20. Through The Eyes of Death
Aku tinggal sendiri, dengan barang-barang keluarga yang mereka tinggalkan untukku. Sebetulnya bukan untukku juga, tetapi karena sekarang kupakai, otomatis ini semua milikku.
Aku tinggal sendiri, tidak ada yang menemani di malam maupun siang hari. Tidak ada canda tawa antarsaudara, tidak ada sapaan dan ceramah dari orang tua. Sepi, seolah sejak awal aku memang tidak pernah memiliki sebuah keluarga.
Aku tinggal sendiri, tidak ada yang mengucapkan selamat pagi setiap aku terbangun. Sarapan, makan siang, dan makan malam harus kusiapkan sendiri. Kadang rasanya tidak enak, tetapi lebih baik daripada harus kelaparan.
Aku tinggal sendiri, harus membeli kebutuhan hidup sendiri. Dengan uang yang kuhasilkan dari pekerjaan sampinganku, melelahkan dan sulit.
Aku lebih suka keluar rumah saat tengah malam tiba. Karena orang-orang yang keluar saat tengah malam jauh lebih sedikit dibandingkan saat siang hari. Walau siang hari pun aku tetap harus sekolah dan bekerja.
Aku lelah, ingin rasanya pergi dari dunia tetapi ini belum waktunya bagiku untuk berhenti bernapas. Ini belum waktunya untukku berhenti hidup. Namun, apakah aku bisa bertahan selama itu?
Ada sesuatu yang berbeda dariku dan manusia lain. Orang mungkin biasa menyebutnya dengan sebutan kemampuan. Sedang aku menganggapnya sebagai kutukan.
Penglihatan itu selalu mengganggu, aku tak bisa berkonsentrasi penuh dengan aktivitas yang sedang kulakukan. Ditambah lagi, tidak ada orang yang percaya kepadaku.
Aku takut manusia. Aku takut mereka yang berlalu-lalang di jalanan sana, tanpa tahu apa yang bisa terjadi kepada mereka. Menakutkan, karena mereka yakin mereka akan baik-baik saja.
Menakutkan, karena mereka tertawa padahal sesuatu bisa saja terjadi pada mereka.
Aku menghela napas, beranjak dari duduk. Bagaimanapun juga, aku tetap harus makan malam. Tungkaiku menuntun ke dapur, berhenti di depan kulkas. Tanganku membuka kulkas tersebut, sayangnya tidak ada apa-apa di dalam.
Ada tomat, keju, susu, dan wafer. Selain minum susu sebelum tidur, aku tidak bisa mengisi perut hanya dengan wafer, apalagi tomat atau keju.
Jantungku berdetak sangat kencang, seolah tahu aku akan pergi melakukan sesuatu yang paling kuhindari; keluar rumah. Ini sudah tengah malam, aku tidak bisa memesan makanan seperti biasa. Lagipula, aku lebih suka makanan rumah.
Tungkaiku tremor hebat. Tubuhku sepertinya menolak fakta bahwa aku harus pergi ke swalayan terdekat untuk membeli persediaan makanan untuk beberapa bulan ke depan. Aku berjalan, tetapi rasanya begitu berat.
Walau sulit, akhirnya aku siap. Uang sudah ada dalam saku, jaketku telah kukancingkan, sepatu botku pas dipakai di kaki. Di luar sana agak dingin, tetapi aku sebetulnya tak perlu menggunakan baju hangat. Aku tidak pernah merasa kedinginan.
Tangan kananku memutar kenop pintu, keluar dari rumah, tak lupa menguncinya dan pergi menjauh dari tempatku yang paling aman. Aku berjalan sambil menunduk, walau tengah malam itu sepi, ada satu-dua orang yang masih lalu-lalang.
Aku tidak mau melihat orang.
Suara motor yang melewatiku terdengar begitu mencekam, seolah motor saja dapat membunuhku. Ah, soal membunuh dan kematian. Tidak ada yang pasti, yang dikatakan sudah mati oleh rumah sakit saja bisa hidup lagi.
