6. Hari Pertama di Nethervile

.
.

Pelabuhan Gretmer di Nethervile semakin sibuk di kala waktu telah menunjukkan pukul 3 dini hari. Saat kapal akhirnya bersandar, Giselle yang terbaring di bahu Mark sempat membuat sang adam enggan untuk membangunkan. Namun, mau tak mau Mark tetap membangunkan Giselle sesaat setelah petugas mulai menegur mereka.

Giselle yang mengetahui jika kapal telah tiba di Nethervile pun sempat tak percaya. Ia bangkit, lalu mengerjap beberapa kali.

"Ayo, kita keluar dulu!" ajak Mark seraya meraih lengan Giselle dan menuntunnya keluar dari kapal. Sang gadis yang belum tersadar sepenuhnya hanya mengikuti langkah Mark yang terbilang cepat itu.

Saat tungkai mereka menginjak tanah Nethervile, mata Giselle yang semula masih didera kantuk, seketika terbelalak. Perempuan itu berjalan beberapa langkah di depan Mark dan memandang pelabuhan dengan mata yang berbinar. Giselle tak pernah membayangkan bahwa dirinya akan berdiri di pelabuhan terbesar di negara itu sebelumnya.

"It's awesome!" seru Giselle dengan senyum lebar. Berkali-kali ia berjingkrak kecil seraya terus memuji Gretmer yang mewah, rapi, luas, dan indah.

Perempuan itu sempat menoleh ke belakang, melihat ekspresi Mark yang justru menjatuhkan pandangan pada sang gadis. Senyum yang diperlihatkan laki-laki tersebut membuat hati Giselle seketika menghangat.

"Terima kasih," ucap Giselle yang diberi anggukan oleh Mark.

Pemuda tersebut pun bergerak dan berdiri di samping Giselle. "Sekarang, kau akan ke mana? Ini masih gelap dan nampaknya kau masih butuh istirahat," acap Mark.

Giselle mengembuskan napas dan menggeleng. "Ah, soal itu ... aku juga tidak tahu."

Mark kembali tersenyum. "Aku sudah menduga kau akan berkata seperti itu. Jangankan tempat tinggal, kau bahkan tidak menyediakan hal kecil seperti tiket dan kartu identitas saat menuju kapal."

"Benar sekali." Giselle menganggut cepat dan memperlihatkan senyum miris. Hal ini justru membuat Mark meraih puncak kepala Giselle dan mengacak rambutnya. Gemas?

Setelah beberapa menit menikmati pemandangan di pelabuhan tersebut, sesosok pemuda dengan tinggi yang bahkan melebihi Mark pun terlihat berlari kecil sambil membawa jaket yang ia lilitkan pada kedua tangan dan meletakkannya di depan dada.

"Sudah siap?" tanya pemuda itu yang membuat kening Giselle mengerut secara mendadak dan menoleh cepat pada Mark seolah meminta penjelasan.

"Ah, dia," tunjuk Mark pada si pemuda, "nanti aku jelaskan. Sekarang, kita lebih baik mengikutinya."

"Apakah kau yakin?" ujar Giselle, tampak sedikit ragu.

Mark mengangguk. "Apa ada masalah? Kau takut? Tak apa, dia bukanlah orang jahat. Dia salah satu temanku yang tinggal di Nethervile." Mendengat itu, mulut Giselle seketika membentuk huruf O.

Sang pemuda bersama Mark terdengar asyik bercengkrama satu sama lain. Sedangkan Giselle yang berada di belakang mereka tak memedulikan sama sekali. Giselle hanya fokus pada beberapa kapal dan kontainer-kontainer berukuran raksasa beragam warna. Untuk sesaat, Giselle ingin mengetahui isi kontainer tersebut. Namun mengingat ukurannya yang besar dan sudah dapat dipastikan bahwa itu terkunci rapat, Giselle pun mengurungkan niatnya.

Ketiga pemuda itu tiba di parkiran, Mark dan si pemuda akhirnya masuk ke dalam kendaraan roda empat. Giselle sempat berhenti sejenak, memandangi alat transportasi itu dari luar.

"Ah, maaf," ujar si pemuda yang kembali keluar dari mobilnya, membukakan pintu untuk Giselle. Dengan cepat, perempuan itu pun duduk dan pemuda tersebut menutup pintu mobilnya lagi.

