36. Kristal dalam Sejarah Arkala
.
.
Tok... Tok... Tok...
Ketukan secara teratur di pintu akhirnya menyadarkan Giselle dari tidur lelapnya, tidur yang sangat nyaman jika ia lupa bahwa dirinya sedang berada di atas kapal.
Sedetik kemudian, Giselle pun bangkit dengan menjinjing ransel dan mantel. Untuk sesaat, gadis itu kembali menatap jas milik sang pangeran yang terlihat sedikit kusut akibat pelukannya selama dalam perjalanan.
Cklek...
Steven membuka pintu yang membuat Giselle memberikannya diberi senyuman singkat. Perempuan tersebut menaikkan jas yang telah ia genggam pada Steven. "Apakah aku bisa membawa ini?"
Pemuda bermanik biru itu sempat terdiam untuk beberapa waktu, hingga ia membuka mulut dan berujar, "Saya tidak tahu apakah Pangeran Hayden mengizinkannya atau tidak, tapi Anda dapat membawa jaket milik pangeran, Lady."
"Ah, di mana ia menyimpannya?"
Steven kemudian bergerak menuju bagian bawah tempat tidur dan menyingkap selimut hijau pastel yang menutupinya. Ditariknya laci kecil di bawah sana yang membuat Giselle menganggut pelan.
"Ini, Lady. Jaket milik Pangeran Hayden."
Steven menyerahkan sebuah jaket berwarna abu-abu yang bahannya lebih halus, entah apa nama kainnya. Yang Giselle sadari bahwa aroma parfum Pangeran Hayden sekali lagi masih terasa di jaket polos tersebut.
Steven menarik sudut bibirnya ke atas. "Aku akan memberitahu tentang jaket ini pada Pangeran Hayden jika bertemu dengannya suatu saat nanti."
Mendengar itu, Giselle kembali mengangguk dan berterima kasih pada Steven untuk kesekian kalinya.
Tak butuh waktu lama, Giselle yang berjalan di belakang Steven sudah tak melihat satu pun penumpang dalam kapal. Pemuda tersebut memberitahu bahwa dia membiarkan seluruh penumpang turun terlebih dahulu dan menyuruh petugas kapal untuk beristirahat sejenak di luar dari kapal ini, tentu saja agar keberadaan Giselle tak terendus sama sekali.
Ketika tiba di luar kapal dengan masih mengenakan selendang yang menutupi setengah wajah, Giselle merogoh saku mantel dan mengeluarkan berlembar-lembar uang untuk Steven.
Pemuda itu menaikkan kedua tangan di dada sambil berkata, "Tidak, Lady. Kami tidak diperbolehkan menerima satu pun harta dari Anda."
"Mengapa seperti itu?"
"Peraturannya sudah seperti itu. Selain dari hadiah bernominal kecil, kami dilarang untuk menerima dalam bentuk uang." Steven tersenyum kikuk.
Giselle menggeleng lemah, lalu meraih tangan pemuda itu dengan cepat dan meletakkan uang tersebut di atasnya. "Kau tidak boleh lagi menolak apapun pemberianku. Kau paham?"
Steven gelagapan. Selain karena uang, tangannya juga dipegang langsung oleh Giselle, di mana hal tersebut juga terlarang mengingat saat ini status Giselle adalah seorang bangsawan, meskipun belum resmi. Sementara Steven hanya seorang petugas kapal biasa. "Ta-tapi, Lady--"
"Sudahlah, ini memang untukmu. Aku tahu kau pasti membutuhkannya," acap Giselle dengan senyum tipis nan menawan. Entah dari mana ia mampu berkata seperti itu. Padahal ia tidak tahu sama sekali kondisi finansial laki-laki yang baru dikenalnya beberapa jam yang lalu.
Steven meremas lembaran-lembaran uang itu dan tertunduk dalam, matanya tiba-tiba berkilauan akibat air yang tertahan. "Terima kasih, Lady. Kebetulan saat ini ibu saya sedang sakit dan saya membutuhkan dana yang terbilang besar untuk operasinya. Ini akan sangat membantu. Sekali lagi, terima kasih, Lady."
