19. Under Influence
Berita kembali menampilkan kabar orang hilang. Ini sudah ke-26 bulan ini, bukankah itu terlalu banyak? Sebanyak 26 orang menghilang dalam waktu sebulan, tidak ada jejak, tidak ada petunjuk.
Detektif paling terkemuka dan dikenal dengan kepintaran otaknya bahkan sulit untuk memecahkan kasus yang sudah berlangsung selama dua tahun itu.
Total orang yang hilang secara tiba-tiba dan misterius ada 2.346 orang. Banyak dalam waktu dua tahun? Iya. Banyak sekali. Sekarang, rata-rata jumlah orang dalam setahunnya terus meningkat.
Tidak ada motif pasti dari pelaku hilangnya seperempat penduduk kota. Pelaku? Benar. Pihak berwajib menyakini bahwa hilangnya orang-orang disebabkan oleh seorang kriminal kelas kakap.
Mana mungkin kriminal kelas teri bisa menculik banyak orang tanpa bisa dilacak jejaknya? Dia pasti sudah terbiasa melakukan tindak kriminal seperti ini.
Kembali lagi ke motif, tidak ada motid yang benar-benar jelas. Kebanyakan orang yang hilang adalah laki-laki; remaja umur 16 tahun ke atas dan pria. Bisa saja ini motifnya; pelaku membenci laki-laki.
Akan tetapi, beberapa di antara orang yang hilang itu juga ada wanita. Maka praduga motif pertama gugur begitu saja. Sebetulnya itu adalah praduga pertama---dan terakhir setidaknya sampai sekarang.
Remaja yang duduk di sofa itu mematikan televisinya. Ia menengadah, menatap atap yang putih, kosong dan hampa. Dia tak habis pikir, mengapa ada seseorang yang menculik mereka tanpa alasan?
Sebetulnya, tidak terlalu tanpa alasan. Semua orang tahu pasti pelakunya---jika memang benar manusia di balik semua ini---pasti punya alasan walau tidak masuk akal sekali pun.
Ia beranjak, pergi ke dapur dengan mangkok bekas sereal kemudian mencucinya. Setelah dikeringkan, barulah mangkok itu ditaruh di tempat peralatan makan.
Kelihatannya, dia sedang bersiap-siap untuk sekolah. Baju yang rapi telah dikenakannya, tas ransel sudah digendongnya, bahkan dia sudah sarapan sambil menonton televisi.
Kepalanya menoleh ke belakang, menatap rumahnya yang kosong tanpa ada orang lain di dalam sana. Biasanya, rumah terdengar begitu ramai dan hangat.
Sejak kedua orang tuanya menghilang setahun yang lalu, dia kesepian. Remaja itu ingin sekali mencari mereka, tetapi pihak berwajib tak dapat membantu. Setahun lamanya ia menangis setiap mengingat orang tua, sekarang sudah terbiasa.
Pola pikirnya telah berubah; dia pikir sekarang, semua orang akan pergi juga pada akhirnya. Walau dia melindungi keluarga sampai titik darah penghabisan pun, jika itu sudah waktunya mereka pergi, ia harus menerimanya.
Walau ia berencana untuk mencari siapa pelaku dari hilangnya orang-orang itu.
Maniknya memperhatikan jalanan, berpikir akan sangat indah jika orang-orang tidak berpijak di atasnya dengan perasaan was-was mereka bisa hilang kapan saja.
Di sisi lain, remaja itu malah ingin dijadikan korban selanjutnya boleh pelaku penculikan banyak orang itu. Sampai mencetak ratusan angka orang hilang tanpa ada laporan tagihan uang sama sekali.
Ini bukan menculik dengan motif, setidaknya begitu pikir si remaja.
Terlalu lama melamun, dia menabrak seseorang. Sesegera mungkin, ia minta maaf sambil membungkuk beberapa kali walau orang yang ditabraknya sudah bilang kalau dia tidak keberatan sama sekali.
Kebetulan, yang tak sengaja ditangkapnya adalah anak sekelas yang jarang mengobrol.
"Maaf, Norman. Aku menghalangi jalan, ya?" tanya orang tersebut. Norman memgerjap, dengan cepat menggeleng untuk mejawab pertanyaan gadis terdebut dengan singkat.
"Tidak masalah, aku baik-baik saja. Lagipula, salahku juga melamun sambil berjalan." Norman menenangkan gadis yang sekelas dengannya itu.
