18. Meeting You
Remaja itu terbangun. Dengan nyawa yang belum terkumpul penuh, dia terduduk di atas ranjangnya dan mengucek matanya beberapa kali. Setelah kantuknya dirasa hilang, dia berdiri dan mereggangkan badannya.
Mei Pratama namanya. Seorang laki-laki yang selalu disangka perempuan oleh orang-orang yang mendengar nama depannya saja. Mei baru menginjak usianya yang ke-17 tahun, maka, dia merupakan siswa sekolah menengah akhir kelas dua semester pertama.
Dia berjalan mendekati jendela dan membukanya, menghirup dalam-dalam udara segar dari luar dan mengembuskannya pelan. Mei tersenyum, lalu berbalik dan pergi untuk mandi.
Mei tinggal dengan kedua orang tua dan adik perempuannya, Merissa. Usia mereka terpaut tiga tahun. Mei merupakan sosok kakak yang dapat kalian temui di cerita-cerita wattpad klasik; kakak protektif yang tampan.
Keluarga Pratama merupakan satu-satunya manusia di negeri mereka; Batavia. Maka dari itu, Mei mudah cemas kalau Merissa harus pergi main bersama teman-temannya seorang diri.
Negeri Batavia dihidupi dengan banyak ras. Ada ras kelinci. Ras kelinci memiliki ciri-ciri manik mata yang merah, hidung merah muda, telinga mencuat panjang, ekor lembut di pantatnya, dan lompatannya yang tinggi.
Mereka memberikan kesan pemalu dan lemah, walaupun beberapa di antara mereka yang berani menantang musuh alaminya; ras kucing. Beberapa di antara mereka juga diketahui memiliki tendangan yang sangat kuat.
Yang kedua, ada ras kucing. Seperti yang sudah kalian ketahui, ras kucing merupakan musuh alami ras kelinci dan ras anjing. Mereka memiliki ciri-ciri seperti telinga kucing yang mencuat, manik berwarna kuning, kumis kucing tipis di pipi, hidung yang hitam, cakar, ekor yang panjang, dan larinya cepat sekali.
Walaupun lebih lemah daripada ras anjing, ras kucing seringkali lebih mengendalikan kekuatannya dibandingkan dengan ras anjing. Ras ini dikenal sebagai ras paling pemalas dan seenaknya.
Yang ketiga, ada ras anjing. Ras anjing merupakan musuh alami dari ras kucing. Ras anjing memiliki telinga yang lebih runcing dibandingkan ras kucing, maniknya cokelat, hidungnya hitam, lidahnya panjang, bercakar, ekor panjang, dan tentu saja larinya juga cepat.
Mereka dikenal sebagai ras paling penurut dan setia. Walaupun begitu, ada beberapa di antara mereka yang sadar bahwa kekuatan yang mereka miliki mampu memimpin secara paksa orang-orang yang mereka pilih. Ras ini kadang juga dikenal sebagai ras pengganggu.
Yang terakhir, ras paling kuat; serigala. Ras serigala jarang muncul di Negeri Batavia, karena mereka bisa dibilang punya wilayah sendiri. Wilayah ras serigala sering disebut dengan Aphea.
Aphea ditandai dengan aura yang menguar berwarna ungu tua dengan kelabu yang bercampur tidak karuan. Biasanya Aphea berada di sekitar hutan atau bukit dekat penghujung Negeri Batavia dan Negeri Fredilletale.
Ras serigala dikabarkan memiliki telinga yang sama dengan telinga ras anjing, manik matanya berwarna biru jernih, hidungnya hitam, penciumannya lebih tajam dibanding ras anjing, cakar mereka tajam, memiliki taring, dan buku ekor mereka lebat.
Ras serigala terkenal dengan tiga pemimpin terkuat mereka; Alpha, Beta, dan Omega. Alpha memiliki manik mata yang berbeda dengan serigala lainnya, yaitu merah. Kemampuan bertarung Alpha sangat luar biasa, ditambah lagi, kelincahannya membantu kemampuan bela dirinya.
Beta, memiliki manik mata kelabu jernih. Bisa dibilang Beta berbeda sepuluh poin kekuatan dengan Alpha. Beta memiliki kemampuan mengendus yang tajam. Hidungnya lebih sensitif dari serigala lain.
