X-Chap 3: FUTURE

.
.

Istana South, Nethervile

Giselle yang siang ini berada di ruang keluarga, terlihat duduk di sofa panjang seraya menatap pada lukisan indah yang terpajang pada dinding di hadapannya. Netra itu tampak fokus memperhatikan gambar Pangeran Hayden yang berdiri mengenakan pakaian ala militer dan sebuah mahkota yang menghiasi kepala, mahkota yang digunakan oleh raja-raja Atharia sebelumnya.

Mata itu kemudian beralih pada gambar dirinya, yang duduk dengan senyum menawan tepat di depan sang pangeran yang kini bergelar Raja Atharia.

Ya, semuanya telah berubah!

Bayangan Giselle terbang pada dua tahun setelah pernikahannya dengan Pangeran Hayden. Saat itu, mereka hidup dengan damai di Istana Hambrid. Namun, kabar yang datang sore hari menyebut bahwa Baginda Raja dinyatakan telah meninggal dunia akibat serangan jantung. Sontak, Giselle dan Pangeran Hayden bergegas menuju Istana Aglait tanpa perlu berpikir panjang.

Seminggu adalah hari kelabu bagi keluarga Baginda Raja, begitu pula keluarga besar kerajaan. Baginda Ratu, Pangeran Jace, dan Putri Karina begitu terpukul dengan kejadian itu. Jangan lupakan keluarga Floer yang sama berkabungnya, bahkan Pangeran Hayden tak dapat terlelap selama dua hari dan sibuk mengurus seluruh keperluan pemakaman hingga menyapa para tamu kepala negara yang hadir. Meskipun banyak pegawai yang mengurus hal tersebut, tetapi Pangeran Hayden juga nampak tak ingin kehilangan momen terakhir bersama paman tercintanya itu.

Pangeran Hayden pernah bercerita pada Giselle bahwa ketika ia dimarahi oleh Pangeran Winston, pangeran kecil itu akan pergi ke Istana South untuk mengadu pada pamannya dan menangis sesenggukan. Reaksi Raja Zavier pun tak terduga, kepala negara itu justru membelai punggung Pangeran Hayden dan memberikannya berbagai makanan manis, serta mainan beragam bentuk. Tentu saja, kedekatan itu terus berlangsung hingga Pangeran Hayden membangun rumah tangga sendiri.

Kepergian Raja Zavier membuat keluarga kerajaan akhirnya harus melakukan penobatan pada Pangeran Jace, menjadi raja Atharia selanjutnya. Sayangnya, malam itu di depan seluruh keluarga kerajaan, Pangeran Jace memutuskan untuk tidak menerima penobatan dan melimpahkan tanggung jawab tersebut pada Pangeran Hayden.

Bagai ribuan senjata menembus tubuh dalam satu waktu, tubuh Pangeran Hayden mendadak tak memiliki tenaga. Tanpa adanya pemberitahuan dan perbicaraan tentang hal ini, Pangeran Jace sukses membuat Pangeran Hayden tak berkutik.

Maka dengan ini, keputusan Pangeran Jace dianggap mutlak!

Malam hari sebelum penobatan, Giselle masih mengingat bagaimana Pangeran Hayden menangis tersedu-sedu di tepi tempat tidur seraya memegang kepala dan mengacak rambutnya, frustasi.

Hal itu membuat Giselle dengan cepat berjongkok di depan pria itu dan meraih kedua tangannya.

"Maafkan aku, Sayang. Maafkan aku karena tidak mampu memberikanmu kehidupan normal seperti yang kau inginkan. Maafkan aku," lirih sang pangeran di sela-sela tangisannya.

Ah ya, Giselle ingat bahwa Pangeran Hayden telah membeli sebuah rumah sederhana dengan taman luas, yang rencananya akan mereka diami jika ada atau diberi waktu libur dari kerjaan sebagai anggota senior kerajaan. Hal ini ia lakukan atas keinginan Giselle yang menginginkan rumah sederhana hanya untuk keluarga kecil mereka saja, sesekali menjadi warga biasa dalam beberapa hari atau minggu. Akan tetapi, nampaknya itu tidak akan pernah terwujud.

