34. Penyesalan Tidak Akan Sirna

.
.

Pandangan netra yang teduh, seolah ingin membawa Giselle terhanyut dalam. Udara di sekeliling yang semula sejuk, sejak beberapa detik lalu berubah menjadi panas. Sentuhan kulit yang mengenai permukaan lapisan terluar dari tubuh Giselle tersebut, ikut memanas mengikuti suhu ruangan. Atau mungkin, itu bukanlah berasal dari suhu lingkungan yang berubah, tetapi deru napas yang saling beradu satu sama lain di atas tempat tidur dalam sebuah kamar berdinding putih-cokelat yang menjadi tempat Mark melepas letih malam itu.

Ketika tubuh kekar tersebur berada di atas seraya memandang ke arah perempuan di bawahnya dengan penuh damba, ia kemudian berucap pelan, "Bolehkah aku memasukimu?"

Deg...

Giselle tak mengatakan apapun hingga Mark kembali memberikan kecupan-kecupan yang menjelajah di sekitar wajah, lalu turun ke leher, dada, dan perut. Nampaknya laki-laki itu juga menunggu Giselle memberikannya izin sepenuhnya. Sayang, sang hawa lebih memilih untuk memejam seraya menggigit bibir bawahnya. Sebab, Giselle juga ragu. Ah, tidak, dia tidak ragu. Akan tetapi, perempuan itu berpikir bagaimana untuk menolaknya.

Saat wajah Mark akhirnya kembali menatap Giselle, perempuan tersebut berujar lirih seraya mengangkat kedua tangannya di dada Mark, menahan sang adam untuk bertindak lebih jauh, "Aku ... aku belum siap."

"Siap? Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan seperti itu, Sweetheart?" Mark menatap Giselle dengan raut penuh kekecewaan. "Apakah aku memiliki kesalahan?"

"Tidak, hanya saja ... apa kau menyembunyikan sesuatu dariku, Mark?"

Mark menatap Giselle dengan menautkan alisnya lekat. "Aku tak menyembunyikan apapun darimu!"

Kembali, Mark membenamkan kepalanya di dada Giselle, lalu memberikan jejak-jejak kepemilikan di sana. Rasanya Giselle tak ingin melanjutkan ini semua. Sebab, Mark bertindak sangat kasar dengan sesekali menggigit bibir perempuan tersebut hingga mengeluarkan cairan merah. Atau ketika jari-jari Mark bermain tanpa ampun di bawah sana.

"Aku bilang hentikan, Mark!" ucap Giselle, mendorong tubuh besar itu untuk menjauhinya. Sang puan dapat menangkap beberapa kali dengkusan dari pemuda itu. Akan tetapi, Giselle tak peduli. Benar-benar tak acuh!

Sontak saja, Mark yang terduduk di tempat tidur akibat dorongan Giselle yang cukup kuat, kemudian bergerak untuk mengambil kedua tangan Giselle dan menyatukannya dalam satu genggaman tangan Mark. Pemuda itu lalu kembali mendorong tubuh Giselle hingga puan tersebut berada dalam posisi semula, Mark yang berada di atas sang hawa.

Mata yang nyalang itu sempat membuat nyali Giselle seketika menciut. Akan tetapi, jika ia tak melawan, maka Giselle akan semakin diperdaya oleh kekuasaan sang adam atas tubuhnya.

"Apa kau ... sudah memberikannya pada si pangeran itu?" tanya Mark dengan meneliti tubuh indah yang berada dalam pandangannya dari atas ke bawah.

Jantung Giselle berdetak cepat, wajah perempuan itu mendadak memerah, dan tenggorokannya terasa tercekat yang membuatnya susah payah untuk menelan ludah dan mengeluarkan sepatah dua patah kata. Tapi Giselle tak ingin memperlihatkan air mata. Tidak, dia sudah tak sudi memperlihatkan air mata pada laki-laki yang sudah bertindak semena-mena pada dirinya.

Sejak mengetahui kematian ibunya, Giselle berusaha keras untuk keluar dari tempat ini.

Bagi Giselle untuk saat ini, semua laki-laki hanya memanfaatkan dirinya yang terlihat lemah. Pangeran Hayden mungkin memberinya uang dan Mark mengajarkannya kemampuan dalam bertahan hidup. Namun, itu bukan berarti Giselle dapat dimanfaatkan lagi oleh mereka. Sekarang yang Giselle pikirkan adalah bagaimana dia bisa keluar dari basement dan kembali ke Arkala untuk bertemu Winter. Ya, setidaknya saat ini dia masih memiliki sahabatnya itu.

