37. Sahabat Lama
.
.
Giselle tampak berpikir seharian, tak minum pun makan, yang membuat raga gadis itu perlahan mulai melemah kembali. Sejak kehadiran Calvin di rumah dan memberikan penjelasan-penjelasan yang membuat Giselle termangu, ia tetap setia duduk dan berbaring berulang kali di lantai. Rasanya tak punya hasrat apapun untuk memenuhi seluruh kebutuhan tubuh.
Cklek...
Kembali, pintu rumah itu pun terbuka. Namun kali ini, Giselle yang berbaring di lantai tak yakin jika yang masuk ke rumahnya adalah Calvin lagi, sebab dalam penglihatan yang sudah buram, Giselle melihat bayang seorang wanita dengan setelan lengkap dan rambut terurai panjang.
"Saya akan membawa Anda ke kamar, Lady," tukasnya berusaha untuk memapah Giselle.
Melihat kekuatan wanita tersebut serta nada suara yang tak asing, sudah dapat diduga bahwa ia adalah Ann. Akan tetapi, mengapa Ann ada di Arkala? Apakah dia juga mengemban tugas yang sama dengan Calvin? Oh, harusnya gadis itu tak perlu bertanya, sebab Ann adalah salah satu anggota Tim Royals.
Saat tubuh Giselle akhirnya terbaring di tempat tidur yang berada di samping kamar tidur kedua orang tuanya, ia pun jatuh terlelap lagi. Sementara di luar sana entah Ann sedang melakukan apa, Giselle hanya mendengar suara alat masak yang beradu, kran yang memancarkan air, dan kegiatan sederhana lainnya.
.
.
"Lady, apakah Anda sudah bangun? Saya sudah membuatkan makanan," acap sang hawa yang membuat Giselle seketika membuka mata dan memosisikan diri di tepi ranjang dengan sedikit tertatih.
Perempuan itu berjongkok di depan, lalu menepuk-nepuk paha Giselle lembut. Andai saja Pangeran Hayden berada di sini, Ann tidak mungkin berani melakukannya. "Lady, ayo kita makan dulu. Anda terlihat sangat lemah," tegurnya yang membuat Giselle berhasil memfokuskan penglihatan. Dan jelas saja, itu benar adalah Ann.
"Dari mana kau tahu aku di sini, Ann?" tanya Giselle lemah.
Ann tersenyum tipis. "Seluruh Tim Royals sudah mengetahui kehadiran Anda di sini dari Calvin, Lady. Kami secara bergantian akan menjaga Anda."
"Kau disuruh Pangeran Hayden, bukan? Tidak usah, Ann. Aku bisa sendirian."
"Ini bukan perintah Pangeran Hayden, Lady," Giselle sontak membuka mata lebar-lebar mendengar pernyataan Ann, "ini adalah inisiatif dari kami. Bahkan, Pangeran Hayden tidak mengetahui bahwa Anda sekarang berada di Arkala. Sendirian? Anda yakin, Lady? Anda bahkan terbaring lemah sekarang. Bagaimana mungkin saya akan meninggalkan Anda dalam posisi seperti saat ini?"
Giselle pun menggeleng dan menatap manik Ann lemah. "Ann, aku sudah muak dengan kebohongan. Aku sudah tak mempercayai siapapun. Jadi, berhenti berbohong padaku jika ini bukan titah Pangeran Hayden. Dan ada baiknya untuk tinggalkan aku sendiri!"
Perempuan bersurai pirang itu mengatupkan rahang dan menundukkan tatapan. Untuk sesaat, Giselle merasa bahwa dirinya terlalu kasar telah mengucapkan hal tersebut pada Ann. Mungkin saja ia benar bahwa ini bukan perintah, tapi kemungkinan ia salah juga jauh lebih besar. Siapa yang tidak tahu jika Ann sekarang menjadi bagian dari Istana West? Ayolah, itu bukan lagi rahasia.
"Ini sudah malam, Lady. Saya akan membuatkan Anda cokelat hangat agar Anda dapat beristirahat kembali," ujar Ann, bangkit dari duduknya yang membuat Giselle menghela napas panjang.
Giselle memang keras kepala, tapi tidak sekeras Ann!
Sepeninggal Ann, Giselle kembali mengedarkan pandangan pada kamarnya, kamar yang sudah lama ia tinggalkan. Tidak ada yang lebih nyaman dari beristirahat di kamar sendiri. Akan tetapi, Giselle juga tak memungkiri jika kamar --khususnya rumah secara keseluruhan-- menjadi sangat berbeda tanpa sentuhan dari Amanda. Rasa dingin seolah merekat kuat di setiap sudut ruangan.