Itu menakutkan.
Sepertinya, aku takut dengan semua hal. Sejak kapan aku paranoid? Padahal, aku mengingat dahulu pernah menjadi anak yang paling tangguh---setidaknya itu anggapan orang tuaku.
Orang tuaku.
Aku menggelengkan kepala, mencoba untuk mengusir wajah mereka yang terbayang-bayang. Sebetulnya, aku merindukan mereka. Namun, kematian yang mereka dapat membuatku ketakutan.
Aku bisa saja membantu, mencegah kematiannya. Namun, bukankah salah untuk mengubah takdir kematian itu sendiri? Mereka sudah seharusnya mati hari itu, Tuhan telah menetapkannya hari itu.
Aku menggeleng, mengempaskan pikiran yang tidak-tidak. Sejujurnya, ini sudah tidak aneh lagi mengingat aku selalu membuat skenario terburuk dalam otak.
Jalanan setapak kelihatannya tidak terlalu buruk, walau penerangan yang ada hanya lampu jalanan yang menemani. Sedikit lagi, aku sampai di swalayan terdekat dari rumah.
Tidak perlu lama berjalan kaki, lima belas menit saja sudah cukup. Dari tempatku berjalan, sepertinya swalayan sedang tidak ramai orang walau ada dua mobil yang teparkir di depannya.
Mudah, aku tidak perlu bertemu dengan siapa pun pemilik mobil itu. Aku bisa menghindar, menunduk, atau pura-pura sedang melihat produk yang ada di rak penjualan.
Semakin mendekat, jantungku semakin tidak bisa dikontrol. Detakannya terasa, sampai rasanya bisa keluar dari dadaku. Ketika tangan ini membuka pintu swalayan, suara lembut seorang kasir yang bekerja 24 jam menyapa.
"Selamat datang, selamat berbelanja."
Mendengar suaranya saja sudah membuatku merinding. Tidak perlu tunggu lama, akhirnya aku mengambil beberapa keranjang dan pergi ke bagian makanan dan persediaan.
Aku benar-benar tidak mau berlama-lama ada di sini, itu sebabnya aku mengambil apa pun yang kulihat. Keranjang demi keranjang sudah dipenuhi persediaan yang bisa membuatku bertahan selama beberapa bulan tanpa keluar rumah.
Walau aku tidak tahu makanan apa saja yang ada di keranjang, tetap kubawa ke kasir. Berpura-pura baik-baik saja dan tidak ada yang terjadi membuatku kesulitan. Aku harus menunduk setiap saat melihat orang lain.
Karena aku tidak sanggup.
Waktu terasa lebih lambat ketika kau ketakutan. Suara barcode yang di-scan oleh kasir baik hati itu terdengar mencekam untukku, padahal hanya suara bip kecil.
"Ada tambahan lain, Tuan?" tanya kasir tersebut. Aku hanya mengangguk tanpa melihatnya---aku tidak berani. Lebih tepatnya, aku tidak siap untuk apa yang kemungkinan kulihat.
Kasir tersebut memberikanku tiga kantong plastik besar, kemudian berterima kasih karena aku telah berbelanja di swalayan itu. Aku hanya mengangguk, mau bersuara pun tenggorokanku rasanya tercekat.
Akan tetapi, walau kau takut, biasanya tetap penasaran 'kan? Maka itu yang kurasakan. Aku takut akan apa yang nanti kulihat, tetapi aku ingin tahu apa yang nantinya kulihat.
Maka sebelum pulang, aku melirik sedikit.
Hitam sekali.
Wajahnya ditutupi dengan banyak lalat berwarna hitam, aku bahkan tak bisa melihat tampangnya seperti apa.
Tangannya terbalik, satu lagi malah menghilang entah ke mana dan hanya meninggalkan tulang patah yang mencuat. Perutnya berdarah, menembus piyamanya.
