43. Pengungkapan Identitas
.
.
Pintu kendaraan beroda empat dengan bendera Atharia berukuran kecil yang terpasang di bagian depan, akhirnya dibuka oleh pegawai Istana Royals. Memperlihatkan sepasang kaki bersepatu hak berwarna senada dengan gaun putih yang dikenakan oleh sang hawa.
Sesuai dengan protokol keamanan kerajaan terhadap sistem persidangan, di mana para anggota kerajaan dilarang berangkat menuju tempat tujuan dalam satu kendaraan yang sama dengan orang-orang yang akan disidangkan, Pangeran Hayden dan Giselle pun berangkat terpisah. Sang pangeran telah tiba sepuluh menit lebih dahulu dari Giselle yang membuat Puan Hampton sempat dilanda gusar. Tak ubahnya seperti anak perempuan yang tengah tersesat dalam keramaian.
"Lady?" Pegawai yang membukakan pintu mobil menegur Giselle, masih berdiri gamang di depan pintu salah satu bangunan yang bersebelahan dengan Istana Royals.
Giselle berujar cepat, "Maaf...."
Dua pegawai pun keluar dari pintu bangunan bergaya klasik tersebut dan menghampiri Giselle dengan sedikit tergesa-gesa. Memakai pakaian serba putih seperti sang puan, pemuda bertubuh tambun dan rambut pirang bergelombang berucap, "Lady, Anda telah ditunggu oleh seluruh tamu. Apakah Anda telah siap?"
"I-itu ... ah, aku sebenarnya ... takut." Giselle sedikit terbata-bata dengan sesekali menggigit bibir.
"Jika Lady takut, Pangeran Hayden menyarankan kami untuk memberi Lady penutup mata. Akan tetapi, setelah tiba di dalam ruangan, Lady tidak diperkenankan untuk menoleh ke arah hadirin dan hanya fokus pada hakim. Bagaimana, Lady?"
Giselle seketika mengangkat wajah dan mengangguk. "Ya, aku akan melakukannya."
Pemuda tersebut kemudian mengambil penutup mata berwarna hitam dari sebuah nampan berlapis kain merah yang digenggam oleh pegawai lainnya di belakang sana, serupa dengan penutup mata yang ia gunakan saat keluar dari penjara kala itu.
"Silakan dikenakan, Lady."
Tanpa pikir panjang, Giselle meraih penutup mata dan memakainya. Setelah itu, pegawai Istana Royals tersebut menuntun Giselle untuk menapaki satu demi satu anak tangga secara perlahan hingga Giselle dapat merasakan dinginnya ruangan tersebut.
"Berhati-hatilah, Lady, di depan Anda sekarang ada podium. Angkat sedikit kaki Anda agar dapat berdiri di tempat tersebut." Giselle mengikuti kata-kata pemuda tersebut, walaupun tubuhnya hampir limbung.
Setelah tak lagi merasakan tangan hangat yang memapahnya, sebuah suara di depan sana terdengar menyuruh Giselle untuk membuka penutup mata. Sekali lagi, sang puan mengikutinya tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Giselle tersenyum tipis seraya menundukkan kepala ketika melihat tiga orang berpakaian hitam tengah berdiri berhadapan dengan dirinya, dan menunduk dalam. Ini sontak membuat Giselle melakukan hal yang sama.
Ketiga orang yang Giselle perkirakan sebagai hakim itu pun duduk, sedangkan sang hawa tetap berdiri di podium kayu mahal itu. Giselle berani bertaruh bahwa kayu ini adalah yang terbaik.
Giselle yakin bahwa ruang sidang dengan dominasi warna putih ini sangat besar. Pilar-pilar tinggi yang berada di kanan dan kiri ruangan --terlalu dekat dengan dinding, lukisan-lukisan ratusan tahun yang lalu, hingga lampu kristal yang menghiasi dinding telah cukup menampakkan kesan mewah.