Omega memiliki manik mata hijau emerald. Dikatakan bisa menandingi Alpha dan Beta, tidak juga. Omega bisa menjadi tiga pemimpin terkuat karena kemampuan matanya yang tajam.
Dikabarkan bahwa Alpha yang menjabat sekarang telah menghilang entah ke mana. Tidak ada yang sempat melihatnya, bahkan tahu warna bulu ekornya pun tidak.
Sejujurnya, hal itu membuat Mei bersyukur. Dia tidak ingin adiknya, Melissa, bertemu dengan Alpha yang digadang-gadang paling kuat itu. Walaupun begitu, masih ada Beta dan Omega yang berkeliaran di luar sana.
Meskipun wujud mereka setengah manusia setengah hewan--seperti kartun-kartun Jepang--tetap saja Mei khawatir. Apalagi setelah mendengar rumor kekuatan mereka seperti apa.
Selesai mandi, Mei menggunakan jubah handuknya dan keluar dari kamar mandi. Dia berjalan ke kamarnya untuk memakai seragam sekolah. Ini hari Rabu, minggu kedua Mei menjadi siswa sekolah menengah atas kelas dua semester pertama.
Mei tersenyum sumringah. Dia senang memiliki teman sekelas dominan ras kelinci. Baginya, ras kucing dan anjing hanya beban saja. Namun, anehnya teman baik Mei saat ini merupakan ras anjing.
Ironis.
Setelah mengambil ranselnya, dia pergi ke dapur dan menyambar roti isi selai kacang yang sudah dibuat oleh ibunya, Evie. Merissa menyambut kakaknya dengan pelukan, dan lambaian karena Mei memutuskan untuk segera pergi.
Sekolahnya berjarak beberapa blok dari rumah Mei. Sekitar empat blok, dekat dengan kota Raven; ibukota Negeri Batavia.
Mei berjalan riang, menyapa beberapa tetangga yang berpapasan dengannya. Dia memiliki firasat baik untuk hari ini. Tentu saja, karena Mei mendengar kabar burung bahwa sekolah hanya akan dilaksanakan setengah hari.
Tiba-tiba, Mei merasakan sengatan listrik pada pelipis kirinya. Dia berhenti melangkah, lalu mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Kalau begitu, kita akan bertemu lagi di sini. Tujuh tahun dari sekarang."
Mei menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. Untuk sekian detik, dia melihat kelebat seorang bocah perempuan berdiri di depan sebuah sumur, memakai baju serba merah muda dengan rok renda yang manis.
Manusia itu mengernyit, lalu mengedik. Dia mulai berjalan kembali walau pikirannya berputar-putar.
Tadi itu ... apa?
***
"En-hak! En-hak!"
Pukulan berkali-kali di meja kantin membuat Mei dan seorang ras anjing di sampingnya menggeleng. Dia menatap remaja ras anjing lain di depannya, sedang melahap daging asap setengah matang.
Yang ditatap mengerjap. "Kenap-ha?" tanyanya dengan mulut yang penuh dengan cincangan daging asap.
Mei mengernyit. "Kunyah, telan, baru bicara. Kebiasaanmu tidak baik, Frey."
Frey menelan makanannya lalu menunjuk remaja ras anjing yang terduduk di samping Mei. "Lihat mulutnya! Belepotan begitu!"
Mei menoleh, mendapati teman makan siang di sampingnya memang berantakan. Dia menggeleng lalu mengambil selembar tisu tidak jauh darinya, kemudian memberikan tisu tersebut pada temannya.
"Terima kasih," ucap remaja ras anjing itu seraya menghapus jejak daging asap yang ada di sekitar mulutnya.
"Theo lebih parah dariku!" seru Frey bangga.
"Jangan bicara seperti itu dengan wajah sebangga itu!" seru Mei gemas.
Mei hendak melahap bubur kacangnya, saat dia merasakan sengatan listrik di pelipis kanannya. Kepalanya pening, membuat genggaman pada sendok di tangan kanannya melonggar.
Frey dan Theo menatap Mei cemas. Frey segera berdiri lalu berlari untuk mengambil segelas minuman untuk Mei. Theo mengusap-usap punggungnya, mengira Mei tersedak atau semacamnya.