Mati tergilas.
Tungkaiku kemudian menuntun untuk pergi dari tempat itu secepat mungkin. Aku tidak melihat ke depan, takut kalau-kalau ada manusia lain yang mengenalku dan nantinya menyapa.
Kutukan ini ... kapan aku bisa lepas darinya?
Manikku memanas, tidak bisa membendung air mataku yang kutahan karena pemandangan tadi.
Kematian kasir itu sebentar lagi.
Walau aku tak mengenalinya, aku merasa kasihan padanya. Dari suaranya, aku tahu dia adalah orang yang baik. Kerjanya rapi, dia tidak kasar kepada pelanggan.
Orang baik sepertinya pasti banyak yang akan merasa kehilangan. Entah itu malam ini atau esok hari; tergantung secepat apa berita kematiannya sampai ke telinga keluarganya.
Pilihanku untuk menunduk karena ingin menghindari pandangan manusia, ternyata malah membuahkan malapetaka. Aku menabrak seseorang. Dari tubuhnya, mungkin seorang pria karena dia jangkung walau sedikit gempal.
"Astaga, Gibran! Kamu tidak apa-apa?" Suara dari pria itu bertanya. Aku tidak mungkin tidak mengenali suaranya yang lembut dan ramah, itu suara tetanggaku, Tuan Fred.
Tuan Fred merupakan pria penuh kasih yang disukai semua orang di sepanjang blok. Tidak ada yang tidak mengenalinya, karena Tuan Fred selalu ditemukan sedang membantu orang di sekitarnya.
Aku tidak berani melihat wajah Tuan Fred. Pikiranku akan kematiannya dan bagaimana nanti aku tahu seperti apa dia akan mati membuatku takut duluan, sampai tidak sanggup untuk mengatakan apa pun.
Sayangnya, Tuan Fred berpikir aku hanya sedang diserang perasaan terkejut yang normal bagi remaja. Dia membantuku berdiri seraya bertanya apa yang membuatku terkejut sampai seperti ini.
Tentu saja tidak kujawab, karena aku tidak terkejut oleh apa pun sama sekali. Ditambah lagi, aku ketakutan. Jantungku tidak bisa berdetak dengan baik dan benar, tungkaiku sekarang tremor hebat.
Aku sangat meragukan kalau aku bisa berlari pergi dari Tuan Fred dan bersembunyi di rumah untuk beberapa waktu.
"Gibran, biar saya bantu kamu pulang ya. Sepertinya kamu masih gemetaran, dan astaga! Kantong plastikmu banyak sekali, apakah ini untuk persediaanmu?"
Anggukan kepala diterima oleh Tuan Fred sebagai jawaban dari pertanyaannya. Aku masih tidak bisa melihatnya, karena ketakutan itu masih bertengger dalam hati.
Tuan Fred yang tidak tahu apa pun tentang kemampuan ini akhirnya mengangkat dua dari tiga kantong plastikku untuk membantu. Aku sudah menolak, tetapi dia tidak menerima penolakan dalam bentuk apa pun.
Terpaksa, kami berjalan beriringan dengan aku yang tertunduk dalam, bahkan tak mau melihat ujung kakinya walau hanya satu sentimeter. Tuan Fred kedengarannya tidak keberatan dengan kehadiranku, dia malah mengajakku berbincang.
Rumor baik yang mengatakan bahwa dia sangat menghargai orang lain ternyata bisa kubuktikan sendiri. Tuan Fred tidak menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan keluarga atau kehidupan sekolahku; sepertinya dia tahu itu cukup sensitif bagiku.
Sudahkah aku bercerita, bahwa semua tetangga kami tahu keluargaku mati? Mereka mati tertabrak kereta api, ban mobil yang mereka kendarai tersangkut di relnya.
Mereka tergilas.
Tubuh mereka tak bisa dikenali.
