41. Kondisi Sang Pangeran

.
.

Giselle, Russell, Ann, dan Calvin tampak tengah berada di depan sebuah ruangan khusus untuk anggota kerajaan di Rumah Sakit Fosd, Kota Nethervile. Russell dan Ann duduk di kursi panjang, Calvin berdiri menyandarkan tubuh di dinding dengan kedua tangan terlipat, dan Giselle yang juga menyandar dinding seraya menggigit kuku-kukunya, sesuatu yang sangat jarang ia lakukan.

Mereka berempat telah menunggu lebih dari satu jam. Namun, tak ada tanda-tanda dokter akan menemui mereka. Untuk sejenak, Giselle dilanda rasa tak nyaman. Sesekali ia akan duduk seraya menyugar rambutnya. Namun tak lama kemudian, ia akan bangkit sambil menyatukan kedua tangan di depan dada dan mondar-mandir di depan ruangan. Giselle juga akan melirik ke dalan ruangan melalui pintu yang buram. Sayang sekali, ia tak melihat apapun di dalam sana selain koridor yang sepi.

Giselle mendesah pasrah dalam duduknya. "Bagaimana ini?"

Mendengar alunan suara tersebut, Calvin bergerak menuju Giselle dan berjongkok menopang satu kaki di depan sang hawa. "Yang Mulia akan baik-baik saja, Lady," ucapnya menenangkan.

"Ta-tapi ... mengapa dokter tidak mengatakan apapun pada kita? Berapa lama lagi kita harus menunggu?" tanya Giselle tak sabaran. Ia nampak memainkan jemari yang telah mendingin di atas paha. "Aku takut terjadi sesuatu padanya, Tuan."

Calvin menunduk dan menganggut. "Kami pun merasakan yang sama. Akan tetapi, lebih baik kita menyerahkan semuanya pada takdir, bukan?"

Perkataan Calvin membuat Giselle mendengkus dan sedetik kemudian ia kepalanya ia tundukkan, menjatuhkan air mata seraya menggoyangkan tubuh ke depan dan belakang secara perlahan.

Rasanya sesak sekali layaknya berada di tempat sempit, padahal rumah sakit ini sangat besar. Koridor yang mereka tempati saat ini pun tidak ramai, bahkan hanya ada mereka berempat mengingat lantai di rumah sakit ini memang khusus.

Detik berganti menit, lalu berubah menjadi jam. Di luar sana, tepatnya di tengah Kota Nethervile, terlihat lampu-lampu bangunan dan kendaraan telah menyala, menandakan malam telah menyelimut kota indah tersebut.

Giselle menatap nanar ke luar jendela seraya melipat kedua tangan dengan ekspresi kosong. Entah sudah berapa lama ia menunggu dokter, hingga sekarang ketiga orang Tim Royals pun sudah tak terlihat batang hidungnya. Tapi Giselle tak bergerak, ia takut jika sewaktu-waktu dokter keluar dari ruangan atau Pangeran Hayden tersadar dari tidurnya dan Giselle tak berada di tempat.

Perempuan itu hanya ingin mengetahui keadaan sang pangeran sekarang!

Calvin, Ann, dan Russell bergantian membawakan Giselle makanan. Namun, tak ada satu pun yang ia lahap. Jangankan untuk memasukkannya dalam perut, menoleh dan menggenggamnya pun enggan dilakukan oleh sang hawa. Ann berulang kali menyuruhnya, bahkan memberitahu seperti sedang membujuk anak kecil yang sedang rewel karena tak ingin makan, tapi Giselle bergeming. Setiap detik, pikirannya hanya diisi oleh memori tentang sang pangeran, tentang perlakuan manisnya pada Giselle selama ia berada di sisi laki-laki itu.

Dan pada hari ini, Giselle telah memutuskan suatu hal dan berharap semuanya seperti yang diharapkan.

.

.

Giselle tak menyangka jika waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam. Tidak ada aktivitas berarti di luar sana, mengingat mereka juga sedang berduka terkait bencana di Arkala, sehingga saat ini hanya ada beberapa pengendara mobil dan orang berlalu-lalang.

Sret...

Sebuah suara pintu terbuka di ujung koridor membuat Giselle refleks membalikkan tubuh, menatap dua orang yang keluar dari ruangan mengenakan pakaian putih. Bergegas, perempuan tersebut menghampirinya.

"Ba-bagaimana keadaan Pangeran Hayden?" tanya Giselle, panik.