Perempuan tersebut memejam sebentar dan menghela napas panjang. Dapat dirasakan debaran jantung yang terlampau kuat yang membuat Giselle berkali-kali menguatkan diri sendiri. Jangan tanyakan bagaimana tangannya yang sudah mendingin sekarang.
Setelah sidang dibuka oleh hakim yang menyapa Baginda Raja dan Ratu yang berada di belakang --hakim duduk di tengah, pria berusia sekitar 60-an tahun-- Giselle kemudian diperkenalkan sesuai data dirinya di Arkala. Sejujurnya, Giselle tak pernah tahu siapa saja yang menghadiri
"Lady Giselle, yang terdaftar sebagai Giselle Hampton. Jika saya bertanya, maka Anda wajib menjawab dengan sebenar-benarnya. Kami di sini akan bertanya secara cepat dan menjelaskan fakta secara langsung agar persidangan tidak akan berlarut-larut."
"Ba-baik Tuan." Giselle memegang kayu di hadapannya dengan kedua tangan.
"Pertanyaan saya, apakah Anda mengetahui foto ini? Silakan jelaskan," hakim memperlihatkan Amanda dan Patra muda, sama dengan gambar yang pernah diperlihatkan oleh Pangeran Jace di saat ia menginjak istana pertama kali.
Giselle kemudian menjawab persis seperti yang dikatakannya dahulu pada Pangeran Jace. Tidak ada yang dikurang dan ditambahi.
"Yang sebenarnya adalah Amanda dan Patra bukanlah (memiliki nama keluarga) Hampton, tetapi Davis. Sesuai yang terdaftar dalam kependudukan di Kota Nethervile. Keduanya merupakan orang-orang yang giat dalam segala bentuk tindak kekerasan yang terjadi di kota ini. Apakah Anda mengetahuinya, Lady?"
"Tidak," jawab Giselle lugas. Jika boleh jujur, mendengar nama kedua orang tuanya dan kenyataan sebenarnya yang disebut, Giselle merasa dadanya mulai sesak. Akan tetapi, puan itu harus kembali menenangkan diri. Sebab, nampaknya ini masih akan berlangsung lama dan banyak pertanyaan.
Jika satu pertanyaan saja telah membuatnya sesak, bagaimana yang lain?
"Mereka tidak pernah memperlihatkan senjata atau aktivitas lainnya yang mengundang kecurigaan Anda selama di rumah?" Hakim itu memincingkan mata seraya memperbaiki letak kacamatanya.
"Tidak sama sekali."
"Lalu, apa yang Anda lakukan di Nethervile di saat usia Anda bahkan belum memenuhi syarat?"
Kali ini, Giselle terdiam. Ia bingung antara harus menjawab seperti yang ia ungkapkan pada Putri Karina dahulu, atau justru menyebut kata kristal hijau yang membuatnya muak tak terkira. Perempuan itu pun menunduk, mengalihkan tatapannya pada sepatu yang ia kenakan.
"Silakan kembali menatap kami dan menjawab dengan jujur, Lady."
Bagaimana ini? batin Giselle.
"Lady Giselle!" panggil seorang hakim yang duduk di sisi kiri dengan nada meninggi. Seketika itu juga, Giselle mengangkat wajah.
Perempuan tersebut berujar pelan, "Ka-karena aku ... aku ... menginginkan kristal hijau."
Sontak, sorai-sorai di belakangnya terdengar, walaupun hanya samar. Akan tetapi, Giselle tahu jika saat ini semua orang sedang menghujatnya. Mungkin sekarang mereka menginginkan Giselle mati saja. Giselle merasa bahwa memang itulah harga yang memang harus ia dapatkan.
"Apakah Anda tahu fungsi kristal hijau itu?"
"Ya. Tapi pada kenyataannya itu berbeda dari yang aku ketahui."
Hakim itu mengernyit. "Tolong jelaskan!"
