16. Basically Undead
Pria tersebut menaburkan kelopak bunga mawar di atas tumpukan tanah dengan sebuah nisan bertuliskan Ella Frederica di atasnya. Dia memejamkan mata, mengusap nisan itu pelan.
Sudah lewat lima belas tahun sejak adik perempuan kesayangannya pergi. Ella dikenang sebagai gadis yang kuat, ceria dan tegas. Ella dikenang sebagai gadis yang tidak memiliki rasa takut atau ragu.
Pria itu menghela napas ringan. Dia tersenyum sendu sambil terus mengelus nisan adiknya. Banyak tangkai bunga di sekeliling kuburannya, ada surat tanda terimakasih dari warga, bahkan kue kesukaannya.
Semua orang menyukai Ella.
Semua orang tahu siapa Ella.
Bulu roma pria tersebut berdiri mengingat kejadian lima belas tahun silam. Dia menggeleng, mencoba untuk tidak menangis. Bukankah dengan menangis, orang yang sudah di atas sana jadi sedih?
"Hai, Ella," sapanya kepada nisan. "Sudah lima belas tahun, ya?"
Pria tersebut mengembuskan napas. Dia menarik lengan yang daritadi mengelus nisan Ella tanpa henti. Pria itu mendongak, menatap langit sore yang indah.
"Kakak sudah menikah sembilan tahun lalu," ujar pria itu. "Maaf, baru bisa mengunjungimu setelah sembilan tahun."
Angin berembus pelan, menyibak rambut cokelatnya yang tebal. "Banyak hal yang terjadi sembilan tahun terakhir ini."
"Kakak bertemu dengan kakak iparmu di sebuah restoran. Dia bekerja di sana sebagai pelayan." Pria tersebut menahan air mata yang sudah membendung di ujung pelupuk.
"Namanya Mentari." Pria tersebut terkekeh. "Cocok dengan nama Kakak, ya?"
"Mentari mirip sekali denganmu, hanya saja versi pemalu. Dia lebih manis daripada kau." Pria tersebut lagi-lagi terkekeh.
"Kakak ... sudah punya anak," ucapnya. "Perempuan, namanya Gilda. Dia cantik dan penurut. Baik, perhatian dan penuh kasih."
Pria tersebut menghela napas. "Sama sepertimu," imbuhnya parau.
"Untuk beberapa alasan, kadang Kakak melihatmu dalam diri Gilda. Bagaimana anakku berbicara dan menasehatiku yang lebih tua darinya, benar-benar mirip denganmu."
Air asin mengalir di pipi pucat pria tersebut. Dia terisak pelan. Tidak bisa membendung kesedihannya selama bertahun-tahun, rasa bersalahnya karena tidak dapat mengunjungi Ella sembilan tahun ke belakang.
Dia menghapus jejak air mata di pipinya, lalu tersenyum pilu. "Maaf, Kakak menangis."
"Kakak merindukanmu, Ella. Ibu dan Ayah juga," ucap pria tersebut seraya mengusap nisan Ella. "Mentari ingin ikut, tetapi istriku harus menjaga Gilda."
"Maaf, Kakak belum bisa membawa Gilda kemari. Dia masih berusia delapan tahun, kupikir mungkin usianya terlalu muda untuk dibawa kemari menemuimu."
Pria tersebut menengadah, kembali memandangi langit yang menggelap. "Kakak janji, saat usianya sudah menginjak sepuluh tahun, Kakak akan memperkenalkanmu padanya."
Senyuman miringnya memudar. Air di wajahnya berubah muram, sinar di manik kelabunya sirna. Dia menghela napas berat. "Kadang Kakak penasaran, apa kau mendengarku di atas sana, Ella?"
Setelah lama tertunduk akhirnya pria tersebut berdiri. Dia berbalik, sekali lagi mengelus nisan sang adik. Senyuman yang semula hilang kembali terukir, begitu getir, gemetaran.
"Maafkan Kakak, Ella. Sembilan tahun terakhir ini banyak yang terjadi, benar-benar banyak yang terjadi. Kakak tidak mengunjungimu karena masalah pekerjaan dan konflik lain."
Pria tersebut berbalik. Berjalan menjauh dari makam adiknya, yang meninggalkan dunia pada usia empat belas tahun. Begitu muda, begitu bebas, begitu banyak hal yang bisa dilakukan Ella kalau saja ia masih hidup.
Akan tetapi, tidak. Ella memilih jalan yang itu.
***
Seorang wanita dengan surai hitam sebahu menyambut pria itu ramah. Wanita tersebut memeluknya, mengecup pipi pria lalu kembali memeluknya.
Pria tersebut tersenyum miring, menatap istrinya penuh kasih. Wanita dengan nama Mentari itu menyorot sang suami khawatir. Mata suaminya merah, bekas air mata mengering di pipi terlihat begitu jelas.
Mentari pergi untuk mengambil tisu dan menghapus jejak air mata yang mengering itu. Pria tersebut terkekeh, diraihnya tangan Mentari yang sedang mengusap pipinya pelan.
"Ada bekasnya, ya?" tanya pria tersebut. Mentari hanya mengangguk sebagai jawaban. Hening melingkupi keduanya, udara dingin malam hari yang baru tiba di belakang menerpa masuk---pintunya belum ditutup.
Mentari menatap suaminya hangat. "Bagaimana keadaannya, Angkasa?"
Angkasa tersenyum tipis. "Kuburannya bersih. Mungkin Ibu dan Ayah atau penjaga kuburan yang membersihkan rutin."
Mentari mengangguk mengerti. Setelah selesai menghapus jejak air mata Angkasa, dia berjalan melalui suaminya dan mengunci pintu. Mentari menuntun Angkasa ke meja makan, menyiapkan piring makan malam dan makanannya.
Suara langkah kaki kecil mendekat cepat. Sosok bocah berusia delapan tahun menyambut pandangan Angkasa, pipi merona dan manik mata kelabunya yang berbinar menjadi hal yang membuat Angkasa tersenyum.
Bocah dengan surai sehitam milik ibunya itu berlari menuju Angkasa yang tengah duduk di kursi di balik meja makan, memeluknya erat sambil memanggilnya papa berulang-ulang.
Angkasa balas memeluk anak perempuannya. "Gilda sudah makan?"
Gilda mengangguk cepat. "Papa, kenapa pulangnya malam?"
"Ah, Papa ada urusan," jawab Angkasa singkat. Gilda hanya mengangguk paham, lalu memanjat kursi dan duduk di pangkuan ayahnya.
