5. Misi Dimulai

.
.

Langit senja dan udara sejuk mulai terasa di setiap sudut pulau, membuat gerak Giselle semakin cepat dalam mempersiapkan segala halnya. Ya, Giselle diketahui akan mengisi liburan di rumah neneknya yang berada di kaki gunung Dement, katanya. Dan hari ini dia sedang memilih pakaian yang akan gadis itu gunakan. Giselle terlihat cekatan, tak ingin kalah dengan Amanda yang juga sudah sibuk membantunya.

"21 hari kau libur, kau benar-benar akan menghabiskannya di rumah nenek?" tanya Amanda.

"Tentu saja, Bu. Aku sudah berjanji pada nenek untuk mengunjunginya di liburan kali ini," acap Giselle sembari menoleh pada Amanda yang sedang duduk di atas karpet.

"Maksud Ibu, bukankah itu terlalu lama? Ibu hanya sendirian di sini."

"Ibu tak perlu khawatir, mungkin sebentar lagi ayah akan pulang dan menemani Ibu."

Amanda menghentikan gerakannya. "Dari mana kau tahu?"

"Eh? Aku hanya menebak," cengir Giselle.

"Ah, harusnya Ibu sudah tahu jika kau hanya bergurau." Giselle yang mendengar itu pun hanya tergelak kecil.

Setelah semuanya telah siap, Amanda pun mengantar Giselle menuju halte kecil yang sedikit jauh dari rumah mereka. Halte dengan lampu temaram itu tak terlalu ramai, hanya dua wanita paruh baya yang sedang duduk sambil berbagi cerita. Melihat kedatangan Giselle dan Amanda, keduanya pun sempat berhenti sejenak, menyapa dengan tersenyum dan menundukkan kepala, lalu kembali mengobrol seperti sebelumnya.

"Ibu bisa pulang, aku akan menunggu sendiri. Lagi pula, ini tak akan lama," suruh Giselle.

"Tak apa-apa kau sendirian?" Air muka Amanda seketika menguratkan rasa ketidaknyamanan.

Giselle yang melihat itu seketika mengusap lengan Amanda. "Tidak apa-apa. Santai saja, Ibu."

Amanda pun mengangguk lemah, lalu maju selangkah dan mengecup dahi Giselle ringan. Ia menginjakkan kakinya meninggalkan halte diikuti oleh tatapan kedua wanita di sebelah Giselle. Melihat Amanda yang sudah menghilang dari pandangan, Giselle kemudian melangkah meninggalkan halte yang kembali diikuti oleh pandangan dari dua wanita itu. Mungkin saja mereka menganggap bahwa Giselle bersikap aneh, ah katakanlah begitu. Sebab, Giselle pergi ke arah sebaliknya dengan berjalan kaki, tidak dengan bus sebagaimana seharusnya ia lakukan.

Giselle yang saat itu mengenakan jaket hitam, harus menarik koper dan membawa ransel yang mungkin hanya memuat tiga pasang pakaian. Awalnya mungkin terasa berat, namun Giselle tetap semangat untuk menuju suatu tempat.

Setelah tiba di tujuannya, Giselle kemudian mengetuk pintu rumah yang tampak tak asing.

Tak butuh lama, hingga akhirnya Winter membuka pintu dan terkejut mendapati sahabatnya itu telah berada di luar dengan banyaknya barang-barang. Winter membelalakkan matanya saat ia melihat koper tersebut.

"Apakah kau diusir dari rumah dan lebih memilih mengungsi di sini?" ucap perempuan bersurai gelap itu.

Giselle tersenyum. "Ya begitulah."

"Berhenti berbohong padaku!"

"Okay, okay ... aku tak diusir dari rumah seperti yang kau katakan."

Winter mengerutkan kening. "Lantas?"

"Hari ini aku akan ke rumah nenekku. Tapi, aku berubah pikiran untuk membawa beban seberat ini. Jadi, aku bermaksud menitipkannya padamu."

"Kenapa kau tak membawanya kembali ke rumahmu?"

Giselle mendengkus. "Katakanlah aku membutuhkan waktu mungkin sekitar 12 menit untuk tiba di rumah. Tapi bus yang aku tumpangi akan berada di halte 9 menit lagi. Dan pada kenyataannya rumahmu lebih dekat 3 menit dari halte."

Winter mengerutkan dahinya, lalu menengadahkan tangan. "Apakah kau sedang mengajar sekarang? Well, aku bodoh Matematika jika kau tak tahu. Intinya?"

