep bening yang rasanya dingin, Suster mulai meneteskan beberapa tetes betadine ke kapas yang dibawanya.
Dia menepuk-nepuk kapas berlumur betadine itu perlahan kepada ujung bibirmu yang sobek. Kau sempat meringis karena rasanya perih bukan main, sehingga suster sekolah pun memohon maaf beberaa kali yang selalu kau balas dengan kedipan mata lemah seolah berkata bahwa semuanya baik-baik saja.
Untung saja luka yang harus menggunakan obat merah tidak banyak, hanya ujung bibirnya saja yang sobek. wajah, tangan, badan, dan kakinya memar-memar. Suster sekolah kemudian memintamu untuk beristirahat sebentar.
Arka berkata kepada suster bahwa dia akan menemanimu, maka suster mengizinkan asal kalian langsung kembali ke kelas setelah kau pulih setidaknya setengahnya. Arka mengambil sebuah kursi, mengangkatnya dan menempatkan kursi tersebut di samping ranjangmu.
"Kenapa kamu bisa sampai babak belur separah ini? Kaubayangkan, sekujur tubuhmu diselimuti memar berwarna ungu," ujar Arka sembari menatapmu dengan sorotnya yang menyiratkan rasa cemas dalam hati.
Kau melirik kanan-kiri, ragu ingin menceritakannya atau tidak. Lalu, rasa takutmu kembali menjalar dalam dada. Jantungmu memompa darah lebih cepat daripada sebelumnya, memberikanmu efek cemas akan apa yang harus kau tanggung bila bercerita kepada Arka.
"Tidak apa-apa," Arka tiba-tiba berkata, "kalau kau tidak mau bercerita, maka jangan bercerita. Aku tidak mau kau menceritakan apa yang terjadi tapi kau merasa tertekan."
Akhirnya, kau hanya mengangguk pasrah. Dalam hatimu, kau ingin sekali menceritakannya. Karena memendam sesuatu yang bisa membuatmu trauma macam ini sangat berat, sampai kau ingin meringankannya dengan berbicara kepada orang lain.
"Mari mulai dengan yang mudah. Siapa namamu?" tanya Arka. Kamu menatapnya beberapa lama, disambut dengan sebuah senyuman sederhana oleh Arka.
Mulutmu terbuka sedikit, berusaha untuk menjawab pertanyaan Arka dengan benar kali ini. Usahamu yang kelihatannya mati-matian hanya untuk membuka mulut membuat Arka sedikit khawatir.
Dia kelihatannya prihatin dengan keadaanmu yang sekarang, sampai mengatakan siapa namamu saja kau harus berjuang.
"... Namaku ...." Suaramu yang serak mulai terdengar, membuat Arka mengangkat kedua alisnya. Sayangnya, kau kesulitan untuk melanjutkannya.
Rasanya, ada sesuatu yang menahanmu untuk berbicara panjang. Bahkan untuk mengatakan namamu saja kau kesulitan.
Kau menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Kau membuka mulutmu sekali lagi, mencoba untuk melanjutkan. Arka berkata bahwa sebaiknya kau tidak memaksakan diri, tetapi kau menggeleng lemah.
Walau kesan yang kauberikan kepada orang yang pertama kali peduli kepadamu adalah kau yang lemah, setidaknya kau ingin Arka mengenalmu barang sebatas nama saja. "... Namaku ...."
"... namaku ... Theo," ucapmu. Kau mengembuskan napas berat, ternyata hanya untuk berbicara saja sulit. Apakah ini efek dari kau yang tidak pernah berbicara saat seseorang bertanya ada apa?
Apakah ini efek dari kamu yang tidak pernah mengatakan apa pun saat tiga preman sekolah itu memukulimu?
Apakah ini efek kau tidak pernah berbicara lagi semenjak penganiayaan itu mulai? Kau tidak tahu. Yang jelas, semenjak tiga preman sekolah itu menyerangmu, kau mulai jarang---bahkan tidak pernah lagi---berbicara untuk orang lain. Satu-satunya saat di mana kau berbicara adalah ketika kau membatin kepada diri sendiri.
Arka mengangguk. "Kamu kelas berapa, Theo?"
Karena kau kesulitan, akhirnya perlahan kau angkat kedua tanganmu dan menunjukan kesepuluh jari yang kau miliki. Jari-jarimu bahkan kelihatannya lebam, tidak luput dari apa yang menimpamu.
