42. Persiapan di Istana West
.
.
Satu minggu kemudian
Tiga hari setelah menghabiskan waktu bersama Pangeran Hayden dan merawatnya dengan telaten, Giselle kembali ke Pulau Arkala menggunakan helikopter. Sebelumnya, sang pangeran menyuruhnya untuk tinggal di Istana West hingga persidangan dilaksanakan. Akan tetapi, Giselle menolak. Dan tentu saja, setibanya ia di Pulau Arkala kala itu, ia langsung bergegas membantu warga.
Namun, sesuai dengan undangan yang diberikan oleh Calvin, hari ini ia dijadwalkan menghadiri persidangan di Istana Aglait. Entah apa yang terjadi di sana, Giselle tak memiliki bayangan akan hal itu.
Kembali, perempuan tersebut mengendarai helikopter menuju Kota Nethervile. Setelah itu, sang puan diarahkan menuju Istana West terlebih dahulu untuk mengenakan busana yang telah disesuaikan dalam persidangan. Tidak seperti saat ini, mengenakan gaun lusuh kesayangannya.
Sesaat setelah tiba di pintu utama Istana West, pegawai pun membukakan pintu mobil. Seketika, mata Giselle membelalak. Ia tak menyangka jika para petugas istana telah berdiri berbaris dan menunduk penuh hormat. Salah seorang pegawai yang sangat Giselle kenal --Laura, terlihat maju di depan sang hawa seraya menyerahkan sebuket bunga.
"Selamat datang kembali, Lady," acapnya menyambut Giselle.
Mendengar itu, Giselle pun spontan memeluk Laura yang membuat gadis dalam pelukannya mengalami keterkejutan yang luar biasa.
"Terima kasih...."
"Ah, sa-sama ... sama-sama, Lady." Laura membalas pelukan tersebut.
Setelah sang Lady membuat jarak, Giselle berujar, "Tenang saja, aku akan pastikan bahwa tidak ada yang memecatmu setelah aku peluk." Giselle dan Laura tersenyum singkat.
"Lalu, aku dapat antrian keberapa untuk memelukmu?" Suara dari arah belakang Laura membuat Giselle dan pegawai dapur itu seketika bergeming. "Katakan, Lady!"
Laura pun memutar tubuh dan menunduk pada sosok berkuasa tersebut. "Ma-maaf, Yang Mulia."
Giselle terkekeh pelan. Ia kemudian menepuk bahu Laura pelan dan berkata pelan, "It's ok, Laura. Sekarang, kembalilah!"
"Baik, Yang Mulia."
Setelah tubuh pegawai itu lenyap dari hadapan, sang pangeran pun mengayunkan langkah dan berhenti tepat di depan Giselle yang membuat perempuan tersebut menundukkan kepala dan berucap, "Yang Mulia."
Giselle dapat melihat raut wajah cerah dari pangeran itu sesaat setelah ia mengangkat wajah. "Selamat datang, Sayang."
"Ah, terima kasih, Yang Mulia."
Pangeran Hayden kembali melangkah hingga tak ada jarak antara dirinya dan sang hawa. Melihat itu, Giselle menyunggikan senyum manis seraya menatap manik lelaki di hadapannya dengan lekat. Ketika Pangeran Hayden meraih dan membelai perlahan lengan Giselle, perempuan itu melakukan hal yang sama.
Terhanyut oleh suasana pagi tanpa awan, sentuhan yang selalu dirindukan, dan tatapan mendamba nan bergairah, membuat Pangeran Hayden dan Giselle berbagi kasih dengan memagutkan bibir mereka, lama dan dalam.
Sontak saja, seluruh pegawai memutar tubuh dengan membelakangi pasangan tersebut.
Tak lama kemudian, Giselle melepaskan Pangeran Hayden dengan mendorong perlahan lengan sang adam. "Kau sangat tidak tahu tempat, Yang Mulia," bisik Giselle sambil tersenyum jail.
"Bagaimana mungkin aku tidak tahu tempat jika taman depan ini juga milikku."
Giselle seketika mengerutkan kening. "Ah, ternyata kau angkuh juga."
Pangeran Hayden tergelak kecil. "Begitukah, Lady?"
"Menurutmu?"
"Ah, katakanlah demikian."
Sekali lagi, keduanya berbagi tawa. Pangeran Hayden kemudian melingkarkan tangan di pinggang belakang Giselle dan membawanya ke dalam istana. Rasanya, Pangeran Hayden memang senang berbicara pada orang-orang yang berhasil meraih hatinya.
