33. Brianna H.
.
.
"Ini kembaliannya, Nona Anderson. Terima kasih telah menggunakan jasa kami."
"Ah, terima kasih kembali, Tuan Adam." Winter menunduk satu kali dengan senyum manis, lalu mengizinkan pria paruh baya itu meninggalkannya.
Setelah memasukkan kertas putih di dalam kantung, Winter pun memutar tubuh dan akan melangkah masuk ke bangunan. Namun, derapnya terhenti tatkala ia mendengar namanya dipanggil dari kejauhan.
Winter kembali membalikkan tubuh ke asal suara, dan betapa terkejutnya ia melihat Jake berada di ujung jalan dengan kaus putih, celana jeans biru, dan jaket hitam yang ia sampirkan di bahu sebelah kanan. Jake tampak sangat keren siang itu. Bergegas, Winter pun berlari menyebrang jalan dan meninggalkan barang-barang pemberian Tuan Adam di dekat pintu.
Jake memeluk Winter dengan erat dan membelai puncak kepala sang hawa lembut. Ketika akhirnya Winter melepaskan pelukan itu, Jake dengan cepat memberikan kecupan di bibir gadis berambut pendek sebahu tersebut.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Winter dengan kedua sudut bibir yang terangkat. Sungguh manis nan memabukkan bagi Jake.
"Aku justru ingin bertanya padamu, Sayang. Sekarang waktu belajarmu sudah selesai, harusnya kau sudah pulang. Aku mengunjungi rumahmu dan yang menemuiku adalah Tuan Anderson. Kau tidak tahu bagaimana berdebar-debarnya aku bertemu calon mertua?" jelas Jake dengan mengerucutkan bibir, terdengar sedikit manja di telinga Winter saat itu.
"Calon mertua? Hei ... jadi kapan aku dilamar?" goda Winter sambil mencubit perut kotak-kotak Jake. Yang dicubit hanya berpura-pura meringis.
"Nanti ya...."
"Santai saja, aku juga tidak memaksamu secepat itu," ucap Winter lalu terkekeh kecil. "Oh ya, aku tidak memberitahumu jika aku bekerja di sini?"
"Di ... sini? Bukannya ini asrama para bayi Day Class?" ragu Jake.
"Ya, ya, aku membantu para suster di sini untuk menjaga para bayi. Kau ingin melihat bayi-bayi itu? Sungguh menggemaskan, Jake," seru Winter dengan sesekali berjinjit semangat.
"Apakah orang luar diperbolehkan masuk?"
"Tentu saja boleh. Bagaimana jadinya jika tak boleh, sementara beberapa orang tua di luar sana ingin mengadopsi para bayi?"
"Ah, kau benar juga."
"Ayo, ikut denganku," ajak Winter seraya mengambil tangan sang pemuda.
Jake menawarkan diri untuk mengangkat berkantung-kantung barang yang ternyata adalah cucian gorden, kain alas, dan kain pembarut dada bayi. Winter dan pegawai di asrama ini nampaknya sudah sering menggunakan jasa Tuan Adam untuk mencuci semua ini. Sementara Jake mengangkat barang, Winter membawakan jaket pemuda itu yang dipegangnya kuat-kuat seolah tak ingin dilepaskan.
Mereka berdua melintasi koridor lantai satu dan lantai dua. Sesekali Jake menyapa para suster yang mengenakan pakaian serba putih dengan memberikan senyum dan menunduk. Pemuda itu sempat mengatakan pada Winter jika asrama bayi Night Class memiliki suster yang memakai pakaian biru navy, sehingga sekarang Jake merasa suasananya sungguh berbeda. Terlebih, ruangan-ruangan yang mereka lewati juga berdinding putih.
"Benar-benar sangat terang," ujar Jake yang diberi anggukan oleh Winter.
Setelah berjalan cukup jauh dengan menaiki beberapa tangga, Jake dan Winter akhirnya tiba di sebuah ruangan yang memiliki banyak lemari untuk kantung-kantung kain tadi. Winter menjelaskan jika ada suster lain yang akan merapikan semua ini nantinya.