Bisakah kaubayangkan betapa ketakutannya aku, berminggu-minggu lamanya, melihat wajah mereka dikerubungi lalat hitam dengan wujud rusak?
Aku bahkan selalu menghindari mereka, tidak berani untuk berbicara lebih dari tiga menit bersama mereka. Aku bisa saja mencegah kematian itu, berkata bahwa aku ada urusan dan ingin ditemani oleh keluargaku.
Pada akhirnya, aku hanya seorang pengecut yang mudah takut dengan hal-hal yang seharusnya bisa kulawan.
Waktu terasa berputar jauh lebih lama, padahal kami hanya berjalan selama 15 menit dari swalayan itu. Aku berdiri di depan pintu, mengeluarkan kunci dari saku kanan dan membukanya.
Tuan Fred ikut masuk ke dalam, menyimpan belanjaanku di atas meja makan kemudian pamit. Aku hanya mengangguk, tetapi sekali lagi, rasa penasaranku kembali membuncah.
Manikku melirik, mendapati Tuan Fred yang kebetulan sedang menoleh dengan senyumnya yang lebar.
Tidak ada lalat hitam satu pun di wajahnya, bahkan tubuhnya tidak berubah wujud. Mungkin berubah sedikit untuk luka tembakan di dahi dan dada bagian kirinya. Namun, tidak ada perubahan signifikan yang menakutkan.
Baru kali ini aku melihat orang lain dan mereka tidak dikerubungi lalat hitam yang berbau busuk. Kepalaku menoleh, mataku bersirobok dengan miliknya.
Senyuman yang terlukis pada wajahnya entah kenapa menenangkanku. "Kalau butuh sesuatu, datanglah ke rumahku. Jangan sungkan, oke?"
Aku mengangguk samar, membiarkannya menghilang di balik pintu.
Apa aku baru saja mendapatkan seorang teman?
Tuan Fred merupakan orang yang baik, semua orang bisa mengandalkannya. Semua orang bisa percaya padanya, karena dia orang yang jujur.
Iya, Tuan Fred adalah teman baruku. Aku harap dia tidak keberatan dengan gelar itu.
Kuhela napasku, senyuman tipis yang sudah lama tidak kupasang pada wajah ini akhirnya terbit juga, walau sangat tipis. Tubuhku bergerak ke dapur, hendak menata persediaanku untuk setidaknya enam bulan ke depan.
Mungkin aku bisa bercerita kepadanya soal kemampuanku ini. Sudah lama juga aku memendam perasaan pribadi, aku butuh seorang pendengar.
***
Tubuhku gemetar, pelipisku dibanjiri peluh dingin. Napasku memburu, pikiranku terfokus pada mimpi yang masih menari-nari dalam otak. Melantunkan melodi mengerikan yang memekakan telinga, membuatku ingin menghilangkan indra pendengaran detik itu juga.
Sejak aku berteman dengan Tuan Fred, mimpi buruk terus menerus menghantui malamku. Isinya selalu sama; tubuh Tuan Fred yang dibanjiri dengan darahnya sendiri.
Di sampingnya, sebilah pisau berlumuran darah tergeletak tak jauh dari tangan. Dari sudut pandangku, seperinya aku menangis kemudiam berlutut di hadapannya.
Mimpi itu lalu berubah menjadi semakin gelap, menampilkan aku dalam sudut pandang orang pertama yang sedang menggenggam pisau. Tuan Fred kelihatannya ketakutan pada adegan itu, sementara aku tertawa seperti seorang maniak.
Apa aku akan membunuhnya? Aku tidak mungkin melakukan itu! Mungkin aku gila, tetapi tidak sampai membunuh orang seperti itu.
Tangisanku semakin menjadi. Kujambak rambut yang sudah memanjang; tidak begitu cocok dengan remaja laki-laki berwajah bulat sepertiku.
Setidaknya, tangisan itu bertahan sampai kudengar sebuah ketukan khas berasal dari pintu depan.
