13. Desire
Bercerita tentang keinginan.
Apa yang sebenarnya paling diinginkan oleh satu makhluk hidup?
Apakah itu kebahagiaan?
Apakah itu rasa nyaman?
Apakah itu rasa puas?
Apakah itu kekayaan?
Semua yang diinginkan setiap makhluk adalah bahagia. Hidup bahagia, dambaan semua orang di seluruh penjuru dunia, bukankah begitu? Entah mereka jahat atau baik, yang mereka inginkan hanya rasa bahagia.
Tapi, apa itu bahagia?
Apakah itu penting?
Apakah itu enak?
Apakah itu indah?
Apakah itu lucu?
Kenapa semua orang menginginkannya?
... Apa aku pernah bahagia?
Kuembuskan napas berat, menatap langit merah dengan asap yang mengepul di mana-mana. Hari ini, tidak sepanas kemarin. Pekerja berlalu-lalang di depanku, memberikan hormat dan kembali mengangkut barang mereka.
Kutolehkan kepalaku, mendapati orang dengan perawakan tinggi-besar berdiri menjulang tinggi sampai aku harus mendongak untuk melihat dagunya dari bawah. Ia menyilangkan tangannya, mengawasi para pekerja agar tidak melakukan kesalahan.
Ah, apa kami bisa disebut sebagai orang?
Sayap pria di sampingku mengepak; memamerkan anggota tubuh untuk terbang. Begitu lebar dan mencekam. Warna merah yang dominan, sungguh tegas dan mengintimidasi.
Pria tersebut menyeringai, menatapku rendah. Yang bisa kulakukan hanya mendengkus dan kembali menonton para pekerja yang berlalu-lalang dengan peluh di pelipis mereka.
"Yang kaulakukan hanya duduk dengan wajah terpuruk seperti itu," ucapnya. "Kamu ini akan menggantikan Ayah. Seharusnya lebih sepertiku sedikit."
Aku mendelik. "Sepertimu itu, seperti apa?"
Dia terkekeh dengan nada sombong yang menyebalkan. "Aku ditakuti, berwibawa dan memiliki sesuatu untuk disombongkan."
Yang dikatakannya benar. Tidak ada siapa pun di negeri kami yang memiliki sayap selebar dan setegas miliknya. Namun, aku tidak merasakan apa yang mereka sebut iri.
Aku kembali mendelik, menopang dagu dengan tangan berpangku pada kaki, mendengkus entah karena apa. Pria di sampingku mengernyit. Dia memukulku pelan, walaupun membuatku terpental beberapa meter.
Pria tersebut berjalan mendekat. Tangannya terkepal, wajahnya menyeringai---mengejek. Pekerja yang lalu-lalang berhenti melakukan aktivitas mereka dan menonton kami---lebih tepatnya, aku yang sedang dirundung oleh pria besar itu.
"Kau iblis paling aneh, Devon." Pria tersebut berlutut di depanku. "Putra Mahkota kerajaan Abaddon, anak dari Raja Abaddon itu sendiri."
Aku mengedik. "Lalu?"
"Seharusnya kau bersikap seperti Putra Mahkota pada umumnya." Pria tersebut kembali menyilangkan tangan di depan dadanya. Dia melirik para pekerja, lalu seketika itu juga mereka kembali melakukan aktivitas sebelumnya.
Aku berdiri, hendak pergi tetapi ditarik duduk kembali. "Kenapa?" tanyaku sinis. Pria itu, adikku yang lebih kelihatan seperti kakak, tertawa mengejek.
"Kau bahkan tidak punya sesuatu untuk disombongkan," ucapnya.
Aku geram. Kutarik napas kuat-kuat dan mengembuskannya pelan. Aku kembali berdiri, tetapi kali ini, saat adikku, Trevor, mencoba untuk menjatuhkanku lagi, kuinjak telapak tangannya kuat-kuat.
Suara tulang remuk ditangkap gendang telingaku. Rintihan dari Trevor merambat ke daun telinga, memberikan sinyal padaku bahwa dia kesakitan.
"Kita Abaddon, Sang Penghancur. Kita menghancurkan," kuangkat kakiku dari telapak tangannya, "bukan menyombongkan," lanjutku seraya melenggang pergi.