"Ada beberapa akademi di Arkala, namun Evergreen adalah satu-satunya akademi yang menerima bayi dari berbagai tempat di Atharia, kecuali dari orang tua Arkala itu sendiri. Dengan begitu, Evergreen terkenal sebagai akademi para anak-anak yang terpisah oleh orang tua kandungnya. Tapi, aku beruntung telah dibesarkan oleh Amanda dan Patra dengan latar belakang sebenarnya yang tak kuketahui.
"Hingga pada suatu ketika, Patra tidak lagi kembali ke rumah. Aku dan Amanda, tentu saja mengkhawatirkannya. Sejak saat itu, aku bertekad untuk mengambil kristal hijau, berharap agar terowongan bawah laut itu terbuka dan ayahku dapat kembali ke rumah. Tapi ... setelah mendengarkan perkataan Tuan Calvin, aku menjadi tahu jika kristal hijau bukanlah seperti yang aku harapkan."
Sang hakim berdaham kecil, lalu melanjutkan pertanyaan, "Jadi, Anda bukan bagian dari pembelot?"
"Tidak. Dan saya baru mengetahui terkait itu setelah tertangkap oleh para hunter."
Kembali, sayup-sayup bisikan para hadirin terdengar meriah di belakang sana. Dan ini membuat Giselle mulai tak nyaman.
"Lady Giselle, apakah Anda tahu di mana Patra?"
Pertanyaan itu tiba-tiba saja menarik atensi Giselle sepenuhnya. Sambil memperlihatkan kening yang berkerut, Giselle menggeleng cepat dan berkata, "Tidak."
"Patra Davis telah dieksekusi beberapa minggu yang lalu!"
Oh, tidak. Harusnya Giselle sudah tahu akan hal ini. Namun, mengapa ia masih terkejut bukan kepalang mendengar informasinya?
Giselle merekatkan mulut dan binar mulai terlihat melapisi manik sang hawa. Ia menggigit bibir, berharap bahwa pertahanannya masih belum tertembus. Dan tentu saja, itu masih berdiri kokoh bersama tubuhnya yang entah sampai kapan akan terus seperti ini.
"Pertanyaan selanjutnya. Apakah Anda mengetahui Mark Bowles dan Julian Huddleston?"
"Iya, Tuan."
"Mark bukanlah Bowles, melainkan Wilson. Sedangkan Julian bukan Huddleston, tetapi Brown. Apakah Anda mengetahui ini?"
Sekali lagi, Giselle menggeleng dengan cepat.
Ah, entahlah. Sudah berapa banyak informasi yang ia terima hari ini, tetapi terkait tentang Mark dan Julian, ia seketika tak tertarik. Dan nampaknya, hakim tahu akan hal itu, sehingga sang hakim tak mengungkitnya lagi dengan bertanya tentang, "Apakah Anda mengetahui resiko yang ditanggung jika berangkat ke Nethervile dengan usia yang tidak sesuai ketetapan?"
Giselle menengadahkan kedua tangan seraya mengangkat bahu. "Akan dikembalikan ke Arkala? Dibunuh? Dipenjara? I don't know...." Giselle memperhatikan sang hakim dengan lekat, tampak jelas gurat-gurat keriput di wajah laki-laki tersebut.
"Dalam hal ini, Baginda Raja yang berhak menentukan hukuman. Dan sebagian memang ... dibunuh!"
Hakim mendengkus sebentar, lalu kembali melanjutkan, "Tapi, tidak sedikit pula yang dikembalikan ke Arkala. Dalam kasus Anda, Yang Mulia Baginda Raja telah memutuskan bahwa Lady Giselle akan dikembalikan ke keluarga dan menjadi tahanan rumah selama dua tahun. Suatu kebaikan yang dilimpahkan oleh Yang Mulia Baginda Raja Zavier Meridian.
"Dan juga, seluruh kendali yang telah diberikan oleh Pangeran Hayden pada Lady Giselle terhadap Pulau Arkala, resmi dicabut. Lady Giselle tak memiliki kewenangan apapun di pulau tersebut. Apa ada yang ingin Anda sampaikan, Lady?"
