12. Caged

Derbyshire, 1814


Saya hanya ingin bebas.

Lahir ke bumi dan bernapas di atas tanah yang megah ini seharusnya mengizinkan saya untuk hidup seperti apa yang saya inginkan. Tuhan, saya tidak menginginkan yang repot-repot, saya hanya ingin hidup yang terasa hidup, bukan sebagai boneka demi meraih kekayaan. Saya ingin hidup dengan kebebasan, mimpi, dan lapangan luas untuk saya berlarian.

Saya tidak ingin bersembunyi di balik gaun-gaun cantik dan korset yang membuat napas sesak, saya juga tidak ingin bersembunyi di balik figur pria yang gagah dan perkasa. Bukan maksud saya menjelekkan ciptaan Tuhan yang paling pertama, tetapi saya benar-benar muak dengan cara hidup seperti ini.

Saya hanya ingin menjadi seorang penulis, seorang poet pun tidak masalah, asal saya dapat menuliskan apa yang saya rasa dalam hati, membuat orang-orang senang akan tulisan saya, dan mendapatkan upah walau tidak seberapa. Saya hanya berpikir, kehidupan seperti itu jauh lebih menyenangkan ketimbang kehidupan bergelimang harta tetapi saya tidak bahagia.

Mengapa seorang wanita tidak bisa bekerja?

Mengapa agaknya seorang wanita tidak bpleh meraih cita-cita sederhana yang mereka peluk sejak masih seorang bocah?

Mengapa seorang wanita hanya harus duduk dan terlihat cantik, memasak di dapur, menikah dengan pria yang dikelilingi barang-barang mewah?

"Amity!" Suara Ibu terdengar dari kejauhan, derapan kaki yang dihentak-hentakkan ke lantai kayu pun menyertai.

Saya terlalu lama berkhayal di depan secarik kertas dan quill, maka cepat-cepat saya menyimpan mereka ke dalam laci meja (biasanya, saya simpan di ventilasi udara yang ada di bawah ranjang). Bersamaan dengan dibukanya pintu kamar saya, saya pun berdiri dengan canggung di hadapan meja belajar (walau saya sebenarnya tidak belajar).

Ibu terlihat murka.

Saya segera menundukkan pandangan, meletakkan kedua tangan di depan, hanya untuk pipi saya menerima tamparan yang keras dari tangan kiri Ibu. Rasanya panas, sampai menjalar ke hati saya. Namun, saya tidak tahu harus mengatakan apa, apalagi bertindak.

"Kamu, saya panggil sejak tadi tidak menyahut! Anak kurang diuntung, apa jadinya kamu kalau saya tidak memungutmu dari panti asuhan 19 tahun yang lalu, hm?" Ibu membentak.

Saya hanya menggelengkan kepala, tidak kuasa untuk menjawab. Sebagai gantinya, saya bertanya kepada beliau, apakah ada sesuatu yang beliau inginkan dari saya sampai-sampai amarahnya meledak seolah saya akan melewatkan berita yang sangat penting.

Ibu tidak langsung menjawab. Beliau menghela napas yang panjang dan tajam, kemudian tersenyum lebar dengan tangan di depan dada.

"Oh, Amity, dengar ini!" Ibu mulai berbicara, "saya mendapatkan kabar bahwa ada bangsawan baru dari negeri seberang yang datang ke kota kita. Dari rumornya, dia berpenghasilan 8000 poundsterling per tahun!

"Kamu dengar itu, Amitu? Per tahun! Oh, dengan kekayaan seperti itu, bayangkan apa yang bisa saya lalukan! Saya akan berbelanja setiap hari, manjakan diri dan bersolek untuk suami tanpa harus mengkhawatirkan menu makan esok hari. Saya juga tidak perlu tinggal di gubuk yang kita sebut 'rumah' ini! Saya bisa tinggal di istana yang lahannya seluas Derbyshire itu sendiri.

"Oh, Amity. Bukankah itu menakjubkan? Saya juga dengar bahwa dia adalah seorang pria yang tidak memiliki belahan jiwa! Dua minggu setelah kedatangannya, orang-orang mengatakan bahwa dia akan mengadakan sebuah Debutante.

