46. Hari Bersejarah [END]

.
.

Last chapter

.
.

Saat matahari telah menghangatkan bumi dan awan putih melengkapi indahnya biru di langit, bersama itu pula senyum cerah Giselle mengembang.

Mengenakan gaun polos berwarna putih menjuntai hingga menyapu lantai, tule tipis berwarna senada yang menutupi wajah sang hawa dengan mahkota berlapiskan tiara milik Putri Tyana, rambut digelung ke atas, dan riasan natural ala kerajaan; tentu saja Giselle terlihat menakjubkan.

Dan di hari besarnya ini, di depan cermin yang menampilkan dirinya dalam balutan gaun milik Daniel, Giselle kembali terngiang pada perkataan desainer itu tentang mahkota. Sekali lagi, sang puan tak dapat menyangka bahwa hari ini akan datang dan ia telah mengenakan mahkota tiara yang menjadi dambaan seluruh wanita.

"Ini ... sempurna, Daniel," puji Giselle seraya memandang dirinya dengan mata yang berbinar.

Daniel yang berdiri di belakang Giselle pun mengangguk pelan. "Terima kasih atas pujian tak terhingga darimu, Yang Mulia."

Tok... tok... tok...

Kepala Hugo pun menyembul dari sela pintu. "Sudah siap?"

Giselle dan seluruh penghuni ruangan pun seketika berbalik pada sang empunya suara. "Ah, apakah Kakak yang akan mengantarku?"

"Jelas saja itu adalah ayah."

Giselle sontak menjatuhkan kedua bahu, lalu tersenyum kembali. "Ah, aku pikir bukan ayah." Mendengar itu, Hugo menggeleng pelan dan menyunggingkan senyum yang tak kalah manisnya.

Segera, Giselle pun melangkah keluar dari kamarnya di Istana West menuju lantai satu untuk bertemu dengan keluarga. Setelah itu, mereka akhirnya melanjutkan perjalanan menuju gedung pernikahan untuk para anggota kerajaan yang berjarak sekitar 20 menit dari Istana West.

Seluruh mobil keluarga Giselle --kecuali sang ayah-- melewati gerbang samping dan berjalan terlebih dahulu. Setelah lebih dari 10 menit, satu tangan Giselle yang memegang tangan Hendrick dengan erat dan dingin itu pun melangkah masuk ke mobil terakhir. Sedangkan satu tangan sang putri terlihat memegang buket bunga. Tampak jelas raut wajah tegang dan gugup, namun sebisa mungkin keduanya menyembunyikan dibalik senyum.

Saat mobil Giselle akhirnya keluar dari gerbang samping Istana West, seluruh warga Atharia, khususnya masyarakat Nethervile nampak berbaris di tepi jalan seraya memegang bendera kecil Atharia dan menggoyangkannya dengan semangat. Benar-benar meriah. Ini sungguh berbeda dari saat ia pertama kali menghadiri acara resmi kerajaan kala itu.

Giselle tak henti-hentinya melambaikan tangan, dibalas sahutan oleh para warga yang antusias melihat sosoknya dari dekat.

Ah ya, sejak peresmian dirinya dua tahun yang lalu sebagai keluarga Stein hingga hari ini, topik pembicaraan tentang Giselle kian mendominasi di masyarakat. Namanya selalu muncul dalam surat kabar bahkan ketika ia tidak memiliki kegiatan, selalu saja ada yang menarik untuk dikulik. Dari topik yang positif hingga negatif sekalipun. Hal ini sempat membuat Pangeran Hayden geram dibuatnya, tetapi Giselle mampu untuk menggantikan perasaan itu dan menghilangkannya dari hati sang adam, meskipun Giselle yakin bahwa hal tersebut hanya bersifat sementara saja.

"Sebentar lagi Ayah benar-benar akan melepasmu?" ucap Hendrick.

Sontak, Giselle pun menoleh pada laki-laki yang penuh kharisma dengan mengenakan setelan lengkap berwarna hitam itu. "Ayah, aku akan sering mengunjungimu."

"Tidak, Sayang. Ayah tidak ingin kau berpikiran bahwa Ayah tak rela melepasmu. Tidak, Ayah tidak bermaksud demikian. Hanya saja, mengapa waktu cepat sekali berlalu? Ayah pikir dua tahun adalah waktu yang lama, ternyata tidak juga," acap Hendery dengan senyum tipis.

