15. Fate

Wanita itu mendengkus sebal. Dia mengetuk-ketukkan ujung pulpennya ke meja, sedang tangan yang lain menopang dagunya; bosan. Sudah beberapa kali matanya berputar, tidak terlalu suka dengan matakuliah hari ini.

Dosen di depan kelas menerangkan dengan semangat, apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan sebuah black hole. Berapa kecepatan menghisapnya, bahkan teori-teori yang akan terjadi bila seorang manusia terhisap.

Wanita itu sungguh tidak peduli. Yang ingin dia lakukan sekarang adalah pulang, tidur dan bangun lalu makan malam. Setelah itu, dia ingin melakukan kegiatan kesukaannya.

TAK!

TAK!

Suara penghapus yang diketukan ke papan tulis itu berhasil menarik kesadaran wanita tersebut kembali. Dia berdecak, lalu tersenyum paksa kepada dosen yang ternyata menyadari ia tidak memerhatikan.

"Aries Beam," panggil dosen tersebut.

"Pak Beni," panggil Aries balik. Beberapa mahasiswa tertawa melihat sikap Aries yang kurang ajar. Pak Beni, dosen itu, tentu saja geram.

Pak Beni berdeham, berusaha terlihat santai. Kedua tangannya dia sembunyikan di belakang punggung, dagunya terangkat. Dengan tatapan angkuh Pak Beni berkata, "Ini sudah yang kali kesekian kau tidak memperhatikanku, Nona Beam."

Aries mengedik tidak peduli. Wajah Pak Beni mengeras, namun ia berdeham untuk terlihat lebih santai. "Setelah kelas selesai, kau ikut dengan saya ke kantor."

"Apa?!" pekik Aries seraya berdiri dari kursinya. "Tidak bisa! Saya---"

"Tidak ada alasan, Nona Beam."

Aries berdecak, lalu terduduk dengan kedua tangan yang menyilang di depan dadanya. Sesekali dia mendengkus. Sudah dapat jadwal kuliah siang, pulang sore, dan sekarang setelah pulang harus menghadap Pak Beni di kantornya?

Ah. Rasanya, hari ini akan semakin buruk saja.

***

Aries duduk tegak di kursi tamu, berseberangan dengan kursi hitam Pak Beni yang empuk. Dosen separuh baya itu sedang membaca arsip mengenai Aries. Sesekali, melirik Aries dengan matanya yang malas.

Mahasiswi berusia 20 tahun itu sesekali menatap jam tangannya, yang sudah menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Aries berdecak. Dia menghabiskan waktu berharganya untuk tidur di sini; kantor Pak Beni.

Pak Beni berdeham. "Katakan, Nona Beam," dia bersedekap, "alasan apa yang kamu punya untuk tidak memperhatikan setiap matakuliah yang kuberikan?"

Aries mendelik.

"Aries," panggil Pak Beni geram. "Kelakuan seperti itu benar-benar tidak cocok untukmu yang seorang wanita."

"Memangnya kenapa kalau saya wanita?" tanya Aries sinis. Pak Beni menghela napas berat.

"Kau seharusnya tahu kenapa. Wanita itu tidak ada yang sepertimu."

Aries mengernyit. "Seperti saya?"

"Pemberontak, biang onar, tidak sopan. Katakan, di mana kau bisa menemukan wanita seperti itu?" tanya Pak Beni dengan senyuman mengejek. Aries menatapnya datar seraya menunjuk dirinya sendiri.

Pak Beni mengernyit. "Nona---ah. Lupakan. Kenapa kau tidak pernah sekali pun memperhatikan matakuliah saya?"

Aries mengedik tidak peduli. "Tidak suka."

"Kalau begitu kenapa masuk astronomi?"

"Karena saya pikir, saya akan mempelajari bintang lebih dalam lagi."

Pak Beni melengkan kepalanya. "Astronomi bukan hanya tentang bintang, Nona Beam. Ada banyak dalam astronomi. Ada planet, benda langit, satelit, meteor, dan---"

"Pak. Saya benar-benar tidak memiliki minat dengan bahasan astronomi lain. Yang saya inginkan hanya mempelajari lebih dalam tentang bintang. Susah dipahami, ya?" Aries kembali mendelik.

Pak Beni memukul meja kelabu berhiaskan taplak meja bemotif daun-daun berwarna cokelat itu. "Nona Beam!!!"

"Pak Beni."

"Cukup!" Pak Beni berdiri dari kursinya. Ia berjalan mendekat ke jendela lebar yang berjarak beberapa meter dari mejanya. "Sikapmu benar-benar berlebihan."

"Sikap bapak yang berlebihan!"

"Nona Beam!"

"Tidak! Seharusnya saya sudah tidur di rumah sekarang!"

Pak Beni membentak, "NONA BEAM!!!

"Kau ini apa? Bocah umur 12 tahun? Seharusnya kau malu! Kalau kau melabeli dirimu seorang mahasiswi, maka bersikaplah seperti mahasiswi!"

Aries hendak mendebat, tetapi urung karena dia tidak menemukan sesuatu untuk diperdebatkan. Apa yang dikatakan Pak Beni benar; dia bertingkah seperti seorang bocah.

Untuk itu Aries mengangguk dan meminta maaf. Kedua alis Pak Beni terangkat, lalu dia mengangguk dan mengimbau Aries untuk tidak mengulanginya lagi. Kalau tidak, bisa jadi Aries akan mendapatkan peringatan.

Aries berlenggang pergi, menutup pintu di belakangnya dan menghela napas berat.

Aku ini ... kenapa?

***

"Nah, ini dia mahasiswa baru kita. Perkenalkan dirimu, Nak," pinta Rektor. Semacam ketua sekolah, mungkin? Entahlah, Aries tidak mengerti. Yang jelas, Pak Gibran dipanggil Rektor.

Lelaki yang ada di samping Pak Gibran mengangguk dan memperhatikan mahasiswa lainnya. "Halo," sapanya.

"Namaku ... Rius Horoscope. Kalian bisa memanggilku Rius. Umurku ... 21 tahun, dan aku tertarik dengan benda-benda langit, khususnya para bintang," lanjutnya. Membuat Aries sedikit merasa aneh, karena saat dia memperkenalkan nama dan usianya, dia tampak ragu.

Apa dia mengidap penyakit alzheimer?

"Baiklah, Rius. Kamu bisa duduk di kursi kosong yang ada di kelas ini," arah Pak Gibran. "Kalian bersikap baiklah padanya," pintanya. Mereka mengiyakan.

Rius Horoscope, ya? Apa dia horoscope fanatic lover?

Oh, Aries akan bertanya padanya. Karena kursi kosong yang ada di kelas ini hanyalah di sampingnya. Selalu di samping Aries.

Rius berjalan ke kursinya, Pak Beni lalu memasang wajah meremehkan pada Aries. "Oh, Tuan Horoscope. Sepertinya kau harus banyak bersabar jika duduk di sana," katanya membuat Aries sedikit tersinggung.

"Kenapa?" tanya Rius. Pak Beni terkekeh pelan.

"Nona Beam. Dia mahasiswi paling tak bisa diatur sepanjang sejarah kampus ini berdiri," jawab Pak Beni sembari menatapku sinis. Lalu yang lainnya menahan tawa.

"Beam?" Rius terlihat heran. "Itu namamu, Beam?" tanyanya pada Nona Beam. Aries menatapnya sejenak.

Dia memiliki rambut berwarna biru, pun kedua irisnya; biru air. Alisnya tebal, bibirnya tipis. Oh, hidungnya mancung. Dia tampan, walaupun warna rambutnya tidak umum.

"Iya. Nama keluargaku, apa itu jadi masalah?" tanya Aries. Rius tersenyum lalu menggeleng, dan terduduk di sampingnya.

"Sepertinya, aku akan betah duduk di sini, di sampingnya, Pak Beni," ucapnya. Membuat semuanya---termasuk Aries---yang ada di kelas tersentak.

"Oh, b-baiklah. Kita mulai mata kuliah kali ini, ya? Planetary Nebulae," seru Pak Beni.

Ares melirik Rius, dan air wajahnya berubah menjadi ... dendam dan .... Marah? Mengapa? Apa dia memiliki pengalaman buruk dengan mata kuliah ini? Aries mencolek sedikit lengannya, dan dia menoleh.

"Oh, ada apa, Beam?" bisiknya.

"Ada apa?" tanya Aries.

"Apanya?" tanyanya balik.

"Kamu. Wajahmu seketika berubah saat mendengar mata kuliah hari ini. Apa kau tidak menyukai Planetary Nebulae?"

"Iya. Sangat," jawabnya. Mereka masih berbisik.

"Sama," balasnya dengan senyum lebar.

Rius mengernyit. "Kau membenci Planetary Nabulae?" tanyanya. Aries mengangguk.

"Dibandingkan dengan matakuliah ini, aku lebih suka mempelajari bintang-bintang," jawab Aries. Rius mengangkat kedua alisnya.

"Maukah kau pergi bersamaku nanti? Aku ingin memperkenalkanmu pada saudara-saudaraku!" bisiknya.

Aries terkejut.

"Apa ... apa itu ajakkan untuk kencan?" tanya Aries. Rius memiringkan sedikit kepalanya ke arah kanan.

"Oh, rambutmu panjang," bisiknya. Tanpa memedulikan pertanyaan Aries, dia meraih rambut Aries dan memperhatikannya. Apa yang salah dari rambutnya? Warnanya hitam, ikal, dan panjang sepaha. Itu, 'kan, normal-normal saja.

"Aku bertanya padamu," bisik Aries. Rius melepaskan helai rambutnya.

"Oh, maaf. Apa?" tanyanya.

"Apa kau tadi mengajakku untuk kencan?" tanya Aries balik. Ria menaikkan kedua alisnya.

"Oh, ya. Tentu. Jadi, kau mau bertemu dengan keluargaku nanti?" tanyanya. Aries tertegun. Astaga, tadi itu aku bercanda. Mengapa dia mengiyakan?

Aries mendeham pelan. "Sebelum itu, apakah kau percaya pada ramalan horoskop?" tanyanya.

Alisnya dia tautkan. "Tidak sama sekali," jawabnya.

"Bagus. Kalau begitu, aku mau. Jadi, sore ini pukul empat lewat 15?" Rius tersenyum lebar lalu mengangguk. Aries menyuruhnya untuk berhenti berbincang, takut kalau Pak Beni akan menangkap basah mereka berdua.

***

Ini gila.

Saudaranya ada sepuluh orang? Kau pasti bercanda. Orang tua mereka pasti subur!

Aries memperhatikan mereka satu persatu. Ada yang rambutnya berwarna kelabu, ada yang pirang, ada yang berwarna merah, ada yang berwarna hijau, ada yang berwarna ungu, ada yang berwarna biru pucat, ada yang berwarna jingga, ada yang berwarna putih, ada yang berwarna biru tua, dan ada yang berwarna biru bercampur dengan ungu.

Ini gila.

Mereka satu persatu memiliki warna rambut yang berbeda-beda. Apa orang tua mereka berbeda pula?

"Nona Beam?" panggil gadis berambut biru pucat. Suaranya lembut sekali, seperti seorang ibu. Seluruhnya, semua gerak-geriknya seperti seorang Ibu.

"Iya," jawab Aries.

"Namaku Auva, aku keenam yang paling tua di keluarga Horoscope. Rius bilang, dia tertarik padamu. Oh, dan kudengar kau tidak percaya dengan ramalan horoskop," ucap Auva.

Aries mengangguk. "Iya, aku tidak percaya dengan ramalan horoskop. Dan, namamu benar-benar Auva?"

Auva tersenyum seraya mengangguk. "Kenapa?" tanyanya.

"Bukankah itu nama bintang?" Aries bertanya. Lalu tiba-tiba saja mereka saling bertukar pandang. Apa yang salah? Aku, 'kan, hanya bertanya.

"Itu benar," jawab Auva. "Darimana kau tahu?" tanyanya.

"Aku pecinta bintang. Dan kalau tidak salah, Auva adalah salah satu bintang yang membentuk Virgo," jawab Aries antusias. Keluarga Horoscope kembali silih pandang.