"Gilda kangen, kangen, kangen Papa."
Angkasa terkekeh, mendapati Gilda sedang manja. Mentari berkacak pinggang lalu berkata, "Gilda. Papa mau makan, Sayang."
Gilda mengangguk dan turun dari pangkuan sang ayah, membiarkan Angkasa melahap makan malamnya. Mereka berbincang dengan Angkasa yang mengunyah makanan, begitu hangat dan nyaman.
Angkasa tersenyum lega, keluarganya masih utuh. Enam tahun sejak Ella pergi, kejadian itu terulang lagi. Mereka berkeliaran di malam hari, mencari manusia yang akan dijadikan salah satu dari peliharaan mereka.
Mereka cepat. Sebelum kau menyadarinya, cakar-cakar panjang dan hitam mereka sudah menancap di kulitmu, membawamu ke seberang sana.
Siapa, kau tanya?
Lilith. Makhluk pada malam hari, dengan kulit ungu, surai hitam legam, gigi runcing, hidung runcing, badan tinggi yang kurus dan kuku hitam mereka yang tajam.
Mereka menyerang bumi, lima belas tahun dan enam bulan lalu. Isi perut yang terburai ke luar, darah di mana-mana, teriakan ketakutan dan kepanikan para manusia.
Semuanya mimpi buruk. Entah apa tujuan Lilith, tetapi makhluk-makhluk itu suka menculik manusia ke seberang sana. Ke dunia di seberang fana.
Ella mengorbankan dirinya.
Dia rela dibawa ke dunia seberang sana, asalkan Lilith tidak lagi menganggu manusia di dunia fana. Dia berjanji akan menjadi peliharaan yang baik, penurut dan membantu para Lilith.
Ella dibawa pergi. Tidak sampai sebulan, tubuh Ella ditemukan tidak bernyawa dengan keadaan mengenaskan. Tidak ada yang bisa menengenali wajahnya, selain Angkasa.
Para Lilith itu tidak menyerang dunia fana selama enam tahun setelah Ella mengorbankan dirinya untuk banyak orang. Namun, mungkin para Lilith mengerti Ella sudah tidak ada.
Untuk itu, tidak ada alasan bagi mereka untuk berhenti menyerang dunia fana.
Mentari mencuci bekas makan Angkasa. Dia mengeringkan piring dan sendoknya lalu ikut terduduk di sofa dengan Angkasa yang sedang memangku Gilda.
Kedua tangan Gilda bergerak-gerak antusias, menceritakan harinya di sekolah. Bagaimana dia membuat teman baru di kelasnya, bagaimana dia membeli makanan di kantin bahkan saat Gilda membela seseorang yang sedang dirundung.
Mentari tersenyum, kehangatan ayah dan anak itu membuat hatinya meleleh. Suaminya sangat penyayang. Mentari bersyukur memiliki Angkasa, pria berusia 31 tahun itu masih menyayangi Mentari seperti saat pertama kali mereka menjalin rasa.
Angkasa sendiri, bahagia bertemu dengan Mentari. Mentari merupakan wanita yang penurut, perhatian dan penuh kasih. Agak mirip dengan Ella, hanya saja lebih lembut.
Gilda, merupakan hasil dari cinta mereka. Bocah itu tumbuh dengan kasih sayang dan orang tua yang baik, membuatnya menjadi individu dengan tabiat baik.
Perhatiannya.
Kasih sayangnya.
Keberaniannya.
Semuanya mengingatkan Angkasa kepada Ella. Wajah Gilda yang manis, senyumnya yang selalu antusias dan manik mata kelabunya yang menyiratkan semangat.
Semuanya Ella.
Tidak pernah satu detik pun pikiran Angkasa melepaskan kenangannya dengan adik tersayang. Tidak dia membayangkan akan berpisah dengan Ella seperti ini.
Kalau saja Ella hidup, kalau saja Ella penakut, mungkin sekarang adiknya sedang hidup bahagia dengan keluarga baru dan anak-anaknya. Mungkin sekarang Angkasa memiliki keponakan.
Mungkin sekarang, Ella berteman baik dengan Mentari.
Bukankah itu buruk? Berharap bahwa Ella merupakan pribadi yang penakut, pengecut dan pemalu. Berhadap Ella ada di sisinya, walaupun hanya satu detik. Padahal Angkasa tahu, itu tidak mungkin terjadi.
... Pa.
Tidak mungkin terjadi. Ella sudah bahagia di atas sana, 'kan? Dia sudah menjadi satu dengan miliaran bintang di langit, 'kan? Dosa, kah, bila Angkasa berharap orang lain yang menggantikan posisi Ella?
... Pa?
Apakah Ella melihatnya? Apakah Ella memperhatikannya dari atas? Kepala Angkasa terasa pening, alisnya mengerut. Dia mengerjap cepat; menahan air mata agar tak keluar.
"Papa!"
Panggilan itu membuat Angkasa tertarik kembali ke bumi. Dia menatap Gilda yang juga menatapnya bingung. Kedua tangan anaknya meremas baju Angkasa, dengan pandangan khawatir bercampur tanya.
"Ah, maaf, Sayang. Papa kepikiran pekerjaan," dusta Angkasa.
Gilda memicingkan matanya. "Tapi Papa berkaca-kaca. Papa mau menangis? Papa bisa menangis di pundak Gilda."
Gaya bicaranya yang lucu membuat Angkasa kembali terhibur, keluar dari zona gelap dalam pikirannya, berjalan menuju cahaya yang baru. Benar, 'kan? Seharusnya sekarang Angkasa menjalani hidup barunya.
Karena kalau Ella ada, adiknya ingin Angkasa menjalankan hidup sebaik mungkin. Ella mengorbankan dirinya agar sang kakak tidak hidup sengsara. Lalu, kenapa Angkasa harus menyengsarakan dirinya sendiri?
"Mas, tidak apa-apa?" tanya Mentari khawatir. Angkasa hanya menggeleng pelan lalu melirik jam dinding. Sudah pukul sembilan, dia menggendong Gilda ke kamar mandi di lantai dua.
Gilda turun, lalu mendongak guna menatap ayahnya penuh tanda tanya.
"Waktunya tidur. Cuci muka dan sikat gigi dulu," ucap Angkasa. Gilda mengangguk lalu membuka pintu kamar mandi. Angkasa menyender di dinding sebelah pintu, menunggu Gilda menyelesaikan aktivitasnya.