Gadis itu terenyuh melihat Steven berusaha agar air mata tak tumpah di hadapannya. Bagaimana mungkin perkataan beberapa detik yang lalu benar adanya?
"Jika rumah sakit itu tak mampu menanganinya, bawalah ke rumah sakit lain atau pusat penyakit tertentu. Bergegaslah bertemu dengan ibumu dan rawatlah beliau. Jangan sampai menyesal sepertiku," acap Giselle sambil memegang bahu Steven.
"Baik, Lady. Terima kasih atas kemurahan hati Anda."
Giselle mengangguk. "Pergilah dan sampaikan salamku pada ibumu. Berterima kasihlah padanya karena sudah melahirkan dan membesarkan pemuda yang baik sepertimu."
Steven berkali-kali memberikan hormat pada Giselle sebelum akhirnya perempuan itu melangkahkan kaki meninggalkan kapal. Bahkan ketika Giselle telah berbalik badan, Steven masih tertunduk 90 derajat hingga akhirnya tubuh gadis itu menghilang dari hadapannya.
Sang hawa tersenyum lebar ketika sinar bulan akhirnya menyapanya malam itu, di sini, di Dermaga Dexter yang selalu ia rindukan. Aktivitasnya yang tak kenal lelah membuat Giselle merasa tidak kesepian.
Perempuan itu sebenarnya ingin langsung pulang ke rumah. Akan tetapi di jam yang masih belum larut, orang-orang pasti masih berkumpul di depan rumah mereka bersama para tetangga, asyik berbagi cerita satu sama lain. Ia tak ingin membuat kehebohan dengan membuka pintu rumahnya sambil disaksikan oleh orang-orang di sekeliling yang mengenalnya, di mana sebelumnya terjadi pembunuhan tragis di rumah tersebut. Giselle tak boleh menganggap bahwa semuanya baik-baik saja. Sebab, sekarang tidaklah demikian.
Dalam balutan kehangatan jaket milik sang pangeran, Giselle menepi sebentar di depan sebuah kedai dan bergegas memasukkan mantel ke dalam tas. Ketika akhirnya ia mendongak, sepasang manik gelapnya menemukan seorang gadis kecil bersama ayah dan ibunya tengah bercengkrama dengan seru. Gadis kecil itu tak henti-hentinya berceloteh riang sambil sesekali tawa cekikikan menguar yang membuat Giselle juga ikut tersenyum.
Putri Hampton itu seperti sedang melihat potret dirinya beberapa belas tahun yang lalu, saat ia masih tak memikirkan bahwa dunia di luar sana sangat luas dan begitu kompleks. Saat di mana ia merasa bahwa semua orang di muka bumi ini terlampau baik.
Perempuan tersebut juga teringat bagaimana kala itu Giselle kecil juga duduk di sana, persis di tempat putri kecil bersurai ikat dua itu, sambil memakan banyak kudapan-kudapan yang membuat Patra harus menegurnya. Sang ayah menyebut jika gigi Giselle bisa saja hilang dalam satu malam jika ia memakan banyak makanan manis. Padahal Patra tahu jika Giselle adalah gadis keras kepala yang hanya akan mengangguk satu kali mendengar teguran itu, tetapi tangan dan mulutnya masih bergerak lihai menyantap makanan manis.
"Ada yang dapat kami bantu, Nona?" Tidak, itu bukan teguran Patra. Tetapi seorang pelayan wanita berambut hitam bergelombang yang membawa sebuah menu sambil tersenyum ramah.
Mendengar itu, lamunan Giselle seketika buyar. "Ah itu ... aku ingin dua roti keju dan segelas cokelat hangat," acap Giselle, refleks.
"Anda ingin menikmatinya di dalam atau...."
"Oh, tidak. Aku ingin membawanya pulang. Lebih baik aku menunggu di sini saja." Giselle membalas senyum lebar pegawai tersebut.