Kedua ahli medis itu tersenyum tipis, lalu menunduk dalam. Salah satu di antaranya yang merupakan wanita berusia sekitar 47-an pun berkata, "Sang pangeran dalam kondisi yang sangat baik dan juga telah sadar, Lady. Dia sedang menunggu Anda."

Seketika, senyum Giselle merekah saat itu juga. Dada dan bahunya jatuh akibat perasaan lega yang menyerang seluruh tubuh. "Terima kasih, Dokter."

"Sama-sama, Lady. Mari...."

Giselle kemudian membalas dengan tundukan kepala ringan, lalu mengayunkan langkah menuju kamar Pangeran Hayden. Setelah ia yakin telah menutup pintu, Giselle pun duduk di sebelah tempat tidur pangeran. Ah, Giselle berpikir bahwa tempat duduk itu mungkin saja diletakkan oleh para petugas yang jumlahnya lebih dari sepuluh orang.

Sang hawa tersenyum singkat, ingin meraih tangan sang pangeran yang telah terulur ke arah wajahnya. Sayang, Giselle tak boleh menyentuhnya di depan seluruh pegawai. Dan nampaknya sang pangeran menyadari hal ini dari posisi baringnya.

"Kalian semua bisa keluar!" tukas Pangeran Hayden yang membuat seluruh petugas keamanan dalam sekejap telah meninggalkan ruangan.

Sesaat setelah ruangan hanya diisi oleh Giselle dan Pangeran Hayden, sang puan dengan antusias menarik kursinya semakin dekat dengan tubuh pangeran, hingga ia dapat merasakan hembusan napas panas dari laki-laki tersebut.

Giselle meraih lembut tangan Pangeran Hayden dan meletakkan di pipinya, seraya membelai pelan. Air mata mulai terlihat di pelupuk yang membuat sang adam tersenyum manis di wajah yang telah pucat pasi.

"Apa kabar Kesayangan Pangeran Hayden?"

Mendengar hal itu, Giselle tergelak singkat. Satu tangan yang bebas kemudian bergerak menuju kepala sang pangeran. Dibelainya kepala itu dari kening sampai ke tengah, hingga sang adam memejam beberapa kali.

Giselle menggeleng lemah seraya menggigit bibir bawah. Sang hawa mengembuskan napas dan menatap netra lawan bicaranya dengan lekat, lalu berucap, "Dunia luar jahat padaku. Tidak semua ... hanya saja ... yang jahat lebih banyak." Alunan kalimat demi kalimat terdengar bergetar, membuat sang pangeran menatap Giselle sendu.

"Lady ... maafkan aku."

"Kenapa Yang Mulia tega padaku?"

"Aku tidak dapat melakukan apapun, ketika dia datang dan mengatakan bahwa ia memiliki bukti yang jauh lebih kuat. A-aku--" Pangeran Hayden mendesah, "ya, pihak kerajaan memutuskan untuk melepasmu. Dan aku benci mengakuinya."

Sang adam nampak kembali menarik kedua sudut bibir ke atas. "Tapi sebenarnya, aku tak pernah melepasmu, Sayang. Aku tidak bisa. Aku tidak mampu."

Puan itu menatap sang adam lekat untuk beberapa detik, lalu kembali terkekeh di sela-sela tangis setelah mendengar pernyataan tersebut dan rona merah di pipi. "Ah, aku tahu itu. Kemana pun aku melangkah, sebutan 'Lady' dan 'Yang Mulia' selalu tersemat sejak keluar dari istana. Belum lagi, kau juga tidak merilis apapun tentang diriku di surat kabar. Padahal, kau bisa saja mengatakan pada wartawan bahwa kita tak memiliki hubungan."

"Tapi itu tak aku lakukan, bukan? Karena setiap kali aku mencoba untuk mengikhlaskanmu, rasanya sesak--"

"Dan itulah yang juga aku rasakan, Yang Mulia." Giselle menyela dengan cepat.

Ruangan dengan desain persis seperti kamar-kamar di Istana Aglait, yang besarnya dapat memuat sekitar tiga puluh orang ini, seketika terasa menyempit seperti jarak antara Giselle dan Pangeran Hayden. Meskipun saat ini keduanya hening, namun mereka saling menatap satu sama lain dengan intens. Tidak ada yang memungkiri jika keduanya terlihat sedang diselimuti oleh aura berwarna merah muda yang khas, memancarkan rasa cinta kasih yang mungkin pernah lenyap sementara waktu.

Kepala Giselle bergerak, bibirnya menyentuh bibir pangeran dengan lembut yang membuat keduanya memejam untuk sesaat. Dan ... ini menyenangkan.

