45. Kebahagiaan Giselle
.
.
"Bagaimana perasaanmu setelah tinggal satu bulan di sini?" tanya Jorell malam itu. Ia datang ke taman samping dengan kemeja putih yang bagian lengannya digulung ke atas dan celana bahan berwarna abu-abu. Satu kancing bagian atas terbuka, memperlihatkan sedikit dada bidang itu.
Gerakannya begitu lambat, hingga akhirnya ia duduk di kursi taman tepat di samping tubuh Giselle, sang adik. Taman yang terlampau luas di depan dan belakang rumah.
Kediaman mewah yang terletak di pinggiran Kota Frenia, dikelilingi oleh banyaknya pepohonan tinggi nan rimbun. Terdapat sebuah air mancur berukuran besar di depan rumah dan garasi yang memuat lebih dari seratus mobil. Jangan lupakan kebun belakang yang kaya dengan jenis-jenis buah, termasuk buah kesukaan Giselle, strawberry. Beberapa hari terakhir, ia senang memetik buah tersebut dan memakannya sendirian.
Hendrick benar, kamar Giselle di rumah ini sangat nyaman, meskipun ukurannya sedikit lebih kecil dari miliknya di istana. Sebenarnya, terlalu banyak kamar yang ia bisa pilih dengan sesuka hati jika ia bosan tidur di kamarnya sendiri. Akan tetapi, untuk saat ini, Giselle tetap memilih kamarnya.
Mendengar pertanyaan kakaknya itu, Giselle yang semula merunduk dengan ekspresi datar, kini mengangkat wajah dan memperlihatkan senyum lebar.
"Aku tidak pernah merasa lebih baik dari sebelumnya," jawab puan tersebut sambil menolehkan kepala pada kakaknya.
"Itu berarti tak ada yang perlu dipikirkan, bukan?" ucap Jorell yang membuat Giselle mengangguk. "Lantas, apa yang sekarang aku lihat? Kesedihan? Murung yang tak berujung?"
"Kakak salah memahaminya. Aku ... aku hanya tak bisa berbaring. Aku berpikir tentang--" Giselle membuang tatapannya ke arah depan sambil membuang napas, "tentang Putri Karina."
Tak dinyana, Jorell tergelak kecil. Jelas saja ini membuat Giselle mengerutkan kening. "Rasanya itu tak pantas untuk ditertawakan, Kakak."
"Ah, aku minta maaf, Lady. Tapi menurutku, itu harga yang pantas untuknya. Meskipun kita sama-sama mengetahui bahwa itu bukan salah sang putri. Tapi, kita tak bisa menghindari takdir. Ah, apakah ini disebut takdir? Atau malah karma?" Jorell menggeleng pelan sambil tersenyum masam. "Mari gunakan kata takdir, agar tak terdengar menyedihkan."
Giselle pun mendengkus, meraih tangan Jorell yang sudah mendingin diselimuti oleh udara malam dan menggenggamnya erat. Berkali-kali ia mencari manik Jorell, sayangnya pemuda itu terlalu lihai untuk menyembunyikan perasaannya. "Kakak...."
Jorell memutar kepala pada Giselle. "Kau tidak tahu, Adikku. Kau tidak tahu bagaimana terlukanya ayah dan ibu bahkan setelah puluhan tahun berlalu.
"Mereka tidak perlu tahta, yang mereka butuhkan hanya anak perempuannya kembali. Setiap malam, aku selalu mendengar tangisan ibu. Rasanya sakit, tapi aku hanya bisa terdiam. Terkadang ... Kak Albern akan memelukku dan mengatakan padaku untuk lekas tertidur. Bagaimana aku harus terlelap di saat aku mendengar suara ibu yang terlampau sedih itu? Anak mana yang bisa melakukannya?"
Giselle bergegas mendekatkan tubuhnya pada Jorell, meraih lengan sang pemuda dan memeluknya. Berkali-kali Giselle mengelus bahu sang kakak, lalu meletakkan kepalanya di bahu Jorell. Sang pemuda hanya terdiam, sesekali mengelus pipi Giselle tanpa memandang gadis tersebut.
"Kalau begitu sekarang Kakak dan keluarga tak perlu khawatir. Karena aku sudah pulang."
"Terima kasih karena sudah kembali."
"Yup," ujar Giselle lembut. "Oh ya, aku ingin bertanya pendapat Kakak. Apakah pertanyaan dipersidangan waktu itu terdengar konyol?"