Mentari menyusul, menatap Angkasa dengan raut cemas. Tentu, Angkasa yang peka menyadari hal itu. Dia merentangkan tangannya; meminta pelukan kepada sang istri.
Mentari tersenyum, lalu terkekeh dan menyambut rentangan tangan Angkasa lembut. Mereka berpelukan, hangat dan nyaman. Untuk seketika, Angkasa lupa rasa pedihnya karena kehilangan Ella.
Bukankah yang seperti itu kekanakan? Usianya yang sudah menginjak kepala tiga, sangat tidak pantas bila tidak bisa menerima kenyataan bahwa adiknya pergi untuk selamanya.
"Mas, kalau mau cerita, aku ada," ujar Mentari lembut. "Aku istrimu," imbuhnya.
Angkasa mengecup puncak kepala Mentari lembut. "Terima kasih."
"Ih!"
Angkasa dan Mentari menoleh, melihat sumber suara; Gilda. Bocah delapan tahun itu menutup matanya dengan lidah menjulur. Pasangan suami-istri itu melepas pelukan mereka.
"Papa dan Bunda tidak pantas!" seru Gilda. Masih dengan kedua tangannya yang menutup mata.
Mentari terkekeh. "Papa dan Bunda sudah menikah. Kok tidak pantas?"
"Tidak pantas! Tidak pantas!" beo Gilda. Kali ini, giliran Angkasa yang terkekeh. Dia mengangkat Gilda, menggendongnya sampai kamar.
Setelah menidurkan Gilda di kasur, Angkasa mengecup puncak kepala anaknya pelan dan mengucapkan selamat malam. Gilda mematikan lampu segera setelah Angkasa menutup pintu kamarnya.
Gilda menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Dia merasa malam ini, suhunya terasa lebih tinggi dibanding biasanya.
Kaki-kaki kecil Gilda berjalan menuju jendela kamar dan membukanya lebar. Daun jendela bergerak keluar, membiarkan udara malam yang sejuk masuk dan memenuhi kamar Gilda.
Bocah delapan tahun itu tersenyum lebar saat mendapati langit malam bertabur bintang. Dia menatapnya sejenak, lalu kembali naik ke atas ranjang untuk tidur.
Angkasa selalu mengatakan bahwa jendela kamar harus tertutup setiap malam hari, tanpa memberikan alasan mengapa.
Akan tetapi, Gilda sedang kepanasan. Sekali saja tidak apa-apa, 'kan?
Lagipula, apa yang akan salah?
***
BRAK!
BRUK!
"AAAAAH! PAPA!!!"
Teriakan Gilda membangunkan Angkasa dan Mentari. Dengan kantuk yang masih menguasai mata, mereka berlari sampai hampir terpeleset ke kamar Gilda.
Angkasa mendobrak pintu kamarnya karena panik. Manik kelabunya membola, mendapati makhluk dengan surai hitam legam dengan kulit ungu membopong Gilda paksa secara terbalik.
Anaknya meronta, memukul-mukul punggung makhluk itu. Air matanya mengalir, dia memanggil-manggil Angkasa sambil sesekali berteriak minta diturunkan.
Mentari menutup mulutnya tidak percaya. Kakinya melemas, akhirnya dia terduduk di lantai. Lilith sedang mencoba melarikan diri lewat jendela dengan anak satu-satunya di bahunya.
Pria berusia tiga puluh tahun itu segera berlari menuju Lilith, ttapi makhluk itu dengan gesit keluar dan melompat dari jendela. Teriakan Gilda mengusir sunyi malam, menggema ke mana-mana.
Angkasa berpikir cepat. Tidak sempat menoleh ke belakang dan berpamitan dengan Mentari, dia naik ke bingkai jendela dan melompat. Telapak tangannya mendarat duluan, perih menjalar membuatnya meringis.
Tidak ada waktu untuk meringis. Angkasa lekas berdiri dan berlari secepat yang dia bisa. Kulit Lilith yang berwarna ungu terang itu memudahkan kelereng kelabu Angkasa untuk melacak keberadaannya.
"Papa!" seru Gilda seraya terisak hebat. Makhluk ungu itu hanya cekikikan tidak jelas, lalu terbahak. Begitu nyaring dan mencekam, membuat bulu roma Angkasa berdiri sejenak.
Tidak ada waktu untuk merinding. Keselamatan putrinya menjadi hal yang terfokuskan sekarang ini.
Akan tetapu, lari Lilith lebih cepat daripada cheetah. Angkasa ketinggalan jauh. Siluet ungu makhluk itu masih terlihat walaupun kecil. Tiba-tiba, siluet itu berhenti bergerak di belakang rumah bercat jingga.
Kesempatan bagi Angkasa, dia mempercepat larinya. Cahaya menyilaukan mata tiba-tiba menyala di depan sana, berasal dari tempat siluet itu berada.
Angkasa semakin mempercepat laju lari, mendapati sebuah bulatan putih dengan sinar keluar dari sana. Lilith dan putrinya, Gilda, tidak ada di sana. Dia berasumsi bahwa mereka memasuki bulatan cahaya itu.
Kakinya melangkah masuk. Sesuatu seperti mengelus kulit kakinya pelan, membuatnya mengernyit takut. Namun, tidak ada waktu untuk takut.
Seluruh tubuhnya melewati sesuatu yang meraba-raba sekujur tubuh Angkasa. Matanya yang semula terpejam terbuka, mendapati ia sedang berpijak pada jembatan kayu transparan.
Angkasa menoleh, namun bola cahaya itu menghilang. Dia menelan salivanya lamat-lamat. Tidak ada pilihan lain selain berjalan lurus, maka itulah yang dia lakukan.
Pria bersurai cokelat itu mengedarkan pandangannya. Tidak ada apa pun selain jembatan bertali transparan sejauh mata memandang, dengan sekeliling bernuansa ... langit.
Angkasa dikelilingi oleh awan putih yang nampak seperti kapas. Terlihat begitu dekat tetapi juga jauh. Dia berjalan perlahan, was-was dengan tempat yang begitu asing baginya.
Tidak ada tanda-tanda dari Lilith dan Gilda.
Padahal Angkasa berani bersumpah, dia melihat Lilith membawa putrinya masuk ke sini. Apakah memang para Lilith berlari secepat itu?
Pikiran negatif mulai bergelayut di dalam kepala Angkasa.
Satu, dua. Dia mengkalkulasikan kecepatannya dengan kecepatan seorang Lilith; tidak sebanding. Sama sekali.