"Tidak ada, Tuan."
"Baiklah."
Hakim tersebut terlihat membolak-balikkan beberapa kertas yang sudah menumpuk di hadapannya. Setelah itu, diteliti satu per satu tulisan tersebut selama beberapa detik yang membuat keadaan kembali hening.
"Saya akan melanjutkan dengan pembacaan identitas Lady Giselle yang asli, sesuai permintaan dan dokumen yang diserahkan oleh pihak dari Yang Mulia Pangeran Hayden."
Hakim kerajaan itu nampak menarik napas sebanyak mungkin, lalu berujar, "Giselle Hampton, bernama asli Giselleia Genevieve Stein yang kini berusia 20 tahun, merupakan keturunan keluarga bangsawan Atharia, Stein. Keluarga ini bertempat tinggal di wilayah Frenia, tepatnya di Kota Burg. Stein merupakan keluarga yang berada dalam daftar puncak garis suksesi kerajaan.
"Seorang anak perempuan dari pasangan Hendrick Cadmael Stein yang bergelar The Marquess of Longbert dan Marinna Victoria Stein, The Marchioness of Longbert. Giselle adalah anak keempat setelah The Lord Hugo Edward Stein, Albern Carver Stein, dan Jorell Kenneth Stein.
"Bukti-bukti telah dikumpulkan dan dinyatakan sah oleh pihak kerajaan dan istana: berasal dari kain putih milik bangsawan Stein yang digunakan oleh Lady Giselle selama tinggal bersama keluarga Davis, gambar-gambar keranjang bayi milik Lady Giselle 20 tahun lalu yang diketahui hanya dipesan dan dibuat khusus oleh seorang desainer keluarga tersebut, serta pengakuan Amanda Davis yang ditorehkan dalam catatan kecil. Seluruh bukti ini ditemukan di rumah keluarga Davis di Pulau Arkala.
"Sesuai dengan perintah Raja Zavier sebelumnya, maka Lady Giselle akan dikembalikan pada keluarga Stein dan menjadi tahanan rumah selama dua tahun."
Penjelasan itu sempat membuat Giselle menelan ludah dengan sulit. Nama-nama yang disebutkan tentulah terasa asing untuknya. Ia tidak tahu bagaimana menyikapi tentang semua ini, selain hanya terdiam dan menjatuhkan tatapannya pada meja tinggi hakim di depan sana. Namun, Giselle bukanlah perempuan yang dapat menyembunyikan perasaannya. Tidak, seluruh orang yang melihatnya pun dapat mengetahui jika Giselle tampak kebingungan dan gugup.
"Ada yang ingin Anda sampaikan, Lady?"
"Sa-saya ... saya hanya ingin tahu--" bibir Giselle tampak bergetar dan pucat pasi, "mengapa ... mereka membuang saya di Arkala? Apakah karena saya ... terlahir sebagai perempuan? Begitukah?"
Nada yang terlampau lirih dan pelan, serta rasa percaya diri yang terjun bebas itu sukses membuat suasana dalam ruangan terasa mengintimidasi dan kembali penuh keheningan.
Hingga akhirnya, samar-samar ia mendengar seorang perempuan menangis sesenggukan di belakang sana. Suara itu menyapa telinga Giselle dan membuat hatinya terasa sakit, seolah ia ikut merasakan apa yang berada dalam dada perempuan tersebut.
"Harap kembali duduk, Lady Marinna!" titah sang hakim.
Mendengar nama itu disebut, Giselle ingin sekali memutar tubuh, melihat sosok Lady Marinna yang merupakan ibu kandungnya. Tapi Giselle kembali mengingat bahwa ia tak diperbolehkan untuk sekadar menoleh. Bukan tanpa alasan pihak pengadilan menyuruh seperti ini, mengingat keputusan dan perkataan para pelaku dapat berubah jika telah mengamati para hadirin. Entah berpengaruh atau tidak.
