X-Chap 2: PRESENT

.
.

Pulau Arkala

Iring-iringan keluarga Floer terlihat di Pulau Arkala siang itu. Mereka dijadwalkan menghadiri Festival Iox yang sangat terkenal di Atharia tersebut. Ya, seluruh orang juga tahu bahwa Festival Iox menjadi ajang para petani untuk memamerkan hasil panennya. Tak cukup sampai disitu, adanya hiburan seperti tarian dan permainan alat musik, menambah semarak.

Pangeran Winston, Putri Tyana, dan Pangeran Hayden --yang saat itu masih berusia 12 tahun-- pun menemui para tetua dan berbagi cerita bersama seraya mengitari festival.

Pangeran Hayden tak henti-hentinya berlari dari gerai satu ke gerai lain, hingga membuat petugas keamanan kerajaan sedikit kewalahan. Akan tetapi, Pangeran Hayden tampak tak peduli. Baginya, festival adalah sesuatu yang penuh kebebasan dan ia harus ikut merayakannya dengan antusias tanpa gangguan dari para pengawal itu. Sesekali, para petani akan menjelaskan sesuatu kepada sang pangeran muda itu yang membuat matanya berbinar takjub.

Jujur saja, Pangeran Hayden seperti menerima banyak informasi baru dan itu membuatnya sangat antusias.

Pangeran Hayden pun tiba di sebuah gerai yang menjual berbagai pernak-pernik lucu nan imut.

"Woahhh," serunya sambil menunjuk sebuah jepitan berbentuk bunga mawar, "ini lucu sekali. Berapa harganya?"

"Hanya lima keping lix, Yang Mulia," jawab penjual tersebut.

"Apa Anda ingin membelinya, Yang Mulia?" tanya petugas keamanan Pangeran Hayden dari arah belakang.

"Ya ya, Tuan Graham. Ah, aku membeli lima buah," acap Pangeran Hayden dengan antusias.

Penjual itu kemudian memberikannya pada sang pangeran, lalu Pangeran Hayden menyerahkannya lagi pada Tuan Graham untuk disimpan dalam kotak beludru berwarna merah, layaknya kotak perhiasan.

"Ini untuk siapa, Yang Mulia?"

"Tentu saja untuk Nona Karina Irvin, Tuan Graham. Dia senang sesuatu yang berhubungan dengan mawar."

"Jangan katakan bahwa Anda tertarik dengan Nona Karina?" tanya Tuan Graham dengan seringai jailnya.

Pangeran Hayden memutar mata. "Oh, ayolah, Tuan. Aku sama sekali tidak tertarik. Dia itu sudah seperti adikku, dan aku menyayanginya seperti saudara sendiri."

Tuan Graham mengangguk. "Baiklah, biarkan saya percaya kali ini."

Mendengar itu, Pangeran Hayden hanya mendengkus.

Tuan Graham dan beberapa petugas keamanan kembali sibuk dengan sang pangeran yang tampak tak letih sama sekali. Ia membeli beberapa buah tangan, lalu memberikannya pada para petugas untuk dibawakan. Begitu terus-menerus hingga akhirnya tanpa terasa mereka telahh berputar-putar selama lebih dari tiga jam. Bohong jika seluruh petugas tidak letih sekarang.

Akhirnya mereka semua menepi ketika sang pangeran sedang sibuk memakan es krim di tempat duduk kayu panjang, membuat petugas keamanan sedikit bernapas lega dibuatnya. Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama. Sebab, masyarakat mulai mengitari dan memperhatikan sang pangeran. Petugas keamanan sekali lagi bersiap di tempat.

"Ah, Tuan Graham, sepertinya aku harus ke kamar kecil," pinta Pangeran Hayden.

"Baik, Yang Mulia. Saya akan mengantar Anda."

Pangeran Hayden pun meraih tangan Tuan Graham dan berjalan meninggalkan kerumunan dengan cepat.

Setelah semua urusan di kamar kecil terlewati, Pangeran Hayden pun meninggalkan tempat, bermaksud kembali ke orang tuanya yang ternyata sudah menunggu di sebuah rumah makan yang menjadikan daging asap sebagai menu andalannya.

Saat kaki sang adam berjalan pelan, seorang perempuan dari arah belakang menabrak bahunya. Pangeran Hayden pun terhuyung hingga ia terjatuh dengan telapak tangan dan lutut menjadi tumpuan. Meskipun begitu, Pangeran Hayden tak marah sama sekali dan mencoba untuk bangkit sendiri.

Samar-samar, seorang petugas keamanan kerajaan memarahi anak perempuan yang sudah menunduk dan menggigit bibir bawahnya. Melihat itu, Pangeran Hayden dengan cepat menghampirinya dan menyuruh petugas tersebut meninggalkan sang gadis cilik.