"Tsk! Aku tidak mungkin pulang ke rumah. Bus yang aku tumpangi adalah bus terakhir hari ini."

Gadis berambut pendek itu pun mengangguk. "So, berapa lama kau akan menjadikan rumahku tempat penitipan barang?"

"21 hari."

"Hah? Bukankah itu waktu libur kita?"

"Yup, kau benar."

Winter melipat kedua tangannya di dada, lalu meneliti Giselle dari atas hingga bawah dengan sorot mata yang begitu tajam. Jika diumpamakan oleh sebuah senjata, maka itu adalah pedang Damaskus. Giselle yang sudah biasa menerima tatapan tersebut, hanya tersenyum tipis. Sesekali, ia menaikkan kedua alisnya bersamaan seolah meminta persetujuan Winter.

"Tapi, jangan ada satu pun orang yang tahu jika aku menyimpan koper ini di rumahmu. Bagaimana?" ujar Giselle.

"Ah, itu tak masalah. Aku bisa menyimpannya di bawah tempat tidurku. Tapi, apakah kau yakin kau akan berangkat menuju rumah nenekmu? Perasaanku tak enak."

Giselle mengangguk cepat. "Tentu saja."

"Baiklah, aku akan menyimpan kopermu. Tapi jangan lupa untuk mengambilnya sehari sebelum kita masuk Akademi. Deal?" ucap Winter seraya menjulurkan tangannya.

Giselle pun mengambil tangan Winter dan menjabatnya. "Deal."

.

.

Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Giselle yang sebelumnya sempat berada di rumah Winter, kini bergerak lagi menuju suatu tempat seorang diri. Ia sebelumnya sempat berpamitan dengan Winter, namun tak menjelaskan tujuan sebenarnya.

Ya, Giselle tak benar-benar pergi ke rumah neneknya!

Perempuan itu berjalan cepat menuju salah satu tempat tersibuk di Arkala, Dermaga Dexter.

Sang puan tersenyum lebar ketika ia menyaksikan banyak pekerja yang lalu lalang di bawah sinar rembulan, sehingga tercipta bayangan yang membuat mereka tampak seperti lukisan. Tak hanya itu, dermaga ini juga terlihat indah dengan lampu-lampu kecil yang temaram di banyak titik. Giselle tak paham dengan tata letaknya yang mungkin terkesan acak, namun entah mengapa terlihat apik dipandang mata.

Gadis itu tersenyum, lalu mengeratkan kedua tangannya pada tali ransel yang menjuntai di pinggang kanan-kirinya. Untuk sesaat, Giselle tak menyangka jika ia akan melakukan ini. Di tengah rasa penasaran yang begitu memuncak, terselip kepingan kekhawatiran juga. Bohong jika ia tak cemas memikirkan Amanda, Winter, dan yang lainnya di Arkala. Namun, Giselle tak ingin berlarut lama. Ia tahu apa yang sedang ia lakukan dan apa misinya saat ini.

Setelah berpikir cukup lama sembari mengamati kain putih pemberian orang tuanya, hari ini Giselle bertekad untuk berangkat ke Nethervile dan mencari jejak keluarga kandung. Tak cukup sampai di situ, berbekal pengetahuan yang ia dapatkan dari buku para Hunter, ia akan mengambil kristal hijau dan membuka terowongan bawah laut agar Patra --ayahnya-- bisa pulang dengan leluasa. Dengan begitu, masyarakat di Pulau Arkala juga bebas untuk bepergian dengan mudah.

Ah, membayangkannya saja membuat Giselle sudah tersenyum lebar. Bagaimana jika suatu saat semua itu benar terjadi? Giselle tak dapat membayangkan peraturan seperti apa yang pihak istana akan terbitkan setelah peristiwa ini.

Dan yang lebih penting, Giselle berjanji untuk tak ketahuan oleh pihak istana dan akan pulang dalam keadaan hidup. Terdengar sulit memang, menggambarkan setiap adegan dalam pikiran pun dirasa tak mampu. Akan tetapi, Giselle tidak akan mundur. Dirinya sudah terlanjur berada di sini dan ia akan terus maju hingga apa yang ia inginkan tercapai.

Perempuan gila! Katakanlah demikian.