Mendengar penuturan Hendrick, Giselle pun meraih satu tangan ayahnya dan berucap, "Di persidangan waktu itu, aku mengatakan bahwa dua tahun adalah lama. Ternyata memang cepat ya. Waktu memang cepat berlalu."

Sambil menepuk-nepuk punggung tangan Giselle yang berada di atas tangannya, Hendrick berkata, "Ya, kau benar. Dan Ayah juga ingin berterima kasih untuk selama ini, Nak."

"Terima kasih juga, Ayah. Untuk semuanya. Dan ... telah mengantar dan menyerahkanku hari ini pada Pangeran Hayden."

"Semoga kau selalu dalam kebahagiaan, Anakku. Ayah dan Ibu akan selalu berdoa untukmu."

Giselle pun mengangguk lemah seraya mengucapkan terima kasih untuk kesekian kalinya. Entah mengapa, perasaan Giselle sedikit lega mendengarkan sang ayah dan berbagi senyum hari itu.

Tanpa terasa, mobil pun telah tiba di gedung tinggi bergaya klasik khas Atharia. Dengan perlahan dan bantuan dari Hendrick, Giselle pun keluar dari mobil dan berjalan pelan menapaki satu per satu anak tangga. Hingga akhirnya ia tiba di pintu utama, Giselle sempat menoleh ke kanan dan kiri, lalu melambaikan tangan pada warga yang sama semangatnya dengan ia saat ini.

Di saat itu pula, seorang pegawai wanita yang memakai gaun selutut dari Istana West nampak memperbaiki belakang gaun Giselle agar terurai indah menapaki karpet merah sepanjang menuju podium di depan sana. Tak hanya itu, masing-masing empat anak perempuan dan laki-laki yang mungkin sekitar 6-7 tahun berdiri di belakang Giselle, dengan posisi berbanjar dua.

Anak perempuan nampak mengenakan pakaian serba putih, memegang sebuket bunga, dan memakai mahkota dari ranting-ranting pohon yang indah. Sedangkan anak laki-laki terlihat mengenakan pakaian militer berwarna hitam dengan berbagai lencana yang tersemat, terlihat seperti Pangeran Hayden mini yang sedang bertugas. Kedelapan anak itu sabar menunggu para pegawai merapikan gaun belakang Giselle.

"Mempelai wanita akan memasuki Gedung Forstin. Kepada hadirin, dimohon untuk berdiri!" Suara pria yang merupakan salah seorang pasukan militer terdengar lantang di depan pintu, sehingga seluruh tamu berjumlah seribu orang yang duduk di dalam ruangan pun berdiri.

Musik kerajaan pun bersenandung lembut dan menerpa telinga seluruh insan yang hadir, mengiringi langkah pelan sang hawa bersama pria yang telah memberinya kehidupan. Seluruh tamu yang duduk di barisan kanan dan kiri nampak memandang takjub pada sosok Giselle. Dan tentu saja, Giselle juga tak dapat menyembunyikan perasaan bahagia yang memenuhi relung hati. Detak jantung perempuan itu seperti sedang berlomba dan rona merah tak dapat lagi tertutupi, meskipun telah mendapatkan riasan di wajah.

Gedung tersebut seolah disulap layaknya sebuah taman Istana West yang penuh dengan bunga-bunga indah kesayangan Giselle. Ketika kaki melangkah menuju bagian kedua dari ruangan yang hanya bersekat dinding tipis, Giselle dapat menemukan replika pepohonan yang tak kalah apik dari sebelumnya. Semua hal tersebut diatur sedemikian rupa atas saran Pangeran Hayden yang menginginkan suasana penggabungan Istana West dan Pulau Arkala.

Setibanya ia di podium, Hendrick pun memberikan tangan kanan Giselle pada Pangeran Hayden yang saat itu terlihat tampan dalam balutan seragam militer berwarna hitam dengan beragam lencana. Sesekali, Pangeran Hayden terlihat melirik Giselle. Meskipun begitu, beberapa kali ia menunduk untuk menyembunyikan kedua sudut bibir yang terangkat itu.

Ketika pemimpin agung mengucapkan janji setia, Pangeran Hayden menghadapkan tubuh pada Giselle dan mengulang perkataan sang pemimpin agung. Begitu pula sebaliknya, Giselle melakukan hal yang sama. Tatapan yang terpaku satu sama lain, hingga tanpa sadar keduanya saling berbagi senyum seakan menular pada seluruh tamu.

