7. Kejadian Tak Terduga

.
.

Giselle berjalan dua langkah di depan para pemuda dengan begitu semangat. Ia terlihat memamerkan kedua sudut bibir yang terangkat dengan mata menyipit. Dari satu toko ke toko lain, Julian dan Mark kini terlihat seperti pengawal pribadi Giselle di mana Mark membawakan ransel gadis itu, sementara Julian sesekali menyebrangkan sang puan di jalan. Hari ini, mereka memang memutuskan untuk berjalan kaki saja.

Akhirnya mereka tiba di sebuah toko tas. Giselle tak mengetahui pasti untuk harga-harga barangnya, namun ia melihat tak sedikit dari para gadis di Nethervile yang memakai merek tersebut ketika bepergian. Setelah mengulik lebih jauh dari Julian, Giselle pun paham jika toko tas yang ia kunjungi saat ini merupakan toko dengan merek ternama.

Giselle mengakui bahwa dari luar saja, toko ini sudah memberi kesan mewah, eksklusif, dan elegan dengan ornamen-ornamen emas dan hitam yang mendominasi. Tak hanya itu, para pegawainya juga sangat ramah dan berpakaian dengan rapi. Para pengunjung toko tersebut memang lebih banyak wanita kelas atas yang tak jarang juga memiliki pengawal pribadi minimal satu orang.

"Bagaimana dengan itu?" tunjuk Giselle ke arah tas berwarna biru muda pada Julian dan Mark yang berdiri mengapitnya.

Mark mengangguk setuju, sedangkan Julian sebaliknya. "Bagaimana dengan warna merah?" anjur Julian.

"Tidak, itu terkesan sangat dewasa," acap Mark.

"Well, aku memang sudah dewasa," tukas Giselle cepat.

Mark kembali menyeringai kecil, mengacak surai Giselle, lalu berlalu dari hadapan sang gadis yang tentu saja membuat perempuan itu tertegun.

Setelah melihat beragam tas, Giselle akhirnya memutuskan untuk mengambil tas berwarna biru dan hitam. Tentu saja semua tas itu dibeli bukan menggunakan uangnya, melainkan Julian. Meskipun pada awalnya pemuda itu menampakkan raut tak menyenangkan, namun setelah dirayu oleh Mark, Julian akhirnya luluh juga.

"Dia yang memiliki banyak uang," kata Mark menunjuk dagu pada Julian sesaat setelah Giselle akan membayar tas-tas miliknya.

Hal itu membuat Giselle tersenyum lebar pada Julian sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih.

Tak cukup sampai di situ, Giselle juga membeli sepatu dan beberapa helai pakaian dari toko ternama lainnya. Ketika ia melewati sebuah toko yang menyediakan pakaian pria, Giselle tetap masuk ke sana dan memilihkan pakaian untuk dua pemuda yang sudah kerepotan membawa belanjaan sang gadis.

Sesaat setelah keluar dari toko pakaian; langkah Giselle, Mark, dan Julian pun seketika terhenti. Tidak hanya mereka, seluruh warga terlihat berdiri di tepi dan mengosongkan jalan. Mereka terlihat seperti sedang menunggu sesuatu.

Tak lama kemudian, lima mobil melewati jalan tersebut dengan kecepatan sedang dan mendapatkan sorai-sorai dari masyarakat. Mobil kedua dari depan memiliki bendera kecil di bagian kap --bendera negara ini-- Atharia.

Pandangan Giselle tak lepas dari mobil-mobil berwarna hitam tersebut. Hingga mobil berlalu dan masyarakat membubarkan diri, Giselle tetap mematung. Entah mengapa, Giselle ingin merasakan berada di posisi para bangsawan di Nethervile itu walau hanya sebentar. Giselle ingat bagaimana Patra menjelaskan padanya sewaktu ia masih kecil bahwa para bangsawan itu dikelilingi oleh orang-orang yang dicintai, pun pengawalan yang super ketat. Mata seluruh dunia seakan berbinar ketika sosok-sosok berdarah biru itu tampil di hadapan publik, memperlihatkan aura pemimpin yang sesungguhnya. Tak hanya itu, puji yang dilontarkan oleh masyarakat juga mengalun dengan derasnya.

Bukankah menyenangkan memiliki kehidupan seperti itu?

Lamunan Giselle buyar tatkala Mark menyikut bahunya pelan. "Kau mau lanjut berjalan? Atau kita pulang saja?"

Giselle tersenyum tipis. "Aku masih ingin berjalan-jalan. Masih banyak tempat yang belum kita kunjungi. Lagi pula, ini masih siang."

"Apakah kau tidak lelah?" Julian menyela.