Seketika, Jorell mengernyit. Nampaknya Giselle merasakan tatapan aneh dari sang adam, hingga ia pun mengangkat wajahnya mengikuti gerakan Jorell. "Pertanyaan yang mana? Selain identitasmu, rasanya hampir semua terdengar konyol."
Sang puan menggeleng pelan, tertohok dengan kejujuran Jorell. "Tentang ... Pangeran Jace yang harus memilih antara aku atau Putri Karina."
Awalnya, Jorell terlihat menautkan alis dan memandang Giselle lekat. Namun, sesaat kemudian, ia tertawa kecil yang membuat Giselle mencubit lengan pemuda itu hingga Jorell berulang kali meminta Giselle untuk berhenti. Jujur saja, ia lebih senang melihat Jorell tertawa dibandingkan murung, karena hal itu juga membuat Giselle ikut bersedih.
"Benar.benar.konyol! Tanpa perlu ditanyakan, seluruh orang juga akan tahu jika sang pangeran akan memilih istrinya."
"Right?"
Jorell dan Giselle tertawa bersama, membuat taman depan yang temaram itu nampak ramai oleh suara mereka.
Tak lama kemudian, pemuda itu terdengar membuang napasnya yang kembali menarik atensi Giselle. "Mungkin, itu terdengar sangat konyol untuk kita berdua. Tapi, tidak buat kerajaan."
Giselle sontak saja terdiam, menutup mulutnya rapat-rapat dan lebih mendengarkan Jorell, kakak yang paling dekat dibandingkan dua orang lainnya.
"Keluarga Stein selalu berada di urutan atas dalam daftar bangsawan. Semua orang tahu dan ingin menjadi bagian dari keluarga ini karena kekuatannya dalam publik, uang, dan sebagainya." Jorell menaikkan kedua tangan, melambai di udara, lalu kembali berujar, "Oke, mungkin ini terdengar sombong, tapi ini memang benar terjadi. Sayangnya, para bangsawan terkadang tidak dapat memilih dengan siapa ia akan hidup bersama, termasuk untuk keluarga ini.
"Dalam daftar kerajaan selama berabad-abad, orang-orang yang punya tahta di Istana Aglait itu telah menentukan penerus tiap generasi."
Giselle menaikkan tangan. "Wait ... itu berarti keluarga kerajaan dijodohkan?"
"Benar sekali, Lady. Dan kebetulan untuk Pangeran Jace telah ditentukan bahwa pasangannya berasal dari keluarga kita. Sayangnya, dengan mengetahui jika dirimu menghilang dan tewas saat usiamu masih dua bulan, keluarga Irvin pun naik untuk menggantikan keluarga Stein. Akan tetapi, ini tetap tak mengubah urutan bangsawan, di mana kita selalu berada di urutan pertama.
"Karena ternyata kau masih hidup, keluarga Stein kemudian digeser menuju keluarga Floer yang masih dalam keluarga kerajaan. Dan kau, tentu saja harus menikah dengan keturunan Floer yang tak lain adalah Pangeran Hayden. Begitu pula nantinya anakmu akan menikah dengan keluarga bangsawan yang mana, dan seterusnya. Semua telah tertulis dengan rapi.
"Penerus kerajaan adalah suatu hal yang sangat penting, Giselle. Bayangkan jika kau, sang pemegang seluruh wilayah perbatasan Atharia, menikah dengan Pangeran Jace yang memiliki kendali di dalam Atharia. Like ... seluruh negara ini adalah milik kalian tanpa terkecuali."
Jorell menjelaskan bahwa Hugo, sang kakak pertama memilih untuk melepaskan seluruh kuasanya di beberapa wilayah perbatasan dan memilih fokus pada militer saja. Hal ini ia sampaikan kepada keluarga setahun yang lalu, membuat Hendrick tertegun dan tak percaya, sehingga Albern dan Giselle yang mengemban semuanya kelak. Sayangnya, dari gelagat yang Giselle lihat belakangan, Albern tak tertarik untuk mengawasi perbatasan Atharia seperti sang ayah.
Hingga saat ini, tak ada yang tahu siapa yang akan menjaga perbatasan Atharia, selain Giselle nantinya. Entah itu Albern atau Jorell, setidaknya itu harus berasal dari keluarga Stein.
