44. Tidak Ada Keraguan
.
.
Seorang berbaju putih berjalan menuju meja hakim dan menyerahkan sebuah kertas. Hakim tersebut mengambilnya, lalu diamati tulisan yang tertera yang ternyata berasal dari pihak kerajaan, terlihat pada simbol di depan kertas. Entah siapa yang memberikannya pada hakim.
"Sesuai permintaan pihak kerajaan, Lady Marinna diizinkan untuk berdiri di samping putrinya dan Lady Giselle dapat menoleh ke belakang untuk seterusnya. Maka sidang ini, akan kembali saya lanjutkan!"
Giselle mengembuskan napas, lalu mengangguk pelan. Ia membalikkan tubuhnya secara perlahan, mengamati wajah Lady Marinna yang ternyata sangat mirip dengannya.
"Ibu...."
"Anakku," ucap Lady Marinna yang akhirnya meraih Giselle dalam pelukannya. Untuk sesaat, mereka berbagi derai air mata dan dekapan hangat yang telah dirindukan.
Betapa ini sangat luar biasa!
"Saya tidak akan membacakan tentang peristiwa politik yang terjadi 20 tahun yang lalu di perbatasan Atharia secara terperinci. Namun, Lady Giselle sendiri sudah mendengarnya sepintas dari mulut Lady Marinna beberapa menit yang lalu. Setelah persidangan ini selesai, kami harap Lady Giselle dapat mengetahuinya secara lengkap dari mulut sang ibu, Lady Marinna.
"Lalu, saya akan beralih pada Lady Marinna. Saya sudah membaca dokumen pernyataan Anda di pengadilan 20 tahun yang lalu bahwa Anda tidak mengetahui identitas para pelaku. Apakah hingga hari ini tetap sama?"
Lady Marinna seketika naik ke podium, berdiri di samping Giselle dan memeluk pinggang anaknya. Dengan sabar, ia menjawab, "Benar, Tuan. Tidak ada yang mengetahui mereka, sebab mereka menggunakan pakaian hitam dan juga topeng aneh. Terlebih, kejadian itu berlangsung pada malam hari."
"Baiklah, saya akan menjelaskannya...."
Tangan hakim tersebut menengadah ke arah sebelah kiri yang membuat beberapa pegawai Istana Royals muncul. Tak tanggung-tanggung, mereka membawa beberapa perlengkapan yang berada di atas nampan berwarna putih. Giselle memincingkan mata untuk menatap satu per satu barang, tapi yang ia ketahui hanya kain hitam.
Sang hakim kemudian menjelaskan bahwa semua ini dikumpulkan secara rahasia oleh Kesatuan Divisi VII Hunter di bawah kepemimpinan Calvin, tanpa diketahui oleh Putri Karina dan Pangeran Hayden yang sebelumnya juga diketahui terlibat dalam penyelidikan. Untuk mencari identitas pelaku penghilangan Lady Giselle, Calvin melakukannya bersama dua orang hunter dengan penuh kerahasiaan.
Pakaian berwarna hitam adalah pakaian yang dibuat khusus oleh desainer bernama Trevor. Ia diketahui merupakan desainer keluarga bangsawan di Frenia. Sebelum ia meninggal, Trevor mengatakan bahwa baju itu memang dipesan oleh pelaku yang selama ini identitasnya ditutupi oleh Trevor.
Selain itu, ada pula pernyataan-pernyataan saksi, pembacaan bukti lainnya yang Giselle sendiri sulit untuk mencernanya karena kepala yang mulai berat akibat tangisan beberapa menit yang lalu. Hingga akhirnya, hakim tersebut sampai pada kesimpulan yang membuat seluruh orang terperangah lebar.
"Pelakunya adalah ... beberapa anggota keluarga dari Lord Harlow Irvin, Viscount Harlow, yang juga merupakan ayahanda dari Karina Euginie Irvin, The Duchess of Nethervile," putus hakim tersebut yang untuk kesekian kalinya mengundang sorakan lebih hebat dari para tamu.