Mata Giselle menjelajah tiap bagian, lalu menemukan kapal yang akan berangkat. Dengan langkah seribu, ia pun menuju kapal tersebut sebelum kapal meninggalkan dermaga. Setelah masuk ke dalam kapal tanpa ketahuan, Giselle kemudian berjalan lambat di antara banyaknya kotak-kotak kayu. Sesekali, ia menyentuh kotak-kota tersebut sembari menyunggingkan senyum tipis.

Kakinya kemudian menapaki satu per satu anak tangga dan menemukan telah banyak penumpang. Ya, kapal yang ia kendarai saat ini adalah kapal penumpang. Semua orang terlihat sedang duduk di tempat duduk panjang yang terbagi menjadi beberapa bagian. Mereka tampak tak peduli dengan kehadiran Giselle saat itu.

Untuk sesaat, Giselle hanya mampu menundukkan pandangannya. Ia tak mengenal siapapun yang berada di sini, pun tak ingin mengajak mereka berbicara. Sebab, jika Giselle ketahuan sebagai penumpang illegal, mungkin saja ia akan langsung dibuang ke lautan.

Giselle memilih untuk duduk di belakang dekat jendela, sendirian. Ia membuang tatapannya ke lautan lepas di luar sana, mulai terhanyut dengan kecantikan pemandangan. Sejenak, ia melupakan rasa khawatirnya akan keputusannya ini.

Dug...

Tiba-tiba saja, seseorang duduk tepat di samping dan menyikutnya. Giselle membuang napasnya kasar, lalu menoleh cepat. Sontak saja, Giselle membulatkan mata dan mulut gadis itu tertutup oleh kedua tangannya. Sebisa mungkin ia tak ingin menjadi pusat perhatian.

"A-apa yang kau lakukan di sini?" bisik Giselle, tak percaya dengan yang baru saja ia lihat.

Sang pemuda yang terlihat terengah-engah itu membungkukkan tubuhnya sembari menopang kedua tangan pada lutut. Ia tak langsung menjawab pertanyaan sang gadis, namun ia lebih memilih untuk memejamkan mata dan menghirup udara sebanyak mungkin.

Setelah cukup tenang, pemuda itu menegakkan tubuhnya. Ia menoleh pada Giselle, lalu membalas dengan berbisik, "Harusnya aku yang bertanya padamu. Apa yang kau lakukan di sini?"

"Kau ... mengikutiku?" tanya Giselle dengan kening yang berkerut. Ia mengerucutkan bibir, sedikit tak senang dengan kehadiran Mark.

"Kau lupa aku bekerja di Dexter? Malam ini aku bekerja di kapal ini untuk membantu menurunkan barang-barang penumpang."

"La-lalu, mengapa kau di sini?" ulang Giselle seraya memperlihatkan kerutan di dahinya.

Mark menggeleng pelan. "Aku melihatmu diam-diam masuk ke kapal ini setelah petugas kapal menyelesaikan tugasnya. Kau tidak tahu bahwa sebentar lagi akan ada petugas yang meminta identitas dan tiketmu? Jangan katakan kau tak tahu akan hal itu!"

Mendengar penuturan Mark, Giselle seketika menjatuhkan bahunya. Ia menengadahkan dan menggerakan tangannya, panik. "Hah? Jadi, sekarang bagaimana? Aku tidak memiliki identitas selain kartu Akademi. Aku juga tak memiliki tiket."

"Kau ... benar-benar gadis gila!" Nampaknya Mark kehabisan kata-kata.

"A-apakah aku akan dibuang ke laut?" tanya Giselle, mendadak. Mendengar itu, Mark menatap Giselle lamat-lamat dengan sorot yang puan itu tak mampu jelaskan.

Mark tiba-tiba saja menyeringai kecil. Ia menatap ke depan, lalu menoleh sebentar ke Giselle. Setelah itu, ia kembali membuang tatapan dan masih dengan senyum yang tercetak di wajahnya.

Untuk sejenak, Giselle memundurkan kepalanya dengan kedua alis yang menyatu. "Apakah aku salah bertanya?"

Mark menggeleng. "Tidak, tapi yang aku tahu kau memang akan dibuang ke laut. Kau akan dimakan oleh ikan-ikan hiu dengan gigi yang mengerikan."

"Seriously?"

"Ya, tentu saja."

"Aku tak percaya padamu!"

Senyum sang adam seketika luntur mendengar perkataan singkat Giselle. Ia menatap perempuan itu lekat lalu berujar, "Kalau begitu, kau tak perlu percaya padaku."

"Cih!"