"Oh, kamu kelas sepuluh. Berarti, kau adik kelasku. Baiklah, aku tidak akan bertanya apapun agar kau bisa benar-benar istirahat." Arka tersenyum, menatapmu dengan sorot lembutnya yang membuatmu merasa tenang.
Yang harus kaulakukan hanya berbaring sampai seluruh rasa sakit yang memeluk tubuhmu sirna. Apakah memang menghilangkan rasa sakit itu semudah berbaring dan menunggu beberapa menit? Kau tidak pernah mencobanya.
Akhir-akhir ini, kau tidak pernah bisa tertidur. Seolah tiga preman sekolah itu mengikutiku ke rumah dan kembali memukuli di atas ranjang ketika kau bersiap untuk menyelami alam mimpi yang panjang.
Kau tidak bisa tertidur. Rasa kantuk itu rasanya sirna begitu saja ketika kau membaringkan dirimu di atas ranjang kamar. Sementara di sini, kau tidak perlu merasa takut. Mungkin, karena suster sekolah dan Arka ada bersamamu di ruangan yang sama.
Ternyata, selama ini kau hanya membutuhkan seseorang untuk menemanimu. Agar kau setidaknya bisa tenang saat berbaring. Arka benar-benar tidak mengatakan apapun selama dia menemanimu, yang dia lakukan hanya bertanya apakah kau ingin minum atau tidak.
Karena terlalu canggung, akhirnya kau memutuskan untuk mengangguk kepada pertanyaan Arka mengenai air minum. Dengan itu, Arka beranjak dari duduknya untuk pergi ke dispenser dan mengambil segelas air putih untukmu.
Saat dia kembali, kau berusaha keras untuk terduduk tanpa membuat bokongmu sakit. Hanya area itu saja yang tidak diolesi salep oleh suster sekolah, tentu saja karena kau tidak memberitahu di belakang sana juga lebam.
Bagaimana jadinya kalau kamu memberitahu? Paling-paling, suster akan merasa canggung dan memintaku menggunakan salep itu sendiri.
Kau meraih gelas yang diberikan oleh Arka, dan meneguk isinya sampai habis setengah. Setelah itu, kau memberikannya kepada Arka dan dia simpan di bawah ranjangmu.
Kau, Theo, ingin sekali bercerita apa yang baru saja terjadi kepadamu. Namun rasa takut itu masih singgah dalam hati, berkata bahwa sesuatu yang buruk mungkin saja terjadi padamu bila kau mengatakan sesuatu kepada Arka.
Mungkin tidak akan terjadi sesuatu bila kau membuat Arka berjanji bahwa dia tidak akan memberitahu siapapun dan menyimpannya untuk diri sendiri. Karena itu, kau berkata, "Kak ... m-maukah ... maukah kamu mendengar ceritaku ...?"
"Tentu, aku mendengarkan. Tapi, apa kau akan baik-baik saja? Kelihatannya, kau kesulitan berbicara," ucap Arka khawatir.
Kau menggeleng. "Aku ... aku baik-baik saja, hanya sedikit gugup."
"Baiklah." Arka memasang telinganya, bersiap untuk mendengar ceritamu yang sepertinya akan panjang. Kau menarik napas dalam-dalam, menahannya dalam dada kemudian menghembuskannya perlahan.
"T-tadi beberapa saat sebelum bel tanda masuk kelas berbunyi, ada sesuatu ... sesuatu yang membuatku sampai seperti ini." Kau mulai bercerita. "Kak, aku ingin kau berjanji tidak akan mengatakan apa pun kepada siapa pun mengenai ceritaku."
Arka mengerjap, tanpa menunggu lama, akhirnya dia mengangguk. "Tentu, aku tidak akan mengatakan apa pun kepada siapa pun tentangmu, aku berjanji."
Kau melirik ke kiri, mencari sosok suster sekolah. Setelah yakin bahwa dia cukup jauh untuk mendengar ceritamu bila kau berbisik di atas ranjang, kau kembali membuat kontak mata dengan Arka sembari memintanya untuk mendekat agar kau bisa berbisik.
Arka menurut, kemudian maju beberapa sentimeter agar bisa sedekat mungkin denganmu. Kau mengerjap, lalu menarik napas panjang. "Ada tiga siswa yang selalu memintaku untuk menemui mereka di belakang sekolah beberapa bulan terakhir ini."