Jangan tanyakan Patra, karena Giselle sendiri sudah tidak tahu di mana keberadaan ayahnya itu. Dia selalu berharap bahwa ketika ia pulang maka Patra akan berada di rumah. Akan tetapi sejak melihat gambar Patra dan Amanda muda bersama dengan keluarga Mark, Giselle sudah banyak memikirkan berbagai kemungkinan. Dan menurutnya, tak ada satu pun yang melesat. Kecuali tentang Kerajaan yang membunuh Amanda. Rasanya, ini sulit untuk diterima.

"Ya, aku sudah memberikan semuanya pada Pangeran Hayden!" ucap Giselle dengan tatapan yang tak kalah tajamnya.

Mark mendecih sambil memperlihatkan satu sudut bibir yang terangkat, seolah sedang mencemooh perempuan yang berada dalam genggamannya. "Ternyata benar kata Julian."

"Apa? Jalang? Lalu, kau juga ingin mencicipi tubuh seorang jalang?"

Mark semakin menguatkan pegangannya yang sebenarnya sudah menyakiti Giselle. Tapi, perempuan itu tak ingin memperlihatkan kelemahannya, bahkan untuk hanya sebuah ringisan pelan.

"Apakah aku terlambat?"

"Ya, itu sudah sangat terlambat. Dan lebih baik kau lepaskan aku sekarang!" pinta Giselle yang membuat mata Mark yang semula teduh, kini kembali tajam layaknya pedang.

Mark menggeleng pelan dan kembali mengangkat kepala. "Aku ... mencintaimu!"

"Bohong."

"Lalu, bagaimana aku harus membuktikannya?"

"Gampang, bawa aku keluar dari sini!"

Mark tersenyum tipis. "Jadi, kau hanya ingin keluar dari sini dan berontak seolah-olah kau tak menginginkanku?"

Giselle memejam, lalu terlihat mengembuskan napas. "Mark ... aku benar-benar tidak bisa kembali padamu. Aku pikir, kata-kataku sudah sangat jelas."

"Kenapa? Lalu, kenapa kau memintaku untuk menjemputmu? Asal kau tahu Giselle, aku melakukan semua ini karena kau milikku dan aku benar-benar memiliki perasaan padamu!"

"Maafkan aku," jawab Giselle, santai.

"Apa karena laki-laki itu?" Tangan Mark yang bebas kemudian membelai wajah Giselle perlahan. Namun, perempuan itu berkali-kali menoleh ke kanan-kiri agar Mark melepaskan tangannya itu dari wajah Giselle.

"Laki-laki itu punya nama, Mark. Dia Pangeran Hayden!"

"Dan aku tidak sudi menyebut namanya." Bentakan Mark semakin membuat Giselle kesal.

Sekali lagi, sang adam mencoba untuk meraih bibir ranum Giselle. Dan perasaan perempuan itu sudah tak dapat berubah pikiran lagi, demi laki-laki bersurai hitam tersebut.

Melihat penolakan yang Giselle berikan, Mark akhirnya menyerah dan melepaskan genggamannya. Bergegas, Giselle mengambil selimut untuk menutup tubuh tanpa sehelai benang itu seraya menjauh dari tempat tidur dan sosok pemuda yang sudah menyelipkan jemarinya pada helai-helai rambut. Mengacaknya begitu kasar layaknya orang yang memiliki begitu banyak hal yang harus dipikirkan. Tapi memang benar bahwa laki-laki itu memiliki banyak pemikiran, dan salah satunya berasal dari Giselle.

Sebelum Giselle membuka pintu, Mark terkekeh pelan. "Lucu sekali jika kembali mengingat yang lampau."

Giselle yang satu tangannya memegang selimut, sedangkan satu tangan lainnya telah memegang tuas pintu pun tiba-tiba terhenti. Ia membalikkan tubuh menghadap pemuda yang masih terduduk dengan ekspresi penuh kekecewaan. Iba? Mungkin saat ini Giselle merasakan hal tersebut.

Sadarkan dirimu, Giselle, batin sang puan.

"Kau tahu, Giselle? Aku mengikutimu ke Nethervile karena aku memang menginginkan buku hunter yang ada padamu. Aku sangat menginginkan untuk mendapatkan kristal hijau, sama sepertimu!"

Giselle mengangkat kedua sudut bibir, lalu dengan cepat menggeleng. "Aku sudah memikirkan itu semalaman kemarin dan ternyata apa yang aku pikirkan benar adanya. Kau tak mungkin mengikutiku tanpa tujuan tertentu. Terima kasih sudah mengungkapkannya."

Sang puan dapat melihat dari ujung mata bahwa leher Mark bergerak. "Tapi sejak kita selalu bersama, sejak itu pula aku mencintaimu!"

"Adakah yang ingin kau sampaikan selain itu?" Giselle mengalihkan.

"Tidak, aku tidak memiliki sesuatu yang ingin aku sampaikan lagi."