"Benar lagi," balas Auva.

"Kau pintar," puji salah satu dari mereka yang berambut hijau.

"Oh," kata si Rambut Hijau, "namaku Elgen." Sambungnya.

"Elgen? Kedengarannya familiar ...," respon Aries. Mereka kembali silih pandang lalu kemudian menatap Aries yang mulai membuka mulutnya lagi.

"Zuben Elgenubi? Salah satu bintang yang membentuk Libra?" tanya Aries memastikan. Mereka menganguk serempak.

"Dengar, aku punya satu pertanyaan untuk kalian. Dan hal ini mengusik pikiranku sedari tadi," ucap Aries sembari memegangi kepalanya.

"Apa?" tanya si Rambut Ungu. Aries mengedik.

"Kenapa warna rambut kalian berbeda? Auva berwarna biru pucat, Elgen berwarna hijau, kau berwarna ungu, dia berwarna merah, Rius berwarna biru air, dia berwarna biru tua, dia berwarna biru-ungu, dia berwarna jingga, dia berwarna putih, dia berwarna abu, dan dia pirang," ujarnya. Mereka semakin melongo.

"Kau ... kau melihat rambut kami dengan warna yang berbeda?" tanya si Rambut Kelabu. Wajahnya tidak tua, tetapi mengapa rambutnya kelabu?

"Iya, karena itulah aku bertanya, memangnya apa? Hei, mana yang berambut pirang? Tadi, dia masih ada di---hmpppfft!"

Aries merasakan sebuah saputangan yang sudah ditetesi obat bius di hidungnya. Aromanya tak pernah dia cium sebelumnya; dia tidak mengenali jenis obat bius ini. Tak ada apa pun lagi yang diingatnya setelah itu, karena pandangan Aries menjadi gelap.

***

A

ries' point of view, cause, why not?

Kubuka mataku. Karena masih buram, kukedipkan tiga kali, lalu pandanganku menjadi jernih seperti sedia kala. Kuedarkan pandanganku, dan aku berada di kamarku. Di rumahku.

Bagaimana bisa?

Aku memutuskan untuk tak menghiraukan bagaimana bisa aku kembali kemari. Kudekati jendela kamarku, kubuka kedua daunnya, dan menatap langit-langit.

Syukurlah, hari ini langit cerah. Jadi, bintang-bintang di atas sana terlihat jelas olehku. Kucari Aries, tetapi yang kutemukan hanya tiga bintang. Ke mana bintang 41 Aries?

Semua horoskop itu terdiri dari empat sampai sekitar sembilan atau sepuluh bintang. Aries terdiri dari empat bintang; Mesarthim, Sharatan, Hamal, dan 41 Aries.

Bintang 41 Aries seharusnya ada di paling ujung sana, tetapi tak kutemukan sinarnya. Tidak mungkin bintang seterang itu tiba-tiba hilang!

"Sudah sadar rupanya." Suara tak asing itu mengejutkanku. Kuputar tubuhku. Berdirilah seorang Rius di hadapanku.

"Apa yang terjadi?" tanyaku.

"Oh, kau pingsan dan a---"

Aku memotong. "Bukan! Apa kau menyadari sesuatu? Bintang 41 Aries tidak ada di langit. Bagaimana mungkin? Mengapa? Hei, kau mendengarkanku?" tanyaku.

"Kau sungguh ingin tahu?" tanyanya. Aku mengangguk keras. Dia menyentuh dahiku dengan kedua ujung jarinya. Aku mengernyit, apa yang tadi dia lakukan?

Tiba-tiba, aku merasa kepalaku berputar-putar, pandanganku kabur, tubuhku melayang, dan semuanya menjadi cerah. Sialan, apa mungkin Rius adalah utusan malaikat maut?

***

"

Aries!!!"

BLAAAR!

"Sialan, kenapa ada ledakan? Apa yang dia lakukan?! Gemini, Pisces, ikut aku!"

"Mau ke mana kau, Cancer?"

"Mencari Aries, idiot! Memangnya apa?!"

"Aku tahu, tapi ke mana!?"

"Ke Utara, Taurus. Kalian sisanya pergilah ke mana saja!"

"Cancer!"

"Apa, Pisces?"

"Tunggu, aku menemukan tubuh Aries! Gemini, Cancer, bantu aku mengangkat batu besar ini!"

"Hei!!! Aries ada di sini!!! Taurus, Virgo!!! Leo, Aries ada di sini!!!"

"Kau sedang apa, Gemini? Bantu kami!"

"Mencari bantuan! Apa kau tidak menyadari kalau batu itu sangat tebal dan besar? Hei, Libra!!! Semuanya, Aries ada di sini!!!"

"T-tolong ...."

"Eh?"

"???"

"Ah, Aries masih hidup!!!"

***

K

epalaku terasa berat, pandanganku kabur. Apa ini yang sedang kupijak? Ini bukan lantai rumahku. Rasanya seperti ... semen? Tidak, keramik kasar.

"Kau yakin dia orangnya, Leo?"

Suara itu ... Si Rambut Kelabu? Sialan, ke mana Rius membawaku? Siapa mereka?

"Aku yakin, Scorpion. Buku legenda mengatakan bahwa manusia yang dapat menggantikan Aries adalah dia yang dapat melihat warna."

Aku berusaha untuk terduduk, tetapi kepalaku masih terasa berat sekali. Pada akhirnya, aku berhasil duduk di lantai keramik kasar ini. Kukedipkan mataku beberapa kali, lalu pandanganku kembali jelas.

Aku berada di sebuah ruangan bernuansa kerajaan. Seperti kerajaan Thor dari Avenger di Asgard. Pilar emas dengan banyak hiasan. Di tengah sana, ada sebelas orang yang tak asing bagiku. Mereka orang-orang yang mengaku sebagai Keluarga Horoscope.

Mimpi macam apa ini? Mengapa mereka memanggil satu sama lain dengan nama zodiak? Dan apa maksudnya bahwa aku bisa menggantikan Aries?

"Aku juga sempat baca, Scorpion." Itu Rius yang baru saja membuka suaranya.

"Apa yang kautangkap, Aquarius?" tanya si Rambut Abu yang dipanggil Scorpion. Dan, hei! Rius adalah Aquarius? Hal gila macam apa ini?

"Sang pengganti adalah dia yang bersinar," jawab Ri---maksudku, Aquarius.

Si Rambut Pirang mengernyit. "Kau tidak mengerti, ya, Gemini?" tanya Auva. Yang kutebak dia pasti Virgo.

Gemini mengangguk. "Begini," kata Aquarius.

"Nama keluarganya Beam (=sinar). Mengerti maksudku?" tanya Aquarius. Semuanya mengangguk.

"Oh, aku tidak berpikir sampai sana, Aquarius," ucap si Rambut Ungu.

"Ha, pikiranku selalu jernih, Taurus," balasnya. Jadi ... Libra, Virgo, Gemini, Taurus, Aquarius, Scorpion. Yang berambut biru tua pasti Pisces, dan yang berambut gradiasi biru-ungu pasti Sagittarius. Lalu yang berambut merah pasti Cancer, dan yang berambut jingga pasti Leo. Lalu, ke mana Si Rambut Putih?

"Pisces, panggilkan Capricorn," pinta si Rambut Jingga.

"Baik, Leo," ujarnya lalu berlalu menuju pintu yang besar berwarna cokelat tua. Oke, dua tebakanku sudah tepat.

"Tapi, bukankah Capricorn sedang menemani Aries?" tanya si Rambut Merah. "Leo mengambil tindakan tepat, Cancer. Kau tahu, kan, masalah kali ini sangat serius," timpal Scorpion.

Gila. Kenapa nama mereka serupa dengan ke-12 zodiak?

Taurus memandangiku, lalu aku dengan gelagapan berdiri tegak. Ini tidak waras.

"Hei, dia bangun," ucapnya. Lalu membuat yang lain beralih padaku.

"Ah, Beam. Kemarilah, kami tidak menggigit," ucap Virgo. Aneh, kenapa pakaian mereka berubah jadi seperti raja dan ratu?

Aku menurutinya lalu mendekati mereka. Ternyata, mereka sedang mengelilingi meja bundar yang besar. Di tengah meja itu, ada kertas yang menguning dengan coretan yang tak bisa kubaca. Di samping kertas itu, ada buku tua yang terbuka tepat di tengah-tengah, dengan sejumlah tulisan yang tak kumengerti.

Siapa sebetulnya mereka? Di mana ini? Apa aku mengalami lucid dream? Sial, pikiranku pasti sedang tidak waras.

Seseorang menghampiri kami, si Rambut Putih, atau yang kutebak dia pasti Capricorn. Di mana Aries? Maksudku, di mana satu lagi? Capricorn menatapku.

"Kau sudah sadar rupanya," ucapnya.

"Siapa kalian? Di mana aku? Apa yang terjadi? Apa maksud kalian dengan aku bisa menggantikan Aries?" Aku memburu mereka dengan banyak pertanyaan.

"Wow, satu persatu, Nona Beam. Aku---"

Kupotong kalimatnya. "Tahu. Nama aslimu Virgo, kau Aquarius, kau Scorpion, kau Gemini, kau Taurus, kau Sagittarius, kau Libra, kau Cancer, kau Leo, kau Pisces, dan kau Capricorn." Mereka silih pandang lalu tersenyum lebar.

"Kau cepat tanggap, kemampuan mind reader-mu lebih bagus dari yang kukira," ucap Gemini. Tentu, aku tidak mengerti apa maksudnya. Satu-satunya kemampuanku hanyalah berpikir logis, dan sekarang adalah peristiwa yang di luar logika.

"Apa maksudmu? Aku tidak memiliki kemampuan macam itu," elakku. Taurus menggeleng.

"Kau tidak menyadari akan hal itu. Sebetulnya, kau punya. Jauh di dalam sana." Yang lainnya mengangguk-angguk setuju. Aku semakin tidak mengerti.

"Aku manusia!" seruku. Mereka terdiam sejenak. Tak lama Sagittarius membuka mulutnya.

"Kami tahu. Dan kami juga tidak tahu mengapa kau ada dalam buku legenda, yang jelas, semua petunjuk mengarah padamu."

Aku mengernyit. "Petunjuk apa? Buku legenda apa? Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanyaku masih dengan dahi yang mengerut.

"Oh, Nona Beam. Dengarkan kami dulu, kami bukanlah makhluk asing," ujar Virgo.

"Ya! Awalnya, aku juga berpikir demikian. Namun, setelah melihat pakaian dan tempat menyerupai kerajaan ini, aku mulai berpikir bahwa kalian memang makhluk asing," tukasku.

"Nona Beam, kami adalah favoritmu," timpal Scorpion

"Apa maksudmu?" tanyaku tidak mengerti.

Aquarius menghela nafas.

"Kamilah para horoskop. Kautahu? Kau benar. Kami tidak bisa meramal masa depan kalian para manusia, dan semua itu hanya omong kosong. Kami hanya memimpin dan berusaha untuk bersinar seterang mungkin di sini," jawabnya. Aku mengernyit.

"Di mana ini?" tanyaku. Mereka menatapku dengan senyuman lebar.

"The Zodiac Palace," jawab mereka serempak. Istana? Kau pasti bercanda. Zodiak katanya? Ah, ini gila.

"Oke, lalu istana kalian ini ... asli?" walaupun kutahu itu adalah hal terkonyol yang pernah ditanyakan.

Pisces membuka mulut. "Tentu saja, memangnya kau pikir ini mimpi?" ujar Pisces. Dalam lubuk hatiku, aku mengiyakan pertanyaannya. Aku melihat sekeliling.

Ruangan ini berbentuk lingkaran, ada dua belas tahta yang mengitari ruangan ini. Semuanya bernuansa emas dan cokelat, jadi terlihat sangat megah.

Di sudut sebelah barat, ada pintu besar dengan pintu berwarna cokelat tua, di sebelah timur ada sebuah lorong yang tak kutahu menuju ke mana. Di sebelah utara, ada sebuah pintu yang lebih besar dari pintu sebelah barat, tetapi yang itu berwarna emas kecokelatan.