Seketika, ragu menyerang hatimu. Kau merasa bahwa menceritakan hal ini kepada Arka yang baru saja kau temui hari ini adalah sesuatu yang naif. Namun, kau tidak kuat lagi. Beban yang selalu ada dalam pikiran dan hati itu tidak ingin kau pendam lebih lama.
Sebelum kau melanjutkan ceritamu, Arka menarik kepalanya menjauh. Dia menatapmu dengan tatapan cemas yang kentara, seolah dia mengerti apa yang kaurasakan dan apa yang terjadi padahal belum kau ceritakan sepenuhnya.
Maka dari itu, kamu bingung apakah Arka mengetahui apa yang terjadi selanjutnya atau dia tidak tertarik untuk mendengarkan.
"Setelah itu mereka meminta sesuatu darimu, tapi kau tidak memberikannya lalu mereka memukulimu sampai kau babak belur seperti ini?" Arka bertanya. Tebakannya benar-benar jitu, membuatmu hampir berteriak karena terkejut.
Arka menghela napas berat, menyibakan rambutnya ke belakang. "Benar, ya?" Tanpa jawaban darimu, kau yakin Arka tahu apa jawaban yang akan lolos dari mulutmu yang memar.
Kau mulai berpikir, bahwa penampilanmu yang sekarang ini dengan jelas menunjukan apa yang sebenarnya terjadi kepadamu.
Itu artinya, orang-orang di lorong yang selama ini menatapmu dengan kedua pasang mata mereka tahu apa yang kaulewati, sayangnya tidak peduli layaknya Arka kepadamu sekarang ini.
Apakah dia benar-benar peduli? Bagaimana kalau ternyata dia pura-pura merasa peduli untuk akhirnya menyebarkan rahasia terbesarku selama ini?
Tidak ada manusia sebaik Kak Arka di sekolah, itu yang kutahu. Semua orang berpura-pura tak melihat, padahal mereka jelas-jelas membuat kontak mata denganku.
Mereka hanya sekumpulan makhluk hidup berhati egois yang bahkan tidak mau menghampiri dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi kepadaku.
Mereka tertawa. Mereka menertawaiku.
Untuk beberapa saat, kau mengepalkan tangan walau rasanya jemarimu semakin remuk. Amarah memuncak sesaat, lalu kembali tenang saat Arka berkata, "Mengapa kamu tidak bilang lebih awal? Kupikir kau terlibat dalam sebuah perkelahian."
"Ah, maaf. Kupikir rasanya akan terlalu canggung bila aku memberitahu lebih awal kepadamu, Kak. Kau kelihatannya orang yang sangat baik, aku tidak mau kau terlibat dengan tiga orang itu," tukasmu.
Arka menggeleng. "Aku akan melakukan sesuatu mengenai ini. Mereka tidak bisa dibiarkan, seharusnya kaulaporkan mereka kepada guru konseling."
"A-aku tidak bisa." Sekujur tubuhmu tiba-tiba tremor ringan. Bayangan mengenai mereka yang akan menyiksamu melebihi hari ini menghantui benakmu, bagaimanapun, kau tidak bisa hidup tenang dalam waktu dekat.
"Kenapa?" tanya Arka hati-hati. Entah kenapa, pertanyaan itu rasanya sungguh rumit. Walau ada kemungkinan tiga orang yang selalu meminta sesuatu kemudian menyiksaku sampai rasanya tulang dalam tubuhmu remuk semua akan menyiksamu lebih parah, itu hanya sebuah kemungkinan.
Belum tentu mereka akan melakukan itu. Siapa tahu Dewi Fortuna berpihak padamu, mengganti cara berpikir dan isi hati mereka. Siapa tahu, Tuhan masih menyayangimu.
Dia akan melakukan sesuatu dengan sikap mereka. Bukankah ada sisi baiknya dari melaporkan mereka kepada pihak sekolah?
Walaupun sesuatu yang baik akan terjadi padamu bila kau bercerita, tetap saja pikiranmu tidak bisa menghapus sisi buruknya.
Kemungkinan tiga orang yang menyiksamu selama berbulan-bulan lamanya akan melakukan sesuatu yang bahkan lebih parah bisa saja lebih besar.
Kau menggeleng, menatap manik cokelat Arka penuh harap. "Aku ... aku takut, Kak."
Mendengar itu, Arka mengernyit. Dia menatapmu dalam, membuatmu merasa tersudut. Apakah kau mengatakan sesuatu yang salah? Apakah kau mengatakan sesuatu yang menyinggung Arka, satu-satunya orang yang peduli padamu?