Mungkin, inilah skandal terbesar di Atharia yang menjatuhkan nama keluarga bangsawan itu, sekaligus nama keluarga kerajaan sendiri.
"Secara sah telah melakukan tindak kekerasan dan pidana terhadap keluarga Stein, maka gelar kebangsawan keluarga Irvin pun dicabut secara tidak hormat!"
A-apa? Apa yang terjadi? Mengapa semuanya menjadi seperti ini? Giselle membatin.
"Keluarga Irvin tidak akan mendiami kediaman mereka Street York dan kediaman tersebut akan disumbangkan pada badan amal kerajaan. Keluarga Irvin diberikan satu bulan untuk menyiapkan seluruh kepindahan dari rumah mewah tersebut."
Giselle refleks memutar tubuhnya ke arah belakang dan terlonjak tak percaya. Di belakang sana mungkin terdapat lebih dari empat puluh orang dari berbagai keluarga bangsawan dan beberapa di antaranya telah bangkit seraya memperlihatkan netra yang membulat, menatap berulang kali pada Putri Karina dan keluarganya secara bergantian.
Baginda Raja dan Ratu yang duduk paling depan di barisan sebelah kanan, diikuti oleh Pangeran Jace dan Putri Karina di belakangnya, juga tak percaya dengan yang baru saja mereka dengar.
Sang Putri yang diketahui tengah berbadan dua itu berdiri, lalu memutar tubuh ke arah keluarga Irvin --keluarganya-- dengan mata yang berkaca-kaca. Dan tak lama kemudian, air matanya pun mengucur deras.
"A-ayah?" ucap Putri Karina, mengangkat kedua tangan di depan mulut.
"Maafkan Ayah, Putri Karina," ucap Harlow Irvin pada anaknya dengan pandangan yang merunduk. Tak berani menatap putrinya.
Pangeran Jace yang melihat itu kemudian membalikkan tubuh sang istri yang telah menangis sesenggukan, dan kembali mendudukkannya dengan perlahan. Nampaknya, Pangeran Jace tak ingin lagi berurusan dengan mertuanya itu: terlihat dari mata yang memejam, dengkusan pelan, dan sesekali Pangeran Jace menunduk seraya menggeleng pelan.
Ini benar-benar menjatuhkan harga dirinya di depan seluruh keluarga bangsawan. Dan tidak akan lama lagi, seluruh warga di Atharia mengetahui hal ini.
Malu? Jelas saja.
Namun, pernyataan selanjutnya dari hakim tak kalah menghebohkan para keluarga bangsawan.
"Dalam ketentuan suksesi pemegang tahta kerajaan, keturunan keluarga Stein berada dalam daftar paling atas. Sehingga, Lady Giselle yang seharusnya menjadi istri dari Pangeran Jace dan melahirkan keturunan kerajaan. Sedangkan keluarga Irvin berada pada nomor dua. Maka dari itu, dimohon pada Pangeran Jace untuk berdiri dan menyampaikan pendapatnya. Apakah Anda tetap memilih Putri Karina atau Lady Giselle?"
Sang pangeran itu pun melakukan seperti yang disampaikan oleh hakim. Dengan senyum tipis dan tangan yang menggenggam erat tangan Putri Karina yang menangis terduduk, ia memutuskan, "Aku tidak akan melepaskan istriku, Putri Karina. Karena aku tahu, dia yang paling sempurna buatku. Dan seharusnya, ini tak perlu ditanyakan, bukan?" Pangeran Jace tersenyum tipis.
Pernyataan singkat itu entah mengapa membuat Giselle menyunggingkan sudut bibir. Perempuan bersurai gelap tersebut dapat melihat kejujuran dari ucapan Pangeran Jace. Tatapan, senyum, dan genggaman pada Putri Karina, terasa sangat tulus. Ah, Giselle sama sekali tidak merasa iri akan hal itu. Sebab, Pangeran Hayden juga telah memberikannya hal yang sama. Mungkin ... lebih.