"Tidak. Apakah kau kelelahan?" Giselle balik bertanya.

Julian menggeleng. "Tentu saja tidak."

Giselle menyeringai jail, lalu berujar, "Tak perlu berbohong padaku. Liat kau sekarang, sudah bermandikan keringat."

"Aku banyak keringat bukan berarti aku lelah."

"Ya ya ya, terserah kau saja. Ayo, jalan lagi!" ajak Giselle yang membuat Julian membelalakkan matanya. Sepertinya ia menyesal telah berucap seperti itu pada Giselle.

Sambil berjalan kembali, sang gadis menyejajarkan posisinya pada Julian yang berada di belakang Mark. "Aku ingin bertanya, apakah mobil-mobil tadi membawa keluarga kerajaan?"

Mendengar itu, Julian mengangguk pelan. "Iya, itu adalah keluarga kerajaan. King and Queen of Atharia, serta Duke and Duchess of Nethervile."

"Apa yang mereka lakukan? Ah, maksudku, mereka ingin pergi ke mana?"

Untuk sesaat, pemuda bertubuh tinggi itu memandang Giselle dengan tatapan penuh tanya. "Kenapa kau begitu penasaran?"

"Aku dari Arkala dan tidak pernah ke Nethervile sebelumnya. Bukankah wajar aku bertanya demikian?"

Julian mendengkus seraya menatap balik Giselle. "Kau bisa mendapatkan daftar kegiatan anggota kerajaan dalam papan informasi yang terletak di depan Istana Aglait, istana utama di mana para anggota keluarga juga tinggal di sana."

Giselle menatap Julian antusias. "Kau tahu letak istananya? Ah, mengapa kita tidak ke sana? Sebelum aku pulang ada baiknya kita ke sana."

"Okay, okay," acap Julian malas.

Ketiga pemuda itu akhirnya memutuskan untuk kembali ke penginapan dan mengendarai mobil menuju istana Aglait sesuai kemauan sang gadis.

Entah mengapa, Giselle merasa bahwa Julian dan Mark terlalu baik padanya. Semua kemauan Giselle selalu mereka turuti dan perempuan itu pada akhirnya menaruh kepercayaan penuh pada Mark dan Julian. Sulit diakui memang bagaimana Giselle pada akhirnya memutuskan demikian alih-alih menjauhi dua orang yang baru saja hadir dalam hidupnya itu.

Tapi, inilah Giselle. Gadis gila susah dipahami seperti yang disebutkan Mark sebelumnya.

Setibanya mereka di Istana Aglait setelah menempuh perjalanan kurang dari 10 menit, Giselle pun dengan cepat keluar dari mobil dan memegang pagar putih istana terbesar di negara tersebut. Sang gadis takjub, seolah ia sedang berada dalam sebuah lukisan.

"Apakah kita bisa masuk?" tanya Giselle.

"Kau memegang pagar saja sudah termasuk pelanggaran, apalagi masuk. Singkirkan tanganmu!" Julian mengambil tangan Giselle dan membuangnya pelan.

Perempuan itu kemudian menoleh pada Mark yang berdiri di samping kanannya. Namun yang dipandangi menatap tajam pada bangunan megah itu. Tanpa Mark sadari, Giselle telah menangkap aura berbeda dari sang adam. Tatapan menusuk, rahang mengatup, dan tangan yang mengepal; membuat Giselle seketika terdiam.

.

.

Giselle, Julian, dan Mark akhirnya kembali ke penginapan pukul 9 malam setelah menyelesaikan makan malam mereka. Jika harus jujur, tubuh Giselle benar-benar letih. Namun, ia harus melakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat.

Di kamar, Giselle kembali memasukkan seluruh pakaiannya ke dalam tas yang ia bawa dari Arkala, lalu meletakkan begitu saja barang-barang yang telah ia beli bersama Mark dan Julian. Ia sempat menengok ke arah jendela dan melirik sebentar dari balik pintu untuk memastikan bahwa kedua pemuda tersebut berada di kamar. Giselle menduga bahwa mereka berdua sudah tertidur lelap. Dan alasan Giselle mengajak mereka untuk berjalan dari pagi hingga malam hari, mengitari Nethervile baik dengan berjalan kaki maupun mobil adalah agar mereka kelelahan. Tentu saja, setelah mereka lengah, Giselle akan mencoba kabur.

Siapa yang ingin kembali ke Arkala? Sebelum Giselle mendapatkan apa yang ia mau, Giselle tidak akan berhenti dan meninggalkan Nethervile.

Seperti saat ini, Giselle pun mengendap-endap keluar dari kamar dan sebisa mungkin tidak menciptakan suara.