Seketika, tatapan Giselle berhenti pada bingkai kecil di atas meja, gambar dirinya bersama ibunda yang diabadikan lima tahun lalu. Hal itu membuat dada Giselle kembali sesak dengan mata yang mulai basah. "Aku rindu ibu...."
Perlahan, perempuan itu bangkit, lalu kembali mengambil tas, jaket biru, dan selendang merah. Seperti hari sebelumnya, Giselle mengenakan seluruh perlengkapan itu, lalu berjalan lambat keluar dari kamar. Langkahnya benar-benar pelan, hingga Ann yang saat ini sedang mengaduk cokelat hangat dan membelakangi pintu dapur pun tak menyadari jika Giselle berhasil mengendap keluar dari rumah. Namun, sebelum akhirnya kaki Giselle menginjak pekarangan rumah, ia berhasil mengambil pistol milik Ann yang perempuan itu letakkan di atas meja tanpa pengawasan berarti.
Ah, Giselle memang sudah gila!
Malam itu, Giselle berlari dengan cepat menuju suatu tempat yang menurutnya paling nyaman. Meskipun dengan tubuh lemah, Giselle sangat yakin jika langkahnya dapat terhenti tepat di depan rumah orang tersebut.
Dan benar saja, tak lama kemudian, Giselle sudah tiba di depan rumah Winter. Sambil mengetuk pintu dengan sabar, Giselle kembali mengeluarkan air matanya.
Sret....
Pintu rumah berhasil dibuka. Namun, betapa kagetnya sang pemilik rumah mendapati Giselle telah berlinang air mata di depannya.
"Giselle? Ini benar Giselle?"
Gadis itu mengangguk cepat seraya menghapus air mata dengan kasar menggunakan lengannya. "I-iya Bibi Lilia. Ini aku, Giselle."
Sontak saja, Lilia meraih tangan gadis itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Tak lupa pula ia mengunci pintu, lalu menarik Giselle dalam dekapannya. Tanpa terasa, Lilia juga menangis sesenggukan sambil mengelus bahu dan belakang Giselle bergantian.
Lilia kemudian membuat jarak sambil mengamati Giselle dengan mata sembap. "Bagaimana keadaanmu? Kau tak apa? Ada yang sakit?"
Giselle menggeleng lemah. "Tidak, Bibi. Aku hanya ... sedikit lapar."
Lilia dan Giselle pun terkekeh pelan di sela-sela tangisannya.
"Kalau begitu sekarang duduklah dulu di ruang makan sambil mengamati Winter yang sedang memasak di dapur. Tak lama lagi masakannya akan selesai. Bibi ke kamar untuk mengganti baju sebentar," ujar Lilia lembut.
Giselle mengerutkan kening. "Untuk apa Bibi mengganti pakaian?" gadis tersebut mengamati baju yang dikenakan oleh Lilia, "menurutku ini sudah sangat baik."
"Kau adalah anggota kerajaan, mana boleh Bibi hanya mengenakan baju terusan seperti ini. Sangat tidak sopan."
Giselle memutar mata malas. "Ah, Bibi...."
"Sudah sana! Winter menunggumu."
Lilia mendorong sedikit tubuh Giselle, sementara dirinya bergerak menuju kamar.
Dari kejauhan, Giselle dapat mencium aroma daging yang dimasak dengan banyak rempah-rempah. Entah apa namanya. Ketika tubuh gadis itu akhirnya berdiri di pintu dapur, ia mengamati Winter yang sibuk membolak-balikkan masakannya dengan spatula.
"Ibu, siapa yang datang?" teriak Winter tanpa menoleh sedikitpun.
Alih-alih mendengar suara sahutan Lilia, Winter justru terlonjak ketika ia memutar tubuh dan menemukan Giselle telah berdiri di sana. Mata Winter sontak membulat, lalu sedetik kemudian air matanya sudah tak terbendung. Dipadamkannya kompor dan spatula yang diletakkan asal, lalu berlari untuk memeluk sahabatnya erat.
"Kau dari mana, Perempuan Gila? Dasar gadis sinting, jelek, jahat! Bisa-bisanya kau pergi begitu saja....