"Aku pikir ... aku sudah sehat," acap Pangeran Hayden setelah Giselle melepaskan kecupan itu dan membuat jarak. Meskipun begitu, jarak wajah yang mereka berdua ciptakan kini tak lebih dari 5 sentimeter.

Untuk kesekian kali, Giselle dapat melihat wajah memerah dari pangeran. "Ah tidak, tidak. Kau belum sehat, Yang Mulia."

Sang puan kemudian melanjutkan, "Apakah aku akan dihukum karena dengan berani menyentuh bibir pangeran?"

"Tidak, Sayang. Justru sebaliknya, kau akan mendapatkan apapun yang kau mau." Giselle dan Pangeran sontak kembali berbagi senyum menawan.

"Apakah itu berarti...."

"Aku dapat membuka kedua tangan, menangkapmu kembali jika kau mau, Lady."

Tak berpikir panjang, Giselle pun mengangguk. "I do."

Giselle kemudian meletakkan kepala di dada bidang sang pangeran, menghirup aroma tubuh itu dalam-dalam seraya memejam dan memeluk tubuh yang sedang ringkih di hadapannya. Sang puan tak menampik jika ia merindukan ini dan ia berhasil mengobatinya.

"Berarti mulai sekarang kau akan kembali ke Istana West, 'kan?" tanya Pangeran Hayden setelah Giselle mengangkat wajahnya.

"Aku ingin, Yang Mulia. Tapi, bisakah aku meminta izin darimu?"

"Tentang apa?"

"Ehm ... " Giselle bergumam untuk beberapa detik, "aku ingin tinggal di Arkala selama satu tahun. Selama setahun itu, aku fokus untuk membangun kembali pulau tersebut, meskipun aku tahu bahwa hal itu mungkin lebih lama dari yang aku sebutkan."

Giselle terlihat membasahi bibir bawah, lalu membuang tatapan dari Pangeran Hayden menuju lengan sang adam. "Bagaimana ... Yang Mulia?" tanya Giselle dengan berhati-hati.

"Mungkin tak akan sampai setahun, Lady." Pangeran Hayden berujar datar, membuat Giselle seketika mengangkat kepala dan menatapnya.

"Aku akan usahakan bahwa kebutuhan masyarakat di pulau itu terpenuhi dan memulai kembali pembangunan dalam waktu cepat, sehingga kau tak perlu meninggalkanku selama setahun. Ya, meskipun mungkin tidak benar-benar kembali seperti awal. Tentu saja perubahan besar akan terjadi di Arkala." Pangeran Hayden membelai tangan Giselle. "Aku memberikanmu kendali, walaupun tetap berada di bawah pengawasanku. Bagaimana, Lady?"

Seketika, sang puan menganggut. "Aku setuju, Yang Mulia."

"Kita bersama-sama akan membangun Arkala."

"Ya, bersama ... terima kasih, Yang Mulia." Tatapan Giselle terpaku pada sang pangeran, begitu pun sebaliknya.

Tangan dingin Pangeran Hayden kemudian menangkup wajah Giselle. Seolah tersihir, perempuan itu memajukan wajahnya kembali hingga akhirnya bibir ranum kedua insan terpagut sempurna dan semakin dalam. Keintiman itu semakin bertambah ketika tangan sang pangeran bergerak turun ke leher dan bahu Giselle, hingga suara desahan puan terdengar lirih di telinganya.

Giselle dengan cepat menarik wajahnya yang membuat Pangeran Hayden mengernyit. "Sayang, tubuhmu masih butuh istirahat banyak."

"Ah, Lady...." Tampak raut kecewa dari Pangeran Hayden berhasil membuat Giselle mengerutkan kening dan tersenyum tipis, mempertanyakan ekspresi menggemaskan itu.

Tok... Tok... Tok...

"Masuk!" ujar Pangeran Hayden.

Giselle pun memutar tubuh mengikuti arah tatapan sang pangeran dan menemukan Calvin, Russell, Ann, dan Jake kini telah memasuki ruangan.

"Yang Mulia, hari ini Pangeran Jace berada di Arkala setelah mengetahui Anda dan Lady berada di sini. Rencananya, Yang Mulia Pangeran Jace akan berada di sana selama tiga hari," acap Russell.

"Kau dengar itu, Lady? Untuk tiga hari kedepan, kau bisa tidur di sampingku." Pangeran Hayden tersenyum jail, membuat Giselle membalasnya dengan mengangkat satu alis.

"Lalu, minggu depan sidang akan dilaksanakan, Yang Mulia. Dimohon kehadirannya, Lady," lapor Calvin yang berhasil menarik atensi perempuan itu dan membuatnya kembali memutar tubuh.