Sang hawa melepaskan pelukannya di lengan Jorell, memutar tubuh, menaikkan dan melipat satu kakinya hingga Jorell yang melihat itu pun keheranan. Tentu saja demikian. Sebab, menaikkan kaki di atas kursi --walau terlipat sekalipun-- bagi seorang perempuan di hadapan orang lain tetaplah tidak sopan.
"Jadi, jika misalnya aku menolak menikah dengan Pangeran Hayden--"
"Maka tidak ada satu pun orang yang akan menikah denganmu! No-bo-dy." Jorell menyela dengan cepat.
"Nonsense." Kali ini, Giselle yang mengernyit. Tak kalah terkejutnya dengan Jorell beberapa detik yang lalu.
Jorell menaikkan satu sudut bibir. "Tak ada satu orang pun di Atharia yang akan menikah denganmu. Karena ketika kau menolak, itu berarti kesialan...."
"I mean--"
"That's life ... and your destiny, maybe? Dan yang lebih penting dari semua itu, kalian saling mencintai. Kami pun tak perlu khawatir tentangmu, Adikku."
Jorell kemudian menjelaskan banyak hal, termasuk tentang urutan-urutan bangsawan yang menurutnya sangat banyak dan membuat kepalanya pecah jika harus membaca, serta menelaah seluruh garis-garis suksesi kerajaan. Ia pun menyebut jika dirinya beruntung terlahir sebagai pria. Sebab, ia tak perlu masuk ke lingkaran istana. Namun sedetik kemudian ia mengatupkan rahang, karena ia menyadari bahwa perempuan yang sekarang duduk di sampingnya akan menjadi keluarga kerajaan dan itu membuatnya sempat meringis kecil.
Bagaimana tidak, derajat keluarga Stein tentu saja semakin tinggi jika Giselle bersanding dengan Pangeran Hayden. Gelarnya yang semula hanya Lady, kini berubah menjadi Putri. Seluruh mata di Atharia akan menyorot keluarga mereka lebih dalam lagi, mengoreknya hingga tak bersisa sama sekali. Dan Jorell benci akan hal ini.
Jorell juga mengatakan pada Giselle bahwa seluruh informasi di negara Atharia dapat ia temukan dengan mudah dalam perpustakaan Albern yang berada di lantai dua rumah. Semuanya tertata rapi di sana, dan Jorell yakin jika Giselle akan betah berlama-lama di perpustakaan itu.
"Dan ya, nampaknya besok pagi aku akan menyuruh Kepala Tata Krama Kerajaan untuk mengajarimu dengan keras lagi," acap Jorell sambil memandang kedua kaki Giselle yang kini telah terulur di atas paha Jorell dengan bebasnya. Tanpa berdosa sama sekali.
Giselle mengikuti pandangan sang kakak dan tersenyum mengejek. "Maka aku juga akan melaporkan pada ayah bahwa Kakak baru saja bertemu dan minum bersama Nona Tilda."
Jorell membelalak dan membulatkan mulutnya. "Hah? Kau tahu dari mana?"
Nona Tilda adalah anak dari keluarga Viscount Broose, yang tak disukai oleh Hendrick dan Marinna karena tingkah lakunya yang terkesan liar. Beberapa kali perempuan itu tersangkut kasus hukum, akan tetapi bebas hanya dalam waktu semalam. Entah mengapa Jorell sangat menyukainya.
"Kau tahu, Kakak? Telingaku banyak," ujar Giselle sambil menengadahkan kedua tangan, seolah menyuruh Jorell untuk mengedarkan pandangan dan melihat banyaknya pegawai Istana West yang sedang mengamati mereka berdua. Mungkin sekitar sepuluh orang yang berada dalam jarak yang tak terlalu jauh, pun dekat.
"Huft," Jorell mendengkus pasrah, "lalu, kau mau apa?"
Giselle justru menggeleng dan tersenyum jail. "Tidak ada. Aku hanya mengancammu, Kakak."
Seketika, Jorell menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia pun mendekatkan tubuh pada sang hawa dan mengacak rambut Giselle yang tergerai rapi itu. "Bisa-bisanya kau...."
"Percaya padaku, kau hanya betah dengannya selama seminggu ini. Setelah itu kau akan menggantinya dengan perempuan lain."
"Hah? Tentu saja tidak mungkin!" sangkal Jorell.