"Kau mengatakan padaku akan pergi ke rumah nenekmu. Tapi ternyata kau pergi untuk menjadi calon istri Pangeran Hayden? Dasar perempuan gila! Sekali mencari pria, kau langsung mendapatkan pangeran. Lalu, bagaimana dengan diriku? Kau meninggalkanku begitu saja? Benar-benar jahat ... tapi, aku sangat merindukanmu."
Umpatan-umpatan Winter mengalun deras, sederas air mata yang kini sudah membanjiri wajah mulusnya. Tak hanya ejekan kasar, Winter juga telah melayangkan pukulan-pukulan ringan di belakang Giselle, yang membuat gadis itu justru terkekeh.
Winter kemudian melepaskan pelukannya dan menghapus air mata dengan lengan baju.
"Apakah begitu cara menyambut sahabat lama?" ujar Giselle dengan kedua sudut bibir yang ditarik ke bawah.
"Hah, apakah kau harus disambut? Ya, tentu saja. Tapi asal kau tahu, tidak ada karpet merah di rumah ini!" ucap Winter, membuat keduanya sontak berbagi senyum.
"Gi, are you okay?" Winter bertanya dengan halus. "Jika ingin melepaskan apapun, katakan saja! Aku mungkin bisa membantumu."
"Well ... aku lapar," ringis Giselle seraya mengusap perut.
"Oh My God, ayo kita makan malam. Aku sudah memasak dan kau harus mencobanya!"
Giselle tersenyum tipis ke arah Winter. "Apakah dapat menyebabkan kerancunan?"
Winter mendengkus. "Dasar gadis sialan!"
Winter kemudian merangkul Giselle menuju meja makan, mendudukkan sahabatnya di sana, sementara Winter kembali ke dapur untuk mengambil beberapa piring dan masakan yang masih berada dalam panci.
Samar-samar Giselle mendengar dua suara pintu terbuka secara bersamaan, setelah itu kembali senyap. Giselle tak ingin menoleh atau apapun itu, ia hanya sabar menunggu Winter untuk kembali ke meja makan.
"Paman dengar, anggota kerajaan berada di rumah Paman. Coba Paman lihat siapa orangnya," ucap Mike dengan jail.
Mendengar itu, Giselle bangkit dari duduknya dan menoleh cepat. Senyum gadis itu langsung saja tersungging lebar, lalu berjalan menuju Mike yang sudah berdiri bersama Lilia di depan pintu ruang makan.
"Ah, Paman Mike," sapa Giselle, berlari untuk memeluk ayah sahabatnya yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri itu.
"Apakah Paman harus berganti pakaian seperti Bibi?" tanya Mike setelah pelukan itu terlepas seraya memandang Lilia yang sudah mengenakan gaun selutut berwarna putih dengan aksen bunga-bunga.
"Ibu terlalu berlebihan," sela Winter dengan ekspresi datar yang berdiri di depan meja makan sambil mengatur piring-piring.
"Oh tentu saja harus berdandan. Sesuai protokol kerajaan 'kan seperti itu," jelas Lilia yang membuat Giselle menggeleng.
Giselle paham jika Lilia adalah guru Tata Krama & Hukum Kerajaan di Evergreen. Tetapi, perempuan pemilik mata biru seharusnya tak terlalu berlebihan juga. Ini hanyalah Giselle, gadis yang selalu menghabiskan waktu untuk bergosip ria di rumahnya.
"Ayo kita makan!" ajak Mike pada Lilia, Winter, dan Giselle.
Selama menyantap makan malam, tidak ada satu pun yang membahas soal Patra atau Amanda. Bukan, mereka bukan melupakan. Hanya saja mereka tak ingin Giselle menjadi sedih di pertemuan pertama mereka yang seharusnya penuh sukacita ini.
Mike yang berkelakar dengan Lilia menjadi objek ditambah celetukan Winter, berhasil membuat suasana santap malam itu menjadi penuh kehangatan. Tak jarang Lilia akan membalas banyolan-banyolan suaminya yang tak kalah menggelitik perut. Rumah mereka benar-benar terasa ramai, tak ada yang berubah sama sekali.
Setelah makan, Winter lalu menyuruh Giselle ke kamarnya untuk beristirahat. Sedangkan dirinya bersama Lilia akan membersihkan ruang makan dapur. Giselle sebelumnya telah menawarkan diri untuk membantu, tapi Lilia dan Winter menolak. Jika sudah seperti itu, perintah mereka harus dipatuhi, mengingat mereka berdua akan marah jika Giselle tak melakukannya.