"Kau kenapa, Mei?" tanyanya. Tangannya yang semula mengelus kemudian menepuk-nepuk pelan.
Mei menggeleng, serangan pening hinggap di kepalanya. Dia mengernyit. Sekelebat sosok bocah perempuan tertawa riang dengan baju serba merah muda dan rok renda kembali nampak.
"Yang benar, kau akan bertemu denganku lagi di sini?"
Frey kembali dengan sebotol air putih di tangan kirinya. Dia lekas membuka tutup botol lalu menyodorkannya pada Mei. Mei menolaknya, berkata bahwa dia baik-baik saja.
Setelah beberapa detik, pening yang tadi hinggap di kepala Mei sirna. Dia mengerjap guna mendapatkan pandangan jelasnya kembali, lalu menatap sekeliling.
Mei bertukar pandang dengan Frey dan Theo yang wajahnya sudah dihiasi dengan kecemasan.
"Kenapa?" tanya Theo. "Kau sakit?"
Mei menggeleng. "Aku merasa seperti tersengat listrik."
"Ken ...."
PRANG!!!
Pertanyaan Frey terpotong oleh nampan alumunium yang terjatuh ke lantai. Mei, Frey, dan Theo berusaha mencari sumber suara sampai akhirnya mereka melihat seorang gadis manusia sedang tersungkur dengan makanan yang berhamburan dari nampannya yang jatuh.
Seorang gadis ras kucing dengan dandanan seperti para penindas di film-film itu membentak, "Jalannya pakai mata, dong!"
Orang-orang di sekitar mereka hanya berani menonton adegan itu. Tidak ada yang berani melerai, kecuali Frey, tentu saja. Frey tidak suka penindas, ka lebih baik disuruh memakan lebah dibanding harus berbicara dengan salah satunya.
Frey berseru, "Aku tahu kau yang berjalan tanpa melihat jalanmu."
Gadis ras kucing itu mengernyit. "Apa maksudmu?"
"Kau berjalan sambil mendongak. Kalau kau menatap langit-langit, tentu saja kamu akan menabrak seseorang atau sesuatu," jawab Frey serius.
Gadis ras kucing itu berdecak. "Aku tidak begitu!"
"Sudahlah," ucap Frey seraya mengulurkan tangan untuk gadis manusia yang tersungkur di belakangnya. "Pergi."
Mei mengerjap takjub dengan aksi heroik Frey. Eh, tunggu. Manusia ...?
Mei tersentak, lalu cepat-cepat berdiri dan menghampiri Frey yang sedang membantu gadis manusia itu berdiri. Dia menatap Frey dan gadis tersebut bergantian, seolah kebingungan karena amnesia.
Frey mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa?"
Mei tidak menghiraukan pertanyaan Frey. Sebagai gantinya, dia beralih pada gadis manusia itu laku bertanya, "Kamu ... manusia?"
Gadis itu mendongak, manik mata mereka saling menumbuk. Manusia itu mengerjapkan matanya beberapa kali, tak melepas pandangannya dari wajah Mei.
Mei mengernyit, heran. Aku tahu, aku tampan. Namun tidak perlu terkesima seperti itu juga. 'Kan malu.
Sudah salah, narsis pula.
"Kenapa?" tanya Mei ragu. Gadis yang nampak baru sadar dari lamunannya itu menggeleng, lalu kembali menelisik wajah Mei seksama.
Gadis tersebut menelengkan kepalanya. Rambut pendek hitam sebahunya ikut miring ke kiri. "Mei ...?"
Mei mengerjap, mengangkat kedua alisnya. Oh, setampan itukah aku sampai dia tahu namaku?
Sudah salah dua kali, narsisnya bertambah.
Gadis itu mengelus pipinya sendiri pelan. Seketika, Mei merasa sesuatu menyengat bagai listrik di pipinya. Gadis tersebut tersentak, kemudian lari begitu saja.
Frey memanggilnya, tetapi gadis tersebut tidak berhenti berlari. Dia mengembuskan napas lalu menatap ke bawah. Ekornya bergoyang ke atas dan ke bawah.
Dia menoleh kepada Mei. "Aku boleh makan dagingnya, 'kan?"
Mei memukul kepalanya pelan. "Jorok!"