Winter juga menambahkan jika seharusnya pengambilan kantung-kantung itu bukanlah tugasnya. Akan tetapi, suster yang berjaga sedang berhalangan hadir sehingga gadis tersebut yang berinisiatif untuk mengambil dan mengantarkannya.
"Padahal ini berat, Sayang. Memangnya kau kuat?" ejek Jake dengan senyum jailnya ketika satu per satu kantung itu ia letakkan di lemari yang terbilang tinggi. Melihat tubuh Winter, sepertinya perempuan itu akan membutuhkan tangga untuk menyimpan di lemari jika ia mengambil tiga kantung cucian di lain waktu.
"Harus dikuatkan. Lagi pula, aku bisa mengangkat dan membawanya satu per satu."
"Hah? Satu per satu?" Jake terlonjak, "nanti kau tambah kecil. Aku tidak mau melihat calon istriku menciut."
Plak...
"Awww."
Winter menyentil bibir Jake sedikit terdengar keras. Namun, Jake hanya mendengkus, sedangkan Winter sudah tersenyum lebar. "Memangnya aku sekecil itu. Dasar...."
Jake dan Winter kemudian keluar dari ruangan, berjalan beberapa langkah sebelum akhirnya melihat sebuah ruangan panjang dengan kaca tembus pandang, sehingga orang-orang yang lalu lalang dapat melihat isi ruangan tersebut.
Seketika, langkah Jake terhenti seraya meletakkan kedua tangan di depan kaca ruangan tersebut. Senyumnya tersungging simpul, tatapan teduh, dan netra yang berbinar nampak jelas ketika Jake melihat satu demi satu bayi yang menggeliat di atas tempat tidur kecil.
Melihat itu, Winter memosisikan diri tepat di samping Jake. "Mereka ... seperti boneka."
"Benar, 'kan? Mereka imut sekali," jawab Winter sambil ikut memandangi bayi tersebut.
Winter dan Jake pun terdiam selama beberapa saat. Perempuan itu berkali-kali menoleh pada Jake, mengamati raut wajah sang pemuda yang tampak serius mengamati bayi-bayi mungil. Jujur, Winter merasa hangat melihatnya.
"Kau ingin masuk ke dalam?" tawar Winter yang membuat Jake seketika melirik padanya.
"Memangnya boleh?"
"Tentu saja."
Winter kemudian menarik tangan Jake menuju salah satu ruangan untuk mengenakan pakaian khusus berwarna biru, lalu masuk ke ruangan bayi tersebut.
"Apakah bisa digendong?" tunjuk Jake pada salah kotak bayi.
Sang puan menatap Jake lekat, sedikit tidak yakin. "Bisa, hanya saja apakah kau yakin bisa menggendongnya?"
"Tidak, bukan aku. Tapi, aku ingin melihatmu menggendongnya."
"Lelucon apalagi ini, Jake." Winter terkekeh pelan.
Meskipun Winter sempat menertawakan sang pemuda, tapi ia tetap menggendong bayi tersebut dan mengarahkannya pada Jake.
"Aku juga ingin, tapi aku takut. Nampaknya sangat rapuh."
Winter mengedikkan bahu. "Tentu saja. Kau harus melakukannya dengan perlahan. Mau?"
"Tolong ajari aku."
Winter kemudian menyuruh Jake untuk melihat posisi kedua tangannya, lalu ketika sudah siap, Winter menyerahkan bayi itu ke tangan sang adam. Perlahan dan penuh kehati-hatian, Jake menggendongnya dan diayunkannya tangan itu agar sang bayi tak menangis.
"Aku merasa bahwa sekarang sudah siap jadi ayah," kelakar Jake yang membuat Winter tersenyum.
"Belum, belum saatnya. Kau masih perlu belajar banyak untuk menjadi seorang ayah. Jika hanya diukur dengan mampu menggendong atau tidak, aku pikir semua laki-laki juga bisa," acap Winter, sedikit meremehkan.