Tiga, empat. Angkasa tidak tahu ke mana jembatan ini menuntunnya. Bisa saja Lilith membawa Gilda keluar dari jalur. Bagaimana kalau di depan sana ada dua jalan dan Angkasa memilih jalan yang salah?
Lima, enam. Bayangan-bayangan gelap mulai menghantui pikirannya. Halusinasi Angkasa mengenai Gilda yang disuruh berjalan merangkak layaknya anjing menguasai benaknya. Memangnya, pantas manusia diperlakukan seperti itu?
Tujuh, delapan. Angkasa membayangkan putrinya, Gilda, dicakari oleh para Lilith sampai berdarah. Gilda meraung kesakitan, memanggil-manggil Angkasa yang mungkin tak kunjung datang.
Sembilan, sepuluh. Bayangan Gilda yang sudah tercabik-cabik menghantui kepala Angkasa. Kejadian itu terulang lagi. Pertama Ella, kini Gilda. Kenapa dia tidak bisa menjaga orang-orang tersayangnya dengan benar?
Pria tersebut menitikkan air mata. Sesekali terisak sambil membisikkan nama putrinya. Sisi ini dari dirinya, sisi lemah dan tidak berdaya ini, diasumsikan menjadi alasan mengapa dia tidak bisa menjaga orang-orang tersayangnya.
Tidak berguna.
Angkasa berlutut. Dia terisak tidak henti, sampai akhirnya melepaskan kepedihannya.
Dasar tidak berguna.
Dia menjambak diri sendiri, tidak peduli kulit kepalanya terasa sakit. Bukankah Ella dan Gilda lebih sakit?
Pengecut.
"Sedang apa?"
Jambakan Angkasa pada rambutnya berhenti. Raungannya ikut berhenti, isakannya perlahan mereda. Dia mengernyit, lalu menoleh.
Matanya membelalak.
Sosok gadis berusia empat belas tahun dengan rok putih menatapnya bingung. Gadis tersebut menyimpan kedua tangan di belakang punggungnya.
Rambut cokelat ikalnya menjuntai, tersibak sesuatu yang entah apa---padahal di tempat ini tidak ada angin. Dia memakai pita berwarna putih di sebelah kiri, terlihat manis dengan wajahnya yang cantik.
Gadis itu mengulurkan tangannya kepada Angkasa. Angkasa membenarkan posisinya, lalu menerima uluran tangan gadis tersebut. Dia diam seribu bahasa, entah harus mengatakan apa.
Gadis tersebut tersenyum tipis. "Dih, Kakak ingusan. Jorok." Tangannya yang dibalut lengan sweater abu-abu panjang menghapus jejak air mata Angkasa.
"El ...," tenggorokan Angkasa tercekat, "Ella?"
"Wah, masih ingat?" tanya gadis itu seraya menelenhkan kepalanya ke kiri. Senyumannya memudar seketika. Manik kelabunya menyorot Angkasa serius.
"Apa yang Kakak lakukan di sini? Tidak seharusnya Kakak ada di sini sambil menangis meratapi nasib seperti itu."
"Apa---Ella. Tunggu, bagaimana bisa ...? Bukankah kau sudah ...?"
Ella mengangguk. "Siapa yang bilang aku hidup?"
"Tapi, apa yang kaulakukan di sini?"
"Aku mati. Ini jembatan kematian, di tengah-tengah surga," Ella menunjuk ke atas, "dan neraka." Dia menunjuk ke bawah.
Angkasa mengerjap tak percaya. "Selama ini kau ada di sini?"
Ella mengangguk. "Kakak sedang apa di sini?"
"Ah. Kakak ... anak Kakak ...."
Angkasa tidak melanjutkan kalimatnya. Air matanya kembali mengalir deras, dia kembali terisak pilu. Angkasa menutup wajahnya, kembali terisak tidak henti.
"Gilda diculik?" tanya Ella. Angkasa mengerjap, dia menatap Ella tidak percaya. Seolah tahu apa yang dipertanyakan Angkasa, Ella mengangguk.
"Setelah sembilan tahun, Kakak tiba-tiba datang berkata sudah menikah dan memiliki anak," ucap Ella. Dia tersenyum hangat. "Nanti, tepati janjimu untuk membawanya saat usianya sepuluh tahun."
Tubuh Angkasa tremor hebat. Tidak bisa dipercaya, dia bertemu dengan adiknya kembali walau bentuknya hanya jiwa di tengah-tengah surga dan neraka.
Perlahan dia mendekat dan memeluk Ella erat. Dia terisak, memanggil nama Ella. Sesekali, isakannya diselipi tawa bahagia. Tawa lega, karena Ella baik-baik saja. Dan dia mendengar semua cerita Angkasa.
"Kak, aku sudah tidak bernapas, tapi, jangan kencang-kencang."
"Ah," Angkasa melonggarkan pelukannya, "maaf."
"Kakak, berani sekali masuk ke portal sendirian," ucap Ella. "Takut Gilda diapa-apakan, ya?"
Angkasa mengangguk. Sekali lagi, Ella menyusut jejak air mata dengan ujung lengan sweater abu-abunya. Dia menghela napas berat lalu melepaskan pelukan Angkasa pelan.
"Ini bukan waktunya pelukan," ucap Ella. "Gilda, keponakanku, berada di tangan makhluk-makhluk ungu itu."
"Ah, benar," timpal Angkasa. "Anu, Ella. Ini di mana?"
"Ini jembatan menuju dunia mereka. Kalau Kakak mati di sana, Kakak akan terjebak di sini selamanya. Sama sepertiku," jelas Ella.
"Jadi, kembalilah kepada Mentari dengan selamat." Ella tersenyum tipis seraya mengusap pipi kakaknya lembut.
Angkasa mengangguk lemah. Dia berhenti terisak dan tersenyum. Ella mengangguk, kemudian menatap Angkasa dengan sorotnya yang kembali serius.
"Dengarkan aku baik-baik," ucap Ella. "Aku ada di dunia mereka selama 21 hari. Aku tahu apa yang paling mereka jaga. Aku tahu apa satu-satunya kelemahan mereka."
Angkasa menyimak dengan alis yang ditautkan; serius.
"Jadi, dengarkan penuturanku dengan benar," Ella tersenyum penuh arti kepada Angkasa, "dan tunjukan kepada Lilith, bahwa mereka telah menculik anak yang salah."
***
Ella berjalan beberapa langkah di depan Angkasa, dengan pandangan tertuju ke depan dan lengan di belakang punggung, dia menjelaskan apa-apa saja yang diketahuinya selama tinggal dengan para Lilith.