Apa yang dikatakannya benar. Aku hanya memiliki tanduk besar berwarna merah redup ini. Sayapku jarang dipakai, aku juga jarang berbuat dosa.
Yang kulakukan hanya memperhatikan keadaan sekitar Kerajaan Abaddon. Tanpa niat, tanpa harapan. Aku bahkan tidak terlalu yakin dengan perasaanku.
Aku ini iblis macam apa ...?
***
B
erbicara tentang keinginan.
Sepertinya aku tidak memiliki banyak keinginan. Aku tidak terlalu menginginkan tahta Ayah. Mau atau tidaknya aku pun tidak terlalu penting, karena aku yang pasti akan melanjutkannya.
Aku tidak terlalu menginginkan kerajaan. Kerajaan atau rumah biasa, di neraka sepertinya sama-sama panas. Kalau membawa apa yang disebut kipas angin di bumi oleh manusia, benda aneh itu akan meleleh.
Aku tidak terlalu ingin makan. Namun, kalau tidak makan aku akan mati. Jadi, aku tidak memiliki pilihan lain selain pergi ke dunia manusia, 'kan?
Itu adalah sesuatu yang kami para iblis lakukan. Menyeret mereka ke hasutan sesat abadi kami untuk merasakan kenikmatan fana, dan tinggal di neraka selamanya.
Atau apalah itu, aku tidak terlalu peduli. Pokoknya, yang kutahu, itu adalah bagian dari kami para penghasut berdosa.
Tidak seperti neraka, dunia manusia terasa jauh lebih dingin. Banyak manusia yang tertawa dan berbincang, banyak yang lalu-lalang tetapi mereka tidak mengangkut barang.
Masih agak sulit bagiku untuk mengerti pikiran dan isi hati manusia. Beberapa di antara mereka rela mengikat kontrak dengan kami, para iblis, untuk mendapatkan kebahagiaan.
Apakah kebahagian seenak itu, sampai para manusia rela memberikan jiwa mereka kepada iblis seperti kami untuk bahagia?
Kuedarkan pandangan ke sekitar. Semua manusia yang ada di taman terlihat senang dan tidak memiliki keinginan apapun yang tidak bisa mereka lakukan.
Mereka semua memiliki keinginan, tetapi tidak membutuhkan kontrak iblis. Bukankah aneh? Seharusnya manusia menjadi makhluk paling tamak di dunia. Di akhirat. Bahkan di seluruh alam semesta.
Manusia itu ... hina. Kenapa kami para iblis yang hanya ingin membantu mereka mewujudkan keinginan malah disebut hina?
Kuembuskan napas berat. Menyender ke pohon rindang di belakangku. Kalau tidak menemukan manusia yang tamak, kekuatanku akan berkurang malam ini juga.
Kami para iblis butuh jiwa manusia agar tetap hidup. Secara teknis, itulah makanan kami. Pagi, siang, malam. Kami membutuhkan jiwa manusia tamak yang berdosa.
Akan lebih baik kalau mereka memiliki aura hitam yang pekat. Artinya, mereka pendosa yang benar-benar kotor.
Iya. Semua manusia memiliki aura mereka sendiri; hitam, merah, ungu dan putih.
Hitam, seperti yang kukatakan, adalah pendosa yang benar-benar kotor. Mereka memiliki hati batu, berpura-pura baik padahal munafik. Bukankah manusia lucu?
Merah, mereka pemarah. Mereka pembunuh. Mereka dendam. Mereka temperamental, dengan segala sumpah serapah yang dimilikinya. Biasanya, orang-orang dengan aura merah mengikat kontrak untuk keinginan egois semata.
Ungu, artinya mereka penakut. Mereka takut, tetapi marah. Mereka takut, tetapi dendam. Dengan kata lain, mereka merupakan pengecut. Biasanya, orang-orang dengan aura ungu mengikat kontrak demi membalas dendam yang tidak bisa dibalas sendiri.
Untuk putih, mereka suci. Mereka tidak memiliki niat jahat atau buruk kepada apa pun. Mereka tidak memiliki keinginan tamak dan egois. Tapi, aku tidak pernah bertemu dengan manusia beraura putih.
Karena tidak ada manusia yang suci.