"Izinkan saya menjelaskannya, Tuan," ucap Lady Marinna dengan nada yang tak kalah bergetarnya. Ada kesunyian yang tercipta selama beberapa detik, hingga akhirnya hakim pun mempersilakan.
"Terima kasih, Tuan...."
Lady Marinna terdengar mengembuskan napas. "Sayang, Lady Giselle, Ibu dan Ayah di sini tidak pernah melakukan itu. Kami ... kami bahkan baru mengetahui jika kau masih hidup beberapa hari terakhir. 20 tahun yang lalu, masih jelas di dalam pikiran Ibu, keranjang bayi milikmu hanyut dan tubuh kecil itu tenggelam di sungai Herm. Hingga beberapa hari kemudian, para warga menemukan bayi tersebut sudah tidak bernyawa dan menyerahkan pada kami dalam keadaan telah menjadi abu setelah dikremasi.
"Tapi entah mengapa Ibu yakin jika itu bukanlah dirimu, Nak." Lady Marinna kembali terisak. "Ibu tahu itu bukan dirimu. Tapi, Ibu juga bingung harus mencarimu ke mana. Hingga akhirnya hari ini terungkap semua jika putri cantik Ibu masih dalam keadaan sehat. Dan Ibu bersyukur atas hal itu. Maafkan Ibu jika kau merasa seperti itu, Sayang. Kami tidak pernah membuangmu ke Arkala, tidak pernah!"
Entah mengapa, para hakim tiba-tiba saja berdiri dan beberapa petugas keamanan mendekat ke arah Giselle yang membuat sang puan mengerutkan kening, tak mengerti dengan situasi yang terjadi.
Hakim berujar lantang pada seseorang di belakang Giselle, "Lady Marinna!"
"Ibu rindu padamu, Sayang. Setiap hari Ibu selalu memikirkanmu."
"Lady Marinna, saya perintahkan Anda untuk kembali ke kursi Anda, sekarang!" perintah hakim untuk kedua kalinya seraya menepuk-nepuk meja.
"Ibu hanya ingin memelukmu ... maafkan Ibu, Nak."
Hingga akhirnya suara sebuah benda seolah sedang berpindah tempat menarik perhatian Giselle. Entah apa yang terjadi, namun sosok itu berhasil membuat sorai-sorai riuh di dalam ruangan persidangan kerajaan.
Tangan puan itu seakan membeku, ketika ada tangan lainnya yang tiba-tiba saja menggenggamnya erat dari arah belakang, berdiri bersamanya. Napas Giselle terasa tercekat saat suara Lady Marinna berbisik lirih dan sangat dekat dengan dirinya, "Ibu di sini, Nak. Ibu tidak pernah pergi darimu. Ibu ... di sini!"
Air mata Giselle seketika luruh. Dengan tatapan yang membeku pada ketiga hakim di depan sana yang telah kembali menempati tempat duduk kebesarannya, ia berucap, "Te-terima kasih ... Ibu."
"Kita selesaikan ini hingga akhir, Sayang. Setelah ini, semuanya pasti akan baik-baik saja. Ibu sangat menyayangimu, Lady Giselle dan kau harus tahu itu, Nak."
Giselle mengangguk mendengar untaian kalimat demi kalimat tersebut. Meskipun ia belum dapat melihat sosok Lady Marinna, tapi sentuhannya memberi kekuatan pada tubuh yang hampir tak mampu berdiri di kaki sendiri itu lagi.
Giselle tak dapat menutupi rasa bahagia dan nyaman yang kini menjalar di sekujur tubuh. Perempuan yang setiap hari ia rindukan, kini hanya berjarak beberapa sentimeter di dekatnya dan itu membuat Giselle sangat lega, pun tak terduga. Ah, ternyata ini tidaklah buruk.
"Iya ... Ibu."
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top