Jake kemudian menyerahkan bayi tersebut pada Winter dan dikembalikan ke kotaknya. Kedua pemuda itu lantas beranjak menuju suatu ruangan, tempat di mana bayi-bayi baru Day Class akan diberikan tanda kenal diri. Namun, ketika satu per satu bayi telah dibawa oleh suster menuju kotaknya masing-masing di ruangan sebelah, ada satu bayi yang nampak dibiarkan begitu saja. Ah, atau ini hanya perasaan Winter.
"Luna, mengapa bayi ini tak dipindahkan juga?" tanya Winter pada salah satu penjaga ruangan tersebut.
"Ah, sejak kemarin kami menunggu data dirinya. Akan tetapi, kami tak menemukan satu pun kertas atau tanda pengenal di keranjang bayi itu. Kepala asrama juga sedang tak ada di tempat, sehingga kami bingung memberikannya nama." Sang wanita yang diperkirakan seumuran Winter itu memperlihatkan kedua sudut bibir yang ditekuk.
"Kasihan sekali dia."
Ketiga orang di ruangan itu seketika menatap pada bayi perempuan yang hanya mampu menggeliat, sambil sesekali mengerjap dan tersenyum. Melihat itu, Jake pun menundukkan tubuh dan memberikan jari kelingking untuk bayi itu genggam. Dan tak lama, bayi perempuan tersebut tersenyum lebar yang membuat Jake melakukan hal yang sama.
"Apa aku boleh melihat daftar total kebutuhannya?" tanya Jake, membuat Winter sedikit kebingungan.
"Oh, boleh, Tuan."
Segera, Luna pun mengambil papan jalan dengan kertas yang tercapit di atasnya, lalu menyerahkan kepada Jake. Sang adam tampak serius mengamati daftar tersebut, menelitinya satu per satu sambil sesekali ia mengelus dagu.
"Oke," ucap Jake, "aku akan mengadopsinya!"
"Heh? Kau gila?" pekik Winter.
Jake menyerahkan daftar itu kembali pada Luna, lalu berkata, "Namanya Brianna Hernandez."
"Ba-baik, Tuan. Akan saya urus kelengkapan dokumennya. Mohon ditunggu sebentar," acap Luna, lalu meninggalkan Jake dan Winter berdua saja di dalam ruangan.
Jake mengacak puncak kepala Winter. "Mengapa kau begitu terkejut?"
"Mengapa kau melakukannya?"
Sang adam menghela napas panjang. "Setelah aku melihat daftarnya, aku pikir gajiku cukup untuk membiayainya. Lagi pula, aku sudah tinggal di istana. Hidupku sudah terjamin hingga nanti tiada, bahkan aku juga mendapatkan pensiunan untuk anak-anakku kelak. Aku juga tak memiliki orang tua yang bisa aku bahagiakan dengan uang yang aku dapatkan, jadi tak ada salahnya, bukan?
"Jika kau khawatir bahwa aku tak menyisihkannya untuk meminangmu dan untuk keluarga kecil kita nanti, maka kau salah besar. Aku sudah memiliki beberapa tabungan yang berbeda, Sayang." Mendengar hal tersebut, Winter sontak mencubit lengan Jake. Wajahnya menyiratkan rona salah tingkah yang membuat Jake tersenyum dibuatnya.
"Jake, bayi yang baru saja kau sentuh adalah manusia, bukan barang yang bisa kau ambil dan membayar sesuka hatimu. Ada tanggung jawab untuk membesarkan dan memberinya kasih sayang, bukan hanya sekadar memberikannya uang." Winter mencoba menjelaskan pada Jake dengan sehalus mungkin, sehingga laki-laki itu tak tersinggung dan lebih baik memikirkan pilihannya.
Jake meletakkan kedua tangan di bahu Winter dan tersenyum tipis. "Aku paham, Sayang. Mungkin aku tidak memberitahumu, tapi niatanku ini sudah ada dari satu tahun yang lalu. Maka dari itu, selama ini aku menyisihkan uang untuk anak, membangunkannya kamar yang nyaman di istana, sebisa mungkin aku mencoba untuk menjadi orang tua yang baik. Aku benar-benar tulus, Winter."