Tahu siapa yang bertamu, aku cepat-cepat beranjak dari kasur dan berlari ke depan tanpa mempedulikan penampilan yang acak-acakan.
Tangan kananku memutar kunci, kemudian beralih pada kenop pintu dan membuka daun pintu berwarna cokelat itu. Tuan Fred tersenyum, merentangkan tangannya seolah tahu aku butuh sebuah pelukan.
Tanpa menunggu lebih lama, aku memeluknya sampai kami hampir terjatuh. Tuan Fred terkekeh. "Ada apa, Gibran?"
Dia menepuk pundakku yang lebar, melepaskan pelukannya dan memberikanku senyukan hangat seperti biasa. Sejak dua bulan lalu, dia telah menemaniku atas keinginannya sendiri.
Bukankah Tuan Fred akan menjadi ayah yang baik? Sayang, dia masih lajang walau usianya sudah mencapai 28 tahun.
Masih muda, jadi tidak apa-apa. Mungkin.
"Kita masuk dulu, ya." Tuan Fred mengajak, tentu saja aku mengiyakan dan membiarkannya masuk ke rumah kemudiam mengunci pintunya.
Kami pergi ke dapur, duduk diam di sana untuk beberapa saat. Walau ini rumahku, Tuan Fred malah yang mengambil segelas air untuk kuminum. Dia berpikir, aku kelihatan lelah.
Tuan Fred terduduk di sampingku, masih dengan senyuman tipisnya yang menghangatkan atmosfer ruangan walau sebetulnya aku masih tegang.
Semenjak kuceritakan tentang kemampuan bisa melihat kapan dan bagaimana orang mati, Tuan Fred lebih sering menemaniku. Aku tidak keberatan, tentu saja. Dia adalah pendengar yang baik.
Kulirik wajahnya, maniknya menyorotku, seolah ingin menanyakan sesuatu.
"Kamu bermimpi?" tanya Tuan Fred langsung pada intinya.
Aku hanya mengangguk. Bercerita mengenai mimpiku, rasanya sulit karena kami berada di dapur; tempat peralatan masak dan makan berada. Artinya, ada pisau di sekitar sini.
Suaraku bergetar setiap satu kata terlontar. Walau demikian, Tuan Fred tetap mendengarkan dengan saksama. Sesekali dia mengangguk, sesekali dia mengerjap.
Aku hanya bisa menahan tangisku, agar penyampaianku tidak setengah-setengah.
Tuan Fred tersenyum. "Kamu tidak akan membunuhku, itu hanya bunga tidur. Ayolah, jangan takut seperti itu. Membunuh lalat saja kamu tidak tega."
Apa yang dikatakan Tuan Fred tidak salah, tetapi aku tetap takut dengan diri sendiri. Mimpinya terasa nyata, sungguh jelas, semuanya terasa nyata.
"Begini saja," Tuan Fred menepuk puncak kepalaku pelan, "kita potong rambutmu. Sudah panjang begini, kamu tidak mungkin pergi ke salon ya? Kemampuanmu itu menghalangi."
Aku mengangguk. Tuan Fred menawarkan dirinya untuk memotong rambutku. Aku tidak bisa menolak, kelihatannya dia serius sekali.
Maka kami pergi ke ruang tengah, menggelar karpet plastik yang kupunya, kemudian memotong rambutku di sana. Kami berbincang sedikit mengenai pertandingan sepak bola semalam, membuatku sedikit tenang dari mimpi yang kusaksikan semalam.
Tidak terasa, Tuan Fred selesai memotong rambutku. Dia pergi ke kamar mandi kemudian kembali dengan sebuah cermin.
Manikku membelalak.
Aku menghindari cermin. Aku tidak mau melihat diri sendiri dan mengetahui berapa lama lagi waktuku untuk bernapas serta bagaimana wujudku ketika aku mati.
Aku takut.