"Kalau begitu, sekarang kita akan ke mana?" sela Giselle.

Julian pun melihat gadis itu dari spion tengah. "Sebentar lagi kau akan mengetahuinya."

Setelah lebih dari 15 menit berkendara; Giselle, Mark, dan Julian akhirnya tiba di sebuah penginapan bergaya klasik dengan suasana yang Giselle rasa cukup membuat bulu kuduknya meremang. Itu bukanlah hotel bintang lima seperti yang ia biasa lihat di majalah sekolah atau buletin-buletin yang terpasang di papan informasi alun-alun Pulau Arkala, tapi jauh lebih buruk dari itu. Bahkan dibandingkan dengan keadaan Night Class, mungkin Giselle akan tetap memilih sekolahnya tersebut dibandingkan dengan penginapan ini.

Akan tetapi, Giselle tak dapat menolak untuk tinggal di sini sementara waktu, mengingat ia juga tak memiliki tempat untuk dituju dan belum mengetahui Kota Nethervile seperti apa.

Julian dan Mark kemudian masuk ke dalam kamar. Semula, rasa ragu Giselle sempat muncul. Namun, Mark meyakinkan wanita tersebut jika ia dan Julian tak akan melakukan apapun padanya. Oleh sebab itu, Giselle menurut saja.

Ketika kakinya menapaki kamar tersebut, Giselle sudah melihat sebuah tempat tidur berukuran besar --mungkin dua kali lebih besar dari tempat tidurnya di Arkala, sebuah lemari pakaian, meja rias, kamar kecil, hingga meja dan dua kursi kayu. Meskipun dari kayu, tapi Giselle bisa menjamin bahwa kualitasnya di atas rata-rata. Kamar ini hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari lampu kuning di langit-langit dan di samping tempat tidur.

Untuk sesaat, Giselle melangkah menuju kursi dan mendaratkan tubuhnya. Ia menyandarkan kepala dan menghirup udara sebanyak mungkin. Sedangkan kedua pemuda itu terlihat masih bercengkrama.

Giselle sama sekali tak mengerti. Bukan, bukan bahasanya yang berbeda. Namun mereka membicarakan tentang sekelompok orang yang Giselle tak tahu sama sekali bahkan mendengar nama kelompoknya pun baru kali ini.

Mark yang duduk di tepi tempat tidur seketika menoleh pada Giselle. "Kau tidur di sini sendirian, tak apa?"

Giselle mengangguk cepat. "Tak apa."

"Baiklah. Jika kau membutuhkan sesuatu, kamarku tepat berada di depan kamar ini," acap Mark memamerkan senyum tipis.

Sret...

Julian dan Mark akhirnya meninggalkan Giselle seorang diri.

Gadis tersebut mengembuskan napas sekuat mungkin, lalu memejam. Untuk sesaat, Giselle menikmati kesendiriannya berada di tempat baru tanpa dua pemuda itu.

Tak lama kemudian, fokusnya terpecah pada angin kencang yang masuk melalui jendela kamar, membuat kain penutup jendela itu tersingkap. Udara yang masuk terasa dingin menusuk kulit sang gadis, sehingga mengharuskannya bangkit dan akan menutup jendela tersebut.

Untuk beberapa saat, Giselle mengamati bangunan-bangunan tinggi di luar penginapan yang memiliki arsitektur abad pertengahan, yang ia lihat dari lantai tiga kamarnya. Sangat memanjakan mata. Kembali, Giselle menutup mata seraya menghirup udara sebanyak mungkin.

Ketika ia membuka mata dan pandangan sang gadis jatuh pada tepian jalan, seketika ia mengerutkan kening. Giselle melihat sesosok pria tengah berdiri sembari mendongak ke arahnya dengan kedua tangan yang ia masukkan dalam kantung celana. Dari penglihatan Giselle, pemuda itu mengenakan suit berwarna hitam. Sayang, Giselle tak terlalu melihat wajah pemuda tersebut, sebab tertutup oleh pekatnya malam dan lampu jalan tak cukup untuk menerangi wajahnya.

Meskipun begitu, Giselle sama sekali tak merasa gentar. Akan tetapi, jauh di dalam hatinya terdapat rasa penasaran yang tinggi akan sosok itu. Entah mengapa, Giselle tiba-tiba saja berpikir bahwa sosok itu mungkin adalah bagian dari Hunter yang dipekerjakan oleh pihak istana?

