X-Chap 1: PAST

.
.

Kediaman Irvin, pukul 16.45, 20 tahun yang lalu

"Belinda, apakah kau yakin dengan rencanamu ini?" Harlow mondar-mandir di depan meja kantornya seraya memijat kening.

Perempuan yang merupakan adik dari Harlow, Belinda, tersenyum tipis. Ia yang duduk dengan anggun di sofa panjang kulit sambil menyesap teh hangat pun menoleh cepat pada sang kakak. "Mengapa kau begitu takut, My Lord? Semuanya akan berjalan dengan lancar."

"Di rumah itu hanya ada istri dan anak-anaknya. Lord Stein sedang tak berada di sana!"

"Tapi sepengetahuanku, dia akan pulang hari ini, Kakak. Kau hanya perlu menunggu dan duduk dengan tenang sekarang, karena aku yakin bahwa rencanaku ini akan berhasil. Dan tak lama lagi, Karina yang akan menjadi Ratu Atharia."

Harlow pun mengangguk pelan, lalu berjalan menuju kursinya dan mulai memejam. Melihat reaksi Harlow, Belinda kembali menyunggingkan senyum.

.

.

Kediaman Stein, pukul 22.23

Marinna duduk di ruang tamu sambil sesekali bangkit untuk mengintip ke taman depan melalui jendela. Dengan penuh kesabaran di tengah malam yang dingin ini, ia menunggu sang suami tiba dari tugasnya di perbatasan.

Marinna yakin jika Hugo, Albern, Jorell, dan Giselle telah terlelap, sehingga ia tak perlu khawatir untuk meninggalkan mereka di kamar masing-masing di lantai dua rumah.

Setelah duduk kembali, seorang pegawai pun mendekat ke arahnya dan berbisik, "Lady, pemberontak telah meluluhlantakkan kediaman Marquess of Holix beberapa menit yang lalu."

"Apa?" seru Marinna sambil memegang erat gaunnya.

Marinna sangat paham jika kediaman itu tak jauh dari rumahnya, hanya sekitar 2 kilometer. Dan setahu Marinna, para pemberontak itu ingin menghancurkan kediaman seluruh bangsawan dimulai dari wilayah Frenia. Kabar yang semula hanya dianggap angin lalu oleh para bangsawan, ternyata benar terjadi. Dan jika boleh jujur, petugas keamanan yang merupakan para anggota militer aktif berjaga di sekitar kediaman hanya berjumlah kurang dari dua puluh orang.

Jantung Marinna berdetak sangat cepat. Bulir-bulir peluh mulai terlihat di kening. Tak hanya itu, tangan dan kakinya mendingin.

"Di mana suamiku?"

"Masih dalam perjalanan, Lady."

"Oh, God!"

Marinna bergegas melangkah menuju lantai dua rumah, masuk ke kamar ketiga anak lelakinya dan membangunkan mereka. Awalnya, ketiga anak itu terlalu sulit untuk bahkan membuka mata barang sejenak. Akan tetapi, Marinna tak dapat membiarkan ketiganya untuk melanjutkan tidur.

DOR...

"I-Ibu, itu suara senjata siapa? Apakah ada yang datang?" tanya Hugo dengan memeluk bantal kecil kesayangannya.

Marinna dan Hugo terdiam dan mendengarkan suara demi suara tembakan itu. Hingga akhirnya, Marinna menarik tangan ketiga anak lelaki tersebut menuju lantai satu, melewati dapur, dan berakhir di sebuah ruangan yang diketahui sebagai gudang.

Perempuan itu kemudian membuka sebuah papan tua di bagian lantai dan menyuruh Hugo, Albern, dan Jorell untuk turun secara perlahan dengan menapaki anak tangga yang terbuat dari besi tersebut.