Setelah berhasil ke luar dari penginapan, Giselle berjalan cepat membelah kerumunan orang-orang yang baru saja pulang kerja. Begitu cepatnya ia melangkah hingga sesekali bahunya menabrak orang lain dan berakhir Giselle meminta maaf dengan tergesa-gesa.

Sang puan akhirnya tiba di persimpangan jalan dan siap untuk menyebrang. Ia pun berdiri di lampu merah bersama dengan orang-orang lainnya yang juga akan melewati jalan tersebut. Namun, sesaat sebelum melangkah, seseorang tiba-tiba saja berdiri di sampingnya. Terlalu dekat, hingga Giselle merasa risih.

Lampu hijau telah menyala, membuat para pejalan kaki bergegas untuk melewati jalan tersebut sebelum lampu merah kembali menyala. Namun, ketika Giselle berada di tengah jalan, pemuda itu berbisik, "Kembalikan buku itu!"

Sontak, sang gadis pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah suara. Sosok yang bersetelan jas hitam tersebut juga menghentikan langkahnya, lalu tersenyum ke arah Giselle.

Sang hawa berujar, "Buku ... apa?"

"Buku para Hunter yang kau dapatkan dari Akademi. Bisa kembalikan padaku?"

Seketika, mata Giselle menajam. "Hei, apa kita pernah bertemu sebelumnya? Apa buku itu adalah milikmu, Tuan?"

Sekali lagi, sang pemuda yang tak diketahui namanya itu berucap sambil tersenyum, "Itu bukan punyaku. Akan tetapi, itu juga tidak boleh berada di tanganmu sekarang."

Giselle mengedikkan bahu. "Who's care?"

Gadis itu memaku tatapannya pada sosok pemuda bersurai hitam dengan tubuh tinggi tersebut. Untuk sesaat, pemuda itu hanya kembali tersenyum tipis sebelum akhirnya ia menengadahkan tangan. "Bisa kembalikan?"

Giselle mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Ia kemudian mengembuskan napasnya kasar, lalu meraih tasnya. Saat ia mulai membuka resleting, tangannya seketika terhenti ketika dari belakang terdengar suara yang memanggilnya.

Sontak, perempuan itu membalikkan badan dan mengacuhkan pemuda tadi. Dari tempatnya berdiri, ia sudah melihat Mark melambaikan tangan, mencoba mengajaknya untuk kembali. Melihat sosok itu, Giselle pun tersenyum lebar dan bersiap untuk mendatangi Mark. Namun sayang, saat kakinya akan melangkah, lampu lalu-lintas telah mengubah warna menjadi hijau.

Sosoknya yang berdiri di tengah telah memancing para pengemudi untuk membunyikan klakson mobil dengan nyaring. Refleks, Giselle pun berjongkok di tengah jalan sambil menutupi kedua telinganya. Tak sedikit dari para pengendara yang mencaci maki sang puan yang dilanda keterkejutan luar biasa. Mereka tak tahu atau mungkin juga tak ingin tahu bahwa Giselle tak pernah mendengar suara sebising ini sebelumnya.

Dan hujatan itu?

Giselle tak pernah menerimanya ketika berada di Arkala!

"It's okay, it's okay...."

Suara Mark seketika terdengar. Sang adam segera memapah Giselle menuju tepi jalan. Perempuan itu masih mengingat bagaimana tatapan-tatapan tajam mengarah padanya disertai sumpah serapah yang mengerikan. Mark kemudian membawa Giselle menjauhi kerumunan, sejauh mungkin hingga mereka tak terlihat dari warga sekitar lagi.

Mereka berdua akhirnya duduk di depan kedai roti yang sepi. Semula, Mark meminta izin pada Giselle untuk pergi sebentar membelikannya minuman. Namun Giselle menolak, dan lebih memilih untuk menggenggam lengan Mark seerat mungkin. Melihat reaksi Giselle, Mark pun mengurungkan niatnya dan memosisikan tubuhnya di samping perempuan itu.

"Kita pulang?" ajak Mark dengan suara yang lemah.

Giselle pun menoleh cepat. "Ke penginapan?"

"Iya. Besok baru kita kembali ke Arkala. Bukankah kau ingin seperti itu?"

Sang puan terdiam dan menatap Mark lama. Secara tiba-tiba, Mark membelai surai Giselle yang membuat gadis itu mematung. Detak jantung mendadak menjadi cepat, napas tercekat, dan desiran yang seolah menggelitik perut pun dirasakan oleh keturunan Hampton.

Terlalu larut dalam suasana, Mark menurunkan tangannya menuju pipi putih Giselle seraya berucap lembut, "Semuanya akan baik-baik saja."