"Ah, maafkan aku. Apakah kau tidak apa, Nona?" tanya Pangeran Hayden dengan raut penuh kekhawatiran.

"Sa-saya tidak apa-apa, Tuan Muda. Saya minta maaf telah menabrak Tuan," tukas gadis itu, tetap menunduk.

"Hei, tak apa. Tak perlu takut padaku. Aku tidak jahat."

Sontak saja, gadis tersebut mengangkat wajah dan memberikan tersenyum tipis nan polos. "Terima kasih, Tuan."

"Ah, siapa namamu, Nona? Berapa usiamu?"

"Aku Giselle, Tuan. Usiaku 8 tahun. Tuan sendiri?"

"Hayden. Usiaku 12 tahun."

Gadis bernama Giselle itu mengerutkan kening. "Eden?"

"Hay-den," ujar sang pangeran dengan sedikit penekanan pada pelafalannya. Tak lupa pula, anak lelaki itu memamerkan senyum yang manis.

"Eh? Eden?"

"Ah, baiklah. Lupakan saja," tangan sang pangeran melambai. "Namaku Eden. Ingatlah itu sampai kita bertemu lagi."

"Baik, Tuan. Sekali lagi, saya mohon maaf."

Giselle dan Pangeran Hayden seketika menoleh pada suara yang memanggil nama sang gadis, suara perempuan yang pangeran kecil itu yakini sebagai ibu dari Giselle. Awalnya, Giselle akan berlari menuju ibunya. Namun, sang ibu justru yang menghampiri mereka berdua dengan langkah tergesa-gesa, membuat Giselle urung untuk melakukan niat awalnya.

"Sebelum pergi, aku memiliki hadiah sebagai awal perkenalan kita." Pangeran Hayden mengambil kotak merah berisi jepitan mawar dari tangan seorang petugas dan menyerahkan pada Giselle. "Ini, ambillah!"

Giselle pun menerima kotak itu dengan kedua tangannya dan menunduk dalam. "Terima kasih, Tuan."

Perempuan yang berdiri di samping Giselle pun menepuk ringan bahu sang anak. "Bukan Tuan, Nak, tapi Yang Mulia. Ayo, ulangi," ujarnya dengan lembut.

"Ah, maafkan atas kelancanganku, Yang Mulia."

"Tidak, tidak. Kau telah berlaku sangat baik, Giselle."

"Sekali lagi terima kasih dan mohon maaf, Yang Mulia," ucap Giselle. Bersama dengan tundukan dalam sang ibu, mereka melangkah meninggalkan pangeran muda tersebut.

"Yang Mulia, bukannya kotak itu Anda akan berikan pada Nona Karina Irvin?" sergah Tuan Graham.

Tanpa menoleh pada pria berumur itu, Pangeran Hayden menggeleng dan menaikkan satu tangannya. Tatapan sang pangeran terpaku pada punggung kecil yang semakin lama semakin menjauh.

"Sepertinya tidak perlu. Lagi pula, Nona Karina mungkin saja telah memiliki banyak hadiah yang lebih bagus, pemberian Pangeran Jace." Tuan Graham pun terdiam setelah mendengar perkataan Pangeran Hayden.

Tatapan Pangeran Hayden yang semula cerah, seketika memincing setelah mengamati kain putih yang Giselle lilitkan di leher dan menjadikannya seolah-olah adalah jubah.

"Tuan, apakah ada keluarga bangsawan yang tinggal di sini?" tanya sang pangeran.

"Tidak, Yang Mulia. Keluarga bangsawan tidak diperkenankan untuk tinggal di pulau."

"Apakah kau yakin?"

Tuan Graham mendadak mengangguk ragu. "Setahu saya, seperti itu, Yang Mulia."

Pangeran Hayden lalu menarik lengan Tuan Graham dan menunjuk tubuh Giselle. Ia menyuruh laki-laki itu untuk memperhatikan kain putih yang berada di belakang gadis tersebut. Dan benar saja, Tuan Graham sukses membulatkan mata.

Ya, mustahil melihat keluarga bangsawan tinggal di wilayah ini, karena telah menjadi peraturan bahwa keluarga bangsawan tidak boleh tinggal di pulau. Akan tetapi, jika memang Giselle bangsawan, tidak mungkin ia tak mengenal Pangeran Hayden. Sebab, seluruh keluarga bangsawan diwajibkan untuk mengetahui dan menghapal seluruh keturunan kerajaan yang tinggal di Istana Aglait sedari kecil tanpa terkecuali.

"Aneh, bukan?" tanya Pangeran Hayden.

