4. Pertemuan Kedua

.
.

BRAK...

Giselle menutup pintu lokernya dengan keras siang itu. Lebih tepat, ia membanting. Jangan tanyakan tatapan-tatapan yang langsung tertuju pada gadis berambut ekor kuda tersebut, karena sudah dapat dipastikan bahwa Giselle menerima berbagai pandangan mata yang kurang menyenangkan.

"Ada apa?" tanya Winter lembut seraya menepuk bahu Giselle ringan.

Sang puan tidak menjawab. Ia memilih untuk mendengkus, lalu memejamkan matanya sebentar saja.

Bayangan Night Class semalam tiba-tiba saja muncul dalam benak Giselle. Tempatnya berdiri saat ini adalah tempat di mana satu demi satu kancing seragamnya dibuka oleh seorang perempuan yang ia tak kenal sama sekali --kecuali nama gadis itu. Kenangan buruk itu sangat mengganggu Giselle, namun ia juga tak tahu bagaimana cara ia bisa melupakannya. Gadis itu juga tak membicarakan kejadian semalam pada Winter, mengingat sahabatnya tersebut telah menerobos lapisan demi lapisan mimpi. Dan, biarkanlah Giselle memendam ini seorang diri.

Winter yang berdiri di samping Giselle tiba-tiba saja menunduk, lalu mengangkat sebuah buku yang terjatuh saat sahabatnya memasukkan buku-bukunya dalam loker beberapa menit yang lalu.

"Yours?"

Giselle seketika menoleh ke sisi kanan dan memperhatikan buku yang diserahkan oleh Winter. Buku itu terlihat usang dengan cover yang terbuat dari kertas berwarna cokelat tanpa tulisan apapun. "Ehm ... i-iya."

Tangan Giselle dengan cepat mengambil buku tersebut, lalu tersenyum kecut. "Thank you."

"Yup. Oh iya, kau tidak ingin kembali ke kelas? Aku pikir sebentar lagi waktu istirahat berakhir."

"Ehm, bagaimana jika kau pergi lebih dulu?"

"Are you okay? Wajahmu pucat, Gi."

"I'm ... fine. Yeah," jawab Giselle singkat seraya menganggukkan kepalanya pelan.

"Jika kau ingin bercerita, kau seharusnya tahu ke mana," ucap Winter dengan senyumnya yang menenangkan.

"Terima kasih sekali lagi. Aku hanya sedang banyak pikiran saat ini. Kau tahu? Ayahku belum pulang."

Winter mengangguk. "Oh, okay...."

Gadis berambut hitam sebahu itu pun melangkah meninggalkan Giselle yang masih menatap buku di tangannya. Seingat sang puan, ia tak memiliki buku seperti ini. Rasanya aneh ketika mengetahui jika buku tersebut berada di dalam loker, sebab ia tak mengetahui siapa pemiliknya. Giselle juga merasa tak pernah meminjam buku dari perpustakaan atau dari temannya dengan sampul kuno seperti ini.

Giselle melirik ke kanan-kiri, mencegah seseorang untuk berdiri dekat dengannya atau berjaga jika sewaktu-waktu ada seseorang yang menghampirinya sedang membaca buku itu. Tidak, Giselle tak ingin seorang pun di Day Class yang tahu isi buku itu, selain dirinya.

Tangan sang gadis mulai membuka halaman pertama yang bertuliskan 'Dear Hunter.'

"Sepertinya ini yang dimaksud Mark? Hunter," monolog Giselle sembari terlihat mengerutkan keningnya. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya ia membuka halaman kedua yang ternyata kosong.

Tak hanya berhenti di halaman itu, jari-jemari Giselle kemudian bergerak di halaman ketiga yang memuat sebuah tulisan dengan goresan sangat rapi. Sang puan menduga jika itu mungkin saja ditulis oleh seorang ahli, misalnya penulis di kerajaan Nethervile.

Siapa yang tahu?

'Dear Hunter...

Selamat telah terpilih sebagai petugas Istana Nethervile.