"Kita ada di mana?" tanyaku. Leo mengedikkan bahu.

"Kau sekarang ini berada di wilayah kami, District of Constellations," jawabnya lalu menunjukkan satu gambar padaku; bintang-bintang kecil.

"Hah? M-maksudmu ... kalian adalah ... bintang?" tanyaku. Mereka terkekeh pelan.

"Horoskop, lebih tepatnya." Cancer mengoreksi.

Aku mengernyit. Bintang yang selama ini kusukai dan bersinar terang di langit malam ... hidup?

"Kalian siapa? Dan apa?" tanyaku. Mereka kembali tersenyum.

"Kami adalah para Horoscope, pemimpin District of Constellations atau bisa kau sebut dengan DoC. Tugas kami adalah melindungi DoC dari serangan mereka yang terkutuk. Namun, saat perang terakhir beberapa bulan lalu, terjadi sebuah kecelakaan besar," jelas Capricorn.

"Kecelakaan apa?" tanyaku. Air wajah mereka berubah menjadi kelabu.

"Aries, salah satu dari kami, mati," jawab Taurus. Aku tersentak.

"Maksudmu?" Aku meminta penjelasan.

"Aries yang menggantikan Hamal mati. Dia adalah 41 Aries, yang sinarnya sedang padam untuk sementara," jelas Cancer.

"Apa, kenapa?" Mereka mengedikkan bahu secara bersamaan.

"Aries mengerahkan seluruh kekuatannya untuk melenyapkan Planetary Nebulae dan Deep Sky, tetapi dia hanya bisa menyegel mereka. Kami tidak tahu kapan segel itu akan lenyap, tetapi yang pasti, segel itu pasti akan lenyap sewaktu-waktu.

"Planetary Nebulae dan Deep Sky adalah musuh bebuyutan kami, Constellations. Mereka selalu ingin merebut sinar kami, dan melenyapkan kami para bintang. Maka dari itu, kami sangat membenci mereka.

"Kami mencoba untuk melindungi DoC, sampai darah terakhir menetes pun, kami tidak akan berhenti. Dan lalu, Aries pergi menyerang mereka sendirian. Dia mati, tidak lagi bersinar terang.

"Kami panik hari itu, karena lukanya cukup parah. Namun, ternyata dia bisa selamat. 41 Aries adalah bintang terakhir yang menjadi Aries, tidak ada lagi yang dapat menggantikan posisinya.

"Akan tetapi, menurut buku legenda, ada seorang manusia yang dapat menggantikan posisi Aries. Dia dapat melihat warna, dia bersinar, dan dia seorang yang berakal. Namun, satu petunjuk yang tidak kami mengerti." Virgo menghentikan penjelasannya.

Aku mengernyit. "Apa?"

"Di sana juga tertulis, bahwa penggantinya adalah bintang yang serupa. Namun, tak satu pun bintang di sini yang mampu bersinar seterang Aries," jawab Leo. Aku menaikkan kedua alisku.

"Dan tidak ada lagi bintang yang membentuk rasi Aries," tambah Sagittarius.

"Mungkin yang dimaksud adalah, nama penggantinya," sela Taurus. Cancer mengangguk.

"Ya. Oh, nama belakangmu Beam? Lalu, siapa nama lengkapmu?" tanya Cancer, aku mengangkat kedua bahuku.

"Sebelum itu, kalian harus tahu satu hal. Orang tuaku sangat menyukai zodiak, bintang, dan horoskop. Mereka benar-benar mencintai tiga hal itu. Sampai, anak mereka saja diberi nama sesuai bintang. Nama kakakku adalah Orion Gilbert, sedangkan aku," kutunjuk diriku sendiri, "namaku Aries Starry Beam."

***

"Aries! Astaga, kau baik-baik saja!"

"Ha ... sial ... Aku hanya bisa ... menyegel mereka ...."

"Apa maksudmu?"

"Capricorn, aku hanya ... Menyegel mereka. Segel itu ... akan ... Lepas sewaktu-waktu. K-Kita ... Kita harus berhati-hati."

***

S

esuatu menggoyangkan tubuhku, dia mengatakan sesuatu tetapi tak begitu jelas untukku. Di mana aku sekarang? Empuk, harum, lembut. Ini ... kasurku. Aku sudah kembali, atau memang yang tadi adalah mimpi?

Aku terduduk di kasur, berkedip beberapa kali. Benar, ini kamarku. Itu berarti, yang tadi adalah mimpi anehku. Namun, kenapa aku bisa bermimpi semustahil itu, ya?

Tunggu dulu sebentar, siapa tadi yang menggoyang tubuhku?

Kuedarkan pandanganku, lalu mataku menangkap satu sosok di depan jendela kamarku.

Rambutnya berwarna perak.

Serius, perak? Hal gila macam apa lagi ini? Sampai kapan aku akan berkhayal seperti ini?

Kau pasti bercanda, aku butuh seorang terapis sekarang, ucapku pada diri sendiri. Dia menoleh ke arahku lalu tersenyum, pria berambut perak itu menghampiriku lalu berhenti tepat di ujung kanan kasurku.

"Siapa kau?" tanyaku. Dia menaikkan kedua bahunya. "Aku Hamal, Aries ketiga," jawabnya.

Aku mengernyit. "Bukankah Hamal adalah nama bintang, dan Aries adalah horoskop?" Alih-alih menjawab, dia malah terkekeh pelan.

"Aku tahu, kau tahu apa maksudku," ujarnya. Dia mengabaikan pertanyaanku. Benar, aku tahu apa maksudnya. Jadi, yang tadi berada di kerajaan itu nyata?

"Kalau begitu ... bukankah kau ... Berwarna biru pucat-terang?" tanyaku. Dia tersenyum.

"Itu warnaku, bukan warna sinarku," jawabnya.

"Ah, sudahlah. Ada apa kau kemari? Dan, apa maksudnya yang tadi itu?" Dia kembali tersenyum lebar.

"Aku ingin memberitahukanmu tentang sesuatu yang amat penting. Dan, yang tadi itu yang mana? Ada banyak peristiwa yang tadi terjadi. Yang mana yang kau maksudkan?" tanyanya.

"Kerajaan, horoscope, District of Constellations, 41 Aries, dan aku yang akan menggantikannya. Apa semua itu?" tanyaku. Hamal terkekeh pelan.

"Kerajaan kami bernama The Zodiac Palace. Di sanalah para horoscope dan yang pernah menjadi horoscope tinggal.

"Horoscope adalah mereka yang bersinar paling terang, mereka yang paling kuat, dan mereka yang memiliki kekuatan unik. Mereka pula yang menjadi pemimpin DoC, bisa dikatakan presiden. Di DoC, tidak ada wakil. Semuanya setara, hanya saja, tentu ada yang paling kuat dari semuanya.

"District of Constellations merupakan wilayah kami, sedangkan bumi merupakan wilayah kalian para manusia. Kami masih bagian dari Milky Way, atau yang biasa kalian sebut Galaksi Bimasakti.

"Di Milky Way juga masih ada lagi wilayah lain selain bumi dan DoC, seperti Region of Meteors Shower, Comets Fly, The Planets World, Symmetric Planetary Nebulae, dan Deep Sky Objects.

"Region of Meteors Shower adalah musuh alami bumi, sedang Symmetric Planetary Nebulae dan Deep Sky Objects merupakan musuh alami kami para Constellations.

"Mereka para Planetary Nebulae dan Deep Sky adalah musuh yang kuat. Seringkali bekerja sama untuk menghancurkan DoC. Tujuan mereka menghancurkan DoC adalah agar sinar yang kami punya diserap oleh mereka.

"Jadi, mereka akan semakin berkuasa di angkasa. Lalu, pada perang terakhir dua bulan lalu, 41 Aries yang sekarang masih menjadi Aries Horoscope, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghancurkan mereka.

"Sayang, dirinya hanya bisa menyegel mereka untuk sementara waktu. Dia bilang, bisa saja segelnya sewaktu-waktu akan lepas begitu saja, jadi kami harus berhati-hati. Sebetulnya, ia akan kembali bersinar. Hanya perlu beristirahat sejenak lalu menunggu penggantinya.

"Kaulah, yang dinyatakan oleh buku---ya, sebetulnya bukan buku legenda. Itu buku ramalan---itu, yang pantas menggantikan 41 Aries menjadi Aries Horoscope. Kau bisa melihat warna rambut kami, kau bersinar (=beam), kau memiliki pemikiran logis yang cepat tanggap, dan namamu adalah Aries," jelas Hamal.

Aku mengernyit. "Lalu, memangnya kenapa kalau namaku adalah Aries?" Hamal kembali terkekeh pelan.

"Di buku itu tertulis, bahwa penggantinya adalah dia yang berbintang serupa. Maksudnya, dia yang memiliki nama serupa untuk horoscope kami. Nona Beam, kau harus ikut denganku ke atas," ajaknya.

"Aku punya keluarga. Dan, bagaimana jika mereka khawatir padaku?" tanyaku. Hamal tersenyum.

"Kalau yang itu, serahkan saja padaku. Aku akan memanipulasi pikiran mereka, agar mereka tidak pernah ingat bahwa kau lahir, kau ada, kau hidup, dan kau bagian dari mereka," jawabnya. Aku sedikit dibuat ngeri dengan kata memanipulasi yang dia pakai.

"Tapi, aku tidak memiliki kekuatan apapun!" seruku. Hamal menjentikkan jarinya.

"Oh, terlambat. Aku sudah memanipulasi pikiran mereka, dan sekarang juga kau harus ikut denganku," balasnya.

"Aku harus bersiap," timpalku. Hamal tersenyum lalu menunjuk ke arah tas besar berwarna cokelat tua di atas mejaku. Sial, dia sudah menyiapkannya.

"Tapi, aku benar-benar tidak memiliki kekuatan apapun," kataku. Hamal mengidikkan bahunya.

"Kau punya, aku bisa melihat itu. Dan, kekuatanmu kuat sekali. Kau hanya tidak mengetahui atau menyadarinya, karena kau adalah manusia. Bukan bintang," balas Hamal, lalu dia menyentuh dahiku dengan kedua ujung jarinya.

Seperti sebelumnya, semuanya menjadi cerah.

***

A

ku kembali terbangun di tempat asing. Namun kini, bukan sebuah meja bundar yang kulihat, melainkan sebuah kamar. Dan aku berada di atas ranjang mewah berwarna jingga kemerahan.

Kuedarkan pandanganku, kamar ini mewah sekali. Hampir seluruh perabotannya terbuat dari emas, hampir. Mereka dapatkan dari mana emas-emas ini?

Kuturunkan diriku, lalu berjalan mengelilingi kamar.

Cantik.

Indah.

Megah.

Mewah.

Wah ....

Seseorang membuka pintu kamarku---maksudku, kamar yang sedang 'kutempati'---aku menoleh, itu Virgo. Dia cantik, bajunya tertutup namun masih terlihat mewah dan anggun. Rambutnya biru muda bergradiasi dengan warna cyan, dia tersenyum padaku.

"Kau sudah bangun?" tanyanya.

"Belum," jawabku. "Aku sedang tidur sambil berjalan."

"O-oh?" Virgo terlihat bingung.

Aku mendengus. "Sudah jelas, bukan? Mengapa kau masih bertanya? Aku tidak suka basa-basi, aku lebih suka langsung ke intinya." Virgo hanya tersenyum.

"Kau mirip sekali dengannya," ujarnya.

Sebelah alisku terangkat. "Siapa?"

"Aries."

"Aku Aries."

"Maksudku, Hamal."

"Memangnya, dia kenapa?"

"Dia keras kepala, dan sama sepertimu, tidak suka basa-basi. Kupikir kau memang orang yang tepat." Aku mengernyit. Hal ini benar-benar tidak masuk akal. Bahkan, aku tidak pernah sama sekali membayangkan bahwa bintang-bintang yang kusuka---semuanya---hidup.

Aku bahkan tidak bisa mengatakan, bahwa ini khayalan, aku gila, atau ini kenyataan yang tidak masuk di akal.

"Ah, ada apa kau ke sini? Dan kenapa aku ada di sini?" tanyaku. Virgo tersenyum.