Aku ingin menghindarinya.
Tuam Fred berhenti, menatapku sejenak kemudian tersenyum. "Ini tidak akan buruk, Gibran. Kamu percaya padaku, 'kan? Aku yakin kamu tidak akan melihat apa pun."
Suaranya terdengar begitu tenang, maka aku mengangguk pertanda setuju. Dia mendekat dengan langkah yang kecil, kemudian menempatkan cermin kecil itu di hadapanku.
Mataku masih terpejam, enggan melihat apa pun yang direfleksikan cermin. "Ayolah, Gibran. Setidaknya kamu harus melawan rasa takut itu."
Tuan Fred benar.
Sedikit demi sedikit, kubuka kelopak mata yang menghalangi pandang. Aku menatap cermin, benar-benar merinding saat mendapati pemandangan mengerikan pada cermin.
Aku tidak bisa melihat apa pun.
Wajahku tidak terlihat, ada banyak lalat hitam menutupinya. Kulirik Tuan Fred, dia masih tersenyum. "Apa yang kaulihat?"
Aku menggeleng keras, hampir terjatuh dari kursiku. "A-a-aku ... aku ...."
"Santai saja, Kawan. Tarik napas, lalu embuskan perlahan. Benar, seperti itu! Nah, bagaimana kalau kita lepaskan ini," Tuan Fres melepaskan handuk yang melilit leherku kemudian menuntun ke dapur, "dan mengambil minum."
Aku terduduk di kursi, sementara Tuan Fred membawakanku segelas air putih.
Kutelan salivaku lamat-lamat. "Aku mati. Sebentar lagi, aku mati. Hari ini, aku mati."
"Benarkah? Tidak mungkin, dengan siapa aku harus berbincang kalau kamu mati?"
"Tapi itu benar! Aku lihat cermin, dan lalat-lalat hitam itu memenuhi wajahku! Tuan Fred, aku akan mati! Tapi, kenapa?" Aku menjambak rambut sendiri. "Aku tidak mungkin keluar rumah hari ini 'kan?"
"Tidak," jawab Tuan Fred. "Itu bagus."
Kuhela napas berat.
"Kau benar. Mungkin aku bisa menghindari kematianku." Aku turun dari kursi dan berbalik hanya untuk mendapati Tuan Fred sedang menggenggam sebilah pisau dapur.
Tubuhku mematung. Ingin rasanya aku bertanya, untuk apa pisau itu? Dia hanya akan memberikanku segelas air.
Tuan Fred tersenyum. "Pisau ini, ya? Kupikir ini cocok untukmu. Kautahu, aku selalu ingin mencoba ... adrenalin. Tapi sejauh ini, tidak ada yang membuatku merasakan adrenalin."
"Lalu, aku berpikir, mungkin membunuh orang akan membuatku merasakan adrenalin!" seru Tuan Fred. "Aku hanya perlu mencari korban yang mudah tergantung padaku, dan akhirnya aku bertemu denganmu setelah lama mencari korban di sekitar."
Pertolongan dan topeng ramahnya untuk semua orang itu hanya kedok?
Dia tertawa. "Kamu penakut, itu hal yang bagus! Kamu bisa melihat kematianmu, itu bahkan lebih bagus lagi! Sejak aku melihatmu ketakutkan, aku menyukaimu."
Tubuhnya semakin mendekat, sementara aku tidak bisa bergerak. Kenapa dia melakukan ini hanya karena ingin merasakan adrenalin?
Tawanya semakin lama semakin mengeras, kemudian menggelegar. Tawa itu kedengaran asing bagiku.
Eh ... tawa maniak dalam mimpiku.
Mimpi itu ... bukan aku yang membunuhnya.
Tuan Fred mengacungkan pisau dapur pada genggaman tangan kirinya.
Tapi dia yang membunuhku.
"Selamat tidur, Gibran!
"Selamat tidur, Tuan Fred!"
***
2697 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top