Tugas-tugas sebagai garda keamanan terdepan kerajaan telah disebutkan secara jelas ketika halaman ini telah terlewati.

Selalu pastikan bahwa keamanan istana dan seluruh anggota kerajaan menjadi prioritas utama di atas hubungan darah dan kawan.

Terima kasih'

Untuk beberapa saat, Giselle menautkan kedua alisnya. Ia tak mengerti mengapa buku seperti ini berada di tangannya. Terlebih, buku tersebut terlihat sangat penting dan bersifat rahasia karena banyaknya tugas yang dijelaskan dan tidak pernah dipublikasikan sebelumnya. Tentu saja Giselle berpendapat seperti itu, mengingat ketika ia membuka halaman demi halaman, ia menemukan fakta bahwa Hunter diizinkan untuk membunuh orang-orang yang melanggar ketentuan istana.

Giselle mengembuskan napas membaca setiap halaman, hingga ia tiba di halaman ketiga dari akhir. Matanya seketika membulat ketika ia menemukan denah sebuah bangunan yang sungguh tak familier. Arah yang ditunjukkan benar-benar rumit, membuat Giselle menggaruk kepala berulang kali.

Mata Giselle kembali melebar dan mulutnya seketika membentuk huruf O, saat pembahasan tentang kristal berwarna hijau tertulis jelas setelah ia membuka halaman selanjutnya. Sang gadis mengetahui bahwa kristal berwarna hijau berada di ruang bawah tanah, tepat di samping ruang tahanan di istana.

"Mengapa kristal seperti itu mereka simpan di ruang bawah tanah? Mengapa harus di samping ruang tahanan? Bukankah jika para tahanan kabur, mereka bisa mengambilnya?"

Giselle pun membaca kalimat terakhir dari buku para Hunter itu. 'Hingga ratusan tahun, tak ada satu pun para tahanan yang berhasil kabur.'

"Yup, ternyata buku ini berhasil membaca pikiranku. Dan tampaknya aku memang ditakdirkan untuk pergi ke Nethervile," acap Giselle seraya menutup buku itu dengan cepat.

Tidak, tak ada gurat kekecewaan di wajah Giselle akibat tertinggal kelas hari ini. Namun sebaliknya, ia terlihat seperti baru saja memenangkan lotre bernilai milyaran yang bisa membuatnya keliling dunia menggunakan kapal termewah saat itu juga.

.

.

"Hari ini kau mau ke mana?" tanya Winter begitu mendapati Giselle tengah merapikan peralatan tulis menulisnya, sesaat setelah kelas berakhir.

"Aku harus ke suatu tempat," jawabnya dengan satu senyum tipis.

Winter mengerucutkan bibir. "Kau tidak mengajakku? Bagaimana mungkin?"

Giselle yang mendengar itu seketika bergeming, lalu tersenyum lebar. "Kau tidak perlu tahu aku akan ke mana."

"Oke, oke. Meskipun aku tak menanyakannya, aku yakin kau akan bercerita suatu saat nanti. Lagi pula, tak ada rahasiaku yang tak kau ketahui! Bukankah begitu?" acap Winter berapi-api.

"Kalau begitu aku akan menanyakannya. Apakah kau pernah menceritakan tentang mantan kekasihmu dari Night Class itu?" goda Giselle. Seketika, raut wajah Winter berubah. Ia terlihat gelagapan.

"I-itu...."

Giselle menaikkan tangan setinggi dada, lalu menggerakan laiknya sedang menepuk-nepuk udara. "Tenang saja. Aku tidak akan mempermasalahkan itu. Toh, setiap orang pasti memiliki rahasia yang ingin mereka simpan seorang diri. Tidak semuanya harus diketahui, bukan?" Giselle tersenyum manis pada Winter, membuat sahabatnya itu ikut menyunggingkan kedua sudut bibirnya.

Winter mengangguk, lalu melipat kedua tangannya di dada. Ia menatap Giselle dengan mata memincing dan tersenyum tipis. "Apakah kau akan mencari masalah? Kata-kata seperti yang kau sebutkan itu, hanya keluar ketika kau akan membuat semacam chaos," tebak Winter, "aku mengenalmu hampir di setengah hidupku, jika kau lupa."

