39. Terasa Asing
.
.
Giselle kini berdiri di depan bangunan asrama bayi Day Class dan menatap beberapa orang yang berada di depan sana. Ia kemudian mendekat ke arah seorang pria diperkirakan berusia 50 tahun yang sedang mengangkat beberapa reruntuhan.
"Ah, Lady," sapanya dengan penuh hormat.
"Apa Anda mendengar apapun, Tuan? Apakah orang-orang di dalam masih hidup?" tanya Giselle dengan tergesa-gesa.
"Maaf, Lady. Tetapi, saya pun tak tahu."
"Ah, begitu rupanya," Giselle berujar lemah, "terima kasih."
Setelah mendengar perkataan Giselle, pria itu pun mengundurkan diri yang kemudian diberi anggukan singkat oleh sang hawa. Giselle tak henti-hentinya memainkan jemarinya sambil sesekali mengamati para warga yang umumnya pria sedang bahu-membahu mencari orang terkasih.
Giselle benar-benar menjadi pusat perhatian saat ini. Tapi ia tak peduli, yang dia butuhkan hanya bergegas mencari orang-orang terdekatnya. Dengan langkah seribu, Giselle mendekat ke arah bangunan sambil mencari tanda-tanda keberadaan Winter dan ia berharap menemukannya dengan cepat, meskipun ia tahu bahwa ini mustahil mengingat bangunan asrama sangat besar.
"La-Lady?" sapa seorang perempuan berpakaian putih dan rambut pirang yang digelung asal. Pakaiannya tak lagi putih seperti sebelumnya. Sebab, debu-debu bekas reruntuhan nampak melekat di pakaian dan tubuhnya, terutama wajah.
"Suster?"
Perempuan itu mengangguk ragu. "Benar, Yang Mulia."
Giselle menatapnya lekat. Namun, belum sempat ia berucap sepatah kata, perempuan itu mendongak dan menatap manik Giselle dengan matanya yang basah. Ia kembali melanjutkan, "Lady, seluruh bayi di asrama Day Class dan Night Class ... telah meninggal."
Seketika jantung puan Hampton tersebut terasa berpindah dan jatuh bebas menuju dasar bumi. Giselle meremas dadanya kuat-kuat dan kaki sang hawa terasa lemah tak berdaya, hingga suster itu harus memapahnya menuju tepi jalan dan memberikannya sebuah kain yang lebih mirip disebut sapu tangan.
Giselle yang terduduk di atas balok-balok pun mendongak pada suster yang sedang membungkuk di depannya. "A-apa? Anda mengatakan apa? Apakah tidak ada dari mereka satu pun yang selamat?"
"Dengan menyesal saya mengatakan tidak ada, Lady."
Sang hawa kemudian menunduk, menyembunyikan wajah pada kedua telapak tangan. Ia ingin menangis dan berteriak sekuat tenaga. Namun apa daya, ia hanya dapat memasang wajah tanpa ekspresi. Meskipun begitu, Giselle tak dapat menyembunyikan wajah pucat pasi di hadapan suster tersebut.
Bayi itu tidak memiliki dosa. Kenapa? Kenapa jadi seperti ini? batin Giselle.
Tak berselang lama, Jake mendekat ke arah Giselle yang sedang mengedarkan pandangan dengan kedua tangan yang berada pada lutut. "Lady, kami sudah menyiapkan tempat untuk Anda beristirahat. Di tempat penampungan itu--"
"Aku tidak butuh, Jake," Giselle seketika bangkit dan membalikkan tubuh pada sang adam, "aku hanya butuh mengetahui kabar Winter dan Brianna!"
"Ka-kami yang akan mencarinya, Lady. Sekarang, orang-orang di pengungsian sedang membutuhkan Anda."
Mendengar itu, Giselle sempat melirik pada reruntuhan dengan tatapan sendu, lalu mengangguk cepat pada Jake untuk beberapa saat. "Tolong, temukan mereka berdua."
"Akan kami laksanakan, Lady. Dan ... saya ingin menginformasikan jika Pangeran Hayden akan tiba dalam beberapa jam. Dimohon kesediaan Anda untuk menyapa Yang Mulia," pinta Jake sambil menundukkan kepala.