Setelah selesai membersihkan dapur, Winter dan Lilia beranjak menuju kamar sang gadis di mana Giselle sudah terduduk di karpet sambil memakan kripik kentang kesukaannya. Ah, Winter juga menggemarinya.
Winter dengan cekatan membuka lemari pakaian untuk mengambil piyama, menyiapkan alat-alat mandi, dan mengatur air hangat di kamar mandi. Semuanya hanya untuk Giselle seorang.
Setelah membersihkan diri dan memakai piyama Winter, Giselle kemudian bergabung kembali dengan ibu dan anak itu di atas karpet. Winter duduk di depannya seraya membawa kudapan lain, sementara Lilia sudah berada di atas tempat tidur untuk mengatur dan mengeringkan rambut Giselle yang masih basah.
"Gi, apakah tinggal di istana itu menyenangkan?" tanya Winter seraya menaikkan potongan kukis cokelat.
Giselle melirik ke arah kanan atas sambil mengangguk pelan. "Lumayan...."
"Ah, ceritakan yang lengkap," pinta Winter sedikit merajuk.
"Ya, lumayan menyenangkan sebab kau akan dilayani bak putri. Tapi--" tiba-tiba saja Giselle menundukkan tatapan, "aku sempat merasa seperti berada di penjara. Setiap hari berkeliling istana, tanpa diperbolehkan keluar dari sana. Tapi memang, itu adalah peraturan yang harus aku ikuti."
"Tentu saja pasti ada kekurangan dan kelebihan tinggal di sana," sela Lilia yang masih sibuk dengan kain pengering rambut Giselle.
Winter mendengkus. "Aku pikir, semua akan terasa seperti di negeri dongeng, penuh keindahan dan dapat keluar masuk sesuka hati."
Giselle memotong cepat. "Memang seperti itu. Hanya saja untuk beberapa orang, rasanya pasti aneh."
"Apakah kau betah?" tanya Winter sebelum memasukkan potongan kukis terakhir dalam mulutnya.
"Sejujurnya, aku betah di sana. Aku merasa tidak kekurangan apapun."
"Kalau begitu, tetaplah tinggal di sana! Ketika aku melihat gambar dirimu bersama Pangeran Hayden di surat kabar, senyummu sungguh lebar. Kau sangat bahagia, Gi. Apakah itu benar kebahagiaan? Kau tidak sedang berpura-pura, 'kan?"
"Tidak. Aku benar-benar bahagia saat itu." Pikiran Giselle tiba-tiba saja terbang ke hari tersebut. Andai saja Winter dan Lilia tak ada, mungkin Giselle sudah menangis lagi sekarang.
"Ok," Winter sekali lagi merogoh tempat kue yang terbuat dari kaca untuk mencari remahan-remahan kukis, "jika kau bahagia di sana, kenapa tidak melanjutkan? Lagi pula, Pangeran Hayden sangat sayang padamu, bukan? Aku rasa itu sudah lebih dari cukup."
Perkataan Winter membuat Giselle seketika bungkam. Jika boleh jujur, Giselle juga menyayangkan keputusan Pangeran Hayden yang melepasnya begitu saja pada para pembelot. Akan tetapi, ada rasa puas yang tercipta setelah ia dapat kembali ke Arkala dan berkumpul seperti ini lagi. Jika ia berada di istana, apakah Pangeran Hayden akan mengizinkan Giselle untuk sekadar menginap di rumah Winter. Rasanya mustahil.
Terlebih, Giselle sudah memiliki bayangan bahwa pihak istana-lah yang membunuh Amanda. Mengingat itu, Giselle jadi ingin menangis lagi.
Sesaat kemudian, Giselle tersadar lalu memutar tubuh ke arah Lilia dengan mata yang berbinar. "Bibi, aku ingin bertanya."
"Ada apa, Giselle?"
"Jika kerajaan memiliki penentang yang suka membuat keonaran di dalam negara, apakah para penentang atau pemberontak itu akan langsung dibunuh?"
Winter menggeleng di belakang sana, lalu mencibir, "Pertanyaanmu berat sekali, Lady."
Nampaknya Giselle dan Lilia tak tertarik dengan Winter yang sekarang sibuk membuka toples kukis kedua. Sebab, tak ada satu pun dari mereka yang melirik ke arah perempuan berambut pendek tersebut.
"Tidak bisa seperti itu, Giselle. Pihak kerajaan harus mengumpulkan orang-orang tersebut, lalu disidang. Jika memang sudah terbukti tanpa harus dilakukan persidangan, maka akan dieksekusi di lapangan eksekusi yang terpisah dari istana itu sendiri," acap Lilia dengan senyum seraya merapikan helaian anak rambut Giselle.