Ucapan dan afeksi yang pemuda itu berikan seketika meruntuhkan pertahanan Giselle yang sudah ia bangun sedari tadi, menjadi serpihan-serpihan. Ia menangis sesenggukan layaknya anak kecil yang baru saja dimarahi oleh ibu, karena merajuk tak dibelikan makanan manis. Giselle menenggelamkan kepala di bahu Mark. Sesekali, perempuan itu menarik kaus hitam sang pemuda dan membuang air hidung berlendir tanpa merasa bersalah.

Alih-alih merasa jijik, Mark justru menepuk bahu Giselle. Ia membiarkan gadis itu mengeluarkan air matanya sebanyak mungkin, selama yang ia inginkan. Di bawah sinar bulan itu, sang adam mengetahui sisi lain dari perempuan yang berada dekatnya saat ini.

Giselle dengan ekspresi yang berantakan pun mengangkat wajahnya. Sesekali ia sesenggukan, lalu mengelap asal air mata dengan lengan.

"Kau mau ke mana malam-malam seperti ini?" tanya Mark dengan menatap manik Giselle lekat.

Giselle meneguk ludah dengan sulit. "A-aku hanya ingin membeli ... makanan ringan. Oh ya, dari mana kau tahu aku keluar dari penginapan?"

"Aku mendengar suara pintu kamarmu terbuka, jadi aku mengikutimu. Ah, apakah kau masih lapar? Di belakang kita ada roti, kau mau? Aku bisa membelikannya untukmu."

Gadis itu menggeleng. "Tidak, terima kasih."

Mark sekali lagi menatap Giselle dari bawah hingga ke atas dengan tatapan iba sekaligus khawatir. "Kau yakin tidak terluka sedikit pun?"

Mendengar itu, Giselle kembali menangis namun tak sekuat sebelumnya. Di sela-sela tangisnya, Giselle berkata, "Tidak, aku tak terluka. Hanya saja ... aku malu."

Mark tiba-tiba tertawa terbahak-bahak yang membuat Giselle mengerutkan keningnya. Hidung gadis itu memerah layaknya tomat yang membuatnya semakin terlihat menggemaskan bagi Mark.

"Ah, Mark. Aku ingin mengatakan sesuatu."

Mark menghentikan tawanya, lalu menyuruh, "Katakanlah!"

"Kau tidak akan marah? Janji?"

"Untuk apa aku marah?"

"Oke, jadi sebenarnya, kemarin malam saat kau dan Julian keluar dari kamar, ada seseorang yang menatapku. Aku melihatnya dari jendela kamar."

"Siapa?"

Giselle menggeleng sembari menundukkan pandangannya. "Aku juga tidak tahu."

Pemuda itu mendadak terdiam beberapa detik sambil menatap Giselle. "Aku merasa bahwa tadi orang itu berada di sana lagi. Mengamati dari jarak yang terlampau dekat. Aku tidak yakin, namun entah mengapa aku bisa merasakannya," lanjut gadis berambut panjang itu.

"Lalu kau pergi dari penginapan di saat kau tahu bahwa kau diawasi oleh seseorang? Oh, Tuhan! Bagaimana jika sesuatu terjadi padamu?" geram Mark.

Giselle seolah kehabisan kata-kata saat Mark mengatakan seperti itu. Ia tahu bahwa ia terlalu berani, bahkan dengan bermodalkan rasa nekat ia bisa tiba di Nethervile. Akan tetapi, keberanian Giselle ini juga dirasa terlalu berbahaya. Perempuan tersebut sadar akan hal ini, namun Giselle terlalu sulit mengendalikan dirinya jika ia memiliki keinginan yang begitu dalam.

"Seandainya ada kapal yang berangkat menuju Arkala malam ini, maka kita akan pulang! Namun sayang sekali, kapal terakhir sudah berangkat beberapa jam yang lalu," tukas Mark.

"Maafkan aku."

"Aku tidak marah padamu, Giselle. Justru sebaliknya, aku takut karena kau memiliki rasa percaya diri terlampau besar dalam menghadapi masalah. Atau tidak, kau justru mendatangi masalah."

Tidak ada kata untuk membantah atau membenarkan pernyataan yang keluar dari mulut Mark. Laki-laki itu menarik napas sebanyak mungkin dan menutup matanya. Ia kemudian berkata, "Malam ini aku akan membicarakannya pada Julian. Dan juga, jangan lupa untuk mengunci pintu dan jendela. Aku khawatir jika orang yang menatapmu itu ... adalah Hunter."

Giselle seketika menautkan kedua alis dan menjatuhkan bahunya seakan ia tak memiliki semangat hidup lagi. "Ah, ya. Aku melupakan Hunter."

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top