"Lagi pula, Lady Giselle berhak untuk mendapatkan yang lebih baik dibandingkan aku. Dan itu pasti ... Pangeran Hayden." Seketika tatapan Giselle beralih pada laki-laki yang duduk di barisan kiri, tepat di belakang kedua orang tua bergelar Floer.
Pangeran Hayden menunduk untuk menyembunyikan senyum. Meskipun begitu, Giselle dapat menangkapnya dan hal tersebut membuat sang hawa melakukannya juga.
"Bagaimana, Lady Giselle?" tanya hakim.
Sontak saja, Giselle mengangkat wajah dan berkata dengan keyakinan kuat, "Aku mencintai Pangeran Hayden. Dan aku tidak ada keraguan dengannya."
Seluruh tamu yang hadir nampak tersenyum disela-sela hujatan dan sindiran halus yang diberikan pada keluarga Putri Karina. Pernyataan cinta Giselle itu seolah membuat mereka melupakan sejenak tentang status keluarga sang putri. Namun, ia tidak tahu lagi setelah persidangan selesai. Entah bagaimana, Giselle menjadi khawatir ketika memikirkan Putri Karina yang selalu bermurah hati padanya.
Jika memutar kembali memori beberapa waktu lalu di kandang kuda, Giselle akhirnya paham tentang 'melewati batas masing-masing' seperti yang dimaksud oleh Putri Karina. Putri Nethervile itu takut jika Giselle meraih tahta sebagai ratu masa depan, dan yang lebih penting adalah mengambil Pangeran Jace. Sayang, ketakutan itu benar-benar menjadi tak berdasar ketika hati Giselle setiap harinya kini dihiasi oleh Pangeran Hayden, begitu pun sebaliknya.
Ah, mengenai pernikahan dengan sang pangeran, mungkin itu akan diundur lebih lama mengingat Giselle mendapatkan hukuman untuk menetap di rumah selama dua tahun. Membayangkannya saja telah membuat Giselle meringis. Jangankan dua tahun, berdiam diri tiga hari di kamar dan Istana West saja telah membuatnya merana bak Rapunzel yang terjebak dalam menara tinggi.
"Baiklah, sekarang semuanya telah menjadi terang dan jelas." Hakim kembali membuka lembaran dari dokumen yang lain.
"Dengan ditolaknya penyatuan keluarga Meridian --keluarga Baginda Raja-- dan keluarga Stein, maka keluarga Stein berhak memiliki ikatan dengan keluarga Floer yang berada di bawah keluarga Meridian dalam daftar kerajaan. Tentu saja, ini kembali lagi menjadi pendapat masing-masing anggota keluarga.
"Dalam masa tahanan rumah selama dua tahun, maka Lady Giselle tidak dapat keluar dari rumah dan menghadiri acara para bangsawan. Kunjungan Pangeran Hayden ke kediaman Stein akan dijadwalkan secara terbatas dan dibicarakan lebih lanjut di luar pertemuan hari ini. Meskipun begitu, Lady Giselle telah terdaftar sebagai bagian dari kerajaan, terkhusus Istana West atas permintaan Pangeran Hayden terhitung semenjak Lady Giselle menginjakkan kaki di istana tersebut.
"Dengan demikian, Lady Giselle akan diberikan fasilitas berupa pengamanan ketat dan pegawai dari Istana West, serta pemenuhan segala kebutuhan selama dua tahun berturut-turut. Seluruh komunikasi tetap berjalan seperti biasa."
Dan Giselle menyetujui segalanya.
.
.
Setelah persidangan berakhir, seluruh tamu pun meninggalkan ruangan termasuk keluarga kerajaan. Kini, di dalam ruangan hanya ada keluarga Stein yang berdiri melingkari Giselle di tengah-tengah bagian depan ruangan, tempat Giselle berdiri sebelumnya.