Lilith merupakan makhluk yang tidak terlalu pintar. Bisa dibilang lebih bodoh daripada keledai. Hanya saja, tidak seperti keledai, Lilith itu buas seperti beruang yang terbangun saat hibernasi.
Mereka menculik manusia hanya untuk menjadi pelayan dan penghibur. Ada banyak manusia yang dijadikan anjing. Kepala mereka diikat, disuruh berjalan merangkak, bahkan makan daging mentah hasil buruan.
Ada banyak pula manusia yang disuruh menari dan menyanyi. Bila mereka tidak menghibur para Lilith, mereka akan diberikan hukuman. Hukuman yang diberikan merupakan cakaran atau cambukan.
Lilith merupakan makhluk bodoh yang gila. Tidak ada motif pasti, yang mereka lakukan hanya berdasarkan kesenangan semata. Mereka yang memiliki frekuensi otak kecil, menganggap manusia adalah hewan.
Akan tetapi, Lilith memiliki sesuatu yang benar-benar dijaga. Mereka menjaga sesuatu yang mereka panggil Arp, sebuah kotak dengan tuas. Kotak tersebut memiliki gambar bulan dan bintang putih di sekelilingnya, dengan tuas yang terlihat sangat tua.
Benda bernama Arp itu benar-benar dijaga sampai ada Lilith penjaga yang mengawalnya. Arp terletak di atas batu besar di tengah peradaban para Lilith, diam di sana, diselimuti lumut yang merambat saking lamanya.
Ella sempat mencoba untuk mengambil Arp, namun tidak berhasil. Yang dia dapatkan hanya hukuman yang setimpal. Dia meninggal karena mencoba mengusik barang yang paling dijaga oleh pada Lilith.
"Aku tahu mereka suka menari dan menyanyi," ucap Ella. "Kakak pura-puralah menjadi salah satu peliharaan."
Angkasa meringis. "Kakak harus merangkak ...?"
Ella menggeleng. Jika Angkasa merangkak, mereka tahu Angkasa bukan peliharaan yang seharusnya merangkak karena tidak ada tali di sekitar lehernya.
Maka tentu saja, Angkasa harus pura-pura menjadi salah satu dari peliharaan penghibur Lilith. Untuk melakukan itu, tentu Angkasa harus mengobservasi dulu kelakuan yang manusia-manusia peliharaan lakukan.
Dia harus meniru cara jalannya, harus meniru ekspresinya, bahkan meniru cara mereka berbicara.
"Tidak," elak Ella. "Jangan meniru ekspresi mereka. Pasang saja wajah datar, itu akan lebih baik."
"Kenapa?"
"Mereka akan memberikanmu waktu bebas kalau kau berbuat baik," jawab Ella seraya tertunduk. "Aku melakukan itu dan mereka memberikanku waktu untuk sendirian selama beberapa jam."
"Ah, dengan begitu Kakak bisa mencari di mana Arp?" tanya Angkasa mulai paham.
Ella menggeleng. "Tidak usah dicari. Arp terletak tepat di atas batu besar berlumut. Yang perlu kaulakukan hanya membuat mereka percaya padamu."
"Kalau kau beruntung, para penjaga Arp tidak akan menodongkan kuku jari mereka ketika kau mendekat," imbuh Ella.
"Kau pernah begitu?"
Ella mengangguk.
"Lalu, kenapa kau ... diserang?" Angkasa mengernyit. Dia menelan salivanya lamat-lamat, sedikit bagian darinya menyalahkan diri sendiri atas apa yang menimpa Ella.
Ella mengedik. "Aku mengusik Arp. Sesuka apa pun mereka, sepertinya peliharaan tetap tidak boleh mengusik Arp."
Mereka melanjutkan perjalanan dengan keheningan. Kalau dirasa-rasa, sudah lama mereka berjalan di atas jembatan kayu transparan itu, hanya saja belum sampai di dunia Lilith.
Angkasa menatap Ella. Masih tidak percaya ternyata selama ini Ella terjebak di sini. Hanya karena dia meninggal di dunia Lilith, dia tidak bisa pergi ke surga atau neraka.
Memangnya pantas? Padahal Ella sudah mengorbankan dirinya sendiri agar dunia fana tidak diserang lagi. Walau hanya berlanjut selama enam tahun, tetapi, tetap saja.
Bukankah Ella manusia yang berjasa? Keberaniannya seharusnya dihadiahi hal-hal yang paling baik, 'kan? Apakah Tuhan tidak bisa lihat?
Lengan Ella menghentikan tubuh Angkasa agar tetap berjalan ke depan. Angkasa menoleh, menatap Ella yang tersenyum tipis. Wajah Ella yang sekarang dilihatnya membuat dia ingin menitikkan air mata.
Angkasa sangat, sangat merindukan Ella.
"Kenapa?" tanya Angkasa sedikit parau. Ella menunjuk ke depan dengan dagunya, membuat Angkasa melihat ke depan. Ada sebuah lingkaran dengan cahaya hitam, memancar seperti black hole.
Angkasa mengerjap. Agak takjub dan bingung. Dia kembali beralih pada Ella dengan tanda tanya di raut wajahnya.
"Portal," jawab Ella. "Tembus portal ini, Kakak akan berada di dunia seberang."
"Apa? Tunggu," ujar Angkasa. Dia sebetulnya belum siap untuk melangkah ke dunia Lilith. Masih banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan kepada Ella.
Ella menelengkan kepalanya pelan. "Ada pertanyaan?" Angkasa mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Apa yang harus kulakukan dengan Arp?" tanya Angkasa. "Bagaimana bisa Kakak menyelamatkan Gilda dengan mengusik Arp?"
"Tidak mengusik. Yang perlu kakak lakukan adalah menghancurkan Arp," jawab Ella.
"Apa yang akan terjadi bila Kakak menghancurkan Arp?"
Ella mengedik. "Mana kutahu? Aku, 'kan, keburu mati."
"Jangan bicara seperti itu dengan wajah datar!" pekik Angkasa sedikit merinding. Ia berdeham lalu bertanya, "Kau bilang Arp memiliki tuas. Apa yang terjadi jika tuasnya kuputar?"
Ella hendak mengedik lalu berhenti. Dia mengerjap dan menempatkan jari di bibirnya--berpikir. Kemudian, manik kelabu Ella berbinar, dia tersenyum lebar.