Aku terkekeh sendiri. Menghina pada manusia yang pasti memiliki keinginan gelap dalam hati mereka. Apa pun itu, kami para iblis bisa mengetahuinya.
Sesuatu tertangkap oleh gendang telingaku. Suara kotak jus yang disedot tetapi isinya sudah habis, tidak jauh dariku. Aku menoleh ke kanan, mendapati seorang gadis manusia terduduk dengan gelas plastik berisi cairan berwarna merah muda yang sudah habis.
Rambut hitamnya diikat dua, salah satu ikatannya melonggar sampai sejajar dengan pipinya yang tembam. Dia menatapku dengan sorot mata mengantuk, sambil terus menyedot isi gelas plastiknya yang sudah habis.
Dia memakai jaket merah dengan kaos lusuh di baliknya, celananya pendek sebelah karena dilipat. Dia memakai sandal jepit berwarna kuning, dengan ujung yang kelihatannya sudah terkena lumpur.
Aku mengernyit. Manusia ini---
"Yo," sapanya. Dia meremas gelas plastiknya sampai remuk dan melempar gelas tersebut ke tempat sampah terdekat. Mengejutkannya, sampah plastik itu masuk ke sana.
Dia berdiri dengan kedua tangan di dalam saku jaketnya, mendongak untuk menatapku dengan sorot mengantuknya.
Aku mengerjap. Manusia ini---
"Sedang apa, merenung di bawah pohon seperti ini?" tanya gadis itu.
Aku mengerjap. "Um, hanya merenungkan hidup," jawabku asal.
Gadis tersebut mengerjap dua kali lalu mengedik tak peduli. Dia ikut bersender ke pohon. "Iblis juga punya hidup untuk direnungkan?"
Aku berkedip. Menatapnya lekat. Manusia itu balas menatapku dengan sorot mata malasnya. Dia menguap lebar hingga bersuara, lalu menggaruk ketiaknya.
Alisku bertaut. "Bagaimana kau bisa tahu kalau aku ini iblis?" tanyaku.
Dia mengedik. "Kau lupa menyembunyikan warna matamu."
Aku mengernyit. "Aku sudah menyembunyikan warna mataku."
"Oh, kamu pakai lensa warna merah darah?" tanyanya. Aku terdiam sejenak lalu menggeleng. Manusia jorok di depanku yang sedang mengupil itu masih menatapku dengan sorot mata malasnya.
"Ah." Aku menggeleng. "Kenapa kau mendekatiku? Mau membuat kontrak?"
Dia menggeleng. "Mau bertanya."
"Hah?" Kugaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal. "Tanya apa?"
"Di neraka panas, ya?" tanyanya.
Aku mengangguk.
"Lebih panas dari ini?"
Aku mengangguk lagi.
"Apa di sana ada es krim?"
Aku menggeleng.
"Cih. Kalau begitu aku tidak mau masuk neraka."
"Kau ini sedang membicarakan apa?"
Dia melirikku sejenak lalu mengedik tak peduli. "Kupikir iblis lebih suka membicarakan neraka. Rumahmu, 'kan?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Aku tidak terlalu suka membicarakan neraka."
"Tidak?" Dia menoleh. "Kau membencinya?"
"Tidak. Aku juga tidak membencinya."
"Kenapa?"
"Entahlah."
"Hei, belikan aku es krim. Aku ingin es krim."
Aku mengernyit, menyorotnya heran. Gadis manusia aneh dengan penampilan seadanya itu menatapku malas, dengan tangannya yang menggaruk telinga.
"Aku iblis, bukan suruhanmu."
"Hm, tahu."
"Lalu kenapa menyuruhku membelikan es krim?"
"Karena es krim enak."
"Aku tidak makan."
"Bohong."
"Serius."
"Kau, 'kan, makan jiwa manusia."
Benar juga.
"Tahu dari mana?"
"Anggap saja aku pernah bertemu dengan iblis yang lebih kuat darimu. Jauh lebih kuat."
Aku mengerjap. Tidak ada benang merah di tangan atau badannya. Dia tidak sedang menjalin kontrak dengan iblis lain. Gadis itu hanya langsung tahu begitu saja setelah bertemu dengan iblis yang lebih kuat dariku.