Tuan Graham mengangguk. "Benar, Yang Mulia. Ini aneh."

"Ah, sayang sekali. Padahal gadis cantik itu harusnya tahu jika kain yang ia gunakan tak boleh dipakai oleh sembarang orang. Jika salah dan ketahuan, ia dan keluarganya bisa dapat hukuman berat."

"Apakah Yang Mulia ingin saya mencari tahu?"

Sontak saja, mata sang pangeran terbuka lebar. "Apakah boleh?"

"Tentu saja, Yang Mulia."

"Tapi aku tak ingin ini diketahui oleh orang tuaku. Jika mereka tahu, aku tak boleh ikut bepergian dengan mereka lagi."

"Tenang saja, Yang Mulia. Saya akan pastikan bahwa ini tetap menjadi rahasia kita berdua."

Dan proses pencarian identitas Giselle pun dimulai.

.

.

Setiap minggu, Tuan Graham memberikan informasi tentang aktivitas Giselle di Pulau Arkala. Sedangkan keluarga sebenarnya dari sang gadis baru dapat diketahui lima tahun kemudian, tepat setelah Pangeran Hayden kini berusia 17 tahun.

Di saat Pangeran Hayden sedang mengerjakan tugas-tugas dari Akademi Kerajaan di ruang belajarnya, Tuan Graham pun datang. Dengan cepat, sang pangeran menyuruh seluruh pegawai yang berjaga untuk keluar dari ruangan.

"Ada apa, Tuan?" Pangeran Hayden tampak antusias.

"Kami telah menemukan keluarga Giselle."

"Oh ya? Siapa?"

Tuan Graham pun mengangkat dokumen berisi kertas-kertas dan gambar Giselle di atas meja pangeran. Jemari pemuda keturunan kerajaan itu menelitinya dan tatapan Pangeran Hayden tampak bersemangat.

"Stein? Benar Stein?" acap sang pangeran, sedikit tak percaya dengan yang baru saja ia baca. Ia terlihat memegang kertas dan menggoyangkannya dengan sedikit tenaga.

"Benar, Yang Mulia. Namun, jika melihat dari garis suksesi kerajaan, maka seharusnya Giselle akan menikah dengan Pangeran Jace." Penuturan Tuan Graham membuat Pangeran Hayden mendadak menekuk kedua sudut bibirnya ke bawah.

"Akan tetapi, jika dia diresmikan dan diperkenalkan sebagai keluarga Stein setelah Pangeran Jace menikah, maka keturunan Stein akan bergeser ke keluarga Floer. Yang berarti, Anda dapat menikahinya, jika Pangeran Jace telah menikah dengan bangsawan lain. Atau ... ada opsi lain, di mana Pangeran Jace diberikan pilihan dan dia sendiri menolak untuk menikah dengan Giselle."

"Ah, ya," Pangeran Hayden tertunduk lesu, "tolong jangan beritahu siapapun tentang ini."

"Baik, Yang Mulia."

Pemuda itu lantas mengangkat kepala dan menatap Tuan Graham lekat. "Mulai tahun depan, aku sendiri yang akan mengunjungi Giselle dengan diam-diam. Tolong, siapkan ruangan khusus untukku di kapal Blue Star yang biasanya digunakan oleh keluarga Floer untuk bepergian. Kamar yang terpisah dari kamarku yang biasanya."

"Anda yakin, Yang Mulia?"

"Tentu saja. Aku tidak ingin Giselle direbut oleh siapapun, bahkan dengan Pangeran Jace sekali pun. Giselle adalah calon pendampingku. Dan itu ... tidak akan pernah berubah!"

"Ba-baik, Yang Mulia. Saya akan melaksanakan perintah Anda. Tapi, saya sarankan bahwa Anda tidak boleh terlalu terpaku padanya. Sebab, Anda akan menjadi anggota senior kerajaan dan akan melakukan berbagai kunjungan resmi. Saya hanya tidak ingin fokus Anda terbagi."

"Ya, aku akan pastikan itu. Terima kasih, Tuan Graham." Kalimat tersebut membuat pengawal khusus Pangeran Hayden itu memutuskan untuk keluar ruangan dan membiarkan sang pangeran sendirian.

Pangeran Hayden kembali memandang gambar-gambar Giselle. Sesekali ia tersenyum seraya membelai gambar tersebut dan berucap pelan, "Stein? Seingatku keluarga Stein hanya memiliki satu putri. Jika benar, maka Giselle adalah seorang Lady. Ah, betapa beruntungnya aku jika ia jadi milikku nantinya."

Sang adam mengangkat satu gambar seukuran telapak tangannya. "Lady Giselle cantik sekali," pujinya.

.
.

Ignacia Carmine

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top