Tapi, jika sosok itu bagian dari istana, dari mana ia mengetahui keberadaan Giselle?
Ah, harusnya Giselle tahu bahwa mata-mata istana terlalu banyak dan mungkin saja tersebar di seluruh kota.

Giselle tak ingin ambil pusing, mengingat kepalanya sudah terasa berat. Saat kembali menjatuhkan pandangan pada tempat sosok itu berpijak sebelumnya, Giselle tak menemukannya lagi.

Orang itu hilang!

Tidak, dia terlalu cepat! batin Giselle, lalu bergegas menutup jendela dan berbaring di tempat tidur.

Tapi, dia siapa?

.

.

Cahaya matahari mulai menembus jendela, menyinari sang gadis yang masih tertidur pulas di atas tempat tidur.

Tok... Tok... Tok...

Ketukan demi ketukan yang terdengar teratur di depan pintu membuat Giselle menggeliat dalam tidur. Tak lama kemudian, ia pun bangkit dengan mata yang mengerjap berkali-kali, terpaksa bangun dari mimpinya.

Giselle melangkah pelan untuk membuka pintu, dan betapa terkejut pemuda di hadapannya saat mengetahui Giselle belum rapi sama sekali.

"Kau mau ke mana sepagi ini?" tanya Giselle, sesekali menggosok mata dengan lengan.

"Sepagi ini? Sweetheart, ini sudah pukul 8. Tentu saja aku kemari untuk mengajakmu mencari sarapan bersama Julian. Kau tidak ingin sarapan?" ucap Mark.

Giselle menggeleng. "Sepertinya tidak."

"Kau yakin?" Mark memincingkan mata.

Kruk...

Sebuah suara perut tiba-tiba saja terdengar yang membuat Giselle meringis. "Sepertinya ada yang sedang berbohong," goda Mark seraya tersenyum jail.

Malu? Siapa yang mengatakan tidak? Minimal sekarang wajah Giselle mulai memerah. Ah, ia tak menyangka bahwa hari pertamanya di Nethervile harus menahan malu di depan Mark seperti ini. Sungguh hari yang tak terduga.

"Kalau begitu, aku siap-siap dulu," pamit Giselle, langsung menutup pintu tanpa memedulikan Mark yang masih terpaku. Giselle berani bertaruh bahwa Mark saat ini sedang menertawakan dirinya, mungkin juga Julian sudah tahu tentang perut Giselle yang berbunyi mengingat mulai terdengar suara Julian di luar sana yang bercengkrama dengan Mark.

Tanpa berlama-lama lagi, Giselle pun melangkah ke kamar mandi dan menyiapkan segala keperluannya. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk Giselle bersiap-siap.

Setelah membuka pintu, Giselle kembali melihat Mark dan Julian yang sudah berada di depan kamar sembari berceloteh. Ketika Giselle muncul di hadapan kedua pemuda itu, tiba-tiba saja percakapan mereka berhenti dan Giselle sukses menjadi pusat perhatian saat itu.

"Apakah ini sudah cukup? I mean ... the dress," ucap Giselle dengan memamerkan senyum. Gadis itu terlihat memakai gaun selutut berwarna biru dengan aksen kupu-kupu yang menambah kesan manis. Rambut Giselle pun digerai begitu saja tanpa aksesoris.

Mark yang membulatkan matanya sejak melihat Giselle pun berujar, "You look--"

"Gorgeous," sela Julian, memotong perkataan Mark saat itu juga. Mark sempat menatap temannya tersebut dengan mata menyipit dan mengangkat satu sudut bibir.

Menyadari tatapan Mark yang terasa mengintimidasi tersebut, Julian salah tingkah. Ia cengar-cengir sambil menggaruk kepalanya. "I mean, ya, the dress," ucap Julian sekali lagi.

"Thank you. Kalau begitu, kita berangkat sekarang?" ucap Giselle.

"Ya, ayo," ajak Mark sambil sesekali melirik Julian.

Mark, Giselle, dan Julian melangkahkan kakinya keluar dari penginapan menuju resto yang tak jauh dari sana.