Siapa namanya? Saking jarangnya mendengar teman sekelas yang satu itu berbicara, Norman sampai tidak tahu namanya siapa.
Dia mengajak gadis pendiam itu untuj pergi ke sekolah bersama. Si gadis mengangguk, tanda setuju dengan ajakan Norman. Kecanggung tetap menghantui mereka sepanjang jalan menuku sekolah.
Untuk itu, Norman bertanya kepada si gadis pertanyaan-pertanyaan yang menurutnya cukup sampai mereka sampai di gerbang sekolah.
Alih-alih kurang, pertanyaan itu malah cukup habis karena teman berbicaranya menjawab terlalu singkat tetapi memuaskan rasa penasarannya.
Dia kebingungan, beberapa saat membuat jeda kemudian teringat ia tidak tahu nama dari gadis yang sedang berjalan bersamanya.
"Siapa namamu?" Pada akhirnya, pertanyaan itu terlontar dengan mudah. Normal tersenyum kikuk ketika gadis di sampingnya hanya menatap.
Si gadis tersenyum kikuk juga. "Aku jarang berinteraksi sampai semua orang sekelas tidak mengenaliku, ya?"
Norman merasa bersalah ketika si gadis mengatakannya seperti itu. Dia ingim minta maaf saat si gadis berkata, "Cassidy. Orang tuaku biasa memanggilku Cassy."
"Oh ... namamu bagus. Orang tuaku biasa memanggilku Norman. Ah, aku tidak terlalu punya nama panggilan. Teman saja bisa dihitung jari, dan semuanya memanggilku Norman."
Cassidy melirik Norman, kemudian kembalu menatap trotoar. "Kamu mau ... nama panggilan?"
Mendengar pertanyaan itu, Norman sedikit terhenyak. Dia terkekeh, melirik Cassidy untuk beberapa saat hanya agar bisa melihat wajahnya. "Tidak, aku baik-baik saja."
Akhirnya, keheningan kembali menerkam. Untungnya gerbang sekolah sudah dekat. Cassidy dan Norman langsung pergi ke kelas, tidak mengatakan sepatab kata pun sampai berpisah ke tempat duduk masing-masing.
Sudah banyak teman sekelas mereka yang mengobrol ringan di kelas, walau ketakutan tetap tersirat sekilas dari manik mereka.
Apakah ada beberapa fakta yang lupa disebutkan, bahwa mereka yang hilang tubuhnya ditemukan telah termutilasi di berbagai tempat yang berbeda?
Setiap orang berakhir di tempat yang berbeda, tidak pernah ada yang tempat pembuangannya sama. Motifnya tetap tidak jelas, karena semua mayat yang ditemukan tidak dimutilasi.
Beberapa di antaranya hanya memiliki luka tusuk, ada yang dibakar sampai sulit dikenali, ada pula yang tinggal dagingnya saja; dikuliti.
Bisakah kau bayangkan betapa mengerikannya nasib mereka? Tentu semua orang ketakutan, karena mereka tidak mau berakhir sama seperti para korban itu.
Membayangkan tubuh mereka yang sudah tak bernyawa saja membuat mereka bergidik ngeri. Apalagi kalau benar-benar terjadi.
Norman memghampiri teman-temannya yang berada dekat dengan pintu kelas; alasan utama mereka duduk di sana agar bisa langsung kabur jika pelaku kejahatannya ada di sekolah.
Walau demikian, Norman tidak percaya pelakunya adalah salah satu warga sekolah. Semuanha terlihat begitu suram, bahkan beberapa guru sudah pindah rumah dan berhenri mengajar di sana.
"Hei, kalian." Norman menghampiri tanpa topik pembicaraan, membuatnya kaku saat menyapa.
Teman-temannya---Julian dan Ben---hanya mengangguk lemas. Mereka merasa, tidak ada yang bisa disenangi dua tahun terakhir ini semenjak insiden hilangnya orang-orang dan tubuh-tubuh korban ditemukan di tempat-tempat acak terjadi.
"Kamu sudah buat PR, Norman?" tanya Julian dengan tatapannya yang nanar.
Norman sendiri, dia tidak ingat kalau mereka ada pekerjaan rumah. Pikirannya terlalu dipenuhi dengan berbagai macam ambisi untuk menemukan pelaku.
Pada akhirnya, dia hanya menggeleng lemah. Julian dan Ben pun sama, mereka tidak mengerjakan tugas rumah dengan baik karena terlalu takut dengan keadaan di luar tetapi masih harus sekolah.