Giselle tersenyum mengejek, mata perempuan itu tampak sayu. "Mungkin aku lupa mengatakan ini saat kita bertemu di RedT. Tapi aku ingin tahu ... dengan siapa kau dijodohkan?"

Mark mengusap wajah kasar sambil sesekali membuang napas. Ia merunduk dan memejam, lalu sedetik kemudian mengangkat pandangan menuju perempuan yang kini sudah menatapnya sendu.

"Itu kau, Giselle. Itu dirimu...."

Sempat ada keraguan yang terpatri dalam hati kecil Giselle. Namun, ketika sang hawa akhirnya memberanikan diri untuk menatap lekat kedua indra penglihatan Mark, Giselle seketika mengatupkan rahang.

"Ya, itu dirimu. Patra Hampton yang menyerahkanmu padaku dan aku senang akan hal itu." Senyum miris Mark membuat pertahanan Giselle justru semakin menguat. Rasanya, gadis itu berada di atas angin sekarang.

Giselle mengembuskan napas panjang, ingin berbalik badan untuk meninggalkan pemuda yang hanya mengenakan celana pendek tersebut. Namun, sekali lagi langkah sang hawa terhenti ketika sebuah pertanyaan mengalun dari mulut Mark. "Apakah aku tidak memiliki kesempatan lagi?"

Tanpa menoleh sedikitpun, Giselle berujar mantap, "Lupakan aku!"

.

.

Sebenarnya, Mark sudah menyuruh Giselle untuk menempati kamarnya saja dan membiarkan Mark yang beristirahat di kamar Giselle. Sayang, Giselle menolak. Ia takut Mark membuka lemari kamarnya dan kembali atau mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Entah mengapa, Giselle sudah tak mempercayai laki-laki itu sejak sang pemuda memperlihatkan kristal hijau pada Julian dan tidak mengatakannya sejujurnya ke Giselle. Padahal tujuan mereka sama.

Mark memang menginginkan kristal hijau itu sendirian.

Ketika Giselle menginjakkan kaki di dapur, ia tak mendapati Mark maupun Julian di pagi itu. Giselle menganggap wajar jika Mark marah padanya mengingat sudah beberapa hari ini Giselle secara terang-terangan menolak Mark dan sang hawa dapat menangkap rasa terkejut pemuda itu karena dicampakkan. Akan tetapi, Giselle tak merasa bersalah karena melakukan hal tersebut.

Ia hanya merasa bersalah pada ibunya sekarang karena pergi diam-diam, hingga Giselle tak tahu sama sekali tentang kepergian sang ibu, Amanda Hampton.

Giselle juga tak tahu kapan Mark akan membawanya kembali ke Arkala seperti yang ia ucapkan dua hari yang lalu. Dan sekarang, mungkin saja laki-laki itu sedang tertidur lelap di kamarnya.

Kaki Giselle berhenti ketika mendapati banyak surat kabar yang tergeletak di atas meja makan serta sebuah sarapan berupa roti bakar keju dan segelas susu putih. Tanpa pikir panjang, Giselle menarik kursi kayu dan duduk dalam diam untuk beberapa saat.

Ia mengamati satu per satu surat kabar, di mana gambar dirinya menjadi headline berita dengan berbagai macam topik.

'Breaking News! Pangeran Hayden Memperkenalkan Seorang Wanita dalam Kunjungan Resmi Kerajaan'

'Giselle Hampton, Sosok yang Meluluhkan Hati Pangeran Hayden'

'Calon Pendamping Pemimpin Istana West, Giselle Hampton'

'Pihak Kerajaan Belum Memberikan Tanggapan Terkait Lady Giselle'

'Pangeran Jace dan Pangeran Hayden Bungkam Perihal Giselle'

Namun dari sekian banyak surat kabar yang memberitakan tentang dirinya, pandangan Giselle jatuh pada sebuah headline bertuliskan, 'Lady Giselle Akhirnya Menampakkan Diri Setelah Kehilangan Ibunda.'

Tanpa berpikir panjang, Giselle meraih surat kabar tersebut dan membacanya penuh ketelitian.

'Giselle Hampton yang menghebohkan Atharia dengan kehadirannya dalam kunjungan resmi kerajaan bersama Pangeran Hayden, tampak anggun dan cantik. Ia tersenyum manis di depan seluruh pegawai perusahaan keramik terbesar di Atharia, RedT.

Sosoknya yang muncul secara tiba-tiba membuat seluruh warga penasaran tentang identitas perempuan dengan rambut berwarna gelap tersebut yang ternyata diketahui bernama Giselle Hampton, seorang pelajar dari Akademi Evergreen, Pulau Arkala.