"Ini adalah Hugo." Hendrick menepuk bahu anak sulungnya itu dengan bangga yang membuat Giselle menundukkan kepala, memberi tanda hormat setinggi-tingginya pada laki-laki bergelar Lord tersebut.
Hugo adalah pria penuh kharisma, memiliki rahang sedikit lancip, sorot mata tajam, dan senyum menawan. Perawakannya tinggi, namun menenangkan. Suara pria itu juga lembut yang membuat Giselle sempat takjub dibuatnya. Tentu saja demikian. Sebab, rata-rata pria yang berada di sekeliling Giselle memiliki suara yang berat dan dalam.
Hendrick kembali melanjutkan menunjuk pemuda bertubuh tinggi dengan rambut hitam berpotongan pendek yang kemudian Giselle kenal sebagai Albern, kakak keduanya. Untuk kesan pertama, Giselle merasa bahwa Albern lebih tenang dari Hugo yang sudah menyapa Giselle dengan menyebut nama perempuan itu berulang kali, mencoba membuat adiknya sedikit kesal. Tapi sayangnya, Giselle hanya mampu tersenyum, sesekali tergelak ketika Marinna mencoba menengahi mereka.
Di samping Albern, ada Jorell yang satu tahun lebih tua dari Giselle, nampak memperlihatkan senyum manis. Tubuhnya sedikit lebih gemuk dibandingkan Hugo dan Albern. Dan satu hal penting, ia senang bergurau juga seperti Hugo.
"Benar-benar duplikat Ibu," seloroh Jorell yang langsung menarik Giselle dalam pelukannya. Setelah jarak tercipta, Jorell mencapit gemas hidung Giselle dengan jari telunjuk dan tengah sehingga sang puan meringis pelan. Sontak saja, Jorell terkekeh.
"Mulai sekarang, aku resmi bukan anak bungsu ayah dan ibu. Jadi, tolong uang jajanku lebih ditingkatkan lagi ya?" pinta Jorell dengan gurauan, membuat Hendrick dan Marinna menatapnya dengan manik membulat.
Tawa mereka seketika terhenti berganti dengan senyum simpul, ketika seorang wanita bergaun biru tua mendekat dengan tangan yang memegang jaket milik Hugo. Perempuan itu terlihat sedang mengandung.
"Ah, ya, dan ini Lady Emilia, istri Hugo," acap Lady Marinna setelah Emilia mengangkat wajah dari hormat pada Giselle.
"Maafkan atas ketidaksempurnaanku dalam memberi hormat, Lady Giselle."
Sontak saja, Giselle melambaikan kedua tangannya di depan dada. "Ah, itu tidak menjadi masalah, Kakak. Aku mengerti."
Pandangan sang hawa masih terpaku pada wanita berambut pirang dan digelung rendah itu. Sosoknya setinggi Giselle, berkulit putih mendekati pucat, manik berwarna biru senada gaun yang ia kenakan, dan bibir tipis ia beri pewarna merah muda yang membuatnya terlihat natural.
"Kau benar-benar cantik, Kakak," puji Giselle pada Emilia. Ia mengambil jaket yang dipegang, lalu menyerahkannya pada Hugo. "Dan tolong ya, Kakak. Ini harus kau pegang sendiri!"
Melihat perlakuan Giselle, Emilia tergelak. Ia mengambil kedua tangan adik iparnya itu seraya berkata, "Kau lebih cantik, Sayang."
"No, no, no, no. Kakak yang lebih cantik."
Jorell berdeham. "Lebih baik kalian memujiku saja. Aku juga tak kalah cantik, bukan?" Jorell memperlihatkan pose sedang memilin rambut yang membuat seluruh anggota keluarga tertawa lepas.