Mereka ingin sekali, semua warga dievakuasi. Namun, menurut pemerintah, hal itu tidak bisa dilakukan.
Jika memang benar siapa pelaku di balik insiden mengerikan ini belum diketahui bahkan walau hanya praduga sekali pun, mereka tidak bisa mengumpulkan semua isi kota dalam satu tempat yang jauh lebih sempit.
Karena pembunuhnya masih ada di antara orang-orang itu. Memang benar persentase menangkapnya jadj semakin besar, tetapi mereka tidak bisa mengorbankan nyawa orang tidak bersalah sebagai umpan.
Lagipula, pelaku sepertinya kriminal profesional dalam bidangnya walau motif selama ini masih tidak jelas. Di kantong plastik untuk membuang mayat-mayat itu, tidak ada sidik jari sedikit pun.
Noda pun tidak ada. Tidak ada jejak kaki di tanah, seolah pelakunya tahu semua kemungkinan pihak berwenang menangkapnya jika jejaknya sampai ketahuan.
Bel masuk berbunyi, semua orang duduk di tempatnya masing-masing. Norman duduk dekat jendela, baru sadar bahwa dia duduk di hadapan Cassidy selama ini.
Mereka saling melempar senyum, kemudian duduk masin-masing. Cassidy tidak punya teman duduk, sementara Norman sebaliknya. Hanya saja, teman duduknya itu sudah lama tidak masuk sekolah tanpa kabar.
Semua orang di kelas berasumsi teman duduk Norman itu telah pindah tanpa memberitahu siapa pun. Dia sengaja menghindari pelaku di balik hilangnya orang banyak.
Guru tak kunjung masuk ke kelas, mereka kembali berasumsi bahwa guru-guru itu juga ketakutan dan memutuskan untuk tidak keluar rumah.
Norman menghela napas, hidup sekota bisa berubah begitu saja karena satu orang yang dianggap berbahaya. Bukan maksud Norman merendahkan, tetapi pelakunya masih manusia.
Bagaimanapun, seorang manusia pasti punya kelemahan. Norman hanya perlu menemukannya dan---
"Norman, Norman." Seseorang berbisik dari belakang, memanggil namanya. Tentu saja Norman menoleh, mendapati Cassidy tersenyum tipis kepadanya.
"Maaf, apa aku mengganggumu? Aku hanya ingin berbincang denganmu. Diam-diaman begini rasanya sepi, apalagi saat gurunya absen." Cassidy menyondongkan tubuhnya ke depan agar suaranya yang kecil dapat didengar.
Norman tidak melihat ada yang salah dengan itu, maka dia mengiyakan. Mereka berbincang tentang pelajaran dahulu, kemudian hewan peliharan, hobi, dan segala macam yang dilakukan orang yang baru saja berkenalan.
Semua orang kelihatam suram, walau mereka berusaha untuk mengisi waktu dengan obrolan ringan yang dapat mencerahkan suasana. Namun, hanya Norman dan Cassidy yang benar-benar terlihat santai.
Pada titik itu, seisi kelas iri dengan kesantaian mereka berdua. Mereka juga ingin merasakannya lagi; hidup tanpa ketakutan dalam hati.
Semakin lama, rasanya mereka semakin lelah. Ada beberapa yang jengkel dan ingin mencekik siapa pun pelakunya jika suatu saat nanti tertangkap. Namun, tentu saja, mereka hanya akan membayangkan hal itu terjadi.
***
Selama berbulan-bulan lamanya, selama itu juga Norman dan Cassidy kini berteman baik. Norman hanya bisa kembali ke dirinya yang ceria sebelum insiden ketika Cassidy ada bersamanya.
Cassidy hanya bisa terbuka kepada Norman, bahkan suaranya yang biasa terdengar seperti bisikan itu mulai mengeras ketika dia berbicara dengan Norman.
Sejauh ini, Cassidy adalah gadis yang lembut hati dan perhatian. Dia sensitif dengan sekitarnya, begitu peduli dengan sesama. Norman suka dengan Cassidy yang seperti itu.
Suka, ya?
Norman belum pernah merasakannya sebelumnya. Seolah apa pun yang dilakukan Cassidy menjadi indah di mata Norman. Caranya menulis, caranya berbicara, caranya menangis ketika seseorang terluka; semuanya.
Remaja bersurai kelam itu menyukai semua kepribadian Cassidy satu-satu. Seolah Cassidy merupakan gadis yang sempurna bagi Norman.