"Kamu dengarkan baik-baik, Amity. De-bu-tan-te! Kamu gadis yang memilih tubuh menawan dan wajah rupawan, seharusnya kamu bisa membuat pria dengan kemewahan itu melirik. Saat Debutante itu tiba, saya ingin kamu ikut serta dan pikat hatinya."

Saya tidak sampai hati untuk menolak keinginan Ibu, mengingat beliau menceritakan mimpinya dengan semangat bergejolak seperti tadi. Saya juga tidak ingin membuat Ibu murka, dengan menolak, beliau bisa saja menyiksa saya di gudang lantai bawah.

Jadi, saya sebenarnya tidak punya pilihan. Ditambah lagi, Ibu tidak pernah bertanya soal pendapat saya perihal Debutante yang dirumorkan itu. Maka, saya membungkuk, mengangguk kecil pada suruhannya.

"Tentu saja, Ibu."

Saya tidak mau menikah.

"Saya akan berusaha sebisa mungkin."

Saya tidak mau dibelenggu rantai pernikahan hanya untuk dipenjara di balik kemewahan. Saya hanya ingin bermimpi, dan kemudian menggapai mimpi itu. Saya ingin merasakan kegagalan, mencicipinya sampai muak, sampai saya tidak lagi mendambakan cita-cita kecil saya.

Saya tidak ingin menjadi boneka uang.

"Demi Ibu."

***

Tangan saya gemetar yang dipicu oleh kesenangan tak terbendungi. Begitu pun dengan jantung saya yang berdetak cepat tidak karuan.

Saya memeluk surat kontrak penulis yang sampai pagi tadi, untuk saya, dari penerbit kota Derbyshire. Beberapa minggu lalu, saya memutuskan untuk membuang semua keraguan saya mengenai kekangan untuk para wanita dan mengirimkan novel karya saya yang sudah lama saya garap, dengan penuh ketekunan dan keringat, serta keteguhan hati untuk menyelesaikan cerita tersebut. Setelah berminggu-minggu menanti kabar, akhirnya saya mendapatkan kabar yang saya inginkan!

Naskah saya lolos seleksi, dan akan terbit dua bulan yang akan datang dengan nama pena Oxerford. Saya tahu, nama itu terkesan maskulin, tetapi hanya itulah kesempatan emas saya untuk menerbitkan sebuah karya tanpa harus kerja lebih banyak.

Saya pernah dengar kabar mengenai Jane Austen, seorang penulis yang sedang naik daun sebab novel berjudul Pride & Prejudice setahun lalu. Tidak banyak yang mengira seorang wanita dapat menulis lebih indah daripada seorang pria. Namun, Nona Austen pernah mengatakan di sebuah surat kabar bahwa proses penerbitan novelnya dipersulit hanya karena dia adalah seorang wanita.

Bukankah itu memprihatinkan? Saya hanya tidak ingin bernasib sama seperti dia, maka saya memalsukan identitas. Dan rencana saya berhasil tanpa pertanyaan maupun celah! Oh, suatu hari nanti, saya ingin novel saya menjadi sesuatu yang diperbincangan seantero negeri.

***

Semua orang berbisik-bisik tentang novel karya saya. Ke mana pun saya pergi; swalayan, toko buku, bahkan butik, semua orang membicarakan mengenai novel saya. Para pria pun membangga-banggakan cerita fiksi hasil jerih payah saya!


Mereka mengatakan bahwa cerita yang saya tulis adalah cerita yang benar-benar orisinil dan menyentuh hati; bahwa mungkin sana, di masa depan nanti, ada wanita yang cukup berani untuk bertindak tegas seperti tokoh utama cerita saya.

Well, tidak semua orang menyukai novel saya.

Beberapa dari kalangan pria mengatakan bahwa premis novel karya saya adalah omong kosong. Wanita harus berada di rumah, menjamu tamu dan pria mereka, berpenampilan cantik untuk memuaskan para suami.

Bertindak di luar akal sehat dan menjadi seorang pemimpin bukanlah sikap yang patut dilihat anggun. Namun, mereka tetap mengakui bahwa karakter-karakter dalam tokoh saya terasa hidup, seolah tokoh-tokoh itu keluar dari buku dan diperankan oleh sejumlah kata yang menyusun kalimat.