Giselle memiliki orang tua bernama Patra Hampton dan Amanda Hampton. Sayangnya, Patra saat ini tidak diketahui keberadaannya. Sedangkan sang ibu diketahui mengalami kejadian tragis, di mana ia mengakhiri hidup dengan sebuah senjata dua minggu yang lalu. Terkait hal ini, Kepolisian Arkala membenarkan kejadian tragis tersebut dengan mengatakan bahwa tubuh Amanda Hampton ditemukan bersimbah darah di lantai rumah.

Beberapa kesaksian menyebut bahwa sebelum ditemukan meninggal pada malam hari, Amanda Hampton diketahui menerima dua tamu laki-laki sekitar pukul 17.00, namun identitas keduanya tidak diketahui hingga saat ini.

Sosok yang menemukan Amanda Hampton tergeletak di dalam rumah berjumlah empat orang, di mana keempatnya adalah teman-teman dari Giselle Hampton sendiri. Nama keempat orang tersebut tak ingin disebutkan.

Setelah kematian sang ibunda, perempuan bergelar Lady itu nampak tegar dengan memperlihatkan keramahan, senyum menawan, dan kharisma yang luar biasa di hadapan seluruh mata yang memandang. Tak sedikit yang menyebut jika sosoknya sangat cocok dengan Prince Hayden of Floer dan berharap jika Giselle akan menjadi The Duchess of Floer di masa mendatang.'

"Ternyata benar, ibu meninggalkan aku," acap Giselle seraya menatap lurus dengan air yang menggenang di pelupuk.

Ia kembali melihat surat kabar dengan gambar rumahnya yang telah diberi garis polisi, garis putih di lantai mengikuti bentuk tubuh ibunya ketika ditemukan, dan beberapa warga yang berdiri di depan rumah telah berhasil membuatnya terpaku.

Fakta bahwa gambar tersebut tercetak jelas dan disejajarkan dengan dirinya yang tersenyum ramah sambil menerima uluran tangan pemimpin RedT, lebih menusuk hati. Terlihat seperti seorang anak bahagia mengetahui kepergian ibunya yang mengenaskan, meskipun mungkin sang editor surat kabar tak bermaksud demikian. Akan tetapi, Giselle sudah merasa seperti itu.

Dadanya yang seketika sesak, tangan dingin, kaki yang bergetar di bawah sana, dan air mata yang menetes pun sudah tidak dapat terelakkan lagi. Pertahanan yang perempuan itu coba bangun dari semalam sejak dirinya berdebat Mark, akhirnya hancur juga pagi ini.

Pikirannya kembali melayang ke beberapa minggu yang lalu, hari terakhir ia bersama Amanda malam itu di halte. Jika ia dapat memutar waktu, Giselle lebih baik menghabiskan liburan di rumah neneknya seperti yang ia sampaikan pada Amanda. Namun apa daya, hanya penyesalan dan penyesalan yang tiada henti ia gaungkan setiap harinya tanpa pernah bosan.

Sang hawa kemudian menaikkan kedua kaki di atas kursi, menekuk dan memeluk, lalu meletakkan kepalanya di sana hingga suara tangisan itu redam bersamaan dengan lambatnya getaran tubuh. Untuk beberapa saat, Giselle terdiam. Ia sudah tidak mampu lagi untuk berpikir apapun saat ini.

Tak lama kemudian, Giselle pun bangkit, lalu meletakkan seluruh surat kabar dan sarapannya di atas westafel. Perempuan dengan ekspresi kosong itu mengalirkan air hingga surat kabar terkoyak dan makanannya tersapu bersih. Meskipun begitu, Giselle merasa tak bersalah sama sekali telah membuang makanan, walaupun ia kembali mengingat perkataan Amanda di masa lampau bahwa membuang makanan merupakan tingkah laku yang kurang baik.

Tapi, Giselle tak peduli. Benar-benar tak peduli!

Bergegas, Giselle melangkahkan kakinya menuju kamar Mark. Ia benar-benar ingin keluar dari basement sekarang. Persetan jika harus berdebat kembali dengan pemuda itu, karena nampaknya hari-hari bersama Mark hanya akan dihiasi oleh perdebatan tanpa henti. Tak seperti sebelumnya yang penuh dengan fantasi indah layaknya kisah negeri dongeng yang biasa ia dengar.

Saat akhirnya pintu kamar terbuka, Giselle tak menemukan sosok Mark. Berlanjut ke kamar yang lain dan tetap tak menemukannya di mana pun.

Bergegas, Giselle berlari dan meraih pintu basement. Sayang, meskipun berulang kali ia memutar tuas, tetap saja pintu kayu itu tak terbuka yang berakhir membuat Giselle panik.

Oh, tidak. Giselle dikuncikan seorang diri!

.
.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top