"Ikut aku," ucapnya seraya berbalik dan menghilang dilahap pintu cokelat. Aku diam sejenak, berdebat dengan diriku sendiri-dengan otakku, lebih tepatnya.

Ini gila, Aries. Dan kau tahu itu. Aku menolak untuk mengikuti orang---maksudku bintang itu.

Akan tetapi, kakiku tetap turun dari ranjang, berjalan mengikuti langkah yang ditelusuri Virgo, mendapati pemandangan yang, sekali lagi, tidak masuk akal dan tidak bisa diterima oleh otakku.

Virgo membuka pintu besar itu. Kami disambut oleh bintang-bintang lain dan satu bintang lagi yang terduduk di sebuah kursi.

"Ah, Aries," ucap si Rambut Ungu. Dia menghampiriku dan menggenggam tanganku, menciumnya lalu kembali menempatkannya di tempat semula---di samping tubuhku.

Kuusap punggung tanganku. "Apa ... siapa itu?" tanyaku. Berusaha mengabaikan sikap Taurus yang terlalu ... entahlah, aku speechless.

Jari telunjukku menunjuk orang-bintang itu, yang surainya agak sedikit pucat dan gelap, dengan iris gelap, segelap malam tanpa bulan dan bintang. Orang-bintang itu terlihat lemah, bibirnya pucat, pun kulitnya berwarna serupa. Ia duduk di kursi, yang kelihatannya, paling empuk di seluruh Zodiac Palace.

"Itu 41 Aries," jawab Taurus. "Dia mati."

Aku mengernyit. "Mati? Dia terlihat hidup bagiku."

"Maksud Taurus, Yang Mulia," ucap Sagittarius seraya menghampiri kami berdua dengan perawakannya yang tegap. "Dia sedang tidak bersinar untuk sementara."

"Kau pasti sudah mendengar cerita itu dari Hamal sebelum kau dibawa kemari, 'kan, Yang Mulia?" tanya Cancer.

Aku kembali mengernyit. "Kenapa kalian memanggilku dengan sebutan 'Yang Mulia'? Kemarin kalian masih memanggilku dengan sebutan 'kau'."

"Kami pikir tidak pantas rasanya memanggilmu dengan sebutan 'kau' kepada yang terkuat," balas Leo. "Lagipula, sebutan itu lebih pantas daripada sebutan 'kau'."

"Dan kenapa kau," aku menunjuk Taurus, "mengecup tanganku?"

"Itu sebagai tanda bahwa kami menhormatimu. Mohon diri jika hal tersebut membuatmu sedikit tersinggung, Yang Mulia," jawab Taurus seraya membungkuk. Aku memberi isyarat padanya untuk kembali berdiri tegap, dan dia menuruti.

"Berhenti ... berhenti melakukan itu padaku. Aku tetap manusia. Kalian bintang yang sesungguhnya," pintaku.

"Maaf, Aries Yang Terhormat, tapi, itu bertentangan dengan The Zodiac's Rules," ucap Virgo seraya tersenyum tipis.

Ah, Virgo sialan. Aku tahu aku akan berada di sini untuk waktu yang lama, dan aku tidak bisa menentang hal itu karena kalian sama keras kepalanya denganku.

Maka dari itu, jangan membuatku merindukan Ibu dengan senyumanmu yang mengingatkanku pada rumah.

Aku menatap 41 Aries, yang katanya mati.

Dia memang terlihat seperti manusia di ambang kematian. Hanya bisa terduduk diam, menanti ajal yang entah kapan datangnya. Tubuhnya masih terlihat sehat, tetapi hal itu ditepis mentah-mentah oleh ekspresi, rambut, dan kulitnya yang terlihat suram.

Aku tak sampai hati untuk hanya melihatnya begitu saja seperti itu, dan tubuhku mengerti apa yang aku rasakan. Kakiku berjalan mendekati 41 Aries, sedang bintang yang lain menyingkir, memberiku jalan padanya.

Keadannya semakin mengkhawatirkan jika dilihat dari dekat.

Aku mengelus pipinya.

41 Aries memaksakan otot wajahnya untuk mengukir senyuman kecut. "Jangan," pintaku.

"Kau terlihat terlalu lemah, bahkan hanya untuk satu senyuman tipis," lanjutku. Membuat kepalanya menggeleng perlahan-nyaris tidak terlihat kalau kau bukan orang yang fokus.

"K-ka-u ...," ucapnya serak. Dahiku semakin mengerut.

"Hentikan," pintaku. Dia kembali menggeleng.

"Ka-u ... penggan-ti ... ku ...?" tanyanya.

Aku hanya mengangguk, tak kuasa mengeluarkan sepatah katapun karena kondisi memprihatinkan 41 Aries. Membuatku sungguh merasa sedih, karena dia salah satu bintang favoritku.

"Jangan lakukan itu pada dirimu sendiri. Aku tahu kekuatanmu belum pulih sepenuhnya. Untuk tersenyum saja otot wajahmu tidak sanggup, jadi, tolong jangan memaksakan pita suaramu bekerja," ujarku. Aku kembali mengelus pipinya yang terasa dingin.

"Aku ... sen-ang ...," ucapnya seraya mengangkat lengannya untuk menggapai wajahku. Aku menurunkannya perlahan. "Ka-u ... datang ...," lanjutnya masih memaksakan senyumnya.

Aku hanya mengangguk untuk menanggapinya.

"Teri-ma kasih ...."

41 Aries menutup matanya. Menutup matanya?

"H-hei ... apa yang terjadi? Kenapa dia menutup matanya?" tanyaku panik.

Capricorn menghampiriku, menarik ku menjauh dari 41 Aries terduduk. Dengan mata tertutup.

Aku menoleh. "Kenapa dia menutup matanya?" tanyaku sekali lagi.

"Dia tertidur. Dia tertidur, iya, 'kan?" tanyaku.

Capricorn menggeleng. "41 Aries sedang memulihkan dirinya sendiri. Mungkin kalian para manusia biasa menyebutnya tidur."

"Oh," ucapku lega karena asumsi bahwa 41 Aries benar-benar mati tidak benar adanya. "Untuk berapa lama?"

Capricorn menggeleng untuk kesekian kalinya. "Kami tidak tahu dengan pasti untuk berapa lama, Yang Mulia. Sebab hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Mohon diri karena tidak bisa memberikan jawaban yang kauinginkan."

Kali ini, giliranku yang menggeleng. "Berhenti bersikap aneh padaku. Aku tidak menyukainya, lagipula aku bukan benar-benar dari Zodiac Palace."

Kualihkan pandanganku kepada 41 Aries, yang masih terduduk dengan mata terpejam. Dia sedang memulihkan dirinya, Aries. Dia tidak mati.

Kuembuskan nafasku yang berat. "Kalau begitu, kita pindahkan dia."

"Maaf, Yang Mulia?" tanya Aquarius memintaku untuk mengulang perkataanku.

"Kita," ucapku seraya menunjuk kami semua, "pindahkan dia. Tidak mungkin kita biarkan 41 Aries memulihkan diri dengan keadaan duduk."

"Baik, Yang Mulia," ucap mereka serempak lalu menghampiri 41 Aries hendak menggotongnya. Aku pun ikut membantu.

Dan berhenti memanggilku dengan sebutan Yang Mulia. Itu mulai memuakkan.

***

"

Lagipula, kenapa sejak awal kalian mendudukkan 41 Aries di kursi itu?" tanyaku sambil menatap wajah mereka satu persatu.

Bintang-bintang yang selama ini ada di langit, berwujud seperti manusia. Apa selama ini para peneliti bintang berbohong pada kami?

"Mohon diri bila Yang Mulia tidak menghendaki hal tersebut," Gemini membungkuk, "tetapi 41 Aries yang memintanya."

"Untuk apa?" tanyaku.

"Untuk menemui Yang Mulia, tentu saja," jawab Pisces, seraya tersenyum tipis.

Jangan memanggilku Yang Mulia.

"Euh ... Ja-jangan ...! Jangan memanggilku Yang Mulia," pintaku. Padahal aku bermaksud untuk memberikan perintah. Apalah daya, aku tidak pernah memerintah orang lain.

Akan tetapi, aku harus bermain peran.

"Ini ... Ini perintah," tambahku. Seketika itu juga mereka langsung membungkuk.

"Perintahmu, Yang---Aries."

"Bagus. Euh, kalian menjalankan perintah dengan baik! Sekarang ... apa?" tanyaku. Lalu mereka tersenyum.

Pisces mengisyaratkanku untuk mengikutinya, aku mengangguk dan membuntuti langkahnya. Dia membawaku ke dalam ruangan luas dengan dominan putih sebagai warnanya. Lantainya hitam, dinding dan atap ruangannya putih, seputih susu di bumi.

Ada pegangan serupa dengan pegangan di tepian kolam renang, untuk para pemula yang masih belajar untuk berenang. Namun pegangan itu menempel erat pada dinding-dinding ruangan. Lampu terang berada di tengah-tengah atap. Tidak besar, tetapi bisa menerangi ruangan ini dengan baik.

Pisces mengisyaratkanku untuk berhenti mengikutinya, dan ia sendiri berjalan menuju salah satu sudut ruangan, di mana sudut itu lah yang menjadi satu-satunya tempat dengan beberapa barang di ruangan itu. Ditumpuk, dan aku tidak yakin benda-benda apa saja yang ada di sana.

Aku juga tidak melihat saklar lampu.

"Berpikir cepat, Aries!" seru Pisces. Aku mengalihkan pandanganku padanya, mendapati benda asing meluncur ke arahku.

Kakiku beraksi.

Aku bergerak ke kiri, sedang benda itu tetap meluncur dengan kecepatan tinggi, lalu menancap pada pintu cokelat besar di belakangku. Aku menoleh, melihat benda apa yang Pisces lempar padaku.

Sebilah pedang. Dia melemparkan pedang yang besar kepadaku.

"Kau gila? Baik, aku tahu aku menyebalkan, tapi bukan begitu caranya! Kau mau aku mati dengan cepat? Bagaimana kalau aku tidak bisa menghindar barusan?" Kuserbu Pisces dengan pertanyaanku yang terkesan jengkel.

Pisces tersenyum lalu membungkuk.

"Mohon diri bila kau tidak menghendakinya, Aries," ucap Pisces lalu kembali berdiri tegap, "tapi hari ini, aku akan menjadi pelatihmu."

Tangan Pisces dan jari-jemari lentiknya meraih senjata lain yang asing bagi mataku. Ibu jarinya, bisa kulihat, menekan tombol kecil pada gagang senjata itu.

Sinar terang keluar dari gagang tersebut, berbentuk seperti light saber, tetapi lebih kasar.

Bagus.

Aku akan menghadapi Obi Wan Kenobi.

***

K

ami terengah, aku terengah. Aku tidak pernah melakukan latihan apapun tadi. Terutama dengan light saber milik Pisces. Dia terduduk di sampingku, dan tersenyum.

Aku mengernyit. "Apa?"

Dia menggeleng. "Bukan apa-apa. Hanya saja, kau sudah lumayan bersemangat pada latihan pertamamu."

"... Apanya ...," ketusku lalu kembali terduduk meninggalkan posisi terlentangku.

"Pertanyaan. Kenapa kalian memanggilku Yang Mulia barusan?" tanyaku.

"Kami memang memanggil Yang Mulia kepada satu sama lain," jawab Pisces.

"Ah," ucapku. "Kemarin kalian memanggil nama."

Pisces tersenyum. "Kami tidak memanggil Yang Mulia kepada satu sama lain pada keadaan yang mendesak. Kemarin, adalah keadaan yang mendesak. Kami hanya ingin memastikan bahwa kau adalah orang yang tepat."

"Kenapa?" tanyaku.

Alis Pisces bertaut. "Kita sedang membicarakanmu, Aries. Kalau kami sampai salah orang ...."

Pisces berhenti. Tidak melanjutkan kalimatnya, membuatku sedikit penasaran.

Kalau kalian salah orang, kalian akan melenyapkanku?

***

Z

raaaaa!

Aku berhasil menghindar walau terlambat sepersekian detik, membiarkan tubuhku memeluk lantai berwarna hitam yang dingin.