Hendrick kemudian mengambil satu tangan Giselle yang bebas, lalu memperlihatkan senyum tipis. Tanpa ia duga, Hendrick menitikan setetes air mata yang membuat Giselle meraih pria itu dalam pelukannya. "Ah, Ayah jangan menangis...."
"Hidup selama 20 tahun dengan penuh rasa bersalah sempat membuat Ayah kalut. Terima kasih, Nak. Terima kasih sudah kembali pada kami."
Giselle lalu melepaskan pelukannya. "Ayah tak perlu berterima kasih, karena seharusnya aku yang berterima kasih pada Ayah dan Ibu. Aku tahu, kalian tidak bermaksud seperti itu."
Pria itu menyingkirkan helaian rambut yang jatuh di wajah Giselle dengan lembut. "Ayah akan menceritakan semuanya padamu sesampainya kita di rumah. Ayah juga sudah menyediakan kamar tidur yang sangat nyaman, kau pasti akan menyukainya. Meskipun begitu, Ayah sempat bersitegang dengan petugas Floer, mereka nampaknya ingin mendominasi untuk merancang kamarmu. Padahal, Ayah telah memiliki desain yang sangat apik."
"Ah, Ayah ... bagaimana lagi aku harus mengatakannya? Kau buatku terharu."
"Demi putri satu-satunya, Ayah rela melakukan apapun untukmu, Nak."
"Terima kasih, Ayah. Sepertinya aku harus berbagi banyak cerita denganmu."
Hendrick pun tersenyum dan mengangguk lemah. "Setelah ini, Ayah akan menyerahkanmu pada Pangeran Hayden. Entah mengapa, ayah sedikit tak rela. Kita baru saja bertemu, tapi waktu Ayah untuk bersamamu hanya dua tahun?" Pria itu tampak menghela napas.
"Ayah lucu sekali. Dua tahun itu adalah waktu yang panjang," ucap Giselle yang membuat Hendrick mengangguk, lalu memberikan kecupan di kening putrinya.
"Ayo, Sayang. Keluarga Floer sudah menunggu," ajak Marinna pada Giselle dan seluruh keluarga. "Hari ini, Istana North telah mengundang kita untuk makan siang bersama. Setelah itu, kita kembali ke Frenia."
Semua anggota keluarga pun mengangguk.
Giselle berjalan perlahan dan berada paling depan dengan tangan yang digenggam oleh sang ayah. Mereka berdua berjalan berdampingan, diikuti oleh Marinna yang memegang lengan Albern, di belakangnya ada Hugo dan Emilia, sedangkan Jorell berjalan sendirian di belakang antara sepasang suami istri itu dengan kedua tangan yang ia tumpuk dan letakkan di depan tubuh.
Setelah pintu ruangan dibuka, betapa terkejutnya Giselle karena menemukan pasukan keamanan Istana North telah berdiri di sisi kanan-kiri, membuka jalan bagi keluarga Stein.
Pangeran Hayden nampak berdiri di ujung sana dengan posisi tangan yang sama persis seperti Jorell. Di belakang Pangeran Hayden, tampak Pangeran Winston dan Putri Tyana yang tersenyum merekah. Bahkan sekarang mata Putri Tyana berkaca-kaca melihat Giselle yang kini telah berjalan bersama keluarganya. Perasaan haru itu, sulit dijelaskan.
Ketika Hendrick telah sampai di hadapan sang pangeran, ia dan Giselle dengan cepat menundukkan kepala, lalu menyerahkan tangan Giselle untuk digenggam oleh Pangeran Hayden. Dengan raut wajah sarat akan kebahagiaan, sang adam menerima wanitanya dan memutar tubuh hingga keduanya berjalan berdampingan mengikuti langkah kedua orang tua pangeran.
Di saat itu pula, Pangeran Hayden pun meraih pinggang Giselle agar semakin dekat dengan dirinya dan berbisik tepat di telinga sang hawa, "Aku juga mencintaimu, Lady Giselle. Dan tidak ada keraguan untuk itu."
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top