"Baik, Nona. Silakan tunggu sebentar." Pegawai tersebut akhirnya kembali masuk ke dalam kedai, sementara Giselle kembali merogoh saku tas untuk mengambil uang.
Sang gadis kemudian duduk di kursi kayu panjang di depan kedai sambil mengamati langit penuh bintang. Sekali lagi, ia tersenyum. Terasa sekali perbedaan di Nethervile dan Arkala. Di kota besar itu, Giselle menemukan banyak mobil dan orang yang lalu-lalang di malam seperti ini. Sedangkan di Arkala, mungkin hanya melihat setidaknya sebanyak tiga puluh orang saja. Meskipun disebut Pulau Wisata, tetapi pengunjung memang tidak sebanyak itu, kecuali jika festival akan digelar, Giselle sudah dapat memastikan bahwa setiap malam selama tiga hari akan ramai.
"Ini pesanan Anda, Nona." Pegawai tersebut menyerahkan kantung berwarna cokelat dan minuman hangat. Giselle dengan cepat menyerahkan uang di tangannya.
Melihat itu, sang pegawai mengerutkan kening dan tersenyum tipis. "Ah, saya akan mengambilkan kembaliannya dulu."
"Tidak perlu," Giselle bangkit dari duduknya, "anggap saja itu hadiah untukmu karena sudah bekerja keras hari ini."
"Ah, tapi, Nona...."
"Ambillah!" acap Giselle sembari tersenyum, berlalu meninggalkan pegawai yang masih dalam rasa keterkejutan yang luar biasa.
Tentu saja demikian. Sebab, uang yang Giselle berikan bahkan dapat membeli tiga puluh potong daging steik di restoran ternama di Arkala. Sangat tidak sebanding dengan harga dua potong roti dan segelas susu cokelat hangat.
Malam itu, Giselle memutuskan untuk menghabiskan waktu di taman hingga larut sebelum ia kembali ke rumah.
Angin malam yang sedikit kuat kembali menyapa kulit putih Giselle, membuat gadis itu tersentak dari lamunannya. Sang hawa sempat melirik pada jam mewah nan besar yang berdiri tegap di tengah taman, di mana diketahui sebagai hadiah dari pemerintah daerah setempat untuk taman yang paling rapi pilihan masyarakat setahun yang lalu.
Pukul 2 dini hari, Giselle mengedarkan tatapan dan tak menemukan satu pun orang di taman. Terang saja, sebab ini adalah waktu untuk istirahat dari aktivitas yang melelahkan di pagi hari.
Menyadari hal tersebut, Giselle pun bangkit dan berjalan kembali ke rumah ditemani oleh cahaya remang-remang lampu jalan. Sang gadis tak pernah takut keluar di jam seperti ini, mengingat Arkala memiliki tingkat kejahatan nol koma sekian persen, bahkan dapat dikatakan jarang terjadi. Ya, katakanlah pembunuhan Amanda Hampton adalah satu kejadian mengerikan yang pertama kali ia dengar dari Arkala selama ia hidup. Dan malangnya, itu terjadi pada ibunya.
Setibanya ia di kompleks perumahan, Giselle membuka pintu samping rumah yang ternyata tak terkunci sama sekali. Dan ya, garis polisi sudah tak ada lagi di depan kediamannya.
Sang gadis melangkah masuk ke rumah yang hanya diterangi oleh cahaya lampu kuning di bagian ruang tamu yang mirip dengan lampu taman. Ia melihat sekeliling, namun tak ada yang berubah selain terdapat beberapa jejak sepatu, tempat tidur orang tuanya yang berantakan, dan pengap yang menyelimuti tempat tinggalnya itu. Mungkin saja ketika ia terbangun esok hari, ia akan menemukan seluruh perabotan rumah yang penuh debu.
Kaki perempuan itu akhirnya berhenti tatkala menemukan garis berwarna putih di lantai mengikuti jejak tubuh di mana Amanda ditemukan tergeletak. Genangan darah yang mengering masih ada di sana, di atas ubin berwarna putih. Melihat hal tersebut, tak sedikit pun terlintas rasa jijik dalam diri sang hawa. Giselle kemudian menyandarkan tubuhnya di dinding dengan pelan seraya menurunkan selendang yang selama ini menutupi wajahnya.