Tidak ada waktu untuk tiduran, Aries. Berguling!

Aku berguling ke kanan, tepat saat semacam-light-saber milik Pisces menancapkan ujungnya di lantai hitam tak bersalah, tepat di samping telingaku. Kulitku mulai berekresi, pelipisku mulai basah karena proses itu.

Tubuhku cepat-cepat terduduk, lalu berdiri, membuat kepalaku sedikit pusing karena aliran darah yang tiba-tiba mengalir ke otakku bertambah.

"Tunggu dulu, Pisces. ini tidak adil! Aku tidak memiliki senjata," cicitku. Tatapan Pisces sarat akan keseriusan-lebih terlihat seperti kebencian-yang membuatku bergidik walau hanya sebentar.

"Mereka tidak punya waktu untuk menunggumu memiliki senjata, Aries," ucap Pisces. Lalu mengayunkan semacam-light-saber miliknya ke arah kepalaku, maka aku secepat mungkin menunduk, membuatnya menoreh udara yang tidak bersalah.

Aku kembali berdiri. "Demi Tuhan, Pisces!" pekikku. Aku mundur secepat yang aku bisa, dengan Pisces yang mengelap keringat di pelipisnya menggunakan lengan bajunya. Manik matanya masih tertuju padaku---sarat akan keseriusan---yang terlihat seperti kebencian.

Duk.

Tubuhku menyentuh dinding, yang tadinya ada beberapa meter jauhnya dariku.

Aku panik.

Untuk apa semua latihan ini? Mereka siapa? Siapa yang tidak akan menungguku untuk mengambil senjata? Apa yang Pisces maksud?

Kepalaku menoleh ke sebelah kanan, mataku menangkap wujud-wujud asing. Otakku memprosesnya, dan itu, demi Tuhan, adalah senjata. Tumpukan senjata dibiarkan tergeletak di satu sudut.

Tanganku mengambil satu senjata secara sembarang, aku tidak memiliki waktu untuk berpikir senjata mana yanh dapat menghadapi senjata milik Pisces.

Mataku menangkap wujud senjata yang kuambil, otakku kembali memprosesnya, dan yang kuambil adalah sebuah spatula.

SPATULA? Ini tidak bisa menandingi senjata-tidak.

UNTUK APA para Horoskop menyimpan SPATULA di tumpukan SENJATA?

Zraaaa---!

Mataku membelalak, napasku memburu. Senjata milik Pisces menancap sedikit terlalu dalam di dinding tidak bersalah ini, tepat di samping telinga kiriku. Dada Pisces naik turun, dia juga sama tegangnya denganku.

"Fokus," ucapnya. "Musuhmu tidak akan memberimu waktu untuk merenung."

Aku menghindar sejauh mungkin. "Maafkan aku, Tuan Pelatih," ucapku. "Namun aku baru tahu kalau spatula ternyata senjata."

Pisces menoleh. "Spatula bukan senjata," ucapnya seraya menarik semacam-light-saber itu dari dinding, membuat lubang baru di sana.

Oh, wow. Spatula bukan senjata? Aku baru tahu! Mengejutkan.

Pisces berada pada jarak-menyerang-paling-jitu denganku. Jarak kami tidak terlalu jauh, dan dengan kecepatan berlari---atau teleportasi---miliknya, dia bisa saja menebasku hanya dengan maju selangkah.

Untung saja ini latihan.

Kupasang kuda-kuda menyerang, dengan spatula di genggaman tanganku. Manik mataku tertuju pada Pisces yang sedang menyeringai seraya berkata, "Baiklah."

Langkah kakinya lebar, membuat dia bergerak dengan kecepatan dua meter perdetik ke arahku. Aku mundur perlahan, aku harus apa? Aku belum pernah berkelahi, apalagi menggunakan senjata!

Zap.

Pisces menghilang.

Tubuhnya menghilang, meninggalkan kilauan-kilauan kecil di udara, lalu kilauan itu pun menghilang. Aku kebingungan, otakku berputar, ke mana perginya dia?

"Jangan pernah mundur," aku berbalik secepat mungkin, terkejut akan suara tiba-tiba di samping telingaku, "saat musuhmu mengambil langkah." Pisces berdiri tegap dengan tangannya menggenggam senjata kerennya dengan mantap.

"Kau berteleportasi?" tanyaku. Hampir saja melepas spatula dari genggamanku.

Pisces memiringkan kepalanya ke kanan sedikit, lalu menghentakkan kakinya perlahan. Tubuhku dibawa permukaan ke atas-lantai yang kupijak menjadi segundukan bukit-lantai-batu kecil, lebih tepatnya.

Pisces kembali menghentakan kakinya perlahan, lalu bukit-lantai-batu kecil itu tiba-tiba kembali merata seperti semula dengan cepat, membuatku melayang di udara sepersekian detik.

Tubuhku bereaksi.

Aku---dengan gaya Thor mendarat dari udara---berhasil mendarat di atas lantai hitam itu dengan mulus. Tanpa goresan sedikitpun. Aku terkejut, sekaligus terkesan dengan refleksku.

Pisces mengedikkan bahunya. "Mengesankan," ujarnya lalu kembali melangkah cepat ke arahku.

Aku berdiri, lalu menghindar dari serangannya. Secepat mungkin, saat Pisces lengah---karena dia hanya lengah tidak lebih dari tiga detik---kuayunkan spatula di genggamanku, mengenai punggungnya sedikit keras.

Pisces tersungkur. Dan aku---yang belum pernah memukul makhluk hidup mana pun---panik.

"Ah! K-kau tidak apa-apa? Maafkan aku! Maafkan aku! S-sakit ya? Apa kau mau kuambilkan plester? Atau perban barangkali? Maaf!" pekikku panik seraya mendekati Pisces yang masih mencumbu lantai dingin.

Pisces terduduk seraya mengusap-usap batang hidungnya. "Sudahlah. Jangan panik begitu, yang kau gunakan hanya spatula."

"Tapi aku memukulmu dengan ini!"

"Aku tahu," ucap Pisces santai. "Aku juga merasakan pukulan spatulamu."

"Maaf ... sakit, 'kan?"

"Iya," Pisces berdiri. "Sedikit. Latihan yang bagus, Aries," pujinya.

"B-bagaimana punggung dan hidungmu ...?" tanyaku.

"Mereka baik-baik saja, hanya sedikit tergores. Sudahlah. Spatula tidak akan cukup untuk menyakiti bintang," jawabnya.

"... Kita sudahi latihannya."

"...? Itu yang kukatakan barusan."

***

"

Kali ini," ucap Pisces seraya menoleh padaku, "aku yang memiliki pertanyaan untukmu."

Aku mengangguk. "Apa?"

Pisces mengidikkan bahu. "Kau belum pernah memukul seseorang sebelumnya? Pukulan itu, bukannya membuatku gemetar, malah kau yang gemetar."

Aku menggeleng. "Untuk apa aku memukul seseorang?"

"Kesal, barangkali?"

"Tidak."

"... Kenapa?"

"Karena itu tidak manusiawi. Memangnya di sini tidak ada sikap bernama bintang-wi?"

"Apa itu, manusiawi?"

"Sikap yang rasional antar manusia, Pisces. Kami para manusia memiliki itu. Semuanya, tanpa terkecuali."

"Benarkah? Jadi, manusia tidak pernah baku hantam satu sama lain, eh? Wow."

Aku tersenyum miris. Seharusnya begitu, Pisces. Seharusnya begitu.

Kami berdua berdiri, lalu terkekeh pelan dan pergi untuk keluar dari ruang latihan.

Pisces melambaikan tangannya segera setelah segera keluar dari ruang latihan. Aku bertanya terlebih dahulu bagaimana caranya kembali ke kamarku, tentu saja.

"Hm. Kau jalan saja lurus ke sana," Pisces menunjuk jalan di belakangku, "Belok kiri, lalu nanti ada semacam tiga jalur berbeda. Kau pilih lantai yang warnanya keemasan."

Aku mengangguk lalu berjalan sesuai instruksi yang diberikan. Selama berjalan, aku terus memikirkan keluargaku yang ada di bumi. Kalau tidak salah ingat, Hamal memanipulasi otak mereka sehingga mereka tidak mengingatku.

Aku belok ke kiri.

Kuembuskan napas pelan. Walaupun kasar, aku juga mudah merindukan keluarga. Bagaimana kabar mereka di bumi? Apa yang sedang mereka lakukan? Penasaran juga, seperti apa hidup mereka kelihatannya kalau seandainya aku tidak pernah dilahirkan?

Aku berhenti. Menatap tiga jalur berbeda di depanku. Hm ... Pisces tadi bilang, lantai keemasan atau kemerahan, ya?

Pasti kemerahan!

Aku berbelok, menyusuri lorong dengan lantai kemerahan. Semakin dalam, lorong itu semakin gelap. Kutegak salivaku lamat-lamat. Lorong tersebut terasa panjang, lambat laun cahaya kembali keluar menyinari lorong.

Ada dua jalan. Aku memilih jalan kanan.

Ada empat jalan. Aku memilih jalan kiri pertama.

Ada tiga jalan. Aku memilih lurus.

Ada dua jalan. Aku memilih kanan.

Setelah beberapa lama, aku melihat cahaya kebiruan. Akhirnya aku keluar dari lorong yang punya banyak belokan itu, hanya untuk mendapati diriku berada di sebuah ruangan dengan kaca sebagai atapnya, menampakan langit hitam dengan cahaya-cahaya kecil berhamburan.

Aku mengedarkan pandanganku.

Di tengah-tengah ruangan, terdapat lingkaran dengan lantai yang bersinar seperti berlian. Aku terperangah dengan banyak pintu di dinding ruangan ini.

Sial.

Aku tersesat.

***

A

ku berjalan ke tengah ruangan, berpijak pada lantai berlian itu. Kuputar tubuhku sekali, guna melihat sekeliling. Ada tiga belas pintu berwarna cokelat tua, empat belas ditambah dengan jalan keluar dari lorong berlantai kemerahan.

Kalau bukan kemerahan, pasti keemasan.

Ruangan ini sunyi sekali. Dindingnya berwarna biru, lantainya juga berwarna serupa. Kecuali lingkaran dan lantai yang kupijak sekarang. Aku mendongak, menatap langit yang tembus dari atap kaca.

Langit hitam bertabur cahaya kunang-kunang.

Kalau saja aku sedang tidak dalam keadaan tersesat, aku pasti menikmati pemandangan yang indah itu. Jika tebakanku benar, langit bertabur cahaya kunang-kunang itu masih bagian dari District of Constellations.

Memikat.

Aku mendengus. "Aku dan ingatan keledaiku." Mataku mengobservasi seisi ruangan, walaupun yang bisa dilihat hanya lantai, dinding, atap, dan pintu-pintu yang mengelilingi ruangan ini.

Mungkin salah satu pintu menuntun ke ruangan utama?

Kuperhatikan satu-persatu. Akhirnya, kakiku bergerak melangkah mendekati pintu yang berada di ujung kiri atas. Kalau dilihat-lihat, gagang pintunya terlihat seperti kristal.

Ragu-ragu, kuputar gagang pintu tersebut, lalu disambut dengan lorong panjang lainnya. Kali ini, warnanya biru. Kutegak salivaku lamat-lamat, menatap lorong panjang yang terlihat tidak memiliki ujung itu.

Tidak ada salahnya, 'kan?

Aku masuk, menutup pintu di belakangku dan berjalan menyusuri lorong biru. Lampu yang ada di sini pun biru. Kutebak, pasti ada hubungannya dengan para Horoscope. Kalau biru, aku percaya pasti berhubungan dengan Aquarius.

Setelah beberapa lama berjalan, akhirnya lorong itu berakhir. Mataku berbinar, terkesiap dengan ruangan yang sekarang kupandangi. Ada sebuah air mancur di tengah ruangan, tepat di atasnya ada lampu gantung kristal yang cantik.

Aku melangkah ke depan guna melihat ruangan tersebut lebih jelas lagi. Ruangan ini terlihat seperti kebun, dengan segala tanaman tumbuh besar di sini.

Eh, tanaman?