Setelah saling memasang cincin, pemimpin agung menyuruh Pangeran Hayden untuk membuka tule tipis yang memperlihatkan wajah Giselle. Dimajukannya tubuh itu, lalu Giselle pun menerima kecupan ringan sang pangeran pada bibirnya yang membuat seluruh tamu bertepuk tangan.

Rangkaian acara di Gedung Forstin pun diakhiri dengan kedua mempelai menyapa masyarakat Atharia di balkon utama, bersama dengan keluarga inti dari Floer dan Stein. Baginda Raja dan Ratu juga terlihat di balkon tersebut. Pemimpin Atharia yang nampak selalu berada di tengah tersebut, kini lebih memilih untuk berdiri di samping dan membiarkan Pangeran Hayden dan Giselle untuk mengambil seluruh atensi yang ada. Sedangkan Pangeran Jace dan Putri Karina tidak menampakkan sosoknya di atas balkon.

Meskipun begitu, tak ada satu pun yang dapat mengganggu hari bahagia ini. Bahkan beberapa kali Pangeran Hayden memberikan ciuman singkat pada Giselle. Heboh, sudah pasti. Seluruh warga dapat merasakan aliran cinta dan kasih pada pasangan tersebut.

Terlihat seperti di Pangeran dan Putri di negeri dongeng.

.


.

Tok... tok... tok...

Giselle yang saat itu baru saja melingkarkan tali pada kimono satin pun bergegas berbalik badan dan membuka pintu.

Sret...

Perempuan tersebut dapat melihat rasa frustasi Pangeran Hayden dengan air wajah yang masam dan surai yang teracak tak beraturan. "Yang Mulia, kau telah mengetuk pintu kamarku sebanyak tiga kali malam ini. Ada apa?" Giselle tersenyum lembut.

Pangeran Hayden mendesah penuh kekecewaan. Namun sedetik kemudian, ia berbicara dengan cepat. "Mengapa Yang Mulia Baginda Raja menyuruh kita melakukan pernikahan hari ini? Bukannya dia mengetahui bahwa sekarang aku tidak boleh tidur bersamamu di kamar ini? Ini malam pertama kita, bukan?"

Giselle seketika membuka pintu dengan lebar dan melirik ke kanan dan kiri secara cepat. Sebenarnya, dengan pengawalan dua orang petugas keamanan Istana South yang berdiri tepat di belakang sang pangeran, telah menyiratkan bahwa mereka benar-benar diawasi dan tidak mungkin melanggar peraturan kerajaan.

Melihat Pangeran Hayden yang telah mengenakan piyama bergaris putih biru muda sambil mengerucutkan bibir di hadapan istrinya, Giselle tak dapat lagi menahan rasa gemas. Ia kemudian mengambil dua tangan Pangeran Hayden lalu berujar, "Terkadang, Yang Mulia, perasaan kacau itu membuat kita tidak dapat berpikir. Aku tahu kau pintar, kau pasti tahu cara untuk mengatasi ini."

"Tapi, aku tidak mungkin meminta langsung pada Baginda Raja." Pangeran Hayden menggeleng.

"Lalu, mulailah berpikir! Tanpa kekerasan dan perlakuan curang, tentunya."

Perkataan Giselle membuat Pangeran Hayden tiba-tiba saja mematung. Ia nampak berpikir dalam hingga tanpa sadar melepaskan genggaman sang hawa, lalu mengangguk pelan dan beranjak meninggalkan kamar Giselle.

Kembali, Giselle pun menutup pintu dan tersenyum lebar.

Rasanya baru beberapa detik ia menutup pintu, suara ketukan demi ketukan yang teratur membuatnya berbalik memutar tubuh dengan cepat.

"Ada apa?" tanya Giselle pada seorang pegawai pria yang diketahui bernama Sean itu.

"Pangeran Hayden menyuruh Anda ke kamarnya, Yang Mulia."

Bergegas, Giselle pun mengikuti langkah pegawai tersebut ke lantai dasar, kamar Pangeran Hayden.

Sebenarnya, keluarga kerajaan telah menganjurkan kamar Pangeran Hayden berada di lantai dua saja, seperti halnya kamar Giselle. Namun, ia menolak, sebab ia ingin kamarnya tak terlalu jauh dengan ruang kerja. Dan juga, ia tak ingin pegawai kantornya lalu-lalang di lantai dua dan mengganggu Giselle. Padahal, sang puan tak pernah merasa demikian. Lagi pula, Istana West berukuran sangat besar, wajar jika banyak pegawai yang terlihat sibuk.