Setelah Hugo yang memegang tangan Jorell telah tiba di dasar, Albern yang turun paling terakhir pun mendongak. "Ibu, apakah Ibu akan menjemput kami? Ibu ... aku takut di dalam sini. Aku takut gelap. Ibu tahu itu, 'kan?" ucap Albern dengan bibir yang bergetar sebelum kakinya melangkah ke anak tangga kedua. Kedua tangan itu masih memegang erat besi tangga.

Marinna yang bersimpuh di lantai pun semakin menundukkan tubuh, lalu menangkup wajah Albern di bawah sana. Air mata Marinna menetes ke wajah anak keduanya itu. "Ibu janji, Nak. Ibu akan menjemput kalian sebentar lagi. Untuk sekarang, tolong peluk Jorell dengan erat dan katakan padanya bahwa dia hanya perlu tenang. Tidak usah membuat suara-suara di dalam sana. Kau paham, Albern?"

Albern sempat terdiam beberapa waktu yang membuat Marinna kembali berujar, "Ibu janji, Sayang. Percaya sama Ibu."

"Iya, Ibu. Tolong hati-hati."

"Iya, Sayang. Sekarang, masuklah!"

Tak...

Ketiganya pun menghilang dari pandangan saat itu juga. Marinna tak lupa pula untuk menutup rapat papan itu kembali dan berlari menuju lantai dua.

Sepanjang koridor, ia dapat mendengar suara tembakan saling beradu di depan sana yang membuatnya sesekali terlonjak. Seakan berlomba dengan waktu, ia terus berlari tanpa henti menuju kamar Giselle yang terletak paling ujung.

Ketika kakinya tiba di depan pintu dan kedua tangan memutar gagang, betapa terkejutnya Marinna ketika melihat dua orang berpakaian hitam dan topeng yang hanya menampakkan mata serta mulut itu pun menodongkan pistol. Sontak saja, Marinna mengangkat kedua tangan.

"Silakan masukkan bayi ini dalam keranjang!" suruh salah seorang pria.

Mendengar titah itu, Marinna dengan cepat mengambil keranjang berwarna merah muda dengan kain putih bersimbol huruf S. Marinna sempat terdiam sebentar, mengamati bayi itu lekat.

"Apa yang Anda lakukan, Lady? Masukkan bayi itu sekarang!" teriak laki-laki itu lagi yang membuat sang bayi menangis dengan kuat karena keterkejutan yang luar biasa.

Terlonjak, Marinna pun memasukkan bayi tersebut dalam keranjang dan menutupnya. Setelah itu, kedua laki-laki tadi memutar tubuh Marinna dan membawanya menuju ke luar rumah. Salah satu di antara mereka nampak berada di belakang Marinna, menodongkan pistol tepat di punggung sang puan.

Tangan Nyonya Stein yang sedang menggenggam keranjang bayi tersebut bergetar ketika akhirnya ia tiba di taman depan dan melihat pemandangan yang mengerikan. Tubuh-tubuh petugas keamanan tampak telah terbaring dan bersimbah darah. Taman depan seolah menjadi arena perang di malam dengan cahaya bulan sebagai penerang itu. Kini, tak ada satu pun orang yang berdiri di sana, kecuali Marinna dan dua pemberontak tersebut.

"Maju hingga kaki Anda tiba di jembatan, Lady!"

"Ti-tidak!"

"Maka saya tidak akan segan membunuh Anda dan anak-anak Anda yang lain."

Kaki Marinna mati rasa. Mulut perempuan tersebut kembali bergetar dan air mata luruh menghiasi pipi mulusnya.

Ingin sekali ia membungkam mulut orang-orang tak berperasaan ini!

Ketiga orang itu akhirnya membelah malam dengan berjalan menuju jembatan yang tak jauh dari kediaman mewah Stein. Setelah tiba di tepi, orang-orang itu kemudian memutar tubuh Marinna ke arah jembatan dan berkata, "Lemparkan keranjang itu ke dalam sungai!"

"Apa? Itu tidak mungkin. Aku tidak mungkin melakukannya! Ini terlalu berbahaya," teriak Marinna.

"Kalau begitu, saya yang akan melakukannya!"