Giselle tertawa lebar. "You know me."

"Tentu saja."

Giselle menyeringai, lalu mengangguk. "Kau mengatakan bahwa aku selalu berbicara meskipun tanpa kau minta sekalipun, bukankah begitu?"

"Yup."

"Dan aku akan menceritakan tentang hal ini di lain hari, mungkin."

Winter pun mendengkus pelan, menganggut, dan tersenyum lemah. Tatapannya terlihat menghangat saat itu juga. "Baiklah, kau boleh pergi, Nona Hampton," ucap Winter pada Giselle yang kini sedang menarik ritsleting ranselnya.

"Sampai jumpa lagi," acap Giselle dengan semangat.

Kaki sang gadis pun melangkah sedikit lebih cepat dari biasanya. Matanya berbinar, semburat senyum terukir di wajah, dan rambut halusnya melambai ketika udara menyambar. Sosok itu melangkah menuju suatu tempat, di mana ia dapat berbagi cerita dengan orang lain yang mungkin lebih mengerti dari dirinya.

Bagi Giselle, Winter tak paham dengan apa yang ada dipikirannya. Maka dari itu, Giselle mencoba tak menceritakan pada sahabatnya tersebut.

Setibanya ia di dermaga, mata sang puan bergerak ke segala arah untuk mencari Mark, sosok pemuda yang menurutnya memiliki banyak pengetahuan tentang Hunter. Katakanlah Giselle memang polos karena dengan mudahnya akan berbagi cerita dengan pemuda yang baru ia kenal semalam. Tapi entah mengapa, keinginan Giselle untuk menanyakan berbagai pertanyaan yang berputar di kepalanya pada Mark terasa tepat.

"Maaf, Nona. Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya seorang pemuda berusia sekitar dua tahun di bawah Giselle dan berkulit sawo matang tersebut. Giselle menduga bahwa pemuda itu adalah salah satu ABK.

"Oh, aku sedang mencari Mark," ucap Giselle seraya membalas senyum pemuda tersebut.

"Maksud Anda, Mark Bowles?"

Untuk sejenak, Giselle hanya tersenyum kaku. Ia menggaruk lengan sambil sesekali menggigit bibir bawahnya. "Ah ... itu, ehm...."

"Nona tidak mengetahuinya?"

Giselle dengan cepat menggeleng. "Bukan begitu. Aku tahu Mark, aku pernah bertemu dengannya. Tapi ... aku tak tahu nama keluarganya."

Pemuda itu tergelak kecil. "Kau tahu, Nona? Hanya ada satu Mark yang bekerja di sini. Namanya memang Mark Bowles."

"Lalu mengapa kau menanyakannya padaku?" kesal Giselle.

"Sebagai seorang petugas keamanan di dermaga, aku berhak bertanya dan memastikan, Nona," ucap sang pemuda. Ia lalu menengadahkan satu tangannya menuju arah kiri Giselle. "Orang yang Anda cari sedang mengangkut kotak di kapal bernomor 39, silakan."

Giselle seketika merasa tak enak hati. Ia tak sepantasnya kesal dengan pemuda itu, mengingat sang adam sangat baik dengan memberi petunjuk dan menanyakan maksud kedatangan sang puan. Ah, Giselle nampaknya harus belajar untuk mengendalikan dirinya lebih sering lagi.

"Maafkan aku jika perkataanku tadi terdengar kasar," ujar Giselle, lemah.

"Ah, tidak, Nona. Itu tidak terdengar kasar sama sekali. Bahkan, perkataan orang-orang di sekitar sinilah yang lebih buas," acap pemuda tersebut sembari memperlihatkan deretan giginya.

Giselle pun mengangguk singkat, lalu tersenyum manis. "Kalau begitu, aku bertemu Mark dulu. Terima kasih."

"Sama-sama, Nona."