Apa aku bisa disebut kuat? Bahkan manusia pun mengatakan ada iblis yang lebih kuat dibanding denganku. Apa aku pantas menjadi penerus takhta Raja Kerajaan Abaddon?
Kuhela napas berat. Memperhatikan gadis manusia di sampingku yang sedang menatap lurus entah ke mana. Sejauh mata memandang, di depan hanya ada hamparan rumput dengan jalan setapak dan beberapa kursi taman. Jangan lupa lampu dan manusia lain yang berlalu-lalang.
Dilihat dari sisi mana pun, aku tidak bisa mengerti manusia. Namun, aku lebih tidak mengerti manusia di sampingku. Manusia ini, tidak memiliki aura sama sekali.
Memangnya yang seperti itu mungkin, ya?
Memangnya, mungkin manusia tidak memiliki keinginan apa pun yang tak bisa mereka kabulkan?
"Hei," panggilnya. "Kenapa lihat-lihat?"
Aku menggeleng. "Kau tidak memiliki keinginan apa pun yang tak bisa dicapai."
Dia mengangguk.
"Kenapa?" tanyaku. "Tidakkah kamu menginginkan takhta, harta yang melimpah? Atau barangkali dendam?"
Dia menggeleng. "Takhta dan harta akan hilang saat aku mati. Dendam? Untuk apa. Semua manusia itu merepotkan, akan sangat sulit untuk dendam ke semua orang."
"Kamu tidak ingin kebahagiaan?" tanyaku.
Dia menoleh. "Kamu sendiri?"
"Apa?"
"Apa kau mau bahagia?"
"... Apa itu bahagia ...?"
Dia mengerjap. Kali ini, sorot matanya sedikit tidak malas dari yang sebelumnya. Dia mengedik. "Sesuatu yang membuatmu ingin tersenyum dan bersenandung setiap saat."
"Kamu pernah seperti itu?"
"Aku selalu seperti itu."
"Kau tidak terlihat bahagia." Aku mengernyit. "Kau terlihat mengantuk."
"Aku juga selalu begitu."
"Namaku Nada," ucapnya. Dia mendekatiku perlahan, menelengkan kepalanya ke kiri sedikit dan menanyakan iblis ras manakah aku.
"Abaddon, Sang Penghancur," jawabku. Dia mengerjap.
"Berarti kau bahagia saat menghancurkan sesuatu."
"Tidak. Aku tidak terlalu ... merasakan apa pun."
"Apa?"
"Aku tidak memiliki keinginan. Aku tidak ingin hidup di neraka, tapi aku tidak apa-apa tinggal di sana. Aku tidak ingin menjadi seorang iblis, tapi aku baik-baik saja dengan menjadi iblis."
Nada menepuk lenganku pelan. "Coba dari awal. Siapa kamu?"
"Abaddon. Devon Abaddon."
"Kau itu memiliki tugas apa di neraka? Apa yang kaulakukan dengan kedudukanmu sebagai seorang---maksudku, se-iblis Devon Abaddon?"
"Aku ... penerus takhta Kerajaan Abaddon yang dikuasai ayahku."
"Apa yang kaurasakan tentang takhta?"
"Biasa saja. Kalau aku memiliki takhta di neraka, walaupun aku lemah, semua iblis dan setan tunduk padaku. Mereka menghormatiku karena ... label." Aku merasa sesuatu menjalar di dada.
"Baik. Apa yang kaurasakan tentang label itu?"
"Aku ... tidak perlu bekerja keras untuk dihormati." Sesuatu di dadaku mulai menjalar ke punggung.
"Apa yang kaurasakan kalau dihormati tanpa bekerja keras?"
"Aku hanya mengandalkan takhta. Aku hanya mengandalkan posisiku sebagai seorang Putra Mahkota." Sesuatu yang menjalar itu membuatku sesak sedikit. Tenggorokanku tercekat entah karena apa.
Kalau diingat-ingat, para pekerja dan pelayan di kerajaan tunduk padaku hanya karena aku seorang Putra Mahkota. Aku tidak pernah membentak mereka seperti kakak atau adik-adikku yang lain.
Aku tidak pernah menatap mereka nyalang. Aku hanya selalu menatap mereka dengan tidak bersemangat.