Sepanjang melewati koridor menuju kamar Giselle, sang pangeran dengan semangat bercerita tentang kesehariannya, termasuk pertemuan-pertemuan dengan para bangsawan dalam rangka membahas pembangunan Pulau Arkala dan bantuan-bantuan yang sudah dialirkan. Giselle tahu bahwa perkembangan Arkala menakjubkan dalam waktu lebih dari seminggu ini. Perkataan Pangeran Hayden beberapa waktu lalu mungkin benar adanya, Giselle tak perlu menunggu hingga satu tahun terkait pembangunan pulau tersebut.
Sang pangeran juga berbicara tentang eksekusi terhadap para pembelot yang sering membuat keonaran --setelah ditelurusi bahwa jumlah mereka lebih dari 350 orang yang tersebar di seluruh Atharia.
Tapi tidak, Yang Mulia tidak mengatakan apapun terkait eksekusi Mark yang membuat Giselle seketika lega. Sebab, perempuan itu telah menganggap pemuda tersebut telah mati. Atau mungkin memang sudah terjadi padanya.
Saat kamar sang Lady dibuka, di dalam sana telah terlihat desainer Daniel dan beberapa pegawai yang membantunya. Ada pula lima orang pegawai wanita Istana West yang akan menyiapkan seluruh kebutuhan Giselle.
"Hari ini, Lady akan mengenakan gaun serba putih yang telah dianjurkan oleh Baginda Ratu atas peraturan persidangan, dari beberapa desain milik saya. Untuk itu, silakan memilih gaun yang Anda akan gunakan," acap Daniel ketika Giselle telah berdiri di depan cermin dengan menengadah pada beberapa gaun yang sudah tergantung di samping kirinya.
Dengan langkah cepat, Giselle memperhatikan satu per satu pakaian tersebut dengan antusias. Benar-benar layaknya sedang berbelanja pakaian di pusat perbelanjaan.
"Seperti biasa, gaun milikmu selalu terbaik Daniel," puji Giselle sambil mengamati satu per satu gaun sepanjang lutut itu.
"Terima kasih atas pujiannya, Lady."
Giselle lalu memutar tubuh pada Pangeran Hayden. "Yang Mulia suka yang mana?"
"Kau mempercayai pilihanku?"
"Tentu saja. Pilihanmu selama ini selalu yang terbaik dan aku senang memakainya."
Pangeran Hayden pun melangkah dan berdiri tepat di samping Giselle. Tangannya tampak sibuk mengamati gaun dari atas ke bawah, mengambil dan menyocokkannya pada Giselle. Sesekali ia menggeleng, namun sedetik kemudian ia akan tersenyum ketika mengambil busana yang berbeda.
"Bagaimana dengan ini?" Pangeran Hayden menyerahkan sebuah gaun tanpa payet, "lagi pula ini persidangan, jadi lebih baik jika polos saja, bukan?"
"Benar, Yang Mulia."
"Kalau begitu bersiaplah! Aku akan menunggumu di meja makan untuk sarapan," ujar Pangeran Hayden, lalu maju selangkah dan memberikan kecupan di kening Giselle. Setelah mengamati wajah sang hawa yang telah memerah, sang pangeran pun melangkahkan kakinya keluar dari kamar dengan senyum merekah.
"Apakah tubuhnya sudah tidak sakit lagi?" gumam Giselle yang mengamati punggung lebar itu menjauh darinya hingga hilang dari pandangan.
"Sepertinya pangeran lebih baik dari sebelumnya, Lady," sela Daniel yang tiba-tiba saja berdiri di samping Giselle, membuat puan itu terlonjak kaget.
"Me-memangnya sebelumnya kenapa?" Giselle membuang tatapan kembali pada gaun-gaun di hadapannya.
Daniel berbisik, "Dulu, Pangeran Hayden nampak seperti pengelana yang terlihat menyedihkan akibat ditinggal oleh Anda, Lady. Ia tak rajin bercukur, tubuhnya pun kurus layaknya rangka berjalan. Yang lebih penting, dia selalu marah. Huft, saya pernah mendapatkan kemarahannya hanya karena saya salah memilihkannya dasi. Padahal, warna itu adalah warna yang sebelumnya ditunjuk olehnya langsung. Ah, dia terlihat hanya mencari pelampiasan saja."