"Really? Ini sudah ketiga kalinya kau berkata seperti itu padaku. Dan tiga kali pula kau mengganti perempuan, Kakak."
"Oh ... okey." Jorell nampak tak menghiraukannya.
"Dan aku tahu kau sangat sibuk akhir-akhir ini hingga jarang berada di rumah. Tapi untuk besok, kau harus berada di sini! Aku ingin seluruh kakakku hadir di acaraku."
Jorell sontak saja mengerutkan kening dan menoleh cepat pada Giselle. "Ah ya, bagaimana aku lupa jika besok kau akan dikenalkan secara resmi? Ya Tuhan...."
"Ah, Kakak...." Giselle merajuk seperti anak kecil yang membuat Jorell tertawa terbahak-bahak.
"Oke, oke. Besok aku akan tetap berada di rumah, sepanjang hari."
"Terima kasih, Kakak."
"Well--" Jorell memutar tubuhnya pada Elea yang sekarang menjadi pendamping Giselle atas saran Pangeran Hayden, "bisakah kau membuat susu hangat untuk adikku, Elea? Mungkin dengan susu hangat, ia bisa cepat terlelap."
Mendengar itu, Elea yang berdiri tepat di samping pilar depan rumah pun terlonjak. Dengan cepat ia menundukkan kepala, lalu beranjak ke dalam rumah.
"Aku harus pergi dulu," ujar Jorell.
"Kakak mau ke mana?"
"Ke klub Lords. Kau mau ikut? Tapi, tentu saja kau tak akan mau ikut ke tempat berbau rokok dan alkohol yang dipenuhi oleh pria-pria bangsawan pendamba hiburan itu, bukan?"
"Absolutely. Terima kasih sudah mengajakku. Dan tentu saja, aku menolaknya," kata Giselle dengan penuh kesantunan dan kelembutan.
"Okey, aku pergi dulu." Jorell kemudian menghempas kedua kaki Giselle dengan kasar, lalu menunduk dan memberikan adiknya kecupan ringan di kening. "Selamat malam, Adik Gempalku!"
Sedetik kemudian: Giselle memutar mata, mendengkus panjang, dan melipat kedua tangan di dada. Ah, mengesalkan sekali mendengar julukan itu berkali-kali. Akan tetapi, ia juga tak dapat melakukan apapun, sebab Jorell selalu kabur jika Giselle baru saja membungkuk untuk mengambil sepatu dan melemparkan ke kepala pemuda tadi.
Huft...
.
.
Hari ini menjadi hari yang paling ditunggu oleh Giselle. Sejak semalam, ia tak dapat terlelap, membayangkan bahwa sebentar lagi ia akan dikenalkan secara resmi sebagai keluarga Stein dan acara yang ramai. Ya, Giselle juga memikirkan pesta yang meriah. Dan tentu saja, pesta tersebut benar-benar mewah.
Giselle yang diapit oleh ayah dan ibunya pun berjalan lambat ke arah balkon ruang pesta di kediaman Stein. Ketika pintu dibuka, seluruh kepala mendongak dan mata fokus pada perempuan yang mengenakan gaun merah marun dengan payet-payet di bagian dada. Surai bergelombang Giselle digerai, dengan sebagian kecil di bagian kanan-kiri ditarik ke belakang dan dijepit menggunakan jepit rambut berbentuk mawar berwarna senada dengan gaun.
Tak lupa pula anting, kalung, dan cincin yang ia kenakan bertahtakan mutiara merah menambah kesan glamor nan seksi pada puan tersebut.
Seluruh warna merah yang ia kenakan malam ini merupakan saran dari Putri Tyana. Sebab, Giselle telah masuk dalam keluarga Floer dan Istana West --yang memiliki ciri khas warna merah.
Hendrick kemudian membuat pengumuman yang panjang, menjelaskan secara detil tentang Giselle dan keluarga Stein. Terkadang ia akan mengeluarkan beberapa candaan hingga para tamu yang hadir pun ikut tergelak. Ah ya, para tamu. Giselle mengetahui beberapa dari mereka, karena mereka juga pernah hadir di acara Putri Karina. Dan keluarga Floer, termasuk Pangeran Winston dan Putri Tyana pun berada di sela-sela para bangsawan. Tatapan Putri Tyana yang berbinar membuat Giselle secara tak langsung juga menampakkan netra berkilauan akibat air mata yang tertahan.