Tangan Giselle yang semula berada di tangan sang pangeran, kini beralih untuk menangkup wajah suaminya. "Sayang, aku tidak apa-apa jika memang takdirnya seperti ini. Aku tidak masalah. Yang lebih penting dari itu semua, aku selalu ada di sampingmu," ujar Giselle dengan lembut, mencoba untuk menenangkan.

"Tapi ... tapi seharusnya tidak seperti, bukan? Harusnya kita masih ada di Hambrid atau di rumah baru kita."

"Ya, ya. Aku paham, Sayang." Giselle pun tak kuasa untuk melihat Pangeran Hayden yang benar-benar terisak, hingga akhirnya ia memilih untuk meraih sang suami dalam pelukannya.

Giselle tahu bahwa menjadi raja akan mengemban amanah yang sangat besar. Dan siap atau tidak, Pangeran Hayden akan melaksanakannya.

"Aku harap kau melakukan ini tanpa terbebani, Yang Mulia. Anggap saja, Raja Zavier menghadiahkanmu ini di akhir hidupnya."

Pangeran Hayden tidak mengeluarkan suara untuk menolak perkataan Giselle.

Dan Giselle kembali teringat tentang percakapannya dengan Putri Karina kala itu, di mana ia berujar bahwa Pangeran Hayden tak akan memberikannya gelar ratu dikemudian hari. Tapi tidak, Pangeran Hayden benar-benar memberikannya, dan itu sudah cukup membuat Giselle juga tak percaya dengan apa yang dia ucapkan.

Sekarang, Giselle dan Pangeran Hayden --Raja lebih tepatnya, telah menempati Istana South seperti Raja dan Ratu sebelumnya.

Semuanya tampak tak berjalan sesuai rencana!

Lamunan Giselle akhirnya buyar tatkala seorang pegawai perempuan masuk ke ruang keluarga dengan tergesa-gesa.

"Yang Mulia, para pangeran--"

"Apa yang terjadi dengan mereka?" Tanpa menunggu pegawai itu memberikan penjelasan, Giselle telah bangkit dari duduknya dan berjalan cepat menuju kamar tidur.

Sang puan tampak khawatir selama perjalanannya menuju kamar pangeran. Ada sedikit trauma yang menghantuinya ketika anak pertamanya itu pernah mengalami luka yang cukup parah setelah bermain tanpa pengawasan penuh di taman belakang. Ah, mengingat itu, jantung Giselle kembali berdetak cepat. Takut terjadi sesuatu pada anak-anaknya.

Giselle pun masuk ke dalam kamar dan bergerak menuju toilet. Betapa terkejutnya Giselle karena menemukan kedua anaknya, Pangeran Hans yang berusia 6 tahun, bersama dengan Pangeran Helbert berusia 4 tahun, sedang memainkan sabun hingga busa-busa memenuhi satu ruang mandi tersebut. Pakaian Pangeran Hans bahkan telah dijadikan kain pel. Tak perlu ditanyakan lagi bagaimana basah kuyupnya seragam Sofie dan Lucy --pengasuh kedua pangeran.

"Yang Mulia!" ucap Giselle di depan pintu dengan sedikit tegas, membuat seluruh orang terdiam dan menoleh ke asal suara. "Apa yang terjadi di sini?"

Pangeran Hans dan Pangeran Helbert keluar dari bathtub yang penuh air dengan raut cerah dan cengiran lebar, lalu menunduk di depan Giselle ketika mendapati puan tersebut melipat kedua tangan di dada.

"Kami hanya membersihkan kamar kec--"

"Kami bermain sabun, Ibu," ucap Pangeran Helbert, memotong perkataan sang kakak dengan begitu polosnya.

"Jika kalian terus seperti ini, kalian akan terlambat untuk bertemu dan makan siang dengan ayah," acap Giselle dengan lembut.

Sontak saja, mata kedua pangeran tersebut langsung berbinar. "Ayah pulang?" tanya Pangeran Hans.

"Benar, Yang Mulia. Jadi sebaiknya, kalian lekas menyelesaikan mandi dan berpakaian!"

"Mengapa Ibu tak mengatakannya dari kemarin?"