Alisku bertaut, mengingat bahwa ini bukan bumi. Bagaimana caranya tanaman tumbuh dan hidup di sini? Bagaimana caranya ... aku bertahan hidup?

Semua kejadian ini terjadi begitu cepat. Dari Rius yang---tebakanku---mencari pengganti Aries di kampusku dengan pura-pura menjadi mahasiswa baru, sampai aku yang tersesat dalam Zodiac Palace.

Kepalaku tiba-tiba terasa berat. Kalau dipikir-pikir, aku terlalu menempatkan diri. Seharusnya sekarang, aku sedang memberontak ingin pulang. Namun sayangnya, ramalan mereka membuatku terikat di sini.

Aku terduduk di samping air mancur sambil memijat kedua pelipisku pelan. Kuhela napas berat, tiba-tiba saja merindukan bumi. Kepalaku menengadah, menatap langit-langit ruangan yang mirip kebun ini.

Kali ini, atapnya tertutup.

"Haha." Aku tertawa miris. "Untuk apa para Horoscope itu memiliki kebun dalam ruangan begini?"

"Daripada kebun, ini bisa dibilang taman dalam ruangan."

Jantungku berdetak lebih cepat karena terkejut. Aku melihat sekeliling, namun tidak ada apapun selain aku, air mancur, tanaman, dan pilar-pilar yang menyokong kuat taman dalam ruangan ini.

Manik mataku menangkap siluet seorang pria dewasa di balik pilar sebelah kanan, dekat dengan pot bunga biru yang digantungkan. Kutelan salivaku lamat-lamat, dengan keberanian yang ada, aku mendekati sosok itu.

Sosok pria tersebut berjalan mendekatiku, sampai akhirnya cahaya lampu menyorot wajah lalu tubuhnya. Dengan pakaian serba hijau dan sebilah pedang terikat di pinggangnya, dia menatapku dengan tatapan sayu.

Rambutnya berwarna cokelat, sedangkan matanya berwarna hijau emerald. Mataku memicing, menatap pria tersebut dari atas ke bawah. Apa yang dia lakukan di sini?

Dengan kedua tangan di belakang punggungnya, dia membungkuk. "Sebuah kehormatan bertemu denganmu di sini, Yang Mulia."

Ck. Jangan panggil aku yang mulia, orang---bintang asing.

"Ah, ak-aku bukan Yang Mulia," tukasku. "Aku Aries."

Pria tersebut kembali berdiri tegak. "Tepat sekali." Atmosfer berubah menjadi canggung, melingkupi pikiran dan hatiku, memelukku erat dalam situasi yang tidak bisa kujelaskan.

Pria tersebut melangkah mendekat, aku mundur perlahan. Dia terkekeh pelan, lalu berhenti tepat empat puluh sentimeter di depanku. Tangan kanannya terulur ke depan.

"Saya pikir Anda tidak suka bila saya bersikap terlalu formal," ucapnya. "Jadi, mari berjabat tangan untuk memperkenalkan diri masing-masing."

Tapi kau berbicara dengan bahasa formal.

Tidak sopan kalau aku tidak menyambut tangannya. Namun, aku tidak bisa memercayainya karena beberapa alasan. Bagaimanapun juga, warna rambutnya tidak sama dengan warna matanya, tidak seperti para Horoscope yang lain.

Artinya, dia bukan Horoscope. Pria di depanku itu berasal dari luar Zodiac Palace.

Pria tersebut mengangkat kedua alisnya, lalu mengangguk dan menarik tangannya kembali ke belakang punggungnya. Aku mengernyit. "Siapa kau?"

Pria tersebut mengangguk sopan. "Saya Ophiuchus." Mataku mengerjap. Aku kembali mengobservasi pria yang mengaku sebagai Ophiuchus itu dari ujung rambut sampai ujung kakinya.

Gagah dan beretika baik, layaknya seorang prajurit. Baju yang dia kenakan terlihat seperti baju seorang pelayan, namun berwarna hijau. Posturnya bagus, benar-benar seperti seseorang di medan perang.

Pedangnya panjang, dibalut dengan sarung pedang berwarna hitam. Kurasa pedang tersebut dibuat sesuai dengan panjang lengannya.

Aku mengerjap.

Ophiuchus merupakan salah satu horoskop. Sayangnya, tidak banyak yang tahu mengenai dirinya, karena---setahuku sebagai manusia yang lahir di bumi---horoskop yang diakui hanya ada dua belas, mengingat jumlah bulan dalam setahun pun sama.

"Aku ... Aries," ucapku. Ophiuchus menelengkan kepalanya, lalu mengangguk sopan.

Matanya terpejam untuk sesaat lalu kemudian terbuka dan menyorotku tenang. "Anda tersesat."

Aku mengangguk ragu. "Dan tolong bicaranya santai saja." Ophiuchus mengangguk lalu menunjuk sesuatu di belakangku; jalan keluar lorong dimana aku datang.

"Terus saja lurus," tuntunnya. "Lalu masuk ke pintu dengan gagang emas. Kau akan kembali ke ruang utama di Palace."

"Bagaimana kau bisa tahu ...?"

Ophiuchus tersenyum penuh arti. Dia terkekeh pelan, lalu menggeleng. Dia tidak menjawab pertanyaanku sama sekali. Aku mengernyit, namun akhirnya berterima kasih juga.

"Sampaikan salamku kepada para Horoscope, Nona Beam."

Apa ...?

Kuanggukan kepalaku pelan, lalu berbalik dan menyusuri kembali lorong yang tadi menuntunku kemari. Kepalaku menoleh, menatap Ohiuchus yang tersenyum tipis dan melambaikan tangannya padaku.

Untuk beberapa alasan, aku balas melambai kepadanya.

Horoscope, kalian punya hutang penjelasan padaku.

***

A

ku berdiri di ambang pintu ruangan utama; singgasana para Horoscope. Suasananya sepi, dengan dua belas singgasana mengelilingi sebuah podium kecil, membentuk setengah lingkaran.

Manik mataku melihat sekeliling, mengerjap takjub pada ruang utama Zodiac Palace yang megah. Pilar-pilar kokoh ala kerajaan milik Thor di Asgard dalam film Avenger itu terlihat indah, walaupun dalam kegelapan.

Lantainya berkilau, seperti sebuah kristal diterpa cahaya rembulan malam. Aku berputar sekali, berbinar menikmati pemandangan mewah. Pikiran kalutku tentang nasib yang menanti di luar sana sirna seketika.

Terjebak dalam ikatan takdir yang tidak masuk akal ini, ternyata tidak buruk juga. Aku menghirup napas dalam-dalam. Baru sadar bahwa di sini, mungkin kadar oksigennya rendah.

Akan tetapi sampai sekarang, nyatanya aku baik-baik saja. Tanganku terangkat. Mataku menelisik setiap jengkal telapak tangan kemerahan itu.

Aku ini sebetulnya ... apa?

"Aries ...?"

Kesadaranku kembali. Aku menoleh, mendapati Capricorn berdiri di samping singgasana berwarna ungu, paling ujung, dekat dengan pilar bermotif tangkai bunga mawar.

Capricorn tersenyum. "Sedang melihat-lihat ruang utama?"

Kutatap Capricorn sendu. Bintang itu mendekat, berlutut di depanku agar tinggi kami sejajar. "Bukankah manusia butuh tidur? Kau seharusnya ada di kamar."

"Aku ... hilang arah."

"Oh, kau tersesat?" tanya Capricorn seraya berdiri. "Mari, akan kuantar."

Aku mengangguk lemah. Capricorn memimpin jalan, sedangkan aku membuntutinya dengan pikiranku yang kembali menghantui. Kalau memang benar aku ini manusia, bukankah seharusnya aku tidak bisa bernapas di sini?

Kutatap punggung Capricorn. Tingginya sepantar dengan kakakku, Orion. Sesuatu dalam hatiku bergejolak, yang kupikir adalah rasa rindu pada keluargaku di bumi.

Kubuka mulutku, bertanya, "Aku ini ... apa?"

"Apa maksudmu?" Capricorn bertanya balik. "Manusia, tentu saja."

"Oh, tempatmu dipenuhi oksigen?" tanyaku lagi.

Capricorn melirikku sejenak lalu menggeleng. "Tidak juga. Kadar oksigen di sini hanya 0,01 persen."

Aku tertegun.

Bukankah sekarang aku seharusnya sudah mati?

"Lalu, kalau begitu aku pasti bukan manusia."

"Kau manusia, Aries. Kau lahir di bumi."

"Kenapa aku bisa bernapas dengan kadar oksigen serendah itu?" tanyaku. Capricorn berhenti berjalan, aku pun demikian. Dia berbalik, menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.

Dia menghela napas berat lalu menepuk pundakku pelan. "Pisces sepertinya terlalu menekanmu."

Aku berdecak sebal, kembali membuntuti Capricorn yang mengantarku ke kamar. Ada sesuatu yang tidak kutahu. Hutang penjelasan kalian bertambah satu, tahu?

***

"

Hari ini, Libra yang akan menjadi pelatihmu!" seru Aquarius antusias. Aku mengangguk. Libra keluar dengan baju serba hitamnya, menatapku dengan tekad kuat.

Aku mengangguk. Sebelum akhirnya membuntuti Libra, aku tiba-tiba teringat Ophiuchus yang tak sengaja kutemui di taman dalam ruangan kemarin.

Ah, entahlah. Entah kemarin atau beberapa jam lalu, aku tidak peduli. Di sini, tidak ada matahari. Tidak ada jam, jadi sulit untuk mengetahui perbedaan waktu.

"Ah, ya." Aku berbalik. Sepuluh Horoscope yang menontonki pergi dengan Libra mengangkat kedua alis mereka, begitupun Libra yang berjalan melewatiku dan berdiri di samping mereka.

"Kemarin, aku tersesat karena salah masuk lorong," ucapku. "Lalu aku menemukan taman dalam ruangan itu."

Mereka semua mengerjap.

"Ada seseorang yang kutemui di sana," lanjutku. Pisces menelengkan kepalanya. "Aquarius? Taman itu miliknya."

"Tidak mungkin," sanggah Aquarius. "Aku tidak mengunjungi tamanku kemarin."

"Sebetulnya, aku tidak bertemu dengan salah satu dari kalian." Aku menengahi.

Mereka mengerjap, menatapku dengan alis yang bertaut. Cancer maju selangkah seraya bertanya, "Kalau bukan kami, siapa?"

"Namanya Ophiuchus. Dia menitip---"

Kalimatku terpotong. "OPHIUCHUS?!" seru para Horoscope serempak. Wajah mereka menegang, keseriusan tergambar jelas dari manik mata mereka.

Libra menyilangkan kedua tangan di depan dadanya, lalu seketika bajunya berubah menjadi jubah kerajaan. Dia menatapku dan berkata bahwa pelatihanku diundur dulu untuk sementara.

Para Horoscope melingkar, berbisik dengan bahasa yang sangat asing bagiku. Aku mengernyit. "Hei, ada apa?"

Virgo menatapku lekat. Ia berjalan perlahan ke arahku, lalu berlutut seraya berkata, "Aries. Apa yang dia katakan padamu?"

Aku mengedik. "Dia hanya berkata bahwa, sebuah kehormatan bisa bertemu denganku. Lalu memperkenalkan dirinya dan memberitahuku jalan ke ruang utama."

Virgo menggigit bibir bawahnya, lalu menoleh guna bertukar pandang dengan Horoscope yang lain.

"Hei, kenapa? Kalian terlihat tegang."

"Aries." Taurus berjalan maju. Dia menatapku dengan mata marahnya. "Jangan sekali-kali berbicara lagi dengannya."

"Kenapa?"

"Jangan."

"Hei." Aku balas menatapnya beringas. "Aku juga perlu tahu kebenarannya."

Horoscope kembali bertukar pandang. Mereka menatapku sesaat lalu berbalik dan kembali berdiskusi dalam bahasa asing seperti semula. Setelah beberapa lama, Virgo kembali menghampiriku.

"Aries, ada sesuatu yang belum kami ceritakan padamu."

***

M

ereka membuang muka.