Putri Tyana, sosok ibu yang luar biasa. Tak kalah dengan Lady Marinna yang sekarang berdiri di samping Giselle. Putri itu selalu peduli pada Giselle sewaktu puan tersebut berada di Istana West. Hampir setiap hari pegawai Istana North datang hanya untuk menanyakan apa yang Giselle inginkan. Padahal, Pangeran Hayden telah menyiapkan segalanya, tapi Putri Tyana tetap kukuh untuk menanyakan hal yang sama.
Perlakuannya mungkin berbeda dari Pangeran Hayden. Akan tetapi, ketulusannya yang luar biasa membuat Giselle merasa tersanjung dan tak berhenti berucap syukur.
Giselle kemudian mengedarkan pandangan ke sebelah kiri dan menemukan ketiga kakaknya berada di sana, begitu pula pada Lady Emilia yang tampak anggun dengan gaun berwarna merah muda pastel. Ia tak dapat berdiri lama, hingga ia terlihat dengan tempat duduk di samping Lord Hugo, sang suami.
Setelah Hendrick menyelesaikan pengumuman, Pangeran Hayden pun naik ke balkon melalui tangga di sebelah kanan. Kembali, Hendrick menyerahkan tangan Giselle pada sang pangeran dan menuruni tangga secara perlahan.
Raut wajah cerah itu adalah hal yang setiap hari Giselle rindukan. Dan senyuman Pangeran Hayden, sudah cukup menjadi alasan untuk mengangkat kedua sudut bibirnya pada seluruh tamu.
Setibanya ia di lantai dasar, seluruh tamu pun menepi dan mengosongkan bagian tengah ruangan. Tak ada alasan untuk Giselle salah pijakan dalam dansa pertamanya dengan sang pangeran tersebut. Giselle telah mempelajari langkah demi langkah selama sebulan lebih, dan ia ingin semuanya berlangsung dengan lancar.
Di tengah tarian bersama Pangeran Hayden dan pandangan seluruh tamu yang tampak memuja pasangan itu, sang pangeran berujar, "Gerakanmu sangat luwes, Sayang. Aku berani bertaruh bahwa kakimu sekarang memiliki banyak lecet."
Giselle tersenyum tipis. "Tentu saja, Yang Mulia. Kau tidak tahu bagaimana aku bekerja keras hanya untukmu hari ini?"
"Ah, jadi hanya untuk hari ini?"
"Eh?"
Tiba-tiba saja, musik pun berhenti dan tarian mereka juga telah usai. Giselle dan Pangeran Hayden pun memisahkan diri, lalu saling menunduk untuk memberikan hormat dan sebagai ucapan terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk menari bersama. Setelah itu, banyak pasangan yang akhirnya memenuhi bagian tengah dan mulai berdansa dengan gerakan yang berbeda dari Pangeran Hayden dan Giselle sebelumnya.
Pangeran Hayden meraih tubuh Giselle, lalu memberikan kecupan singkat di bibir sang hawa. Rona merah nampak jelas di wajah Giselle, membuat Pangeran Hayden tersenyum lebar.
"Aku ingin kita sama-sama bekerja keras untuk seterusnya, Sayang. Bukan hanya hari ini," ucap Pangeran Hayden dengan lembut.
"Baik, Yang Mulia."
"Kita akan menyapa seluruh tamu. Karena sekarang aku adalah calon suamimu paling tampan sedunia--" Giselle memutar matanya mendengar perkataan Pangeran Hayden, "dan sangat populer di kalangan bangsawan, maka aku yang akan memperkenalkanmu pada seluruh tamu yang hadir."
Pangeran Hayden melanjutkan seraya berbisik pada Giselle, "Jika kau merasa letih, katakan padaku! Maka aku akan menggendongmu ala bridal lagi seperti waktu itu."
Mendengar itu, Giselle bergidik ngeri. "Oh, tentu tidak, Yang Mulia. Aku lebih memilih untuk pingsan di tempat, daripada kau membawaku layaknya karung gandum."
Sontak saja, Pangeran Hayden tertawa terbahak-bahak yang membuat Giselle melakukan hal yang sama.
Dan malam itu pun berlalu dengan penuh kebahagiaan.
.
.
Chapter selanjutnya adalah ending dari buku 21 Days.
Sebelumnya, terima kasih banyak telah membaca dan memberikan jejak di work yang jauh dari kesempurnaan ini 😊
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top