***
Langit sebentar lagi berubah warna menjadi jingga, tiga remaja itu masih berada di kelas mereka, bermain game mobile di ponsel pintar masing-masing.
Sesekali, mereka menyerukan nama rekannya, menyuruhnya ke arah kanan atau kiri, memperingatinya bila ada musuh yang siap menembak.
Mereka semua mendesah pasrah. Kekalahan harus ditelan bulat-bulat. Mei mendongak, menatap langit-langit kelas yang polos. Tanpa peringatan, otaknya mengingat kelebatan sosok bocah perempuan dengan pakaian merah muda dan rok renda itu.
Siapa?
Setelah dipikir-pikir, kalau sengatan listrik di pelipisnya sudah terjadi dua kali dengan sosok yang sama, namun dialog yang berbeda, artinya itu bukan suatu mantra.
Itu mungkin saja ingatannya yang terkubur selama ini.
Tapi, kenapa aku lupa?
Kalau Mei melupakannya, bukankah ingatan itu tidak penting? Kalau penting, Mei pasti berusaha untuk tetap mengingatnya walaupun hanya isi percakapannya saja.
Akan tetapi sosok bocah perempuan itu asing baginya.
Lamunan Mei dipecahkan oleh Theo yang menggoyang-goyangkan tubuhnya. "Sedang ada pikiran, ya?"
Mei mengedik. "Tadi, di kantin," dia menopang dagunya, "kepalaku rasanya seperti disengat listrik bertegangan rendah."
Theo dan Frey mengangguk lalu berkata bahwa Mei sudah mengatakannya. Mereka menyimak seksama, menatap Mei yang sedang menghembuskannya napas beratnya.
"Setelah sensasi sengatan itu, aku merasa kepalaku jadi berkunang-kunang." Theo dan Frey mengangguk-angguk.
"Lalu tiba-tiba, seperti film layar lebar, aku melihat sosok bocah perempuan dengan pakaian serba merah muda dan rok renda."
Theo dan Frey kembali mengangguk.
"Dia berkata, apa aku sungguh akan menemuinya di sana lagi?" Kali ini Theo dan Frey mengernyit.
"Aku sudah mengalaminya dua kali hari ini."
"Dua kali?" tanya Theo.
Mei mengangguk.
"Yang kedua di mana?" tanya Theo lagi. Mei menggeleng.
"Yang di kantin itu kejadian kedua. Yang pertama saat aku sedang berjalan untuk ke sekolah."
Frey menelengkan kepalanya pelan. "Yang pertama juga, bocah perempuan yang kaulihat bicara seperti itu?"
Mei menggeleng. "Dia bilang, kalau begitu kami akan bertemu lagi tujuh tahun dari sekarang."
"Hah?"
Mei menoleh kepada Frey. "Jangan 'hah' padaku. Aku juga tidak tahu."
"Mungkin itu ingatanmu?" tanya Theo. Mei mengedik.
"Bocah itu kelihatannya umur berapa?" Theo bertanya sekali lagi. Mei menatap ke sudut kanan atas matanya, lalu kembali mengedik.
"Sekitar sembilan atau sepuluh tahun. Wajahnya tidak terlalu jelas, tapi aku ingat warna rambutnya."
"Memangnya warna rambut penting?" tanya Frey tidak peduli.
Mei mengangguk. "Warnanya aneh."
"Memang apa?" tanya Frey.
"Hitam, ujungnya putih. Dikuncir dua."
Theo dan Frey saling melempar tatap, lalu mengernyit dan menelengkan kepala mereka serentak. Apa pun itu, bagaimanapun bentuknya, mereka yakin kalau itu hanya pecahan-pecahan memori Mei.
Mei yang penasaran, berpikir bahwa ini adalah hal serius. Sesuatu dia lupakan begitu saja, bisa jadi sesuatu itu tidak penting. Namun, bagaimana jika sesuatu itu penting?
Entahlah.
Mei pamit kepada teman-temannya, lalu berlenggang pergi. Pikirannya kalut dengan kemungkinan bahwa apa yang dia lebat adalah ingatannya yang keluar setelah lama terpendam.
Yang tidak Mei mengerti adalah, kenapa dia bisa melupakannya? Mei bukanlah orang tipe pelupa. Dia bahkan mengingat apa yang dilakukannya saat usianya baru berusia enam tahun di hari Minggu bulan Februari tanggal delapan belas.