Dengan mengetuk tiga kali, Giselle pun membuka pintu dan menemukan sang pangeran telah duduk di tepi tempat tidur. Pangeran Haydrn mendongak dan memamerkan senyum lebar tatkala puan itu melangkah ke arahnya.

Giselle memosisikan diri tepat di samping Pangeran Hayden. "Nampaknya kau sudah berhasil memecahkan masalahmu, Yang Mulia."

"Tentu saja." Mereka berdua tersenyum kembali.

Peraturan kerajaan memang aneh, batin Giselle.

Pangeran Hayden kemudian mempersilakan Giselle untuk naik ke tempat tidur, sementara dirinya memperbaiki posisi bantal dan mulai menyalakan lampu tidur berwarna kuning keemasan yang berada di setiap sisi tempat tidur. Setelah sang adam membaringkan tubuhnya, Giselle dengan sigap meraih selimut dan menutupi tubuh mereka berdua.

Satu tangan Pangeran Hayden dijadikan bantal, sementara ia memandang langit-langit kamar entah sedang memikirkan apa. Hal ini membuat Giselle memeluk sang pangeran dan meletakkan kepala di dada bidang yang terekspos sempurna itu.

"Yang Mulia?"

"Ehm?" balas sang pangeran.

"Aku tidak pernah berpikir bahwa kau ... memiliki seluruh informasi di persidangan waktu itu. Jujur saja, itu adalah pertama kalinya aku mendengar semuanya. Rasanya aku benar-benar hampir gila."

Pangeran Hayden dengan suara beratnya pun membalas, "Aku sudah mengatakan padamu bahwa aku memiliki banyak informasi yang harus kau dengar, tentu saja selain dari informasi tentang keluarga Putri Karina yang dirangkum oleh Calvin."

"Ah ya, mengenai itu ... aku merasa tak enak padanya."

"Kau lucu sekali. Bukannya seharusnya terbalik?" Pangeran Hayden tergelak kecil mendengar pernyataan sang istri.

Giselle mendengkus pelan. "Apa setelah itu ... ia masih ingin menemuiku? Berteman denganku? Atau sekadar menyapaku, Yang Mulia? Apakah ... karena terlalu kepikiran, ia kehilangan anak untuk kedua kalinya? Ah, aku benar-benar memikirkannya."

Giselle kemudian merasakan tangan sang pangeran membelai lembut puncak kepala yang membuatnya menghela napas. "Sayang, maaf jika aku berkata ini secara mendadak."

Mendengar hal tersebut, Giselle pun menoleh dan menjadikan dagu sebagai tumpuannya. "Ada apa, Yang Mulia?"

"Aku, Pangeran Jace, dan Putri Karina telah berteman sejak kecil. Putri Karina selalu baik denganku, dan menganggapku sebagai kakaknya juga. Karena permasalahan keluarganya yang terungkap di persidangan waktu itu, jujur saja hubungan kami bertiga jadi semakin jauh. Aku merasa bahwa hingga saat ini mungkin Putri Karina tak ingin bertemu dengan kita karena rasa malu, dan aku mengerti akan hal tersebut. Maka dari itu, aku memutuskan bahwa kita akan pindah ke Istana Hambrid di wilayah Floer. Apakah tidak apa-apa, Sayang?"

Sang puan nampak mengatupkan mulut dan lebih memilih untuk membuang tatapan pada dada Pangeran Hayden. Giselle kembali membuang napas, hingga udara panas itu terasa di kulit sang adam.

"Aku tahu kau sudah terlalu nyaman di istana ini. Tapi Istana Hambrid juga tak kalah dari Istana Aglait," ujar Pangeran Hayden sambil membelai wajah Giselle dengan jari telunjuknya. "Istana Hambrid adalah satu-satunya istana di sana, bukan kompleks seperti di sini. Selain itu, istananya juga tepat berada di tengah kota. Kau tahu bahwa wilayah Floer adalah wilayah paling besar di Atharia, bukan?"

Giselle mengangguk dengan cepat.

"Di sana juga sangat ramai, dua kali lebih ramai dari Nethervile. Banyak bangunan tinggi, pusat perbelanjaan, area terbuka dan bermain untuk keluarga, serta memiliki perpustakaan yang lengkap. Aku yakin, kau akan menyukainya. Bagaimana, Sayang?"