"I'm glad you're back, My Lady."
Ucapan Daniel itu membuat gerak tangan Giselle seketike berhenti. Tubuhnya pun ia hadapkan pada laki-laki berambut cepak dengan beberapa riasan di wajahnya itu. Sambil memamerkan senyum manisnya, Giselle berujar, "Aku tidak akan lama di sini, Daniel. Aku harus kembali ke Arkala secepat mungkin."
"Ahhh," Daniel mendesah kecewa, "tapi Lady tetap akan menikah dengan pangeran, bukan? Katakan pada saya bahwa itu akan terjadi."
Giselle mengangguk mantap. "Ya, tapi tidak dalam waktu dekat."
"Well, saya akan mempersiapkan gaun yang paling indah untuk Yang Mulia Giselle." Daniel meraih bahu sang hawa dan membawa tubuh kecil itu untuk berdiri lagi di depan cermin. "Anda tahu, Lady? Ketika keluarga kerajaan akan melangsungkan perhelatan akbar, seluruh desainer di Atharia akan berlomba-lomba membuat desain pakaian sebaik mungkin hingga akan dipilih oleh Baginda Ratu."
"Ah, benarkah seperti itu?" tanya Giselle, mengernyit. Kepalanya sedikit ia putar ke belakang untuk mendengar penuturan Daniel. Laki-laki di belakang sana telah memberi isyarat agar Giselle menanggalkan pakaiannya, sementara ia memutar tubuh untuk beberapa saat hingga Giselle telah memakai gaun pilihan sang pangeran.
"Iya, Lady. Meskipun saat ini saya bekerja untuk Pangeran Hayden, peluang terpilih pun tetap saja sama kecilnya. Tak ada bedanya dengan desainer lain. Maka dari itu, saya berusaha semaksimal mungkin agar desain saya terpilih. Karena jika saya terpilih, maka butik bisa terkenal dan saya dapat mempekerjakan banyak karyawan. Bukankah itu hal yang baik, Lady?"
"Tentu saja, Daniel. Kau memiliki banyak waktu untuk itu."
"Ah, benarkah? Lalu, kapan Anda melangsungkan pernikahan, Lady?"
"Ehm..." Giselle tampak berpikir sebentar, sedangkan Daniel masih sibuk dengan pita di gaun bagian belakang Giselle. "Sepertinya tahun depan."
Daniel sontak tersenyum lebar. "Baiklah, itu waktu yang cukup."
.
.
Suara alat makan beradu terdengar nyaring di telinga Giselle. Ia yang duduk di depan Pangeran Hayden --tepat di posisi para pendamping pemimpin istana-- pun tak hentinya memamerkan senyum ketika sang pangeran sesekali melirik padanya, malu. Pangeran Hayden terkadang terlihat menggemaskan, pun menyebalkan. Namun, Giselle tetap menyukainya.
"Apa luka Yang Mulia sudah mengering? Bagaimana dengan jahitannya?" tanya Giselle sebelum memasukkan potongan roti lapis ke mulutnya.
"Ah, aku akan membukanya esok hari. Aku pikir memang lukanya telah mengering. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, Lady."
Giselle yang mendengar itu pun hanya menganggut saja, sebelum akhirnya tersentak ketika tangan Pangeran Hayden meraih tangannya.
"Apapun hasil persidangan nanti, aku harap ... kau menyukainya. Kau menerimanya," acap sang pangeran lembut.
"Sekali lagi, terima kasih atas usahamu ini, Yang Mulia. Aku sangat bersyukur kau melakukannya untukku."
"Ya, apapun aku akan lakukan untukmu. Bahkan ketika kau memintaku meraih bintang sekalipun, aku akan mengambilkannya."
Sang hawa seketika mengernyit. "Sepertinya aku pernah mendengar kata-kata itu. Kau membaca buku apa?"
"Hei, kau meragukan ucapan-ucapan romantis dariku?"
Sontak saja Giselle terkekeh seraya mengangkat tangan menutup mulutnya. Tawa yang menguar benar-benar lepas membuat Pangeran Hayden mengerutkan kening. "Oh My God, My Prince, kau sudah berubah sekarang? Tidak, tidak, jangan berucap seperti itu lagi. Rasanya perutku bergetar."