Salah seorang pria itu pun mengambil paksa keranjang dan melemparnya ke dalam sungai dengan arus kuat tersebut. Ah ya, Marinna ingat jika hujan turun hari ini dari pagi hingga sore hari dan baru benar-benar berhenti beberapa jam yang lalu.

BYUR...

"TIDAK!" teriak Marinna seraya memegang tepi jembatan dengan erat. Ia bersimpuh sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis terisak di malam yang dingin itu.

Ia tak menyangka jika orang-orang tersebut tega membunuh bayi yang tak berdosa sama sekali. Apa salah bayi itu? Mengapa bukan dirinya saja yang dibunuh? Apakah mereka benar-benar tak punya hati?

"Apa yang kalian lakukan pada anakku?!" pekik Marinna.

Pria yang berada di samping kiri Marinna pun berjongkok dan berujar pelan, "Apa yang kami lakukan? Tentu saja, Lady, kami membunuhnya!"

Suara tembakan kembali terdengar jauh belakang sana. Hingga akhirnya Marinna dan kedua pemberontak itu terdiam ketika mendengar suara orang-orang berteriak jika polisi telah menuju tempat kejadian. Dan suara tembakan itu, berasal dari senjata para polisi setempat.

Sontak saja, kedua pemberontak tersebut memutar tubuh dan berlari menjauhi jembatan. Mereka juga meninggalkan Marinna sendirian yang masih terisak di sana.

DOR...
DOR...

Dua amunisi dilesatkan dan mengenai tubuh dua orang laki-laki bertopeng tersebut hingga akhirnya mereka meregang nyawa tak jauh dari posisi Marinna. Mendengar suara tembakan, Marinna seketika mengangkat wajah yang sembap dan menoleh ke arah suara.

Betapa terkejutnya puan itu ketika melihat tubuh kecil Hugo telah mengangkat senjata dengan bagian ujung masih mengeluarkan asap putih tipis, akibat lontaran amunisi.

Melihat anak pertamanya berhasil membunuh dua orang sekaligus, Marinna kembali terisak.

"I-ibu ... Hugo ... Hu-Hugo takut, Ibu...."

Marinna pun seketika menunduk dan menggeleng pelan, lalu mengusap air matanya dengan kasar menggunakan lengan. Ia benar-benar tak dapat berpikir sekarang. Namun, melihat anaknya berdiri di sana dengan raut ketakutan, Marinna mengembuskan napas dan mengangkat wajah.

"Keluarkan jari Hugo dari pelatuk," Hugo pun mengikuti perintah ibunya, "lalu, letakkan pistol itu di tanah dengan pelan, Nak."

Sesuai petunjuk Marinna, Hugo melakukannya dengan sangat perlahan. Setelah pistol itu akhirnya berada di tanah, bocah tersebut berlari menuju Marinna dan mengeluarkan tangisannya dipelukan sang ibu. Puan itu membelai surai lembut Hugo dan mengucapkan terima kasih berulang kali.

"Setelah tak terdengar suara di luar sana, aku pun keluar dari papan itu dan berlari ke luar rumah, mengikuti langkah kalian ke sini. Aku juga mengambil senjata para petugas di depan rumah. Ibu ... aku menyuruh Albern dan Jorell untuk tidak keluar menemuiku, karena aku tahu ini akan bahaya."

"Iya, Nak. Ibu paham...."

Hugo melepas pelukannya dan menatap Marinna dengan mata memerah. "Lalu, mana Giselle, Ibu?"

"Gi-Giselle?"

"Iya, adikku di mana?" Hugo menengadahkan kedua tangan. "Ibu jangan diam saja. Giselle di mana, Ibu?"

Marinna kembali menangis, lalu jari telunjuknya terangkat menuju tepi jembatan dengan bergetar.

Melihat itu, Hugo menjatuhkan kedua bahu, lalu kembali memeluk Marinna dan terisak kuat. "Ibu ... maaf ya, aku terlambat. Aku gagal jaga Giselle. Maafkan aku...."