Bahkan dia mengingat waktunya. Pukul delapan pagi lebih empat menit; dia merengek dibelikan mobil mainan yang bisa dirakit ulang menjadi robot.
Siapa, ya?
Merissa tidak mungkin. Rambutnya berwarna cokelat gelap.
Apa mungkin aku salah lihat?
Tapi kami berdua tidak pernah pergi ke sumur.
Lagipula, sumur di mana itu?
Langkah Mei terhenti. Atensinya direnggut oleh jalan setapak yang tidak lemah dia lewati. Jalan itu terlihat terlantar, dengan dedaunan kering yang menyelimuti semen kusam yang mulai berlumut dimakan usia.
Mei menegak salivanya lamat-lamat. Dia berpikir, apa aneh kalau hatinya tergerak untuk melewati jalan setapak itu?
Akan tetapi, dia tidak tahu ke mana jalan setapak tua tersebut akan membawanya. Namun, bukan Mei kalau dia tidak memercayai firasat buruknya. Kakinya berjalan ke arah jalan setapak itu, menyusurinya sembari melirik kanan-kiri.
Perlahan tetapi pasti, jalan setapak tua itu mulai berganti menjadi tanah. Semakin lama dia menyusurinya, semakin hilang lupa semen yang dipijaknya.
Mei menoleh kanan-kiri, iai belum pernah melihat bagian ini dari kotanya. Begitu sunyi, dipenuhi dengan pohon yang rindang. Entah kenapa, walaupun matahari belum benar-benar terbenam, suasana gelap sekali.
Srak!
Srak!
Ekor mata Mei menatap semak-semak yang mengeluarkan suara tersebut. Dia menegak salivanya, memiliki firasat buruk akan hal ini.
Akan tetapi tentu saja, Mei mengabaikan firasatnya sendiri.
Seperti film-film, sengatan listrik di kedua pelipis Mei menyerangnya mendadak. Kali ini dia merasa tegangannya lebih tinggi, bahkan Mei sampai merintih kesakitan dibuatnya.
Kepalanya terasa berat, matanya berkunang-kunang, pening di kepalanya lebih parah dari kali terakhir sengatan listrik itu datang. Mei mencoba untuk tetap berdiri, menjaga keseimbangannya agar tidak tersungkur.
Kelebatan bocah perempuan dengan baju serba merah muda dan rok renda itu kembali muncul.
"Aku harus pergi, Mei."
Mei melihat dua tangan terulur ke arah bocah perempuan itu. Kilas balik yang ia dapat ternyata memiliki sudut pandang orang pertama.
Mei menyadari bahwa bocah itu memanggil namanya. Jadi dia yakin bahwa ini memang ingatan yang tidak dengan ia kubur dalam-dalam.
"Kenapa?" Suara Mei yang bertanya.
"Karena Ayah bilang, aku harus hidup. Setidaknya sampai usiaku tujuh belas tahun."
"Kenapa?"
"Tidak tahu."
"Mungkin karena kau ...?"
"Mungkin."
Kepala Mei terasa semakin berat. Dia tidak kuasa menahan matanya untuk tetap terjaga.
"Mei, apa kita masih bisa bertemu?"
"Tentu!"
"Sungguh?"
"Iya. Aku janji, tujuh tahun dari sekarang, aku akan datang ke tempat ini untuk menemuimu."
Mei melihat bocah perempuan itu mengangguk semangat.
"Kalau begitu, kita akan bertemu lagi di tempat ini, tujuh tahun dari sekarang."
"Kau pasti cantik nanti, April! Aku tidak sabar melihatmu yang sudah besar!"
"Hehe, aku juga."
Sebelum akhirnya terjatuh ke tanah, seseorang menarik lengan Mei ke belakang. Napas Mei terengah, kilas balik itu entah bagaimana caranya menguras tenaganya.
Dengan napas tersengal, Mei menoleh. Dia mendapati gadis berambut hitam sebahu yang tadi siang ditabrak oleh gadis ras kucing yang arogan.
Eh, perempuan ini ...?