Aku memijat pangkal hidung, mencoba untuk mencerna semua penjelasan yang para Horoscope berikan padaku. Atmosfernya kian berat, canggung memeluk kami semua.

Virgo meringis, mencoba untuk menghilangkan apa yang menjadi beban pikiran mereka selama ini. Aku berdiri, lalu pergi meninggalkan mereka yang memanggil namaku beberapa kali.

Napas berat keluar dari kedua lubang hidungku. "Tidak masuk akal."

Aku berdiri di depan pintu cokelat tua yang megah. Kudorong pintu tersebut ke dalam sampai terbuka, lalu masuk dan kembali menutup pintu itu rapat. Kakiku lemas, tidak bisa menopang berat tubuhku.

Tubuhku tremor hebat, mataku memanas, deretan gigi bergemelatuk. Perlahan, aku menutup pandangan dengan kedua tangan yang masih bergemetar.

"Benar-benar tidak masuk akal."

Ophiuchus merupakan salah satu Horoscope. Setidaknya, enam ribu tahun yang lalu, Ophiuchus merupakan salah satu dari Horoscope. Tidak dapat dipungkiri bahwa Ophiuchus merupakan Horoscope yang paling bijak dan kuat.

Dia memiliki kekuatan yang tidak dapat ditandingi oleh bintang mana pun. Sayangnya, Ophiuchus mengalami off color saat menghadapi para Nebula; salah satu musuh alami Constellations.

Off color merupakan suatu keadaan di mana seorang bintang tidak bisa mengontrol kekuatannya dengan benar, sehingga dia harus tergantung kepada senjatanya.

Seorang bintang yang off color hanya bisa menyalurkan kejuatannya lewat senjata seperti pedang, perisai, atau bahkan tombak.

Sayangnya, Ophiuchus tidak mau bergantung pada senjata. Setidaknya, awalnya memang seperti itu. Namun, lambat laun Ophiuchus sadar bahwa dia tidak punya banyak pilihan.

Para Horoscope, empat ribu tahun lalu, menghadapi perang yang sangat besar melawan para Deep Sky. Mereka mengeluarkan semua kekuatan, semua tenaga, dan pikiran yang mereka punya.

Di depan kepala mereka sendiri, Ophiuchus, meledak menjadi taburan cahaya karena senjatanya rusak. Deep Sky merenggut eksistensi Ophiuchus untuk selamanya.

Satu-satunya Ophiuchus yang pernah ada.

Akan tetapi nyatanya, aku bertemu dengan Ophiuchus di taman dalam ruangan milik Aquarius. Bila bintang itu bukan Ophiuchus, maka siapa dia?

Benar-benar tidak masuk akal.

Aku kembali menghela napas. Berdebat dengan diri sendiri, mengapa aku bisa berada di sini dengan para bintang. Aku manusia, apa yang harusnya aku lakukan sekarang adalah membuat onar di matakuliah Pak Beni.

Sayangnya, Hamal menghapus semua ingatan orang yang mengenalku.

Dengan kata lain, tidak ada yang tahu aku ada. Itu sangat tidak adil bahkan untukku yang selalu tidak peduli.

Tok.

Tok.

"Aries?" panggil suara di balik pintu. Aku menyahut, tetapi suara itu tidak kunjung menjawab.

Pada akhirnya, sebuah helaan napas menyambut. "Apa kau lari ke kamar karena penjelasan kami?"

Aku tidak menjawab, tetapi mengangguk walau tahu siapapun di balik pintu tidak dapat melihatku. Kupeluk kedua kakiku yang tertekuk lebih erat.

Alasan mengapa aku bisa bernapas di sini, walaupun kadar oksigennya rendah.

Aku setengah bintang.

Benar-benar tidak masuk akal. Kedua orangtuaku manusia, begitupun dengan kakakku. Tidak mungkin salah satu dari mereka bintang, karena jika iya, mereka tidak mungkin menjadi orang yang fanatik terhadap ramalan bintang.

Aku mendengus. "Ada banyak Aries di bumi." Kutegak salivaku. "Bukankah kalian terlalu yakin dengan aku yang akan menggantikan Aries sementara?"

"Tidak."

"Kami tahu kau lah manusia yang dimaksud buku rama---"

"Hentikan. Aku tidak mau mendengarnya. Semua yang terjadi selama dua hari terakhir ini begitu cepat, aku bahkan tidak tahu mana yang masuk akal dan mana yang tidak."

Aku menyender di pintu, mendongak guna menatap langit-langit kamarku yang mewah. Ukiran matahari dan bukan yang dibatasi dengan sebuah garis hitam membuat kamar ini terlihat menyimpan sebuah rahasia.

Matahari dengan warna kuning-jingga yang memancarkan sinar menyilaukan itu dipisahkan dari bulan merah dengan aura kelam di sekelilingnya oleh sebuah garis hitam macam petir.

Eh, bulan merah?

Aku mengerjap. Warna bulan tidak mungkin merah, namun apa yang kulihat memang benar adanya. Ukiran di langit-langit atap dengan warna itu menarik atensiku.

"Aries, aku tahu kau muak. Namun sekarang ini, kau tidak boleh jauh-jauh dari kami."

Telingaku tertutup rapat.

Aku beranjak dari duduk, masih dengan manik mata yang tertuju pada langit-langit atap, aku berjalan ke tengah ruangan.

Di sana, di bawah ukiran matahari itu, ada ukiran siluet dua belas orang menggunakan jubah, salah satu di antara mereka mengacungkan apa yang kutebak sebagai pedang.

Mereka berpijak pada sesuatu yang mirip dengan bukit.

Di sisi lain, siluet kedua belas orang tersebut berubah warna menjadi putih. Mereka semua mengacungkan pedang masing-masing, dengan satu siluet abu merangkak di sudut kanan bawah; terjatuh atau mungkin tak sadarkan diri.

Tunggu, apa?

Bulu kudukku meremang ketika atmosfer berubah menjadi kelam. Aku melihat sekeliling, lalu tertuju pada jendela lebar di sebelah kananku. Sebuah cahaya berwarna merah darah memancar dari luar, membutakan pandanganku.

Brak!

Kudengar pintu di belakangku dibuka dengan kasar. Seseorang menarik lenganku ke belakang, mengeluarkanku dari kamar dan menutupnya rapat-rapat.

Aku mendongak guna melihat siapa orang yang menarikku keluar secara paksa dari kamar. Berdiri Gemini, menatapku dengan pandangan khawatir. Dia berlutut di depanku.

"Sudah kubilang kau sedang tidak boleh jauh-jauh dari kami."

PRANG!

Sesuatu di dalam kamarku pecah. Gemini menoleh sejenak lalu kembali menatapku. Ia tersenyum simpul. Tangannya mendorongku jauh dari tempatnya berlutut, bersamaan dengan pintu kamarku yang hancur entah oleh apa.

Aku hanya bisa menatapnya antara panik dan bingung. Gemini menunjuk sebuah jalan ke dalam lorong berlantai ungu. "Pergi ke sana."

Seseorang keluar dari kamarku. Sebuah pedang yang panjang mencuat dari ambang pintu, nampak akan menghunus Gemini dengan ujungnya yang runcing.

Bola mataku bergetar. "Gemi-ni ...?"

Gemini tersenyum miring. "Pergi. Sampaikan kepada saudara-saudaraku yang lain, aku tidak mati konyol."

Pedang itu menembus dada Gemini. Dengan sisa tenaganya, dia menyuruhku untuk pergi dengan suara parau. Aku berdiri, lalu berlari secepat yang kubisa.

Napasku tersendat, tubuhku gemetar. Apa yang kulihat barusan itu, sebuah pembunuhan dan pengorbanan dari orang---tidak. Dari bintang yang bahkan tidak mengenalku.

Air asin mengalir dari pelupuk mataku. Nampaknya, aku tidak bisa menahan perasaan ini. Perasaan bersalah entah kepada siapa. Perasaan menyesal entah untuk apa.

Sebuah cahaya dan suara ledakan memancar dari belakang. Aku berhenti, lalu menoleh sejenak. Samar-samar kulihat apa yang tadinya tubuh Gemini, berserakan menjadi debu kecil yang bercahaya.

***

T

hird person's point of view, cause, why not?

"Aries!" Scorpion menghampiri Aries. Ia mengangkat tubuh wanita itu dan menelisik setiap jengkalnya, memastikan bahwa manusiawi tersebut baik-baik saja.

"Ada apa ini?" tanya Aries dengan suara gemetar.

"Penyerangan," jawab Cancer. "Kami tidak tahu kalau penyerangannya akan secepat ini."

Sagittarius mengangguk. "Kami pikir, mereka tidak akan lepas dari segel 41 Aries secepat ini."

Kedua alis Aries terangkat. "Maksudmu ... Planetary Nebulae dan Deep Sky ...?"

Horoscope mengangguk. Leo menghampiri Aries lalu berlutut di depannya, menepuk pundak manusia itu pelan. "Kau melihatnya, ya?"

"Ap-apa?"

"Gemini."

Aries menunduk, menahan tangisnya yang lagi-lagi akan meledak. Leo membuang muka. "Apa dia ... lari?"

Aries dengan ragu menggeleng. Rahang Leo mengeras, ia lalu meninju tanah yang dipijaknya hingga retak. Horoscope lain di belakangnya menahan emosi yang meluap.

Aries melihat sekeliling, hamparan tanah cokelat dengan langit hitam bertabur titik-titik kecil yang memancarkan cahaya kunang-kunang menyapa pandangannya.

Gemini menyuruhnya untuk keluar menyusul para Horoscope yang lain, membiarkan sesuatu yang menghunuskan senjata ke dadanya teralihkan sejenak agar ia memiliki waktu untuk lari.

Kedua tangan Aries terkepal. Sebelum dia sempat mengeluarkan semua sumpah serapahnya, sebuah cahaya merah ditangkap oleh manik matanya.

Aries berbalik, nampak sebuah benda bulat besar berwarna merah menyilaukan pandangannya. Setelah matanya beradaptasi dengan apa yang ia lihat, Aries berdiri tegak menatap benda bulat besar itu mantap.

Jadi, itu yang memancarkan cahaya ke kamarku?

Tidak dapat dipungkiri bahwa benda bulat besar berwarna merah itu adalah bulan. Rembulan yang biasanya memiliki sinar temaram di malam hari di bumi, memancarkan sinar mencekam di tempat ini.

"Hei." Aries memanggil para Horoscope tanpa mengalihkan pandangannya dari bulan merah tersebut. "Kenapa bulannya berwarna merah?"

Para Horoscope menoleh kepada Aries yang sedang menatap lurus sesuatu yang tidak bisa mereka lihat. Benar, ada bulan beberapa jauh dari tempat mereka berdiri, tetapi warnanya tidak merah.

"Aries, bulannya putih," tukas Pisces.

Aries menggeleng seraya menunjuk bulan tersebut. "Merah. Warnanya merah darah."

Semuanya kembali terdiam. Capricorn mendekati Aries perlahan lalu berkata, "Sekali lagi. Apa tadi kaubilang?"

"Bulannya merah."

Suara langkah kaki mengalihkan atensi mereka dari sudut pandang Aries tentang bulan. Aries yang tadinya hanya terfokus kepada bulan, kini menatap sumber suara langkah kaki tersebut.

Para Horoscope berdiri dengan kuda-kuda mereka mengeluarkan senjata yang entah muncul dari mana. Capricorn menyembunyikan Aries di balik punggungnya, menggenggam sebilah tombak di tangan kirinya.

"Aquarius, conclusion!" teriak Virgo.

"Langkah kaki berjarak tujuh ratus lima puluh dua meter di depan dan semakin berkurang," balas Aquarius dengan tatapan tidak lepas dari sumber suara.

"Dibuat oleh satu makhluk hidup," sambung Aquarius. "Dengan kata lain, lawan yang akan kita hadapi hanya satu."

"Fokus Aquarius!" bentak Leo. "Tidak mungkin satu Nebula atau Deep Sky bisa mematikan Gemini!"

"Aku fokus! Memang hanya ada seorang!" seru Aquarius tidak mau kalah.