Karena seluruh rumah yang tertutup oleh gorden, Giselle tak khawatir jika ada seseorang yang melihatnya kini sudah berbaring di samping darah kering dengan tas sebagai tumpuan kepala.
Giselle tersenyum tipis dan berujar lirih, "Ibu, maaf ya. Ini sudah lebih dari 21 hari. Dan ... Giselle pulang terlambat!"
Dan Giselle pun menutup mata akibat rasa letih yang menerjang.
.
.
Semburat sinar matahari yang lolos dari celah-celah kecil ventilasi udara, mengenai tepat di manik Giselle, membuat gadis itu menggeliat dalam tidurnya.
Ketika ia bangkit, tubuh Giselle terasa dihantam oleh benda-benda keras. Rasanya semua remuk.
Sayup-sayup mendengar seseorang sedang bercakap di luar rumah. Ah, mungkin hanya tetangga yang saling menyapa pagi itu. Tapi tidak, suaranya seperti berada di depan pintu.
"Ah, selamat pagi. Apakah Anda yang akan tinggal di rumah Lady itu, Tuan?" tegur salah seorang perempuan.
"Selamat pagi juga, Nyonya. Iya, saya akan tinggal di sini," jawab pemuda tersebut ramah.
"Oh seperti itu...."
"Saya permisi dulu, Nyonya."
"Ya, silakan," acap sang wanita yang tak kalah ramahnya.
Jantung Giselle berdegup cepat ketika tangan pemuda itu mulai memutar kunci pintu secara perlahan. Sang hawa kemudian mendudukkan diri dengan menekuk lutut dan memeluknya erat.
Cklek....
Mata sang adam seketika membelalak melihat Giselle, begitu pun sebaliknya. Bergegas, pemuda tersebut menutup pintu dan menguncinya kembali, bersimpuh di depan Giselle yang sudah menarik diri, tak ingin bertatap wajah dengan lelaki itu.
"Lady? Apa yang Anda lakukan di sini?" tanya pemuda tersebut panik seraya meletakkan kantung cokelat berisi bahan makanan di lantai. Pemuda itu tak lain adalah salah satu anggota Tim Royals yang sedang bertugas di Pulau Arkala, Calvin.
Giselle kemudian mengangkat wajah. "Apakah aku tidak salah mendengar, Tuan? Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, sebab ini adalah rumahku!" tegas puan Hampton tersebut dengan kilatan mata yang tajam.
Calvin mendengkus dan menjatuhkan kedua bahunya, lalu duduk bersandar pada dinding seperti yang Giselle lakukan saat ini. "Lady, saya sekarang sedang bertugas di Arkala bersama Divisi VII Hunter untuk menjaga terowongan bawah laut," acap Calvin dengan lembut.
Tanpa menatap Calvin, Giselle menyela, "Untuk apa? Terowongan itu tak perlu dijaga. Tak ada lagi orang yang ingin membukanya."
"Apakah Anda yakin, Lady? Sependengaranku, Mark dan Julian sudah berada di pulau ini. Tentu saja tujuan mereka untuk memasang kristal hijau yang diperoleh dari Penjara North."
Giselle seketika mengernyit. "Ka-kau tahu?"
"Tentu saja, Lady. Kami tahu bahwa orang yang berkhianat itu adalah Nyonya Clara, orang yang ikut bersama kalian setelah Anda dan Pangeran Hayden melakukan balapan kuda di hutan."
Giselle membuang napas pelan, lalu akhirnya menoleh pada Calvin yang sudah menatap lurus menuju meja kecil, tempat beberapa gambar keluarga Hampton dipajang. "A-apa yang terjadi jika kristal hijau itu terpasang? Bukankah terowongan bawah laut akan terbuka? Bukankah itu menjadi hal yang baik bagi seluruh orang?"