Aku tidak pernah bertengkar dengan iblis lain sampai terluka. Aku bahkan jarang menggunakan kekuatanku di neraka. Mungkin, penduduk di sana bahkan tidak tahu aku memiliki kekuatan atau tidak.
Mereka tertunduk padaku hanya karena aku seorang Putra Mahkota.
Aku ini ... pengecut.
Kalimat Trevor kembali terngiang, bahwa aku adalah iblis paling aneh. Aku tidak memiliki sesuatu untuk disombongkan. Aku bahkan tidak merasakan apapun.
"Apa kau menginginkan posisimu yang seperti itu?" Nada menelengkan kepalanya.
Tentu saja tidak. Siapa yang mau ditakuti hanya karena takhta?
Siapa yang mau dihormati, bukan karena kemampuan, tetapi karena takhta?
"Aku ... tidak mau meneruskan takhta Ayah."
Nada mengangguk. Dia berbalik dan berjalan menjauh. Aku mengernyit, memanggilnya dan dia berhenti. Kepalanya menoleh, dengan sebelah alis terangkat--bertanya.
"Kenapa ... apa yang kaulakukan padaku?" Kuremas baju di sekitar dadaku. Rasa sesak itu terus menjalar.
Dia mengedik. "Aku tidak melakukan apa pun. Habis kelihatannya kau kebingungan dengan apa yang kau inginkan."
"Aku ...."
"Kau bingung dengan apa yang benar-benar kauinginkan."
"Apa ... kau manusia. Kau tahu apa soal perasaan iblis?"
Nada kembali mengedik. "Aku tahu kau kebingungan. Sedang krisis identitas, 'kan? Semuanya tertulis di wajahmu begitu."
"Itu hanya tebakanmu."
"Hm, terserah. Setidaknya sekarang kautahu bahwa kau tidak ingin meneruskan takhta Abaddon atau apalah itu."
Nada melenggang pergi, mendekati tiga gadis lain dan menghilang dilahap jarak. Aku mengernyit, memutar ulang percakapan yang kami miliki dan mencerna semuanya.
Selama ini, yang penduduk kerajaanku lihat adalah, seorang Putra Mahkota. Hanya itu. Mereka tidak tahu kemampuanku, mereka tidak tahu kekuatanku.
Aku ini memang iblis yang aneh. Aku ... tidak suka.
Aku ....
"Tidak mau melanjutkan takhta Ayah."
***
T
revor memekik tidak percaya. Dia mengeluarkan segala sumpah serapah, menyumpahiku yang berkata tidak ingin melanjutkan takhta Ayah secara tiba-tiba.
"Kau beruntung telah dipilih oleh Ayah walaupun tidak pernah melakukan apa pun yang berguna!" sentaknya.
"Kita, iblis, memang tidak pernah melakukan hal yang berguna."
"Kau tidak pernah bertengkar!"
"Aku tidak menginginkannya."
"Kau tidak pernah menyombongkan sesuatu yang menjadi milikmu!"
"Aku tidak menginginkannya."
"Kau bahkan jarang membuat kontrak dengan manusia!"
"Aku juga tidak terlalu menginginkan itu kalau bukan karena harus makan."
Trevor terdiam. Dia mengernyit lalu menyorotku nyalang. Sayapnya terentang, dia melesat ke arahku dengan cepat. Aku mengerjap, lalu bergeser sedikit ke kiri.
Trevor berhenti dan kembali melesat ke arahku dengan tinju yang diacungkannya. Aku berjongkok cepat. Trevor menghentakkan kakinya, membuat lantai keramik berwarna merah itu retak seketika.
"Lawan aku!" seru Trevor.
"Aku tidak menginginkannya."
Trevor kembali melesat ke arahku dengan tinjunya seraya berseru, "Keinginanmu itu tidak penting!"
Aku menatapnya malas. Tangan kananku terangkat, menangkis tinju Trevor dengan mudah. Manik mata adikku membola. Aku menelengkan kepala ke kanan.
"Kalau keinginanku saja tidak penting," kulempar dia sampai membentur dinding di ujung ruangan. Dinding itu retak, "apa yang membuat keinginanmu penting?"