"Gemini ... Tidak mati." Aries menatap Leo penuh arti. Dengan matanya yang berkaca-kaca dan suaranya yang pecah ia mengimbuhkan, "Tubuhnya berubah jadi percikan cahaya kecil yang jumlahnya banyak."

Kini, semua atensi tertuju pada Aries yang hampir menangis. Mereka menggigit bibir bawah, menahan amarah dan kesedihan yang seketika menjalar.

"Lihat, 'kan?! Apalagi meledakkan! Mana mungkin satu Nebula atau Deep Sky meledakkan Gemini!" seru Leo.

"Tapi di depan memang satu!"

"Cukup!" bentak Libra. "Jangan bertengkar. Aquarius, lanjutkan conclusion."

"Lawan memiliki sebilah pedang panjang, mata pedangnya tajam dan runcing," balas Aquarius.

"567 meter di depan dan semakin berkurang."

"Apa maksudmu, pedang?" tanya Virgo.

"Senjata," jawab Aquarius singkat.

"Bukan!" seru Virgo. "Maupun Nebula atau Deep Sky, mereka tidak pernah memegang senjata untuk melawan."

Hening. Kuda-kuda mereka melonggar, seiringan dengan suara tawa yang menggelegar dari depan, tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Kuda-kuda yang tadinya melonggar kembali kuat.

Capricorn menyembunyikan Aries di belakang punggung sepenuhnya. Aries mengernyit, ia merasa pernah mendengar suara ini sebelumnya.

Tapi di mana?

"Sangat menyentuh. Bukankah cara berperang seperti itu tidak adil?"

Suara itu. Aku mengenalnya.

"Aku tidak bisa melakukan conclusion, lho?"

"Siap-siap," ujar Pisces seraya memegang pedang semacam light saber miliknya kuat-kuat.

Aries masih mencoba untuk mengingat dimana ia mendengar suara itu. Dia yakin pernah mendengarnya tidak lama ini. Suara yang berat itu, tidak asing baginya.

"Hahaha! Kalian tidak akan bisa melawanku."

Tunggu, ini ....

"ARIES!!!" pekik Aries histeris. Para Horoscope mengernyit, melirik sejenak Aries yang ada di belakang Capricorn lalu kembali memicingkan mata ke arah kabut di depan mereka.

"Aries, aku tahu kau mencintai dirimu sendiri, tapi jangan bersorak sekarang," pinta Capricorn.

Aries menggeleng kuat. "Bukan aku! Orang itu, yang akan kalian lawan sekarang!"

Kini seluruh atensi ditarik kembali oleh Aries. Aquarius menyorot tajam. "Apa maksudmu? Kau lihat, 'kan, keadaan Aries yang asli seperti apa?"

Aries mengangguk. "Tapi, bukankah kalian bersama dengannya lebih lama? Berarti kalian kenal suara itu!"

"Jangan sembarangan!" bentak Aquarius. "Aries sedang mati! Dia sedang istirahat!"

"Aries tidak mungkin menyerang saudaranya sendiri," imbuh Aquarius lemah.

"Yakin?"

Mereka menoleh serempak, tersentak dengan apa yang menyambut pandangan. 41 Aries, berdiri dengan baju tempur berwarna hitamnya, menatap para Horoscope rendah.

"Aries ...?" panggil Pisces ragu. "Apa ...?"

"Segel, ya?" 41 Aries mengeluarkan pedangnya entah dari mana. "Hahaha! Segel? Tidak ada bintang yang bisa menyegel!"

"Kita semua hanya bisa menyerap." 41 Aries melempar pedangnya kepada Libra. Libra tersungkur, dengan pedang menembus punggungnya.

"LIBRA!!!"

Pisces menghampirinya, tetapi tubuh Libra meledak menjadi serbuk-serbuk kecil yang bercahaya seperti kunang-kunang. Aries mundur, menutup mulut dengan kedua tangannya.

"Tidakkah kalian mengerti," 41 Aries merentangkan tangan kirinya, "bahwa kita bisa menjadi lebih kuat dengan menyerap Nebula dan Deep Sky?"

"Aries hentikan!" Virgo memohon. "Apa-apaan kau ini?!"

"Apa-apaan?" tanya 41 Aries balik. "Melenyapkan kalian, tentu saja."

"KURANG WARAS KAU, ARIES!!!" teriak Leo tidak terima. Air matanya mengalir deras, sedih dan juga marah karena eksistensi Gemini dan Libra direnggut oleh saudaranya yang lain; 41 Aries.

41 Aries mengedik tidak peduli. Dari telapak tangan kirinya, keluar asap merah, menyembur ke arah Pisces yang tepat berdiri di samping debu Libra.

Asap itu mengelilingi Pisces yang berteriak kesakitan. Ia memeluk dirinya sendiri, lalu meleleh dan berubah menjadi percikan abu bercahaya seperti Libra.

Tidak sampai di sana, asap itu melakukan hal yang sama kepada Scorpion dan Virgo sebelum menghilang.

41 Aries tertawa kegirangan. "Setelah ini, hanya aku yang akan memimpin Constellations."

Leo berlari menuju 41 Aries, dengan cambuk listriknya, ia berniat menyerang saudara yang telah mengkhianati mereka dengan alasan yang tidak bisa dimengerti.

41 Aries yang sudah menyerap kekuatan Nebula dan Deep Sky tentu saja tidak bisa diserang semudah itu. Dengan satu hentikan jari dari 41 Aries, pedang runcingnya menghunus Leo dan merubahnya menjadi debu.

Capricorn, Sagittarius, Taurus, Cancer, Aquarius dan Aries menyaksikan serangan brutal dari 41 Aries itu dengan mata berkaca-kaca dan badan yang tremor hebat. Cancer menangis, terisak lalu tersungkur.

"Cancer, berdiri!" seru Sagittarius sedaya menarik lengan Cancer. Cancer menggeleng. "Kenapa Aries melakukan itu? Kenapa?"

"Itu bukan Aries, Cancer! Berdiri!" seru Aquarius seraya membantu Sagittarius menarik Cancer untuk berdiri.

"Bukan?" tanya 41 Aries berlagak bingung.

"Kenapa kau melakukan ini, Aries? Kami tidak mau melawanmu!" Capricorn menghilangkan senjatanya entah ke mana. 41 Aries tergelak, memegangi perutnya lalu kemudian menghapus air mata kebahagiaan di pelupuk mata kirinya.

"Kenapa, kau tanya?" 41 Aries menggenggam sebilah pedang runcing miliknya. Menatap Horoscope yang tersisa dengan sorot mata mengejek. "Karena kalian lemah."

Pedang itu meluncur ke arah Aquarius. Dia menghindar, membuat pedang itu meluncur jauh ke belakang entah berhenti dimana. 41 Aries masih tertawa tidak wajar.

Aries mengernyit, menatap bintang yang waktu itu terlihat begitu lemah dan suram. Kini tertawa tidak wajar di depan mereka, mencoba untuk membunuh saudaranya sendiri.

Ini, hal gila macam apa lagi, ini?

"Nebula dan Deep Sky sekarang bagian dari diriku," ucap 41 Aries bangga. "Aku lebih kuat dari kalian semua."

Taurus menyerangnya dengan sambaran petir ungu, namun 41 Aries menghindar dengan mudahnya. "Kalian menutup jalanku untuk menjadi yang satu-satunya."

"Aries, kita saudara! Tidak ada siapa yang lebih kuat dari siapa," cicit Cancer.

"Jangan berbicara padaku seperti itu." ujar 41 Aries jijik. "Kalian selalu lebih baik dariku. Itu sangat ...."

"... Memuakkan." Kelereng 41 Aries bersinar. Layaknya bulan merah di belakang mereka, cahaya yang terpancar dari kelereng 41 Aries menyilaukan mata.

Aries memejamkan matanya seraya berseru, "KAU MENIPUKU, ARIES?!"

"Padahal aku sudah mengasihanimu waktu itu."

"Oh, kau," ucap 41 Aries tidak peduli. "Aku juga ingin melenyapkanmu."

"Memangnya apa salahku? Apa salah saudara-saudaramu?"

41 Aries mengedik tidak peduli. "Lemah?"

Tangannya terangkat, mengumpulkan sebuah aura berwarna merah dengan asap hitam mengepul di udara, membentuk tombak-tombak runcing yang siap menghujani mereka yang tersisa.

41 Aries tertawa. "Ada kata-kata terakhir?"

"Jauh-jauh dari saudaraku."

JLEB!

Sebilah pedang tipis menembus diafragma 41 Aries. Bintang pengkhianat itu terkejut, matanya membola. Tangan yang tadinya terentang kini memegang mata pedang yang menembus badannya.

Dia berlutut, lalu meledak menjadi serpihan debu berwarna hitam. Aries mengerjap, menatap orang yang menghunuskan pedangnya dari punggung 41 Aries.

Ophiuchus berdiri di sana, dengan wajah yang menyiratkan kekhawatiran dan lelah, dia menghampiri para Horoscope yang tersisa.

Para Horoscope itu sama terkesiapnya dengan Aries.

"Kalian baik-baik saja?" tanya Ophiuchus lembut. "Maaf, aku datang terlambat."

"Ophiuchus?" Taurus menghampiri bintang off color itu. "Jadi ... kau ... hidup?"

Ophiuchus mengangguk. "Memangnya kaupikir aku ke mana?" tanyanya.

"Tapi kau meledak, di depan kami!" seru Cancer sama tidak percayanya dengan yang lain.

Ophiuchus meringis. "Bukan aku, salah satu prajurit Deep Sky yang meledak. Mereka menahanku selama beberapa ratus tahun, lalu aku lari dan kembali ke sini. Sayangnya kalian menganggapku sudah meledak."

Aquarius melangkah mendekat, lalu memeluk Ophiuchus erat. Ophiuchus terkesiap, membalas pelukan Aquarius dan tertawa kecil. Sagittarius, Cancer, Taurus dan Capricorn ikut dalam pelukan tersebut.

"Kupikir kau pergi, sialan!" umpat Sagittarius. "Kenapa kau tidak datang menemui kami?!"

"Hm, karena kalian terlihat baik-baik saja tanpaku." Ophiuchus menghela napas berat. "Maaf aku terlambat. Sejak 41 Aries mengaku menyegel Nebula dan Deep Sky, aku sebetulnya curiga."

Mereka berhenti berpelukan. "Maksudmu?" tanya Aries seraya mendekat.

"Bintang tidak ada yang bisa menyegel. Kami para makhluk langit hanya bisa menyerap kekuatan lain," jawab Ophiuchus.

"Benar-benar, aku minta maaf. Seharusnya aku datang lebih cepat, tapi aku lupa seluk-beluk Palace."

Cancer tersenyum miring. "Tidak apa-apa, Ophiuchus. Terima kasih telah membantu kami."

Mereka menatap apa yang tadinya tubuh saudara-saudara mereka, lenyap oleh 41 Aries yang berkhianat entah karena keinginan egois macam apa.

Aries meremas kedua tangannya. Menatap para Horoscope yang tersisa sedang berpelukan satu sama lain.

"Hei," panggil Aries. Mereka menoleh.

"Kenapa?" tanya Capricorn.

"Apa Hamal, Sharatan, dan Mesarthim tahu?" tanya Aries. Mereka menggeleng.

"Tentu saja tidak. Hamal, Sharatan dan Mesarthim tidak ada di Palace. Mereka di Pondok Bintang, tempat mantan Horoscope berada," jawab Sagittarius.

"Hm." Aries mengangguk-angguk. "Aku harap mereka tidak jantungan saat tahu saudara mereka ...."

Para Horoscope mangangguk mengerti. "Secara teknis kami tidak punya jantung, jadi ...."

Untuk beberapa alasan, mereka tertawa sejenak. Setelah reda, Ophiuchus menghampiri Aries dan menepuk pundaknya pelan. "Waktunya pulang, Aries."

Ophiuchus menyentuh dahi Aries dengan kedua ujung jarinya.

Hal terakhir sebelum semuanya putih yang Aries lihat adalah Ophiuchus, Aquarius, Taurus, Cancer, Sagittarius dan Capricorn yang melambaikan tangan tanda perpisahan.

***

10.898 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top