Giselle termangu dengan tatapan nanar. Ia tak tahu apakah dirinya siap menerima kedatangan Pangeran Hayden dan berdiri di hadapannya. Namun Giselle berusaha menguatkan diri, terlebih hal ini seharusnya tidak mengganggu pikirannya. Bukankah fokusnya saat ini menemukan Winter? Fokus pada seluruh korban yang tumbang?
.
.
Waktu telah menunjukkan pukul 14.50, Giselle tak pernah sedikit pun beristirahat dan lebih mengutamakan membantu orang-orang yang membutuhkan sesuai kemampuannya. Di lapangan yang dijadikan tempat pengungsian darurat, Giselle mondar-mandir membawa kotak-kotak bantuan yang dikirim langsung dari Kota Nethervile.
Seluruh informasi juga langsung diberikan padanya dan para pejabat daerah yang selamat dari berbagai sumber, salah satunya adalah informasi jika air laut sempat naik dan meluluhlantakkan dermaga, namun tidak sampai ke rumah-rumah warga. Seluruh bantuan juga disalurkan dengan menggunakan helikopter yang mendarat di lapangan berjarak sekitar 3 kilometer dari tempat pengungsian.
Beberapa alat-alat berat juga akan didatangkan hari ini dan esok hari menggunakan kapal.
Giselle bersama warga dan para pegawai kementerian yang berwenang pun saling bergotong royong membangun dapur umum, tenda darurat, toilet umum, dan sebagainya. Meskipun mungkin dirinya hanya berkontribusi sebagian kecil, tapi Giselle benar-benar mendedikasikan dirinya pada warga. Ia bahkan tak ingat jika dirinya belum mengisi perut siang ini.
Ketika ditanya oleh para pejabat daerah mengapa ia tak menyantap makanan yang telah disediakan bahkan oleh pihak kerajaan, Giselle berujar, "Aku tidak bisa menelan di saat seperti ini."
Dan ya, Giselle benar-benar tidak dapat menyantap makanan sementara sahabatnya saat ini entah berada di mana. Bayangan tentang korban yang berjatuhan juga masih ada di pikirannya dan setiap ia berhenti untuk melakukan aktivitas, memori-memori mengerikan itu kembali lagi.
Rasa takut mulai menyelimuti Giselle, namun ia menolak untuk menyerah. Tidak, dia tidak akan pergi hingga Arkala kembali ke keadaan semula, meskipun itu akan sulit dan memakan waktu lama.
Lamunan gadis yang sedang berdiri dibalik meja kayu dengan setumpuk kardus-kardus bantuan itu akhirnya pecah, ketika para warga mulai berbisik dan membuka jalan untuk Pangeran Hayden yang menyapa dan mendengarkan keluh kesah mereka. Seluruh warga memohon yang sama, selamatkan dan temukan keluarga mereka. Sayup-sayup Giselle dapat mendengarkan bahwa Pangeran Hayden telah menyediakan berbagai kebutuhan, termasuk alat-alat.
Melihat langkah Pangeran Hayden yang semakin lama mulai mendekat ke arahnya, Giselle dengan derap lemah pun berdiri bersama warga dan menunggu sang pangeran untuk berdiri di depannya.
Jantung Giselle berdetak sangat cepat. Tangan yang ia lipat ke belakang telah dingin dan mengeluarkan keringat yang jika dilihat oleh orang-orang disekitar akan mengira jika sang hawa sedang tak enak badan. Ah, sejujurnya ia memang merindukan pangeran. Namun, hari ini dirasa tak tepat dan ia tak ingin berhadapan dengan keluarga Floer itu sekarang.
Tak butuh waktu lama hingga akhirnya langkah sang pangeran berhenti di hadapan Giselle. "Aku tak tahu kau berada di sini, Lady," ujar Pangeran Hayden pelan dan lembut, lebih ke arah berbisik.
"Maaf tak memberitahumu, Yang Mulia." Giselle tetap menundukkan kepala, dalam.
"Aku ... aku telah mendengar semua tentang yang kau lakukan, Lady. Terima kasih atas kerja kerasmu hari ini," acap Pangeran Hayden.
Giselle menelan ludah dengan sedikit kesusahan. "Terima kasih atas pujiannya, Yang Mulia."