Pipi saya dibuat tegang dengan senyuman yang saya pamerkan sepanjang hari. Saat ini, ketika saya sedang memilah-milah gaun untuk persiapan Debutante pada tiga hari yang akan datang (masih ingatkan Anda mengenai pria kedatangan baru yang mencari pasangan itu?), saya tidak bisa mengkhawatirkan takdir saya yang mungkin akan menikah dengan pria yang sama sekali bukan selera saya.

Akan tetapi, peduli apa lagi yang harus saya bayar? Setidaknya, sebelum saya dibelenggu dengan ucapan-ucapan manis yang diupah dengan koin-koin emas, saya pernah menggapai mimpi saya; menerbitkan buku dan membuat orang-orang---terutama para wanita---terinspirasi akan amanat yang ada dalam novel karya saya.

"Seolah menginspirasi saya untuk menjadi lebih mandiri dan menaikkan dagu, novel itu sekarang akan menjadi hal pertama yang saya ingat setiap saya bangun pagi!" seru seorang gadis tak jauh dari saya.

Temannya mengangguk. "Eveline adalah sosok yang sangat memikat, seorang wanita tangguh. Saya tidak pernah membaca fiksi seperti itu!"

"Penulisnya, Sir Charlie Lebanon, adalah seorang brilian!"

Gerakan tangan saya yang sedari tadi membelai bahan-baham gaun yang terpajang berhenti. "Eh?"

Ah.

Dua gadis itu menatap saya dengan dua pasang mata yang membelalak. "Apakah ada sesuatu yang salah, Nona?" tanya keduanya serempak.

Ah, tidak. Iya, juga. Selama cerita saya dibicarakan oleh para warga, tidak ada yang menyebutkan nama penulisnya. Namun, jelas-jelas itu cerita saya. Alur, nama tokoh, bahkan kejadian-kejadian dalam novel adalah apa yang saya tulis; persis yang saya tulis!

Lalu, siapa Sir Charlie Lebanon?

Seharusnya, mereka membicarakan ....

"... Oxerford."

"Maaf?" Gadis dengan gaun kuning membungkukkan tubuhnya ke arah saya, mengisyaratkan bahwa dia ingin saya mengulangi apa pun yang baru saja saya ucapkan.

Walau enggan, saya menggelengkan kepala saya pelan dan memaksakan sebuah senyum. "Tidak, saya hanya ... tidak sengaja mendengar percakapan kalian. Sepertinya, semua orang di kota---terutama para wanita---sedang memperbincangkan cerita fiksi yang sama, dan saya tidak sengaja menangkap nama dari penulis cerita tersebut. Sir Charles Lebanon, was it?"

Gadis dengan gaun kuning mengangguk semangat. "Apakah Anda belum membaca bukunya? Anda seorang wanita, jadi saya pikir, Anda akan merasa emotionally attached kepada buku itu!"

"Ah," gadis dengan gaun biru mengibas-ibaskan kipas lipatnya, "saya tidak menyangka kita mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan penulis novel 'Until The Clock Strikes 12' secara langsung dalam tiga hari!

"Tiga hari?" beo saya.

Kedua gadis itu mengangguk bersamaan. "Tidakkah Anda dengar, Nona? Sir Charles Lebanon akan mengunjungi Derbyshire untuk menyelenggarakan sebuah Debutante dalam tiga hari!

... Orang ini, siapa pun orang ini ....

"Benarkah? Ah, saya sepertinya ketinggalan berita! Pray tell, girls, what does he like?"

"Kami tidak terlalu yakin," gadis bergaun kuning tertawa, "tetapi kami dengar, Sir Charles Lebanom adalah pengusaha kaya dari negeri seberang. Kami juga takjub ketika mendengar dia menerbitkan sebuah buku!"

Saya melempar senyum kepada dua gadis itu, mengambil sebuah gaun asal, membayarnya, kemudian keluar dari butik dengan langkah kaki tergesa dan perasaan campur aduk. Kesenangan saya sirna begitu saja, padahal, seharusnya hari ini menjadi hari di mana saya menemukan kebahagiaan.

Tentu saja, itulah mengapa para wanita cepat sekali untuk membeli novel saya. Bukan karena judulnya yang menarik pasar, tetapi nama pria itulah yang telah menarik atensi mereka.

Tentu saja.

Mengapa saya sangat naif?

Mimpi tidak mungkin diraih begitu saja.

***

1545 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top