"Sidang? Sidang untuk apa?"

"Untukmu," sambung Pangeran Hayden dengan cepat yang seketika membuat Giselle terdiam. Ah, puan itu memikirkan bahwa mungkin saja ia akan dieksekusi atau diberikan hukuman yang entah apa. Untuk sesaat, Giselle merasa kalut.

Seolah dapat membaca pikiran Giselle, Pangeran Hayden berujar, "Ini tidak akan menakutkan sama sekali. Lebih tepatnya, kau akan mengetahui semuanya nanti. Ini ... seperti janjiku sebelumnya."

Meskipun tak mengerti dan tak ingat tentang suatu janji yang pernah disebutkan oleh sang adam, Giselle mendengkus, lalu mengangguk pelan. "Baiklah...."

"Dan untuk yang terakhir, Yang Mulia, mengenai eksekusi Mark Bowles--" Ann menggantungkan kalimat setelah melihat Giselle kembali menghadapkan tubuh pada Pangeran Hayden dan meletakkan tangan di kening sang pangeran, membelainya lembut seperti saat ia pertama kali masuk ke dalam ruangan.

Ann kembali membuka mulut dan bertanya dengan nada yang terbata-bata. "Ehm ... apakah Yang Mulia memiliki ... pesan tersendiri atau bagaimana cara--"

"Tidak," sela Giselle seraya memamerkan senyum manis pada sang pangeran, "lakukanlah seperti titah yang telah ada. Siapa yang membuat keputusan? Pangeran Jace? Maka lakukanlah seperti pinta The Duke of Nethervile."

Ucapan Giselle yang datar dan tegas tanpa memandang Ann, seketika membuat ruangan menjadi nampak dingin dan mencekam. Hanya ada suara dentingan jam, sesekali helaan napas panjang yang ternyata berasal dari Calvin dan Russell. Untuk sesaat, Pangeran Hayden tampak tak percaya dengan baru saja ia dengar dari Giselle. Namun sedetik kemudian, ia kembali tersenyum.

"Se-seluruh keputusan atas eksekusi pemuda itu kini berada di tangan Pangeran Hayden, Lady," seloroh Ann.

"Kau dengar, Sayang? Seluruhnya ada di tanganmu, katanya," sela Giselle cepat pada sang pangeran yang sontak membuat Ann menelan ludah dengan sulit.

Pangeran Hayden mengangkat kepala menuju Ann, tersenyum penuh kebijaksanaan seperti yang biasa ia perlihatkan di hadapan publik. "Lakukanlah seperti yang Lady katakan, Ann," ujarnya lembut.

"Ba-baik, Yang Mulia."

Keempatnya pun keluar dari kamar sang pangeran tanpa sepatah dua patah kata lagi.

"Aku harap, kau tidak menyesal dengan keputusanmu, Lady."

"No, aku tidak akan menyesal. Well, aku mungkin dapat memaafkan dia yang melakukan hal semena-mena padaku. Namun, aku tak memaafkan ketika ia membunuh ibuku, menyakiti bayi-bayi Arkala, dan membuat sahabatku kesakitan." Giselle menunduk dan mengeraskan rahang sambil meremas kuat kain yang menyelimuti tubuh sang pangeran.

Melihat keadaan Giselle yang nampak berubah, Pangeran Hayden pun menepuk dadanya agar sang hawa dapat meletakkan kepala di sana. Dan Giselle pun melakukannya.

"Yang Mulia," panggil Giselle.

"Ada apa, Lady?"

"Selain dari wajahmu yang pucat, kau terdengar bawel sekali hari ini. Tidak terlihat seperti orang sakit."

"Ah itu ... sebenarnya," Pangeran Hayden membelai surai Giselle perlahan, "aku sudah terbangun dari empat jam yang lalu. Dan kata dokter, lukaku tidak terlalu lebar dan parah."

Puan Hampton itu pun mengangkat wajah menuju Pangeran Hayden dan membelalak. "Apa? Dari empat jam yang lalu? Apakah kau tidak tahu, Yang Mulia? Aku dari pagi mengkhawatirkanmu hingga saat ini. Dan kau ... ah, kau keterlaluan, Yang Mulia!"

Giselle mencubit perut bagian atas lelaki tersebut yang membuat Pangeran Hayden sontak meringis dan memasang wajah kesal, "Aw ... jangan cubit di daerah itu. Masih perih! Maafkan aku, Sayang. Maaf...."

Dan Giselle tidak peduli!

.
.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top