Giselle kemudian memutar tubuhnya ke arah kiri, lalu melangkah mencari kapal bernomor 39 seperti yang dikatakan oleh anak muda tersebut. Giselle tak menyangka jika pemuda sepertinya sudah dapat bekerja sebagai petugas keamanan di dermaga. Ah, kehidupan yang keras.

Langkah sang gadis seketika berhenti, ketika mendapati sosok yang ia cari sedang mengangkut kotak-kotak kayu dengan dibantu oleh beberapa orang lainnya. Kotak tersebut terbilang besar, dan tentu saja terlihat berat. Di dalam kotak biasanya berisi daging atau bahan makanan lainnya yang didistribusikan dari Kota Nethervile.

Saat kaki sang gadis akan melangkah mendekati Mark, seorang pria paruh baya dengan handuk kecil yang berada di bahu kanannya menegur Giselle. Refleks, perempuan itu pun menghentikan derapnya.

"Ada yang kau butuhkan, Nona?"

"Ah, aku ingin berbicara dengan Mark."

"Seperti yang kau lihat, saat ini banyak kotak yang harus diturunkan tepat waktu. Maka dari itu, ia tak bisa diganggu dulu. Tapi jika kau tetap ingin bertemu dengannya, silakan menunggu di bangku kayu itu. Perkiraan ini akan selesai sekitar 10 menit."

Giselle mengangguk. "Tidak masalah, aku akan menunggunya. Terima kasih," acap sang puan dengan ramah. Ia lalu berbalik badan dan berjalan pada bangku kayu panjang yang berjarak sekitar lima belas langkah dari tempatnya berdiri saat ini.

Selama menunggu, pandangan Giselle tak berhenti pada satu kapal saja, tetapi juga pada kapal-kapal lainnya. Alat transportasi air itu memiliki ukuran yang berbeda-beda. Kapal berukuran besar untuk yang mengangkut bahan makanan, perkakas, hingga orang-orang yang ingin berkunjung ke Pulau Arkala. Sedangkan kapal kecil, mungkin dapat disebut sebagai kapal nelayan. Meskipun begitu, tangkapan mereka juga terlihat banyak. Terbukti dari adanya barisan para pria yang menunggu untuk mengangkat hasil dari melaut tersebut.

Giselle kemudian menoleh ke sebelah kanan, memusatkan perhatian pada satu kapal besar yang memuat banyak orang. Entah mengapa, Giselle juga ingin menaiki kapal tersebut menuju Nethervile. Namun, jika dilihat dari usianya, Giselle harus menunggu hingga 6 tahun lagi.

Bukankah itu sangat lama?

Deg....

Giselle dengan cepat menoleh ke berbagai arah, terlihat celingak-celinguk. Ah, perasaan itu muncul lagi.

Sejak berusia 14 tahun, Giselle selalu merasa jika ada seseorang yang sedang memperhatikannya dari jauh, entah siapa. Ia mencoba mencari sosok tersebut dengan menanyakan pada orang sekitar atau menunggu sosok itu datang lagi, namun tak pernah berhasil. Untuk dua tahun terakhir, harus diakui bahwa perasaan tersebut sempat hilang sementara waktu. Namun, tak disangka jika itu kembali lagi dengan cepat, menurutnya.

Giselle meneguk ludah dengan sulit. Ia menunduk sembari matanya bergerak ke segala arah. Gadis itu mencoba untuk tetap tenang. Toh, ini sudah biasa terjadi padanya dari dulu. Lagi pula, sosok itu juga tak pernah jahat pada dirinya.

"Harus tenang ... tenang. Tidak akan terjadi apapun, Giselle," ucapnya pelan.

Tiba-tiba saja sebuah suara yang ia sangat kenal, menyapa. Yang tak lain adalah Mark.

"Hei," sapa pemuda itu penuh semangat.

Giselle seketika mendongak dan menemukan pemuda itu sudah tersenyum lebar. "Kau pasti sudah menunggu sangat lama, bukan?" Sang gadis pun mengangguk cepat sebagai jawabannya.