"Karena seharusnya ini menjadi kejutan. Tapi setelah melihat kalian seperti ini, Ibu mengatakannya saja dan membatalkan kejutan ini."

Saat Giselle akan membalikkan tubuh dan meninggalkan kekacauan ini, langkahnya tiba-tiba saja terhenti begitu Pangeran Helbert berujar, "Ibu, bisakah Ibu menemani kami mandi?"

Giselle kembali menatap netra kedua putra kecilnya. Ada rasa sesal ketika ia tak lagi dapat memandikan sang putra seperti yang biasa ia lakukan, sejak suaminya memutuskan untuk menggunakan jasa pengasuh. Tapi tak akan lama lagi, Giselle akan mengasuh mereka dengan kedua tangannya sendiri.

"Tolong ambilkan aku kursi, Elea!"

Ratu tersebut kemudian duduk di pintu dan memperhatikan kedua anaknya sedang dimandikan dengan teratur. Sesekali, Giselle tersenyum melihat mereka tertawa dan sibuk dengan urusan masing-masing. Ini menjadi cepat, mengingat tak ada satu pun dari mereka yang kembali bermain.

Setelah semuanya selesai, Pangeran Hans dan Pangeran Helbert tampak manis dengan kemeja berkerah lengan pendek berwarna putih dan celana kain pendek dengan warna yang berbeda. Pangeran Hans mengenakan celana warna biru tua dan Pangeran Helbert memakai warna merah marun. Gaya berpakaian ini juga terdapat dalam peraturan kerajaan dan telah diterapkan dari raja-raja sebelumnya.

"Raja Hayden telah tiba, Yang Mulia," lapor petugas keamanan pada Giselle setibanya ia di kamar putra sulung tersebut.

"Ayo, kita harus menyapa Ayah!" ajak Giselle seraya merangkul tangan kedua anaknya.

Sepanjang koridor, kedua pangeran kecil itu tak henti-hentinya memamerkan senyum. Hingga akhirnya mereka tiba di koridor utama dan melihat ayah mereka tengah hadir di depan pintu.

Pangeran Hans dan Pangeran Helbert melepaskan genggamannya pada Giselle, lalu membuka lebar tangan sambil berteriak, "Ayahhh...."

Dengan gesit, Giselle meraih kerah belakang kedua putranya sebelum mereka masuk dalam pelukan Raja Hayden, membuat langkah mereka seketika berhenti dan tangan terulur tak tergapai.

"Sapa dengan benar!" titah Giselle yang membuat anak-anaknya kembali mundur dua langkah dan berdiri di depan Giselle.

Kedua pangeran itu pun menunduk di depan sang ayah yang telah memperlihatkan senyum, seraya berujar lembut, "Selamat datang, Yang Mulia."

"Terima kasih, Pangeran Hans, Pangeran Helbert, dan Ratu Giselle," balas pria tersebut dengan pelan.

Tak perlu menunggu lama, sebab Pangeran Helbert telah kembali membuka kedua tangannya sambil berteriak memeluk sang ayah. Derap itu diikuti pula oleh Pangeran Hans. Raja Hayden memberikan pelukan erat dan kecupan hangat di wajah kedua putra kesayangannya. Ah, dia nampak benar-benar merindukan anaknya.

Raja Hayden kemudian bergerak menyempatkan diri untuk memberikan kecupan di kening dan bibir Giselle, lalu turun ke perut sang istri dan memberikan hal yang sama pada calon anak ketiganya itu.

"Ayah mencium Si Kecil tiga kali, sedangkan aku cuma satu kali," protes Pangeran Helbert dengan bibir yang dikerucutkan.

Mendengar itu, Raja Hayden pun menoleh pada anak keduanya tersebut. "Oh, sekarang pangeran sudah mulai cemburu ya?"

Pangeran Helbert menggeleng lemah  "Aku tidak cemburu, tapi Ayah harusnya menciumku tiga kali juga. Sama kayak Si Kecil."

"Kemarilah, Nak. Ayah akan memberikan ciuman yang lebih banyak lagi." Ajakan Raja Hayden membuat Pangeran Hans dan Pangeran Helbert tersenyum lebar.