Sekali lagi, Giselle terdiam. Namun tak seperti sebelumnya. Kali ini, ia memilih untuk menatap netra gelap Pangeran Hayden yang penuh dengan keyakinan itu.

"Jika kau belum bisa memutuskannya, tak apa. Aku akan menunggu. Jika kau menolak, juga tak masalah bagiku." Sang pangeran kemudian menangkup wajah Giselle, membawanya secara perlahan untuk diberi kecupan di bibir. "Sekarang tidurlah! Besok adalah hari penobatanmu sebagai putri."

"Selain acara penobatan, apakah ada acara lain yang harus kita ikuti?" Giselle membuka topik yang lain, nampaknya ingin menghindari perbincangan tentang kepindahan mereka.

Pangeran Hayden menarik kedua sudut bibir ke atas. "Ya, tentu saja, Sayang. Kau harus membuat acara di istana ini untuk pertama kalinya dan mengundang seluruh bangsawan Atharia, persis seperti yang dilakukan saat peresmianmu di keluarga Stein. Lalu, ada juga acara pemberian penghormatan di makam para raja terdahulu, mengikuti upacara Angkatan Laut di pelabuhan ala militer, menghadiri acara makan malam yang dibuat oleh Baginda Raja terkait menerima anggota kerajaan baru, dan lain sebagainya."

"Mengapa banyak sekali? Lalu, kapan kita akan pergi bulan madu?"

"Setelah semua itu berakhir, Sayang."

Giselle memutar bola matanya sambil tersenyum mengejek. "Terdengar seperti tidak akan pernah berakhir."

Pangeran Hayden terkekeh mendengar pernyataan polos Giselle.

"Sekarang, ayo tidur!" ajak Pangeran Hayden.

"Tunggu, Yang Mulia. Besok acara penobatan akan dimulai jam berapa?"

"Sore, sekitar jam 7."

Giselle tiba-tiba saja menampakkan tersenyum jail dan berkata pelan, "Kalau begitu, kita memiliki banyak waktu, bukan?"

"Ya, tentu saja."

"Dan apakah aku tak dipedulikan malam ini?" tanya Giselle yang membuat kening sang pangeran berkerut dan kedua alis bertautan. Kini, Pangeran Hayden yang nampak mengamati Giselle dengan lekat.

Giselle kembali melanjutkan seraya berbisik di telinga suaminya, "Kau hanya perlu menarik talinya, Yang Mulia."

Gerak mata Giselle yang menunduk pun diikuti oleh netra Pangeran Hayden. Dan sedetik kemudian, sang adam paham maksud istrinya tersebut.

Dengan gerakan perlahan, Pangeran Hayden mengubah posisi di mana kini ia berada di atas tubuh Giselle dan mengunci tubuh kecil itu. Tangan kekar miliknya secara lembut bergerak membelai kulit yang dibalut kimono satin dari dada hingga turun ke perut. Dan akhirnya, jemari sang adam berhenti pada ikatan di bawah sana. Tak perlu waktu lama, Pangeran Hayden menarik ikatan tersebut dan membuang tali itu ke lantai dengan bebasnya. Sesaat kemudian, ia menarik satu sudut bibir ke atas yang membuat wajah Giselle tersipu malu. Ya, tubuh tanpa sehelai benang itu pun memenuhi seluruh pandangan dan pikiran sang pangeran.

"Kau tahu, Sayang? Aku telah menahan keinginanku sejak kau pertama kali masuk ke dalam kamar ini. Sekarang, kau malah menggodaku? Oke, aku tak akan memberikanmu ampun karena telah menggoda seorang pangeran," acap Pangeran Hayden.

Giselle pun mengangkat sedikit bagian atas tubuhnya, lalu berbisik tepat di telinga sang suami. "Oh ya? Really? Maka ... lakukanlah!"

Tanpa menunggu lama, Pangeran Hayden pun memberikan kecupan pada Giselle, membuat suasana kamar menjadi intim dan penuh gairah.

Penyatuan mereka seolah menjadi obat bagi seluruh kerinduan yang ditahan selama ini oleh kedua insan tersebut, mengubahnya menjadi cinta yang manis dan didambakan seluruh manusia di muka bumi.

Semoga kebahagiaan selalu menyertai mereka, selamanya....

.
.

[END]

.
.

Sampai bertemu di epilog 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top