"Itu dia! Aku ingat, aku pernah mencoba mengambil Arp dua kali," ucap Ella. "Yang pertama, seingatku aku menggapai sisi kotak yang tidak ada tuasnya. Penjaga hanya menatapku, jadi aku berhenti karena tidak nyaman."
"Yang kedua, aku mencoba mengambil Arp di bagian kotak yang ada tuasnya, lalu aku diserang," lanjut Ella. "Mungkin yang harus kaulakukan adalah memutar tuasnya, Kak Angkasa."
Angkasa mengernyit. "Oke, lalu apa yang akan terjadi bila kuputar tuasnya?"
Ella kembali mengedik. "Sudah kubilang, aku keburu mati."
"Ah, jangan bicara seperti itu dengan wajah datar!" seru Angkasa gemas.
"Mungkin mereka semua akan mati," ucap Ella.
"Siapa?"
"Lilith."
"Kalau mereka mati, bagaimana caranya kakak kembali?" tanya Angkasa. Alisnya semakin bertaut, lama-lama peluh dingin mengucur dari pelipis. Jantungnya berdebar tidak waras, dia tidak sanggup membayangkan seperti apa jadinya nanti.
"Teriakan namaku," jawab Ella.
"Kenapa?"
"Aku ... semacam bisa melakukan sesuatu untuk membantumu secara tidak langsung," jawab Ella lagi. "Pokoknya lakukan saja dan kembali lah kepada Mentari dengan selamat."
Angkasa mengangguk. Dia memeluk Ella sekali lagi dan melontarkan senyuman tipis lalu masuk ke dalam portal. Sekali lagi, dia merasa ada sesuatu menbelai sekujur tubuhnya.
Pria berusia 31 tahun itu membuka matanya, takjub dengan apa yang kelereng kelabu itu tangkap. Hutan, dengan dedaunan pohon dan semak berwarna biru tua.
Rumput-rumput yang dipijaknya berwarna biru, lebih muda daripada warna daun. Pohon-pohinnya juga berwarna biru, tetapi lebih tua daripada warna daun. Banyak kunang-kunang memendarkan cahaya biru terang di sana-sini.
Bagaimana hutan seindah ini menjadi peradaban para Lilith yang bodoh? Memang, tidak adil. Namun, tentu saja Angkasa yakin Tuhan memiliki alasan mengapa Dia membuat tempat seperti ini dengan makhluk seperti itu.
Angkasa menoleh kiri-kanan, mencoba mencari keberadaan Lilith dan Gilda, putri Angkasa satu-satunya. Kata hatinya mengatakan bahwa dia harus berjalan lurus, maka itulah yang di lakukannya.
Lama-kelamaan, dia mendengar suara nyanyian sembarang dan tepuk tangan tak beraturan. Semakin dekat, semakin Angkasa bisa melihat Bahwa beberapa meter di depannya ada sebuah kelompok.
Lilith. Dengan beberapa manusia yang menari lemas dan menyanyi gemetar. Ada pula manusia yang lehernya dikalungi tali dan disuruh untuk berjalan merangkak.
Para Lilith hanya menonton dengan tawa mereka yang nyaring. Angkasa geram melihatnya, tetapi dia tidak bisa begitu saja berlari ke arah mereka dan menerkam salah satu Lilith yang tertawa riang.
Hal yang pertama kali ida lakukan adalah sedikit mendekat dan bersembunyi di balik pohon terdekat. Dia mengintip, memerhatikan cara menari dan bernyanyi pada manusia.
Manusia-manusia itu terlihat kurus dan pucat, bahkan ada beberapa di antara mereka yang tulangnya kelihatan. Angkasa tidak bisa mengabaikan halusinasinya terhadap Gilda yang akan berakhir serupa kalau dia tak menyelamatkannya.
Kedua tangannya terkepal sekaligus gemetar. Angkasa merasa marah, kesal, sebal namun juga takut dan ciut. Namun, untuk menyelamatkan putrinya, apapun akan dia lakukan.
Manik mata Angkasa mencari-cari sosok putri kesayangannya. Setelah lama memicingkan mata, barulah dia mendapati Gilda menjadi salah satu manusia peliharaan yang menjadi untuk mereka.
Sedikit bagian dari Angkasa bersyukur putrinya tidak diperlakukan seperti anjing. Namun, Gilda hanya bergumam sambil terisak memanggil Angkasa. Dengan nada lagu Pelangi.
Salah satu Lilith berdiri dan mendekati Gilda. Dia mengeluarkan cambuk panjang dan memukul putri Angkasa dengan itu. Angkasa hampir hilang kendali dan berlari sambil berteriak, tetapi, dia urung.
Badannya tremor hebat, matanya membelalaknya nyalang, giginya bergemelatuk. Ayah macam apa yang tidak marah ketika melihat putrinya diperlakukan seperti itu?
Dia hanya bisa menarik napas dan menghembuskannya pelan---mencoba untuk menahan amarah yang telah mendidih sampai ubun-ubun. Gilda meraung kesakitan sambil berteriak minta maaf, namun Lilith yang mencambuknya tidak kunjung berhenti.
Hentikan! Dia kesakitan! Putriku kesakitan!
Akhirnya, Lilith tersebut berhenti dan kembali duduk. Dia menyuruh Gilda berdiri dan bernyanyi dengan benar. Gilda hanya menurut, lalu bernyanyi sambil berusaha tidak gemetar.
Para Lilith kembali bertepuk tangan tidak beraturan saat Gilda bernyanyi lagu Burung Kakaktua. Ada bagian dari diri Angkasa yang bangga mendengar suara merdu Gilda, namun ini bukan waktu yang tepat.
Dia mengerjap, menatap manusia peliharaan lain yang sedang menghibur majikannya. Mereka semua terlihat lemas, lesu dan sakit. Bekas lebam dan cambukan membekas di kulit mereka yang pucat.
Ini ... tidak manusiawi.
Ah, lupakan. Sejak awal, Angkasa memang akan menghadapi makhluk yang bukan manusia. Dia menghitung jumlah Lilith yang ada, pelan-pelan komat-kamit agar fokus.
Satu ....
Tiga ....
Enam ....
Sembilan ....
Dua belas ....
Lima belas ....
Delapan belas ....
Dua puluh satu ....
Dua puluh empat ....
Dua puluh tujuh ....
Tiga puluh ....
Hanya itu.
Ada tiga puluh Lilith yang setidaknya sedang menyuruh peliharaan mereka untuk menghibur. Benar kata Ella. Yang mereka lakukan hanya menyuruh para manusia untuk menghibur, tidak ada hal lain.