Untuk pertama kalinya Giselle melihat banyak orang lalu-lalang dengan pakaian terbaik yang mereka punya, benar-benar sibuk. Tak hanya itu, sesekali ia mendongak untuk melihat bangunan-bangunan megah yang berdiri kokoh dengan mata yang berbinar. Tak perlu menanyakan bagaimana birunya langit pada pagi ini.

"Ibu harusnya juga melihat ini semua," monolog gadis itu.

Ketiga pemuda tersebut akhirnya mengambil posisi tempat duduk di tengah. Menilik suasana resto, tak terlalu banyak pengunjung yang datang untuk sarapan. Hanya ada beberapa pria bersetelan lengkap yang sedang duduk sendiri sembari membaca surat kabar dan meminum segelas kopi. Tak hanya itu, beberapa pasangan juga sedang terlihat santai sambil sesekali terdengar suara tawa dari mereka.

Sesaat setelah pegawai resto mencatat pesanan mereka, Giselle pun berujar, "Jadi, kau ini siapa?"

Julian menunjuk dirinya. "Aku? Ah maaf aku belum memperkenalkan diri semalam. Aku Julian, kerja di pelabuhan sebagai helper, terkadang juga sebagai ABK. Oh ya, aku tinggal di Nethervile."

"Lalu, bagaimana kau bisa mengenal Mark?"

"Aku sudah biasa pergi ke Arkala, dan sering melihat Mark. Dia juga sering membantuku mengangkat barang."

"Ohhh begitu rupanya," acap Giselle.

"Malam itu aku sedang berada di Arkala dan melihatnya," Julian menunjuk pemuda di samping kirinya, "masuk ke dalam kapal yang akan berangkat."

Julian kemudian memajukan tubuh dan berbisik pada Giselle, "Dan kau tahu bukan? Kalian berdua sudah seharusnya tidak berada di sini."

"Itu benar, Giselle. Kita harus pulang!" tegas Mark.

Giselle menggeleng cepat. "Oh tentu saja tidak bisa."

"Lantas, apa yang akan kau lakukan?"

Sang puan menengadahkan tangannya. "Oh, apa kalian tidak pernah menyenangkan wanita? Tentu saja aku perlu belanja sebelum benar-benar kembali." Mendengar itu, kedua pemuda tersebut menghela napas.

Mark menyeringai kecil, lalu menyandarkan tubuh pada kursi seraya melipat kedua tangan di dada. Sedangkan Giselle yang berada di hadapan kedua pemuda itu, hanya tersenyum jail.

"Tapi ada satu masalah," acap Giselle yang membuat Julian dan Mark seketika saling berbagi pandang.

"Apa itu?" tanya Julian.

"Aku tidak punya uang!"

Julian mengelus dada sambil mencibir, "Ahhh andai saja aku mengenalmu lebih lama, sudah pasti aku akan melemparmu dengan sepatuku!"

Sontak, Mark dan Giselle tergelak. Gadis itu tak menyangka bahwa Julian yang terlihat dingin, ternyata juga memiliki selera humor yang lumayan baik. Sekilas, kepribadian Julian mirip dengan Winter. Iya, versi pria dari sahabat bawelnya itu.

"Lalu, mengapa kau masuk ke kapal itu semalam?" tanya Mark yang membuat fokus Giselle beralih padanya.

"Aku tadinya hanya ingin melihat-lihat. Bagaimana bentuk di dalamnya, bagian-bagian kapal. Tapi ternyata aku sudah melewati batas."

Mendengar penjelasan singkat tersebut, Mark dan Julian hanya mengangguk.

"Hari ini jadi belanja, 'kan? Lalu, bagaimana jika pulangnya besok saja? Ya? Aku mohon," pinta Giselle seraya menempelkan tangan satu sama lain di depan dada. Ia mengerjapkan matanya berulang kali, berharap Julian dan Mark mengizinkan.

Julian berdecak, "Kau sudah berani datang ke Nethervile tanpa identitas, tak membawa uang sepeser pun, lalu meminta untuk dipulangkan esok hari? Yang benar saja." Julian hanya menggeleng kepala mendengar permintaan gadis itu.

Sambil tersenyum tipis, Mark berujar, "Iya, kita belanja hari ini."

"Yeah...." sorak Giselle. Sedangkan Julian hanya mampu termangu mendengar perkataan singkat temannya itu.

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top