Sebelum dia akrab dengan Cassidy, rasanya hidupnya sudah hampa semenjak orang tuanya menghilang. Dia sudah mencoba untuk memperluas pertemanan, tetapi hidupnya yang biasa tidak bisa kembali lagi.
Setidaknya sampai Cassidy hadir di hidupnya, mencerahkan hari-hari kelam itu, membuatnya kembali menerbitkam senyuman tulus tanpa paksaan apa pun pada otot wajahnya.
Hari ini, hari libur. Mereka berjalan-jalan ke taman tanpa rasa takut. Norman merasa dia aman bersama Cassidy, begitu pun sebaliknya.
Hari ini, mentari terasa lebih menyengat dari biasanya.
Hari ini, Norman berniat unthk menyatakan perasaannya kepada Cassidy. Dia berniat untuk mengajaknya keliling taman, melihat-lihat bunga yang bermekaran dengan indah.
Norman sangat yakin taman kota pasti sedang sepi; orang-orang enggan keluar jika tidak terlalu penting. Pergi ke taman merupakan sesuatu yang tidak terlalu penting untuk dilakukan, maka dari itu, Norman cukup percaya diri.
Selama perjalanan, mereka banyak berbincang tentang banyak hal; gaya rambut yang cocok, makanan kesukaan, keseharian mereka kemarin di rumah seperti apa.
Seperti biasa, Cassidy terlihat begitu indah untuk manik biru laut milik Norman. Begitu indah, jika saja Cassidy menerima pernyataan perasaannya.
Mereka berhenti di tengah taman, terduduk di kursi yang panjang beberapa saat untuk melepas penat dan melemaskan otot-otot kaki yang dipakai untik berjalan.
Norman mulai merasa gugup, dia ingin sekali mengatakannya dengan lancar dan tidak terburu-buru.
Saat Cassidy berhenti berbicara, akhirnya Norman yang angkat suara. "Cassidy, aku ...."
"Ya?" tanya Cassidy spontan. Dia menoleh, menatap Norman dengam senyumannya yang manis. Terlihat begitu polos dan elegan.
Norman menegak salivanya lamat-lamat. "Aku suka ... aku suka kamu."
Cassidy mengerjap.
Hening kemudian menyergap.
Atmosfer seketika berubah canggung dengan fakta bahwa Cassidy tidak bereaksi akan pernyataan Norman. Norman sendiri merasa dirinya melakukan hal yang salah.
Setidaknya sampai Cassidy mengangguk. "Tentu saja! Terima kasih, Norman. Aku tidak berpikir akan ada seseorang yang menyukaiku seperti kau menyukaiku."
"Bagaimana mungkin begitu? Kamu adalah gadis terbaik yang pernah kutemui. Segala tentangmu begitu indah, Cassy. Siapa yang tidak akan menyukaimu?" tanya Norman.
Cassidy terkekeh. "Mau kutunjukan?"
"Ah? Tentu!" seru Norman.
Senyuman Cassidy melebar, dia menatap Norman penuh arti. "Aku akan memberimu sebuah kejutan! Kebetulan, hari ini aku berencana untuk membawamu ke rumahku. Apakah--"
"Tentu saja!" potong Norman. "Aku akan ikut denganmu!"
"Bagus!" seru Cassidy kemudian beranjak. Dia mengulurkan tangannya kepada Norman, tersenyum hangat. "Mari, kuantar kamu."
***
Enam hari.
Enam hari Norman terduduk di kursi yang sama, dengan ikatan tali tambang yang sama. Sudah berhari-hari dia mendekam di ruang bawah tanah dengan bau mayat busuk yang menyengat.
Enam hari.
Butuh sehari---hari di mana Cassidy berkata dia punya kejutan untuk Norman---untuk menyadari bahwa Cassidy adalab seseorang yang selama ini dia incar.
Bukan sebagai gadis masa sekolah menengah, melainkan sebagai pelaku penculikan dan pembunuhan berantai. Bisakah kau bayangkan betapa terpukulnya Norman ketika dia tahu kedok manis Cassidy?
Cassidy melakukannya untuk menarik korban. Beberapa tertarik kepada fisiknya, ingin melakukan sesuatu yang tidak etis kepadanya. Bagi Cassidy, pria macam itu adalah yang mudah dijebak.
Beberapa lagi mengasihaninya dengan akting tersakiti atau kecelakaan di pinggir jalan. Orang-orang seperti ini agak sulit untuk ditemukan.