Kalau memang begitu, bukankah mereka bisa melakukannya sendiri? Kenapa harus menculik manusia?
Dia menghitung tenda aneh dengan kain berwarna cokelat yang sangat tua. Ada sekitar tiga belas tenda, yang dia asumsikan sebagai rumah para Lilith.
Dia menatap batu besar yang dikawal dua orang Lilith dengan sorot mata tajam. Di atas batu itu, ada kotak bertuas yang diselimuti lumut. Benar kata Ella, tidak perlu waktu lama untuk mencari, kotak itu langsung ditemukan.
Indah sekali.
Angkasa menggeleng. Bukan saatnya untuk memikirkan hal seperti itu. Dia menarik napas dalam laku menghembuskannya perlahan. Rencananya sekarang adalah pura-pura terjatuh dan membiarkan salah satu dari makhluk ungu tersebut untuk mendatanginya.
Dia melangkahkan kaki kanan. Sebelum sempat menjatuhkan diri ke depan, cahaya oranye berpendar dari ufuk timur; matahari terbit. Angkasa mendengar para Lilith menguap. Mereka semua masuk ke tenda dan menutupnya.
Bahkan para penjaga Arp pun tertidur di depan batu itu. Para manusia peliharaan itu kemudian terduduk. Badan mereka bergetar hebat, ada bahkan yang meraung, menangis tersedu-sedu. Namun tidak ada satu Lilith pun yang datang.
Bahkan penjaga Arp tidak bangun.
Oh, apa ini? Mereka nokturnal? Ella tidak memberitahuku apa pun tentang itu.
Dia melihat Gilda yang meringkuk ketakutan, memanggil-manggil Angkasa seraya berkata dia ingin pulang. Angkasa menatap para penjaga Arp, tetapi mereka bahkan tidak bangun dengan tangisan nyaring para manusia peliharaan.
Angkasa yakin bahwa mereka tidak bisa dibangunkan saat siang hari. Maka, dia melangkah keliar dari tempat persembunyian, membiarkan para manusia melihatnya.
"Eh?!" seru salah satu wanita. "Kau ... kenapa kelihatan bugar?!"
Angkasa mengerjap. "Aku ... aku bukan peliharaan," jawab Angkasa linglung. "Aku kemari untuk menyelamatkan putriku."
Para manusia kemudian ricuh. Mereka mengerjap, lalu ragu-ragu berhenti menangis. Salah satu pria bertanya, "Bagaimana ... caranya? Mereka tidak bisa dilukai."
Angkasa menunjuk Arp. "Begitu caranya."
"Kau gila?!" pekik salah satu bocah berusia kisaran tiga belas tahun. "Terakhir kali ada yang berani mencoba mengambilnya, dia dibantai sampai wajahnya tidak bisa dikenali lagi."
Angkasa mengangguk. "Ella."
Para manusia itu menoleh. Mereka bertukar pandang lalu kembali menelisik Angkasa. Salah satu remaja laki-laki berdiri lalu bertanya, "Kautahu Ella?"
"Adikku," jawab Angkasa singkat. "Memangnya menurutmu, kenapa aku bisa tahu benda itu begitu dijaga oleh para Lilith?" imbuh Angkasa.
"Ada berapa dari kalian?" tanya Angkasa.
Seorang nenek menjawab, "Tidak ... Banyak. Kami hanya ... sebelas. Tadi, baru saja Lilith membawa seorang gadis manis."
"Dia ... terus memanggil Papanya," lanjut si Nenek. Angkasa tersenyum getir, lalu menatap Gilda yang ternyata fokus menangis. Dia berjalan mendekatinya dan berlutut di depannya.
Gilda mendongak. Matanya membola. "Papa?"
Angkasa mengangguk dan memeluknya. Air matanya mengalir deras, mengetahui bahwa putrinya dicambuk dengan keras sampai kulit putih susunya meninggalkan bekas merah. Bahkan sebagian berdarah.
Dia mengecup puncak kepala putrinya hangat. "Kau baik-baik saja?" tanya Angkasa.
Gilda menggeleng. "Gilda takut, Papa!"
"Tidak apa-apa. Papa tahu apa yang harus dilakukan," ucap Angkasa seraya berdiri. Dia mendekati batu besar itu dan menengadah. Agak lebih tinggi dibandingkan perkiraannya.
Dia melompat-lompat, mencoba untuk meraih Arp. Tidak berhasil. Lalu, Angkasa merasa tubuhnya terbang, kakinya bahkan tidak menapak lagi di tanah.
Angkasa menoleh, mendapati seorang pria brewokan dengan tubuh ceking berusaha untuk mengangkatnya. "Ambil ... lah. Aku ... tidak bisa bertahan lama."
Angkasa mengangguk lalu cepat-cepat mengambil Arp. Dia terjatuh, begitu pun dengan si Brewok yang membantunya. Angkasa lekas berdiri, dan memberitahukan rencananya.
"Kalian semua, bertingkah lah seperti kita tidak pernah bertemu," ucap Angkasa. "Jika mereka menyuruhmu menari, maka menari lah tanpa rasa takut."
"Jika mereka menyuruhmu bernyanyi, maka bernyanyi lah tanpa rasa takut." Angkasa menarik napas dalam. "Lakukan saja apa yang mereka inginkan."
"Nanti malam, aku akan membebaskan kalian dari sini."
***
Para Lilith terbangun segera setelah matahari benar-benar terbenang. Hutan ini kembali gelap, satu-satunya penerangan adalah api unggun yang baru saja dibuat oleh manusia peliharaan atas perintah dari salah satu Lilith.
Mereka melakukan apa yang diminta Angkasa. Para manusia itu menuruti setiap permintaan para Lilith, membuat makhluk-makhluk ungu itu bertepuk tangan tak beraturan.
Gila bernyanyi dengan ambisi, Angkasa bisa melihat di manik mata putrinya, bahwa Gilda percaya sepenuhnya padanya. Manusa-manusia lainnya pun demikian.
Angkasa menatap para penjaga Arp. Mereka bahkan tidak menyadari bahwa Arp-nya hilang. Benar apa yang dikatakan Ella, mereka hanya makhluk bodoh yang buas.
Seperti keledai yang dibesarkan beruang lapar.
Sebelum menampakkan dirinya dengan Arp, Angkasa mengobservasi benda tersebut. Dia tahu benda di tangannya adalah sebuah kotak musik tua dengan tuas kuno.