"Tatap aku!" titah sang pangeran yang membuat Giselle refleks mengangkat kepalanya.
Untuk sesaat, tatapan Giselle mengikuti gerakan Pangeran Hayden yang menoleh ke belakang, mengambil kotak merah yang digenggam oleh petugas keamanan. Sedetik kemudian, kotak itu dibuka tepat di depan Giselle ... dan sebuah pita?
Gadis itu ingat tentang materi yang diajarkan di kelasnya. Pita berwarna merah --warna menyesuaikan dengan istana masing-masing-- menandakan bahwa keluarga kerajaan telah menjadi bagian dari relawan dan pita tersebut harus dikenakan setiap hari agar para hunter dapat dengan mudah menemukan anggota kerajaan tersebut di tengah lautan manusia. Kini, Giselle benar-benar dijaga ketat oleh para petugas keamanan, termasuk Tim Royals yang berdiri tak jauh di belakang Pangeran Hayden.
Dan benar saja, Pangeran Hayden benar-benar tak pernah melepaskan Giselle seperti yang ia katakan dahulu. Semua hal yang terjadi dengannya selama ini setelah melangkah keluar dari gerbang Istana West, sudah cukup menjadi bukti.
Setelah pita itu berhasil disematkan di bahu gaun Giselle, Pangeran Hayden berujar kembali, "Apakah kau akan menjelaskan denganku tentang situasi sekarang."
"Aku sangat senang jika dapat melakukannya, Yang Mulia. Akan tetapi, aku tak dapat meninggalkan tempat ini," Giselle pun menoleh dan menunjuk wanita tua yang sedang duduk dengan bergetar di depan tenda diikuti oleh tatapan sang pangeran, "beliau masih membutuhkanku."
"Baiklah, Lady." Dan Pangeran Hayden pun meninggalkan Giselle saat itu juga.
Gadis tersebut memutar tubuh, menatap punggung yang semakin lama semakin menjauh dan ia merasa sangat lega. Ini saatnya untuk kembali bekerja.
Waktu dan tenaga yang Giselle gunakan benar-benar terkuras. Hingga malam tiba, ia belum juga mendengar kabar Winter. Hal ini membuatnya benar-benar menangis sesenggukan dalam tenda seraya memeluk kedua kakinya, seorang diri. Untung saja ia tak perlu bertemu Pangeran Hayden yang juga memutuskan untuk mendirikan tenda yang tak jauh dari pengungsian.
Jarak antara tenda sang pangeran dan Giselle dapat dikatakan sejauh antara gawang yang satu dengan gawang lainnya dalam pertandingan sepak bola. Sangat jauh, hingga laki-laki itu tak dapat bertemu Giselle dan melihatnya menangis sekarang.
"Lady," panggil seorang perempuan yang sangat Giselle kenali.
"Ann?"
"Apakah saya bisa masuk?" izinnya dari luar tenda yang akhirnya membuat Giselle mendeham, mengiyakan.
Tanpa pikir panjang, tenda khusus untuk dua orang itu pun dibuka oleh Ann. Ah, Giselle memang menempati ini sendirian, mengingat ia tak boleh tidur dengan siapapun.
Melihat mata Giselle yang sudah sembap, Ann dengan cepat menurunkan nampan berisi makan malam sang hawa dan duduk tepat di depannya. "Lady, semua ini pasti akan berakhir," ujar Ann, mencoba menenangkan.
"Ya, aku tahu, Ann. Aku hanya kebingungan mencari sahabatku. Hingga sekarang pun kabarnya tak ada." Giselle kemudian mengusap wajahnya kasar menggunakan lengan.
"Apa Anda ingin dipanggilkan Pangeran Hayden?" tanya perempuan yang menggunakan pakaian kasual itu.
Tak seperti hari-hari biasanya, Ann nampak menawan dengan kaus hitam dan celana jeans. Ia juga tak lupa memakai jaket hitam. Rambut pirangnya digelung ke atas, sedikit acak-acakan, namun tetap cantik.
Giselle tersenyum samar. "Tidak perlu, dia pasti masih sibuk. Lagi pula, aku tidak terlalu membutuhkannya."
Gadis itu menghela napas, lalu melanjutkan. "Oh ya, ternyata perkataanmu waktu itu benar, Ann. Yang Mulia memang tidak mengetahui keberadaanku."