Mark yang saat itu mengenakan sleeveless berwarna hitam, dengan peluh di seluruh wajah dan tubuhnya pun memosisikan diri di sebelah Giselle. Ia meraih handuk putih di bahu, lalu menyeka wajahnya kasar. "Maaf ya, harusnya aku mengganti baju dulu tadi. Tapi aku tak enak, sebab kau akan menunggu lebih lama dari ini."

Giselle tersenyum tipis. "Hei, tak apa. Santai saja padaku."

Mark mengangguk. "Oh ya, ada apa kau mencariku?"

"Ah, itu, aku hanya ingin menanyakan sedikit tentang Hunter."

"Apa yang ingin kau ketahui?"

Giselle sejenak terdiam sembari menatap Mark yang sudah duduk dengan kedua tangan menopang pada lutut.

"Kau mengatakan jika para Hunter dipekerjakan oleh pihak istana untuk menangkap orang-orang Arkala yang kabur dari pulau sebelum waktunya, bukan?"

"Iya, lalu?"

"Jika aku pergi ke Nethervile, apakah mereka akan menangkapku?"

"Apakah harus dijawab? Kau sudah mengetahuinya." Mark tertawa kecil.

"Maksudnya, apakah aku akan ... dibunuh?" tanya Giselle, sedikit berhati-hati.

"Mungkin akan seperti itu. Namun, tak jarang juga mereka memasukkannya ke dalam penjara di istana. Sebenarnya, perlakuan tentang dibunuh atau tidaknya seseorang yang kabur dari Arkala, ada di tangan pihak kerajaan. Entah mereka ingin membunuh, memenjarakan, atau bahkan tak melakukan apapun. Mereka dengan bebas memberi sanksi yang mereka inginkan."

Giselle seketika membelalakkan matanya, lalu berujar, "Ah, ternyata yang tertulis di buku itu benar adanya!"

Untuk sesaat, Mark bergeming. Ia menatap iris sang gadis dengan sorot yang intens. "Buku?"

"Iya, buku," tegas Giselle.

"Buku apa?"

Giselle bergegas mengeluarkan buku berwarna cokelat dari dalam tas, lalu memberikannya pada Mark. Pemuda bertubuh tinggi itu meraih pemberian Giselle dan membuka halaman demi halaman hingga ia berhenti pada deskripsi kristal hijau.

"Cantik, bukan?" tanya Giselle.

Mark melirik perempuan itu sekilas. "Tentu saja."

"Sebenarnya, aku ingin sekali mendapatkan kristal hijau. Tapi bagaimana lagi, itu tak mungkin, 'kan?" acap puan tersebut dengan cengiran yang terpatri di wajahnya.

Mark tidak memberikan respon selama beberapa detik dan lebih memilih untuk menatap lurus ke depan. Hal itu membuat Giselle menaikkan satu alisnya, lalu memiringkan kepala menghadap wajah Mark.

"Are you ... okay?"

Sang adam mengembuskan napasnya. "Kau ingin mendapatkan kristal hijau itu? Kau tau kau akan berhadapan dengan siapa, bukan? Pihak istana."

"Aku tahu. Tapi aku pikir jika aku tertangkap, ya sudah. It's end game!"

"Hanya seperti itu?!" seru Mark.

"I-iya, memang hanya seperti itu."

Mark menggeleng cepat. "Jangan pernah bertingkah bodoh, Giselle. Sekarang bukankah seharusnya aku yang bertanya apa kau baik-baik saja? Aku sedikit khawatir denganmu. Kau terdengar seperti ingin mengakhiri hidup," gurau Mark seraya tersenyum tipis.

Giselle mengerucutkan bibirnya. "Ehm, ya, aku baik-baik saja. Mungkin aku memang sedang bosan dan butuh sesuatu yang memacu adrenalin," tukas gadis itu lemah.

Sang adam menyeringai, lalu menggeleng pelan. "Tapi kau tetap saja aneh. Mana ada orang yang bermain-main dengan nyawa ketika sedang bosan? Kau pasti bercanda."

Ah, seandainya saja Mark tahu....

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top