"Kau takut mereka akan menjadi-jadi jika kau melapirkan kepada pihak sekolah?" tanya Arka. Bukan apa yang kau pikirkan, kau bersyukur untuk itu.
Dengan ragu, kau mengangguk lemah. Rasanya, hanya dengan mengangguk saja lehermu pisah patah. Sekeras itukah tendangan dan pukulan mereka kepadamu? Kau baru menyadarinya. Apakah kau menikmati saat-saat itu? Tentu saja tidak.
Arka tersenyum miring. "Kautahu, Theo, disebut apa perlakuan mereka kepadamu?"
"Penganiayaan?" Kamu menjawab ragu. Arka mengangguk, kemudian dia menggeleng singkat. Agaknya, jawabanmu benar tetapi tidak tepat.
"Perundungan secara fisik," ralat Arka. "Walau secara fisik, itu memengaruhi mentalmu. Apa mereka memulainya dengan mengulurkan tangan seperti ini?" Arka menyepertikan apa yang mereka lakukan sebelum memukulimu, membuatmu secara refleks bergeser ke sisi lain ranjang dengan cepat.
Arka kembali menyorotmu lembut. "Lihat? Tubuhmu merespon dengan spontan kepada gerakan tanganku, padahal untuk orang lain, mungkin mengulurkan tangan hanya sebuah gerakan sederhana."
"Kamu trauma, Theo. Aku bisa melihatnya saat orang-orang di lorong itu berbisik ketika kau lewat. Tubuhmu tremor ringan, masih bisa kulihat walau samar. Bibirmu komat-kamit, entah mengatakan apa."
Arka menyandarkan punggungnya, "Aku tidak mau kau trauma sampai seperti ini."
"Sementara mereka, apa yang mereka dapat dari memukulimu? Rasa puas. Rasa puas karena mereka menindas seseorang yang mereka anggap lemah, padahal kau jauh lebih kuat dibanding mereka bertiga," ucap Arka mantap.
Kau mengernyit. "A-aku tidak kuat. Aku lemah, Kak. Aku b-bahkan tidak bisa melawan mereka, aku langsung tersungkur saat mereka tendang."
"Kalau kau lemah," Arka mencondongkan tubuhnya ke arahmu, "mungkin beberapa bulan yang lalu kau sudah tak bernyawa karena serangan mereka yang brutal."
"Lihat dirimu. Kau babak belur, memang. Tapi kau masih hidup, kau bernapas, kau bahkan berusaha untuk berjalan ke kelas 'kan? Apa itu yang kau sebut lemah?" Arka tersenyum tipis. Membuatmu berpikir sejenak, memutar semua memorimu yang bahkan tidak pingsan saat mereka menendang kepalamu.
"Mereka yang lemah, karena mereka menghadapimu bertiga," imbuh Arka seraya kembali menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. "Jangan diam saja, Theo. Kalau kau tidak berani melawan, maka laporkan mereka."
"T-tapi, bagaimana jika---"
Arka memotong kalimatmu yang bahkan belum sampai intinya. "Mereka menyerangmu lagi? Kalau begitu, begini saja. Mulai besok, aku akan ada bersamamu. Bagaimana?"
Kau terdiam, menatap wajah Arka yang kelihatannya menjanjikan sesuatu yang kau idam-idamkan; seorang teman. Akhirnya, hidupmu tidak seburuk itu. Akhirnya, kau punya sebuah lentera di tengah kegelapan yang menyelimuti.
Tanpa berpikir panjang, kau mengangguk dengan senyuman terukir di wajahmu. Arka terkekeh. "Tapi, kau juga harus melaporkan mereka ke pihak sekolah. Ceritakan apa masalahmu di sekolah kepada orang tua."
Kamu mengangguk. "Iya, Kak. Terimakasih."
"Tidak. Terima kasih, karena kau sudah bertahan sampai selama ini. Kerja bagus, Theo," puji Arka.
Kau tersenyum. Hatimu berbunga-bunga, jantungmu memompa lebih cepat seakan mencoba untuk memicu waktu itu sendiri. Kali ini, bukan karena takut maupun gugup, tetapi karena kau senang akhirnya mendapatkan teman.
Teman yang akan menemanimu di mana pun.
***
Bohong.
Kau menutupi wajahmu dengan bantal sepenuhnya, sesenggukan karena sudah menangis selama beberapa menit.