Mendengar itu, Calvin tersenyum mengejek dan mendecih. "Anda benar-benar tak tahu, Lady?"
"Jangan membuatku takut, Tuan! Kenapa? Ada apa?" sergah Giselle cepat.
Calvin akhirnya memutar tubuh menghadap Giselle. Dengan senyum tipis dan penuh kesabaran, ia berujar, "Lady, kristal hijau itu bagai sebuah tombol yang memiliki kekuatan maha dahsyat."
Atensi yang diberikan Calvin membuat Giselle secara refleks juga memutar tubuhnya menghadap sang adam. Kening yang berkerut nampaknya sudah memberikan arti bahwa Giselle ingin diberi penjelasan lengkap.
"Mengapa kami sangat menjaga kristal hijau tersebut? Saya pikir, Anda pasti telah membaca sejarah yang menyebut bahwa kristal hijau adalah benda penting pemberian Raja Algrin II pada anak-anaknya --raja-raja setelahnya-- dan dijaga secara turun-temurun, yang katanya merupakan kristal mahal. Faktanya, itu bukanlah kristal bernilai tinggi, yang harus dijaga layaknya mahkota-mahkota milik Ratu Gabriella.
"Tak banyak yang tahu fungsi dari kristal hijau tersebut, bahkan saya dapat menjamin jika sebagian besar warga Atharia juga tak mengetahuinya. Fungsi dari kristal hijau itu hanya satu, meledakkan Pulau Arkala dalam satu malam."
Giselle mengernyit. "Meledakkan Pulau Arkala?"
Calvin menganggut beberapa kali dengan pelan. "Di bawah Pulau Arkala, terdapat bom sisa-sisa peperangan di masa lampau yang tidak dapat diangkat ke permukaan. Ukurannya pun sangat beragam dan disambungkan oleh kabel satu sama lain. Apakah masyarakat dulu tahu tentang hal ini? Ya. Akan tetapi, mereka menolak untuk diungsikan ke manapun hingga akhirnya populasi di pulau ini semakin meningkat. Kerajaan pun merasa bahwa selama kristal hijau masih berada di bawah pengawasan istana, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan."
Calvin terlihat menunduk sambil memainkan jari-jari putih itu. "Dan kristal hijau itu, adalah tombol untuk mengaktifkan bom-bom tersebut. Anda tahu, Lady? Gempa dan meningkatnya gelombang air laut dalam beberapa waktu tak dapat terelakkan lagi jika bom tersebut meledak!"
Rahang Giselle seketika mengeras, manik gelap itu perlahan memerah menahan air yang siap tumpah, dan wajahnya pucat pasi. Gadis tersebut juga terlihat menggigit bibir bagian bawah sehingga meninggalkan jejak kemerahan. Pikiran sang hawa mendadak kosong mendengar pernyataan dari Ketua Divisi VII Hunter tersebut.
Tentu saja seorang pemimpin hunter seperti Calvin tidak diarahkan untuk berbohong pada perempuan bergelar Lady tersebut. Namun entah mengapa, Giselle sulit menerima fakta ini. Ya, gadis itu tak pernah tahu jika kristal hijau adalah alat yang digunakan untuk mengaktifkan bom.
Tapi, benarkah demikian?
"Keluar dari sini, SE-KA-RANG!" Giselle berujar tegas.
"Lady...."
"Aku bilang keluar. Keluar sekarang, Tuan Calvin, sebelum aku membunuhmu di sini!"
Ancaman itu mungkin saja tak menakutkan bagi Calvin, mengingat ia sudah biasa menghadapi banyak bahaya di luar sana yang lebih dari sekadar gertakan. Bangkitnya laki-laki itu hanya ingin membuat Giselle sedikit lebih tenang.
Sebelum pintu rumah terbuka, Calvin berujar, "Apapun yang akan terjadi nanti, saya harap kita tetap bertemu di Pengadilan Istana Aglait, Lady. Ada beberapa hal yang harus Anda ketahui."
Sekali lagi, Giselle bergeming, lalu menangis sesenggukan dalam kesendirian dan kebodohan.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top