Terdiam untuk beberapa saat, seorang petugas pun memecah keheningan di antara kedua insan tersebut. Petugas yang mengenakan seragam berwarna putih itupun menengadahkan tangannya. "Kartu identitas dan tiketnya ... ehm, Tuan? Nona?"

Giselle menelan ludah dengan susah, nampaknya jantung berdetak dengan cepat saat itu juga dan tubuhnya tiba-tiba saja terasa dingin. Ia tak tahu harus mengatakan apa, tak mungkin ia mengaku pada petugas itu tentang status dirinya, bukan? Pandangan sang puan pun tertuju pada sosok yang mengenakan celana jeans dan kaus hitam, Mark. Alih-alih merasa takut, Mark justru terlihat tanpa tekanan sama sekali.

Dengan cepat, Mark merogoh saku celana dan membuka sebuah dompet berwarna hitam berbahan kulit, mengeluarkan dua kartu dan dua tiket, lalu menyerahkannya kepada sang petugas.

"Jadi Anda adalah suami istri?" ujar sang petugas setelah membaca kartu identitas yang membuat Giselle terkejut bukan main.

"Kau benar. Dia adalah istriku yang gila," ucap Mark, sekenanya. Sontak, Giselle pun menatap pemuda itu dengan tatapan yang aneh.

Petugas itu hanya menggeleng pelan seraya memperlihatkan senyum tipis. Ia memilih untuk mengambil dua tiket, menggabungnya dengan tiket penumpang lain. "Semoga perjalanan Anda menyenangkan, Tuan dan Nyonya Gerald," ucap petugas tersebut dengan ramah.

Sesaat setelah sang petugas menghilang dari pandangan, Giselle menepuk bahu Mark ringan. "Suami istri? Gerald?"

Mark tergelak ketika mendapati air wajah Giselle berubah menjadi merah. "Oke, aku akan jelaskan. Jadi, setelah melihatmu naik ke kapal ini dan berpikir bahwa mungkin saja kau tak akan memiliki tiket, aku akhirnya mengambil dua dompet dari penumpang yang terakhir sebelum mereka turun dari kapal. Kau tahu? Sang suami ternyata menyimpan dompetnya dalam tas istri dan aku mengambil tas istrinya. Jadi, aku pun mendapat dua identitas."

"Oh, jadi kau berbakat dalam mencuri? Tapi tunggu, dari mana kau tahu aku tidak memiliki tiket?"

"Giselle, kau hanya siswa Akademi di Evergreen. Dan kau harusnya tahu bahwa usia sepertimu tidak mungkin memiliki tiket."

Mark kembali menambahkan, "Aku melihat identitasnya sebelum duduk di sini bersamamu. Yang dapat aku simpulkan adalah suami istri tersebut sedang liburan ke Pulau Arkala. Tiket itu tidak mencatumkan destinasi dan juga kartu identitas tidak memperlihatkan gambar wajah, sehingga sangat mudah sekali menipu orang-orang di negara ini."

"Suatu ... kebetulan?" Giselle mengangguk beberapa kali.

Mark mengangkat kedua bahunya. "Mungkin."

Giselle dan Mark seketika terdiam. Untuk beberapa saat, mereka tampak seperti pasangan yang sedang mengalami konflik. Mark sibuk memperhatikan orang-orang yang sudah mulai kelelahan, mungkin letih berkeliling Arkala. Sedangkan Giselle hanya kembali melihat laut di luar sana. Sesekali, ia mengagumi keindahan alam tersebut dalam senyap dengan senyum tipis.

"Omong-omong, terima kasih," kata Giselle sedikit tak acuh, seraya melipat tangan di depan dada.

Mendengar hal tersebut, Mark seketika mendekat ke arah Giselle hingga tak ada jarak yang tercipta di antara mereka berdua. Sekali lagi, jantung perempuan itu berdetak sangat cepat, padahal petugas kapal sudah berlalu beberapa menit yang lalu. Namun, mengapa degupan tersebut masih terasa hingga saat ini?

"Untuk?" tanya Mark dengan wajah yang ia majukan sedekat mungkin ke arah sang wanita, seakan menggodanya. Atau memang Mark sedang menggoda perempuan itu?

"Untuk ... ya tentu saja untuk kartu identitas dan tiket. Dan juga," sang puan mengembuskan napasnya kasar, "sudah menyebutku gila!"

Mark tak dapat lagi menahan tawanya yang membuat Giselle pada akhirnya memperlihatkan tatapan masam.

Huft, menyebalkan!

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top