Dan yang terakhir, Norman. Menurut penuturan Cassidy, butuh berbulan-bulan baginya agar Norman cukup percaya hingga mau mampir ke rumahnya untuk menerima sebuah kejutan.
Skema Cassidy yang ditabrak oleh Norman ternyata adalah rencananya selama ini.
Norman benar-benar tidak habis pikir. Untungnya, kemarin malam saat Cassidy memberikan Norman sepiring nampan, ada gelas keramik di atasnya.
Norman mengambil itu dengan susah payah, memecahkannya, dan sekarang sedang berusaha untuk memotong tali tebal itu dengan tangan berlumuran darah.
Aku harus keluar dari sini. Cassidy adalah pelakunya, dia pelakunya. Dia telah membunuh kedua orang tuaku dan banyak warga lainnya.
Norman berhasil memotong tali tangannya. Kini, dia membuka kedua tali yang mengikat kakinya.
"Aku melakukannya karena senang. Mereka yang kubawa itu mereka yang pantas mendapatkan ajal seperti itu."
Penggalan jawaban dari Cassidy tiba-tiba melintas di benak Norman. Dia menggeleng, berdiri kemudian mengendap-endap keluar dari ruang bawah tanah.
Untungnya, saat dia sudah sampai di lantai dasar, tidak ada tanda-tanda Cassidy. Dia akhirnya berlari, membuka pintu dengan kasar sehingga membunyikan alarm yang sangat keras.
Sial. Sial, sial, sial!
Larinya lumayan kencang untuk seorang manusia yang sudah tidak makan selama enam hari walau diberikan nampan penuh makanan. Bagaimana cara memakannya jika kedua tangan terikat kencang?
Norman sudah berlari lumayan jauh, sampai dia mendengar bunyi senapan dari belakang. Dia berasumsi Cassidy mencoba untuk melumpuhkannya.
Untuk itu, dia bersembunyi di balik salah satu pohon yang besar. Norman mengatur napasnya, mencoba untuk menenangkan diri. Tak disangka Cassidy adalah pembunuh yang melakukan semua itu demi kesenangan.
Rencananya yang matang dan rapi.
Norman bersandar, tubuhnya lemas. Dia terduduk di balik pohon, sesekali mengintip untuk memastikan Cassidy telah menyerah untuk menangkapnya.
Senyuman bengis terlukis pada wajahnya yang indah.
Napasnya sudag mulai teratur, akhirnya ia bisa menenangkan diri walau sejenak saja. Rasanya, beban-beban yang ada dalam hatinya perlahan mulai menghilang ketika dia terduduk di balik pohon itu.
Caranya menarik korban dengan bakat akting yang luar biasa.
Seutas senyuman tiba-tiba terbentuk di atas wajah Norman yang telah memucat. Wajah Cassidy terbayang dalam benak, terlihat begitu indah.
Suaranya yang memabukan.
Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya, senyuman itu tidak bisa ditahannya lagi.
Dia begitu indah.
Indah.
Indah.
Indah.
Menawan.
Pujaan hatiku.
Norman berusaha untuk menepis pikiran itu, tetapi dia tidak bisa. Ada sesuatu dari cara Cassidy menarik korban dan melakukan semua penculikan dan pembunuhan itu yang membuatnya merasa ... hidup.
Cassidy itu indah.
Dia beranjak dari duduk, keluar dari tempat persembunyiannya. Kedua tangannya terangkat tinggi, tembakan itu tidak lagi terdengar. Tungkainya melangkah maju tanpa ragu, mendekati rumah yang menjadi tempatnya disekap.
Semakin dekat, semakin nampak wujud Cassidy dengan senapan kecil di tangan kanannya. Matanya yang indah itu membuat Norman tak bisa fokus. Dia ingin memilikinya.
Milikku.
Cassidy tersenyum tipis. "Oh, kembali kepadaku? Siap dengan ajalmu---"
"Aku akan melakukan apa pun untukmu," potong Norman. Kedua tangannya ia turunkan, dia meraih tangan kiri Cassidy yang bebas kemudian mengecup punggung tangannya.
Sorot matanya terlihat begitu terhipnotis, padahal Cassidy tidak melakukan apa pun. "Aku menyukaimu."
Awalnya, Cassidy sedikit bingung. Kemudian dia tersenyum, menatap Norman yang kelihatannya bisa diandalkan untuk rencananya yang baru.
"Masuklah, Norman. Mulai saat ini, kamu tinggal bersamaku."
Norman mengangguk. Hatinya terasa senang. "Aku suka itu."
Indahnya ....
***
2592 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top