Aku berbalik, hendak meninggalkan Trevor di ruangan luas ini; ruangan tengah kerajaan yang jarang dijamah Raja itu sendiri. Trevor terbatuk-batuk.
"Tunggu ...," panggilnya parau. "Kau tidak bisa pergi begitu saja dari kewajibanmu."
Aku berhenti lalu menoleh. "Dari awal, aku terlahir sebagai seorang iblis. Katakan padaku, apa ada iblis yang bertanggungjawab? Tidak."
Kulangkahkan kembali kakiku, sebelum akhirnya menubruk sesuatu---atau seseorang. Aku mendongak, mendapati Ayah sedang menatap Trevor jauh di belakang sana dan aku bergantian.
Dia tersenyum lebar. "Hebat, Devon!" serunya.
Aku mengernyit. "Apanya, Ayah?"
"Kau bertengkar dengan adikmu! Bukankah itu buruk? Oh, Trevor sampai memuntahkan darah seperti itu." Ayahku berbinar.
"Ayah, aku---"
"Kau akan menjadi pemimpin yang kuat, Devon."
"Ayah, aku tidak mau menjadi seorang raja!"
Keheningan memenuhi ruangan. Membuat sesak napas, dengan atmosfer berat yang kentara. Ayah menatapku tajam, mengangkat sebelah alisnya tanda meminta penjelasan.
Kutegak salivaku lamat-lamat. Berhadapan dengan Ayah---Abaddon paling berkuasa di Kerajaan---ternyata tidak semudah yang kubayangkan.
Manik mata Ayah berubah warna menjadi kuning menyala. Ayahku benar-benar marah, mungkin karena mendengar aku tak mau menjadi seorang raja. Dari mulutku sendiri.
"Katakan sekali lagi," ucap Ayahku.
"Aku tidak---"
PLAK!
Telapak tangan Ayah mendarat di pipiku, membuatku terpental ke kiri beberapa meter jauhnya dari tempat asalku berdiri. Pipiku panas, rasanya perih.
Ayah berjalan ke arahku dengan langkah berat. Dia berlutut di depanku yang tersungkur, masih meraba pipi kananku yang ditamparnya.
"Katakan sekali lagi," ucap Ayahku.
Aku terdiam. Kupejamkan kelereng merah darahku, lalu merentangkan tangan ke dada Ayah dan mengeluarkan kekuatan untuk melemparnya jauh ke belakang.
Ayahku terduduk, menatapku nyalang dengan manik mata kuning menyalanya. Kutegak kembali salivaku lamat-lamat.
"Aku tidak mau menjadi seorang raja, Ayah."
Ayah berdiri, masih dengan manik mata tertuju padaku. Seketika, tubuhnya menghilang dari pandanganku. Ayah menggunakan teleportasi, yang tidak kutahu ke mana dia akan berada.
Aku berbalik, jaga-jaga kalau dia akan berada di belakang. Namun suara berat Ayahku muncul dari samping, berkata, "Kauingin meninggalkam takdirmu sebagai seorang penerus kerajaan?"
Pukulan keras di belakang kepala. Aku terpental lalu mendarat dengan wajah yang mencumbu lantai merah bersuhu tinggi itu. Segera kubalikkan badanku, mendapati kaki Ayah telah terangkat tepat di depan wajahku.
Aku berguling ke kanan, saat Ayah menghentakkan kakinya keras ke lantai. Lantai tersebut retak sampai ke bawah.
"Ayah, aku tidak menginginkan tahtamu!"
"Omong kosong, Devon!"
Aku menyingkir dari serangan api yang keluar dari telunjuk Ayah. "Ayah, aku tidak ingin menjadi seorang raja!"
"Devon, tutup mulutmu!" seru Trevor. Dia mencoba untuk bangkit, tetapi kembali tersungkur. Apakah tenagaku terlalu besar?
Ayah mencengkeram kerah bajuku. Dia menarikku mendekat. Matanya yang menusuk sampai ke dalam jiwa itu menumbuk manik merah darahku. "Kau tidak pernah berkelahi."
Dia melemparku jauh ke kanan. Gesekan tajam dengan retakan lantai membuat lengan bagian atasku tergores dalam, mengeluarkan cairan hitam yang kami sebut darah iblis.