Mei terlalu lemas untuk membuka mulut dan bertanya. Gadis itu menoleh kiri-kanan tergesa-gesa, lalu menarik lengan Mei dan membawanya pergi melesat ke sela-sela pepohonan yang rindang.
Manusia lain yang kulihat di kantin itu.
Langkah Mei yang lemas tidak bisa menyamai langkah gadis tersebut yang terkesan tergesa-gesa. Mei tertatih-tatih, berusaha untuk menyamakan langkahnya dengan gadis yang tidak dia tahu siapa namanya.
Sesekali, Mei hampir tersandung batu berukuran sedang. Bahkan ranting-ranting dari pepohonan yang mengelilinginya menyapa tubuh Mei agak keras, sehingga kulit ranting menempel di seragamnya.
Setelah beberapa lama jalan cepat, akhirnya mereka berhenti. Mei yang kehabisan tenaga ambruk ke tanah, dia menarik napas dan membuangnya berulang-ulang.
Gadis itu menunduk seraya memainkan jarinya. "M-maaf."
"Hm," balas Mei. Setelah dirasa napasnya sudah teratur, Mei berdiri dan membersihkan tubuhnya dari tanah dan kulit ranting.
Dia menatap gadis yang menunduk malu itu lekat. "Kenapa kau ada di sini?"
Gadis itu mendongak. "Ak-aku yang seharusnya berkata seperti itu!"
"Hah?" Mei tidak mengerti.
"Kau ... ini Aphea, wilayah para serigala. Kenapa kau kemari?"
Bola mata Mei membola. Pantas saja rasanya lebih gelap. Dia melangkah mendekati gadis tersebut, yang ragu-ragu menunduk seraya melirik Mei dengan jarinya yang ia mainkan dengan gelisah.
"Kau ... manusia?" tanya Mei. Gadis itu menatapnya agak lama, lalu menggeleng.
"Eh?" Mei menelengkan kepalanya seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Lalu, kenapa kau tidak punya telinga dan ekor? Warna matamu juga hitam."
Gadis itu kembali menunduk. Dia menatap Mei ragu, lalu kembali menunduk. Gadis tersebut menarik napas lalu membuangnya. Dia berdiri dengan dagu yang sedikit terangkat.
Seketika, sesuatu seperti cahaya dengan ekor cahaya panjang berwarna kuning mengelilingi gadis tersebut. Perlahan, telinga runcing berwarna putih dan ekor dengan warna buku serupa muncul padanya, hidungnya berwarna hitam, rambutnya pun berubah warna.
Setelah cahaya-cahaya tersebut hilang entah ke mana, gadis tersebut perlahan membuka kelopak matanya. Manik matanya berwarna merah.
Lama ditemani hening, Mei akhirnya memecahkan atmosfer canggung tersebut. "Aku belum pernah melihat ras anjing dengan mata merah sepertimu."
"Apa---aku ini serigala putih!" seru gadis tersebut.
Mei terkekeh. "Oh, maaf." Dia menatap gadis ras serigala itu dalam diam. Sampai akhirnya kesadaran kembali ke salam otaknya.
"Eh?!" pekik Mei. "Kalau kau serigala, dengan mata merah, berarti kau Alpha!?"
Gadis itu mengangguk. "Aku tidak akan melukaimu, tenang saja."
Mei mengembuskan napas lega. Dia mengerjap senang kepada Alpha. Matanya menangkap bentuk lain, di belakang gadis itu, ada sesuatu yang tidak asing bagi penglihatannya.
Gadis tersebut menyadari Mei menatap sesuatu di belakangnya. Dia mengikuti arah pandang Mei sambil memberikan pandangan yang lebih kelas pada remaja manusia itu untuk menatap sesuatu yang terhalangi sedari tadi.
Sebuah sumur dengan lumut yang sudah menyelimutinya.
Mei mengerjap. Dia menoleh ke sekeliling. Tempat ini ... benar. Ini, 'kan?
April, 'kan? Aku memanggil bocah itu April.
Mei menatap gadis di depannya dengan manik mata berbinar. "April ...?"
Gadis tersebut terkekeh. Dia mengusap pipinya sendiri, lagi, Mei merasakan sengatan listrik pada pipinya---seperti di kantin saat gadis itu melakukan hal yang sama.