Ann mengelus punggung tangan berulang kali dengan kepala yang ditundukkan. "Kami memang tak memberitahu Pangeran Hayden, Lady. Sebab pikirannya sangat kacau. Beberapa kebijakannya terkadang terburu-buru, seolah ia ingin semuanya cepat selesai tanpa memikirkan jangka panjang. Kami tidak ingin pikirannya semakin terganggu dengan mengetahui keberadaan Anda di pulau yang terkena bencana seperti ini."
"Aku berharap jika ia tak akan seperti itu lagi setelah ini."
Ann mengangguk. "Ya, kami juga berharap demikian."
Giselle kemudian tersenyum tepat setelah Ann mengangkat wajahnya. "Ann, aku juga ingin meminta maaf."
"Soal apa, Lady?"
"Ah ... aku sudah mengambil senjatamu."
Mendengar itu, Ann terkekeh pelan. "Itu tak masalah sama sekali, Lady. Sebab, aku masih memiliki banyak senjata yang tersedia. Aku bahkan membawa lima buah senjata ke pulau ini."
Ann yang memegang senjata memang telah beberapa kali menyita perhatian Giselle dan perempuan itu juga selalu berharap dapat menggunakan senjata miliknya pada tempat yang tepat. Sayangnya, seluruh senjata itu akhirnya lenyap bersama reruntuhan di rumah Winter. Giselle bahkan hanya dapat menyelamatkan kain putih yang saat ini telah menyelimuti kakinya.
"Hmmm baiklah...."
Sempat ada keheningan yang muncul di antara mereka berdua. Perlahan, Ann pun mendorong nampan makan malam ke depan Giselle dan mempersilakannya untuk menikmati. Ketika ditanya apakah perut Ann telah terisi, Ann mengangguk mantap.
"Ann, apa yang sebenarnya terjadi di pulau ini?" tanya Giselle yang masih belum menyentuh daging di piringnya.
"Bowles dan Huddleston berhasil memasang kristal hijau itu, Lady. Saat Tim Royals lengah, mereka menembak seluruh polisi yang berjaga di terowongan ... tak ada satu pun yang tersisa.
"Ketika baku tembak itu terjadi, sebenarnya bantuan kepolisian lain sedang dalam perjalanan. Akan tetapi, kedua pemuda itu tak menyia-nyiakan waktu, hingga akhirnya mereka dapat dengan mudah memasang kristal tersebut. Maafkan atas keteledoran kami," jelas Ann dengan tatapan kosong. Sesekali, ia terdengar mendengkus.
"It's ok, Ann. Lalu bagaimana dengan Jake?"
"Dia masih ada di reruntuhan asrama bayi Day Class, Lady. Sepanjang hari ia berada di sana. Aku harap dia menemukan Winter dan Brianna dengan cepat."
Giselle seketika mengangkat kepala. "Kau kenal Winter dan Brianna?"
Ann tampak mengernyit mendengar pertanyaan tersebut yang membuat Giselle melakukan hal yang sama. "Te-tentu saja, Lady. Tim Royals sudah seperti saudara, ya, kami berempat. Orang yang menemukan mendiang Nyonya Hampton di rumah adalah saya, Jake, Russell, dan Winter. Tentu aku mengenal perempuan baik itu."
Sontak saja, puan itu membelalak. Ia mengangkat kedua tangan untuk menutup mulutnya. "Jadi ... benar bukan kerajaan yang membunuh ibuku?"
"Anda bicara apa, Lady? Justru kami tak tahu rumah Anda hingga Jake yang meminta Winter untuk mengajak kami ke sana. Pihak istana bahkan tak tahu apapun tentang identitas Anda sebelum kau tertangkap."
Ternyata benar para pembelot itu yang melakukannya, batin Giselle.
"Ah, maaf. Oh iya, Ann apakah Mark dan Julian masih di sekitar pulau?"
Ann mengangguk. "Benar, Lady. Mereka belum keluar sama sekali!"
Dan itu nampaknya sudah cukup menurut Giselle, mengingat ruang lingkup kedua pembelot itu semakin kecil dan petugas keamanan pasti sedang mengejarnya sekarang.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top