Raut sang pangeran mendadak berubah masam dan tertunduk lesu. Melihat itu, Giselle seketika tak enak hati. Ia berdaham, lalu berujar lirih, "Yang Mulia ... aku minta maaf. Aku tidak bermaksud demikian. Benar-benar sekadar gurauan belaka. Maafkan aku, Yang Mulia."
"Tak apa, Lady."
Giselle menundukkan kepala sejenak, lalu ia mengambil kedua tangan Pangeran Hayden dan mencoba meraih manik sang adam agar kembali menatapnya. Meskipun pada akhirnya pandangan mereka bertemu setelah Giselle bersusah payah.
Ah, seharusnya Giselle tak berkata demikian. Sebab, sang pangeran memang sangat jarang berucap romantis, mungkin lebih ke arah sulit. Akan tetapi, Giselle juga tak dapat berbohong jika kalimat itu sangat menggelikan ketika ia dengar.
"Eh? Aku hanya bergurau, Sayang. Memangnya aku mudah merajuk hanya karena kata-kata seperti itu?" Pangeran Hayden menenangkan sambil tertawa pelan dan singkat.
"Benarkah itu, Yang Mulia? Aku benar-benar tidak enak sekarang. Maafkan aku...."
Melihat wajah Giselle yang penuh keterkejutan, sang pangeran pun membelai pipi Giselle yang dibalas oleh sang puan dengan meletakkan tangannya di atas tangan Pangeran Hayden.
Giselle menatap sang adam dengan penuh cinta.
"I love thee freely--"
"As men strive for right." Keturunan Floer itu menyela cepat. Sontak saja, mata Giselle membulat sempurna. Ah, ia tak pernah tahu jika Pangeran Hayden mengetahui puisi tersebut. Seingat Giselle, ia tak pernah melihat putra keturunan Floer tersebut membaca buku puisi atau semacamnya.
Namun, tak lama kemudian senyum Giselle seketika mengembang yang membuat Pangeran Hayden melakukan hal yang sama. "Lanjutkanlah, Sayang," pinta sang hawa.
"I love thee purely, as they turn from praise.
I love thee with the passion put to use
In my old griefs, and with my childhood's faith.
I love thee with a love I seemed to lose
With my lost saints. I love thee with the breath,
Smiles, tears, of all my life; and, if God choose,
I shall but love thee better after death."
"Ternyata kau menyukai puisi Elizabeth," ungkap Pangeran Hayden seraya mengulum senyum setelah ia menyelesaikan kalimat demi kalimat puisi karangan Elizabeth Barret Browning tersebut.
"Aku menyukai seluruh puisi, Yang Mulia."
"Oh ya? Selain puisi karangan Elizabeth, kau suka yang apa lagi?"
"Banyak, terkhusus karangan Allan Poe."
"Ahhh aku tahu, aku tahu." Pangeran Hayden mengangguk pelan. "Jika seperti itu, kau dapat membuatkanku puisi juga, bukan?"
Giselle dengan cepat menggelengkan kepala, bersama dengan lambaian tangan ringan. "Tidak, Yang Mulia. Aku hanya menyukai puisi, tapi tak dapat merangkai kata-kata sebaik itu."
Sesaat setelah Giselle menghentikan ucapannya, seorang pegawai pun mendekat ke arah Pangeran Hayden dan membisikkan sesuatu padanya. Atensi sang pangeran pun tersita penuh yang membuat Giselle menatapnya penuh tanya.
"Ah, Lady, nampaknya Hakim Agung Istana telah tiba. Kita harus bergegas ke sana, Sayang."
"Oh seperti itu ... baiklah, Yang Mulia."
"Sayang sekali, padahal aku masih ingin berbicara banyak padamu." Pangeran Hayden menekuk sudut bibir. "Jika persidangan telah usai, kau pasti akan langsung berangkat ke Arkala."
Giselle mencoba menenangkan sang pangeran dengan berujar lembut, "Yang Mulia, kau 'kan sudah terbiasa mengirimkanku surat, lakukanlah seperti itu. Tapi, jangan setiap hari juga!" Giselle terkekeh pelan, "aku minta dikirimkan setiap minggu. Bagaimana?"
"Oke, aku setuju. Ada lagi permintaanmu, Sayang?"
"Kau ... akan menemaniku di persidangan, bukan?"
Pangeran Hayden mengangguk. "Aku dan keluarga Floer akan berada di sana, Lady, untuk mendukungmu. Selalu seperti itu...."
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top