Kotak musik dengan nama Arp itu memiliki gambar bintang dan bulan berwarna putih di atas kotak berwarna ungu gelap. Mengapa kotak musik menjadi hal yang benar-benar dijaga oleh para Lilith?
Tidak penting. Bukan saatnya dia mempertanyakan hal seperti itu.
Angkasa memutar tuas tersebut perlahan, berusaha untuk tidak membuat suara. Setelah dirasa putarannya cukup, Angkasa tak langsung melepaskannya.
Dia melangkah ke depan, membiarkan dirinya dilihat oleh para Lilith dan manusia. Manusia-manusia itu menahan senyuman mereka, sementara para Lilith menatap Angkasa nyalang.
Angkasa sengaja memegang Arp di atas kepalanya agar para Lilith itu melihat. "Apa yang kaulakukan?!" tanya salah satu Lilith dengan suara serak.
Pria itu melirik Gilda, lalu memejamkan matanya. Bayangan Ella tiba-tiba tersirat dari pandanannya yang gelap. Terdengar suara Lilith memekik, melengking tajam.
Mereka marah karena Angkasa memegang Arp. Para manusia mulai gelisah, tidak tahu apa yang akan dilakukan Angkasa. Sebelum para Lilith sempat berlari ke arah Angkasa, pria itu membuka matanya.
"Kalian menculik anak yang salah."
Dilepasnya genggaman tangan dari tuas Arp. Tuas itu berputar, musik pengantar tidur keluar dari kotak musik tersebut. Sangat indah san menenangkan, begitu cantik dan santai.
Para Lilith yang semula menatap nyalang, kini menatap Angkasa horor. Mereka menutup telinga kuat-kuat, namun sepertinya masih bisa mendengar. Lama-kelamaan, mereka semua meraung kesakitan.
Badan mereka retak. Pandangan itu sangat mengerikan bila dilihat secara langsung. Para manusia mundur, mendekati tempat berdirinya Angkasa.
Dari retakan badan itu, cahaya yang menyilaukan mata berpendar. Semakin banyak, raungannya semakin melengking. Hutan tersebut gempa, sangat hebat sehingga Angkasa terjatuh.
Dia mencari sosok Gilda, lalu menariknya ke dalam dekapannya yang hangat seraya berseru, "Ella!!!"
Saat itu juga, semuanya menjadi putih.
***
... Pa ....
... Pa.
"Papa!"
Angkasa membuka matanya, lalu mengerjap guna memperjelas pandang. Gilda mengeluarkan air mata, dengan senyuman lebar di wajahnya. Dia memeluk Angkasa erat sehingga pria itu tidak bisa bernapas.
Dia terduduk, lalu terkekeh seraya memeluk putrinya. Ada sekitar sepuluh orang lain dengan tubuh kurus dan kulit pucat yang tergeletak di sekeliling mereka. Satu persatu orang-orang itu tersadar lalu bangun.
Angkasa melihat sekeliling, ini adalah dunia fana. Dia menatap ke depan mendapati rumah bercat oranye yang terakhir kali dilihatnya sebelum masuk ke portal. Langit sudah cerah, bahkan matahari pun sudah sedikit ada di atas ubun-ubun.
Mereka pulang.
Para manusia yang kembali ke dunia fana bersorak senang. Mereka mendekati Angkasa dan memeluknya seraya berterima kasih. Para pejalan kaki dan penghuni rumah mengerjap, menatap mereka yang membuat kebisingan.
Salah satu dari pejalan kaki itu berlari, lalu menubruk seorang bocah berusia dua belas tahun. Dia menangis, dengan senyuman yang lebar sambil berkata kau hidup berulang-ulang.
Semua orang yang melihat pemandangan itu, sadar bahwa manusia-manusia yang kurusnya bukan main ini adalah mereka yang diculik para Lilith.
Angkasa ikut senang melihat para manusia lain yang diselamatkannya senang. Mereka terlihat bahagia bisa menghirup oksigen bumi, bahkan salah satu dari mereka berguling-guling di atas rumput.
Gilda tertawa, lalu mengajak Angkasa untuk pulang.
"Bunda pasti sudah cemas," ucap Gilda. Angkasa mengangguk, pasalnya, dia berjanji untuk kembali secepat mungkin kepada Mentari ke seseorang.
Mereka berjalan beriringan, menghela napas lega karena lepas dari teror makhluk ungu yang selalu menampakkan diri ketika malam hari tiba.
Jadi, yang dikatakan Ella benar. Mereka mati setelah Arp itu dibunyikan.
"Angkasa, Gilda!"
Angkasa mendapati Mentari menutup mulutnya tidak percaya. Dengan air mata yang mengalir deras, dia berlari ke arah mereka berdua. Gilda ikut berlari, dan menubruk Mentari di tengah jalan.
Mentari tersungkur ke belakang, namun dia memeluk Gilda erat. "Kau selamat, sayang!" serunya seraya menciumi kening dan pipi Gilda.
Gilda terkekeh lalu sekali lagi memeluk Mentari. "Papa datang seperti pahlawan, Bunda!" seru Gilda.
Mentari terkekeh, lalu berdiri. Dia menatap Angkasa lekat, lalu tertawa dan mengecup bibir Sang Suami singkat. Angkasa mengerjap, lalu tersenyum dan memeluk istrinya.
"Kau kembali," ucap Mentari lega. "Terima kasih."
Angkasa menggeleng. "Nanti aku akan membawamu ke makam Ella. Kau berterima kasihlah di sana."
"Kau ... bertemu dengannya ...?"
Angkasa mengangguk. "Semacam itu."
"Tapi, bagaimana bisa?"
"Panjang ceritanya."
"Hei!" Gilda berseru. Dia memisahkan Mentari dan Angkasa yang terus-menerus berpelukan lama. "Papa bahkan tidak memeluk Gilda selama itu!"
Angkasa dan Mentari bertukar pandang lalu tertawa. Pria itu menggendong putrinya, lalu merangkul istrinya agar mendekat. Mereka tertawa bersama, kemudian Gilda dan Mentari memeluk Angkasa serempak.
"Angkasa," panggil Mentari. "Pahlawan kami."
Angkasa mengerjap.
"Papa selamanya akan selalu menjadi pahlawan Gilda," tambah Gilda riang.
Angkasa kembali mengerjap. Air matanya menetes, tetapi tawanya juga lepas. Ah, apakah memang mungkin seperti itu rasanya menangis bahagia?
***
5.832 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top