Marinna tak bersuara sama sekali dan lebih memilih memeluk Hugo erat.

Perempuan itu ingat bahwa seminggu sebelumnya, saat Hendrick akan meninggalkan rumah, laki-laki itu berpesan pada Hugo untuk melindungi Albern, Jorell, dan Giselle. Dengan bangga, Hugo pun mengangguk dan tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan gigi yang rapi pada sang ayah.

Hari-hari pun terlewati dan Hugo sungguh menepati janjinya pada sang ayah. Ia tak pernah lagi bertengkar dengan Albern dan Jorell untuk hal yang sepele, serta sesekali nampak mengajak Giselle bermain di kamar anak perempuan tersebut.

Akan tetapi, hari ini, kepercayaan diri anaknya itu telah runtuh saat mengetahui Giselle telah tiada. "Maafkan aku, Ibu, ayah...."

"Marinna!" teriak salah seorang di ujung jembatan yang membuat Hugo dan sang ibunda pun berbalik badan dan melihat sosok tersebut.

Hendrick, Albern, dan Jorell berlari menuju Hugo dan Marinna. Mereka pun menangis dan saling berpelukan erat tanpa celah sedikit pun. Tak ada suara yang keluar, selain isakan lirih yang membuat siapa saja yang mendengarnya akan ikut dibuat merinding dan menitikkan air mata.

Malam itu, keluarga Stein kehilangan anak perempuan mereka selama-lamanya.


.

.

Kediaman Irvin, pukul 02.36

Belinda dan Harlow menemui dua orang pemberontak di ruang kerja yang nampak membawa sebuah keranjang berwarna merah muda. Harlow yang duduk di kursi kerja dan Belinda yang berdiri di depan jendela ruangan itu pun memandang kedua laki-laki tersebut dengan seringai kecil.

"Benar itu adalah Lady Giselle?" tanya Belinda dengan nada yang lembut.

Salah satu pemberontak suruhan Belinda pun mengeluarkan suara. "Benar, Nyonya."

"Dua orang lagi ke mana?"

"Mereka ... tewas dalam perjalanan ke sini, Nyonya."

Belinda hanya mengangguk mendengar itu. Namun, senyum tipis itu tak pernah lepas dari wajahnya. "Jadi, kalian berhasil menukar bayi Stein ini? Bayi sebelumnya berasal dari mana?"

"Dari petani yang berasal dari wilayah perbatasan, Nyonya. Dan benar, Nyonya. Ini adalah bayi Stein yang asli."

Harlow terdengar mendengkus panjang. "Apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Belinda?" tanya Harlow.

"Aku? Tentu saja menyuruh salah satu di antara kedua laki-laki ini membawa bayinya ke Arkala. Siapa yang bisa melakukannya? Aku akan memberi kalian upah tiga kali lipat dari upah kerja kalian di sini. Ada yang bersedia?"

Sempat ada keheningan yang tercipta selama beberapa detik, sebelum akhirnya satu orang yang berdiri di sebelah kiri pun mengangkat tangan. "Sa-saya, Nyonya."

"Oke, siapa namamu?"

"Patra, Nyonya."

"Pergilah dan bawa bayi itu menjauh dari sini! Jangan lupa tulis nama bayi tersebut di keranjangnya! Terserah, kau ingin memberi nama siapa." Belinda terlihat menjulurkan tangan, menyerahkan selembar kertas dan pena yang langsung diterima oleh kedua tangan Patra.

Dengan tangan yang bergetar, Patra menuliskan nama sang bayi dan meletakkan kertas itu di dalam keranjang. Secara perlahan, Patra kembali menyimpan pena di meja tamu di ruang tersebut.

"Biarkan ini menjadi rahasia kita bersama. Jika ada yang mengetahuinya, aku akan membunuh kalian semua, termasuk kau--" Belinda menoleh pada Harlow dengan senyum lebar, "Kakak."

Deg....

.
.

Ignacia Carmine

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top