Sang ayah kemudian bangkit dengan menggendong Pangeran Helbert, sementara satu tangannya memegang tangan Pangeran Hans. Tangan bebas lain dari anak sulung itu kemudian meraih pelan tangan Giselle yang membuatnya berada di tengah orang tuanya.

"Kita makan siang dulu, Yang Mulia. Aku sudah masak beberapa makanan kesukaanmu," acap Giselle selagi melangkah menuju ruang makan bersama anak dan suaminya.

"Kau masak? Apa tidak masalah? Pasti sedikit merepotkan dengan kondisi yang sedang hamil besar seperti sekarang."

"Tidak juga, Yang Mulia," balas Giselle.

Sesampainya di ruang makan: Giselle bersama Raja Hayden, Pangeran Hans, dan Pangeran Helbert tampak menikmati sajian di atas meja dengan begitu lahap. Tak ada satu pun orang yang berani mengeluarkan suara jika tak ditanya oleh kepala keluarga, dan mereka mengikuti peraturan kerajaan itu dengan sangat baik.

"Bagaimana keadaanmu, Sayang? Perjalanan selama seminggu ini membuatku selalu terpikir untuk pulang dengan cepat," ujar Raja Hayden.

Giselle menarik sudut bibir ke atas. "Semuanya baik-baik saja, Yang Mulia. Hanya saja, kau harus menandatangani surat pengumuman tentang anak kita."

Sontak saja, Raja Hayden mengerutkan kening. "Aku belum menandatanganinya? Bagaimana mungkin aku melupakan itu?"

Giselle mengangguk pelan. "Aku paham dengan kesibukanmu, Yang Mulia. Lagi pula, kita tak harus terburu-buru, bukan?"

"Kita memang tidak terburu-buru. Tapi tidak dengan masyarakat. Mereka segera ingin mengetahui jenis kelaminnya."

"Aku sudah membaca surat kabar dan mendengar langsung beberapa pendapat mereka saat kunjungan kerajaan empat hari yang lalu. Lucunya, pihak surat kabar membuat semacam pertanyaan dan 80% suara mengatakan bahwa yang lahir adalah perempuan."

Pria itu kemudian menoleh pada Giselle dengan mata yang melebar. Kedua alat makan yang semula terangkat, kini diletakkan di piring. "Wow, setidaknya mereka benar akan hal itu."

"Iya, Yang Mulia."

Giselle sempat terkejut ketika mendapati bahwa masyarakat masih memiliki antusias tinggi dengan pengumuman kerajaan tentang jenis kelamin jabang bayi, mengingat ini adalah anak ketiga. Rasanya tak jauh berbeda dari dua pengumuman kehamilan sebelumnya.

Memikirkan hal itu, Giselle tak mampu menghilangkan senyum di wajah.

Raja Hayden kembali menoleh pada sang istri yang sedang memperhatikan Pangeran Helbert menyendok makanannya, dan bertanya, "Oh ya, kau ingin acara apa untuk merayakan 9 tahun pernikahan kita? Mungkin kau memiliki konsep sendiri, Sayang?"

Mendengar pertanyaan mendadak itu, atensi Giselle kembali pada Raja Hayden. "Ah, aku belum memikirkannya, Yang Mulia," ringis Giselle yang membuat suaminya hanya mengangguk pelan.

"Kalau begitu, kita pikirkan setelah Si Kecil lahir dua bulan lagi."

"Baik, Yang Mulia."

Raja Hayden kemudian memandang pada dua anak lelakinya. "Ayo, Sayang, dimakan sampai habis makanannya. Ayah tidak ingin kalian menyisakan sedikit pun!"

"Baik, Ayah."

Keluarga kecil itu akhirnya menghabiskan hari dengan berbagi cerita dan bermain bersama. Hingga malam menyapa dan mereka pun terlelap, saling memeluk satu sama lain untuk melepas penat setelah beraktivitas seharian di dalam kamar mewah milik sang permaisuri Istana South tersebut.

Bukankah hari ini sangat menyenangkan? Semoga esok hari jauh lebih menggembirakan lagi dan akan selalu menjadi kenangan indah...

.
.

Ignacia Carmine

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top