Di pipi gadis tersebut, sebuah tanda bergambar bulan dan bintang yang hitam tiba-tiba muncul. Mei mengerjap. "Wah, itu apa? Tato?"
Gadis tersebut menggeleng. "Ini tanda Alpha." Jari telunjuknya menunjuk ke arah pipi kanan Mei. "Kau juga punya."
Mei meraba pipi kanannya lalu mengeluarkan ponsel dan bercermin di layarnya. Iya, Mei melihat tanda yang sama dengan yang dimiliki gadis tersebut.
"Ini ... kenapa aku juga memilikinya?" tanya Mei.
"Aku ... semacam menandaimu," jawabnya.
"Hah?"
"Ah. Kau tidak ingat aku mengecup pipi kananmu saat kita berpisah tujuh tahun lalu, ya?"
Oh?
Mei histeris. "Kita 'kan masih bocah! Kenapa kau mengecup pipiku saat aku masih polos begitu?!"
"Maafkan aku! Itu satu-satunya cara agar kau tidak melupakanku!"
"Aku ini tidak pelupa!"
"Tapi pada akhirnya kau tidak mengenalku. Padahal aku hanya menyembunyikan wujud serigalaku, 'kan?"
Ah.
Mei menatap gadis tersebut. "Kau ... April?" Tanpa disadari, kakinya melangkah mendekati gadis tersebut perlahan.
Gadis itu mengangguk. "Warna putih di ujung rambutku hilang, maaf. Mungkin aku tidak sama dengan aku yang ada di ingatanmu."
"April yang itu?"
"Eh?"
"April ... yang mengajakku bermain ke sumur ini?"
"Ah, ini tempat favoritku. Habis di sini tenang dan sejuk."
"April yang punya rok renda imut?"
"Iya. Kau menyukainya? Aku mau memakainya lagi, sayangnya sudah kekecilan."
"April ... yang itu ...?"
"Iya, aku ...."
Mei memeluk April. Mendekapnya dalam tubuhnya yang hangat, membiarkan April bersender di dadanya yang lebar. "Kenapa ... kau tidak melawan kucing itu?"
April tidak menjawab. Serangan syok masih menjalar di otaknya. "Kenapa ... kau pergi?"
April mencoba untuk mengatur napasnya. "Kenapa ... aku menangis?"
Eh?
April memperlebar jarak mereka sedikit. Mei masih melingkarkan tangannya ke pinggang April. April menatap Mei lekat, menatap air asin yang mengalir perlahan membasahi pipinya.
Seorang laki-laki menangis.
"Kenapa kau menangis?" tanya April. "Beberapa saat yang lalu kau bahkan tidak mengingatku."
"Tapi, mungkin rasa rindu tetap ada dalam hatiku."
Mei ....
April terkekeh, lalu memeluk manusia yang pikirannya tidak bisa dia tebak itu. Mei ikut terkekeh dan membalas pelukannya. Teman pertamanya selama bertahun-tahun dia terkurung di mansion milik ayahnya.
April bahagia bisa berteman dengan Mei.
Walau hanya beberapa menit dalam hidupnya.
Wajah April mengeras, matanya berkaca-kaca. Maaf, Mei.
Aku tidak bisa menyampaikan pesannya kalau kau ternyata memang merasa rindu padanya.
April meremas seragam Mei perlahan. Maafkan aku.
Maafkan aku, April. Aku tidak bisa mengatakannya. Aku tidak tega.
Mei melepas pelukannya, menatap April lalu tersenyum lebar dan tertawa. April tersenyum kecut, dia membenamkan wajahnya pada dada Mei. Mei hanya menerimanya, mengelus kepala April lembut---kebiasaan seorang kakak.
Aku tidak bisa mengatakan kalau aku ini ... saudarimu.
Maafkan aku April, aku mengingkari janjiku. Aku tidak bisa mengatakan padanya kalau kau sudah tidak ada.
Bagaimana caranya aku menyampaikan kabar buruk itu pada teman masa kecilmu yang berharga ...?
April melepaskan pelukannya dengan Mei. Mereka saling menatap, melempar senyum lalu kembali berpelukan.
Gadis itu menghela napas berat. Hai, Mei. Namaku Lia, kembaran April yang belum sempat kautemui. Sekarang kita sudah bertemu, aku harus bagaimana?
***
3416 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top