Matamu rasanya perih, karena air asin tak henti-hentinya keluar dari pelupuk matamu. Lubang hidung sebelah kirimu tak bisa bernapas dengan baik, ada lendir yang tersumbat karena kau menangis dengan posisi miring.
Mengapa kau menangis? Aku bertanya. Tidak suka melihat setiap air mata keluar dari dari pelupuk matamu, rasanya menyayat hatiku hanya dengan mendengar tangismu. Kau menggeleng berkali-kali, lalu memukul-mukul bantal yang menutupi wajahmu.
Ah, benar. Itu masalahnya.
Kemarin, Arka berkata bahwa dia akan menemanimu di sekolah supaya tiga orang itu tidak mengganggumu. Kemarin, kau merasa senang karena akhirnya memiliki seorang teman yang akan menemanimu.
Kemarin, hatimu berbunga-bunga dengan pikiran esok hari---yaitu hari ini---akan menjadi hari baru dalam hidupmu.
Pagi hari, awal hari ini, kau masih berpikir demikian. Setelah kau menyadari kau tidak bisa menemukam Arka di mana pun, di sanalah kau mulai merasa panik.
Ada sesuatu dalam hatimu yang mengatakan bahwa Arka tidak akan datang sama sekali, membuatmu merasa was-was dengan keberadaan tiga preman sekolah yang selalu memukulimu di belakang sekolah itu.
Ada niatan untuk mengunjungi kelasnya karena dia sempat menceritakan di mana letak dan seperti apa suasana di dalamnya.
Dengan hati-hati, kau izin untuk pergi ke toilet padahal nyatanya kau pergi ke lorong kelas sebelas dengan harapan kelas Arka sedang tidak ada guru.
Harapanmu, untuk pertama kalinya terkabul. Memang, tidak ada guru di sana. Namun, bulan hanya keberadaan guru yang tidak ada. Arka pun tidak ada di kelasnya.
Seorang kakak kelas berkata bahwa Arka izin dengan alasan urusan keluarga mendadak. Kau bertanya apakah dia menitip sebuah pesan, tetapi teman sekelasnya menjawab tidak.
Kau kembali ke kelasmu, terduduk dengan hati tak tenang. Saat itu, bel istirahat akan segera berbunyi. Ketakutanmu hampir tiba, memelukmu erat di tengah-tengah kegelapan. Lentera yang tadinya kau pikir akan bertahan lama, mati seketika.
Rasa bahagia itu memang tidak pernah ada untukmu. Sekalipun ada, hanya bertahan untuk beberapa jam saja. Nyatanya, rasa takut mungkim memang ditakirkan untukmu. Keterpurukan selalu mengikuti ke manapun kau pergi.
Benar, yag terjadi selanjutnya adalah tiga preman sekolah itu mengunjungimu yang sengaja tidak keluar kelas agar bisa menghindari mereka. Ternyata, memang tidak banyak yang bisa kaulakukan. Ingin rasanya kau menolak, tetapi, apa yang bisa kau lakukan selain pasrah?
Pada akhirnya, di sekolah tadi, mereka kembali meminta sesuatu yang tidak kau tahu apa. Kau didorong, dipukul, ditonjok, ditendang, disikut, seolah kau adalah samsak hidup untuk tiga preman sekolah itu. Kautahu apa? Kamu sempat merasa kesal karena tidak mengerti dengan perlakuan tak adil mereka.
"Bisakah kalian ... hentikan ini? Apa salahku?"
Itulah yang kaukatakan kepada mereka. Tahu apa yang mereka lakukan? Menambah siksaannya. Dengan brutal, mereka menyerangmu dengan masing-masing tangan dan kaki.
Mengancam, esok hari akan menjadi hari terburukmu karena kau sudah membuat mereka marah hari ini.
Melaporkan mereka kepada pihak sekolah akan membuat semua hal menjadi runyam, maka kau mengurungkan hal itu. Benar-benar tidak ada yang bisa kau lakukan, kau terlalu pengecut.
Sebuah ide gila yang bisa membebaskanmu kini terlintas. Kau bingung, mengapa tidak peenah terpikirkan sebelumnya? Kamu terduduk, menatap obat yang harus kau konsumsi rutin di atas laci di samping ranjangmu.
Obat tidur, mengingat kau sudah kesulitan untuk menyelami alam mimpi akhir-akhir ini.
Sebuah seyuman tipis terukir di wajahmu.
Kalau aku tidak lagi bernapas, bisakah rasa takut yang memuakan dan rasa sakit yang menyiksa ini melepasku?
***
5018 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top