Ayah berjalan mendekat. "Kau tidak pernah sombong."
"Kau tidak pernah mengejek."
"Kau tidak pernah memaki."
"Sekarang, kau tidak mau menjadi raja?" Ayah berhenti di depanku. Kaki kikrinya menendang perutku dengan keras, membuatku memuntahkan lebih banyak darah dari mulutku.
"Kalau tidak menjadi raja, seperti yang sudah kutentukan, tahukah kau bahwa kau hanya mempermalukan Abaddon?!"
Ah.
Jadi benar, Ayah ingin aku menjadi raja karena ingin orang lain tetap memandangku tinggi?
Aku tidak suka.
"Aku ...," kucoba untuk berdiri dengan sisa tenaga yang ada, "tidak menginginkannya."
Ayah kembali menamparku, membuat tubuhku sekali lagi terpental ke kanan. Aku tersungkur, kekuatan dengan level yang jauh berbeda itu membuatku kehilangan banyak tenaga, apalagi aku belum makan jiwa manusia.
"Dengar," Ayah berlutut di depanku dengan mata kuning menyalanya, "yang perlu kau lakukan adalah menerima takdirmu sebagai seorang Putra Mahkota. Sebentar lagi, kau akan dinobatkan sebagai raja."
"Kenapa aku ... harus jadi ... Raja?"
Ayah menelengkan kepalanya ke kanan. "Supaya kau tidak memperlakukanku."
"Hanya ... itu ...? Trevor bahkan lebih pantas dibandingkan aku."
"Kalau kau tidak melakukan dosa dan tidak menjadi raja, kau hanya akan menjadi buangan."
Kuberanikam diri untuk menatap Ayahku langsung di matanya. "Kalau begitu, buang aku!"
"Bahkan manusia pun lebih mengerti perasaanku dibandingkan kau yang ayahku sendiri."
Ayahku menggeram sebal. Dia mengangkatku tinggi dan melemparku ke dinding. Dinding tersebut retak, hampir bolong karena rusak. Aku tidak bisa merasakan apa pun selain sakit.
"Manusia?" tanya Ayah. "Kau menyamakanku dengan makhluk lemah?"
"Mau kutunjukkan seberapa kuatnya aku?"
"Ayah, cukup!" Trevor berseru. Dia memegangi perut sebelah kanannya. Dengan langkah gontai, adikku mendekati Ayah.
Ayah menaikkan sebelah alisnya. "Kau hanya lumpuh untuk beberapa menit." Dia kembali beralih padaku.
"Tulangnya mungkin tidak ada yang retak," ucap Ayah seraya berlutut. "Lihat? Kau tidak pantas menjadi seorang Abaddon. Maka kau, harus menjadi seorang raja. Supaya kau tidak menjadi aib."
Aku mencoba untuk duduk. "Iblis ... selalu menjadi aib. Kehadiran kita adalah aib itu sendiri."
Ayahku kembali menggeram. Dia menendang perutku kuat, membuatku yang hampir duduk kembali mencumbu lantai. "Tutup mulut besarmu dan lakukan seperti apa yang kukatakan."
Dia berlenggang pergi begitu saja sebelum aku sempat membalas semua serangannya. Ah, lupakan. Dengan kondisi kekurangan makanan seperti ini, aku tidak bisa bertarung dengan benar.
Kenyataan bahwa aku tidak bisa melawan kehendak Ayah membuatku muak. Aku muak dengan diriku sendiri yang tidak pernah bisa berkelahi dengan baik.
Aku benci diriku yang lemah untuk seorang Abaddon. Aku tidak pantas disebut sebagai Sang Penghancur. Aku tidak pernah menghancurkan apa pun selama 18.000 tahun aku hidup.
Jadi, sekarang aku harus menjadi raja agar tidak menjadi aib untuk Abaddon? Hanya agar iblis lain tunduk padaku karena akulah Sang Raja?
Aku tidak mau yang seperti itu.
Aku meringis, mengasihani diri sendiri yang harus menerima kenyataan bahwa takdirku, memang menjadi seorang raja. Ini memang bukan tentang apa yang kuinginkan, 'kan?
Ini tentang seperti apa aku di mata iblis lain.
***
3247 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top