"Oh, jadi pihak istana tidak akan membunuh mereka di sekolah, rumah, jalan, atau dimanapun itu?"
Lilia tertawa kecil sambil mengangkat tangan menutup mulutnya. "Tidak, Sayang. Jika mereka melakukan seperti itu, tentu saja akan menghebohkan masyarakat. Kau tahu, bukan? Kerajaan itu selalu ingin bermain lembut dan aman. Mereka tidak suka jika terjadi kekacauan di masyarakat karena ulah mereka. Maka dari itu, mereka membuat sebuah lapangan eksekusi yang berdiri sekitar dua abad yang lalu dengan tinggi dinding mencapai dua puluh meter di sebuah desa terpencil tanpa penghuni. Untuk apa? Agar masyarakat tak menyaksikan eksekusi mengerikan itu."
Mendengar itu, Giselle sontak menelan ludah. Ia kembali teringat dengan tubuh ibunya yang ditemukan tergeletak di rumah.
Jika itu bukan kelakuan pihak istana, berarti ... para pembelotkah? batin Giselle.
"Apakah Pangeran Hayden telah memperlihatkan gambar lapangan eksekusi padamu?" tanya Lilia yang membuat Giselle menggeleng lemah.
"Kalau begitu tunggu sebentar. Bibi punya bukunya. Bibi cari dulu, sepertinya ada di kamar," acap Lilia, berlalu meninggalkan Winter dan Giselle.
Seperginya Lilia, Winter kemudian mulai bergosip dengan Giselle. Ia menjelaskan tentang hubungan dengan hunter, Jake, yang berhasil membuat Giselle terbelalak. Tentu saja demikian karena Giselle mengetahui siapa Jake sebenarnya. Setelah bertukar informasi tentang si pemuda yang menjadi bagian 'kisah cinta Winter yang belum usai dari Night Class', Giselle kembali terkejut begitu Winter menjelaskan tentang Brianna yang membuat perempuan Hampton itu melongo dengan sesekali menggeleng ringan.
Semua informasi ini dirasa terlalu banyak buat Giselle cerna dalam satu hari!
Belum sempat pembicaraan mereka berlanjut, Lilia masuk kembali ke dalam kamar seraya membawa sebuah buku berwarna hitam berukuran A4 dengan sampul tebal dan keras. Giselle mengerutkan kening, terlalu penasaran dengan isi buku berjudul 'Hukum Kerajaan Atharia'.
Lilia kemudian duduk di karpet, berada di antara Giselle dan Winter.
"Nah, ini dia bentuk lapangannya," seru Lilia seraya memperlihatkan lembaran yang sebelumnya telah ia tandai dengan jemarinya.
Lapangan eksekusi berada di desa yang tak terlalu jauh dari Nethervile, seperti yang Lilia jelaskan sebelumnya. Tempat itu lebih menyerupai stadion sepak bola, tetapi di bagian tengahnya berpasir dan terlalu banyak peralatan untuk mengeksekusi, seperti gantungan untuk mengikat tubuh, meja panjang dari kayu, dan lainnya yang membuat Giselle serta Winter bergidik.
"Mereka menerima hukuman sesuai dengan perilaku mereka dalam membuat keributan di masyarakat. Jadi ya seperti itulah." Lilia mengakhiri dan menutup kembali buku tersebut. Nampaknya perempuan itu yakin jika Giselle maupun Winter tidak ingin juga membacanya. Sepengetahuan Lilia, Giselle hanya suka membaca buku fantasi, percintaan, dan antologi puisi. Sedangkan Winter, tidak berniat sama sekali pada buku apapun.
Lilia pun bangkit, lalu menyuruh kedua gadis itu untuk beristirahat sementara dia akan bergerak menuju kamarnya. Setelah kepergian Lilia, Winter memang memadamkan lampu kamar, tetapi mereka tidak langsung tertidur, melainkan kembali berbagi cerita satu sama lain. Winter membahas kehidupan di Arkala sepeninggal Giselle, seperti melanjutkan cerita tentang Jake, Brianna, dan pekerjaan sampingannya sebagai pengasuh bayi.
Sedangkan Giselle menceritakan tentang Nethervile dan kehidupan istana. Beberapa kali Winter meminta Giselle untuk menceritakan tentang Pangeran Hayden, tetapi Giselle memilih bungkam.
Huft....
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top