Sontak, Winter menatap lekat manik gelap pemuda tersebut. "Kau ... kau sudah membuatkannya kamar di rumahmu di Istana Aglait?" tanya Winter dengan terbata-bata. Jangan tanyakan sekarang ekspresi sang puan yang terlihat layaknya mendapatkan hadiah dadakan yang menjadikannya jutawan hanya dalam satu malam.
"Ya, tapi sekarang aku tidak bisa membawanya ke istana karena Pangeran Jace mengharuskanku untuk menyelesaikan misi. Setelah itu, aku akan membawa anakku ke sana dan mencarikannya pengasuh.
"Tak apa jika dia tinggal di asrama dahulu? Aku akan sering mengunjunginya, seperti aku mengunjungimu. Aku janji." Jake menempelkan kedua tangan di dada, memohon pada Winter.
Melihat itu, Winter menatap Jake sejenak. Jika boleh jujur, gadis itu akhirnya paham bahwa Jake adalah laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Meskipun pekerjaannya mungkin terdengar negatif di telinga beberapa masyarakat umum, namun kepribadiannya sungguh membuat hati Winter tersentuh.
Jake yang ia kenal dulu adalah seperti ini, menenangkan, bertanggung jawab, dan bisa diandalkan. Hanya saja, gadis itu lebih sering mendengar hal-hal negatif tentang para hunter yang membuatnya memilih untuk mundur.
Sekarang, Winter sepertinya harus berpikir dua kali untuk menyerah terhadap Jake, pemuda yang penuh dengan kejutan.
"Untuk tempat tinggalnya, ya, dia bisa tinggal di asrama. Dan ... kau tak perlu khawatir soal itu, A-yah...."
Winter dengan cepat beranjak meninggalkan Jake yang masih termangu mendengar panggilan baru dari sang kekasih. Rasanya mendebarkan, pun sangat membahagiakan. Baik Winter dan Jake tak dapat menyembunyikan perasaan membuncah itu, hingga Winter bahkan harus meninggalkan Jake agar wajahnya yang berubah merah tak diketahui oleh sang adam.
"Ayah? Winter, aku tak mendengarnya. Coba diulang, Sayang," panggil Jake berulang kali.
.
.
"Jadi, berapa lama kau akan tinggal di Arkala?" tanya Winter, lalu memasukkan potongan daging ke mulutnya.
Saat ini, Jake dan Winter tengah berada di kantin asrama bayi Day Class yang sekali lagi dekorasinya serba putih. Tak banyak pengunjung yang ada di kantin, sebab ini bukanlah jam makan siang. Ada beberapa meja yang terisi, di mana mereka tidak terlihat makan dan hanya sedang menghabiskan waktu dengan berbagi cerita bersama kolega.
Kedua pemuda itu memutuskan untuk makan bersama setelah menyelesaikan dokumen dari Brianna. Dan dari cara Jake makan, Winter sepertinya tahu jika pemuda itu belum makan seharian.
"Tidak tahu. Yang aku tahu, aku dipindahkan ke sini untuk sementara waktu. Menjaga terowongan itu," jelas Jake yang masih mengunyah daging.
"Kalau begitu, aku akan membawakanmu makan siang lain kali, bagaimana?"
"Ah, itu akan sangat merepotkanmu."
Winter melambaikan tangan. "Tidak, tidak. Aku sebenarnya ingin kau mencoba masakanku. Sebab, aku sedang belajar memasak juga."
Jake tersenyum manis. "Aku tidak tahu jika kau memiliki banyak bakat, Winter."
"Tapi, aku tidak terlalu pandai. Mungkin nanti rasanya akan sedikit aneh."
"Ya tidak apa-apa. Namanya juga belajar."
Ada jeda selama beberapa menit yang tercipta. Keduanya tampak menikmati makanan mereka, sehingga hanya ada suara alat makan yang beradu. Begitu Jake menandaskan seluruh makanan dan menurunkan alat makan, Winter dengan cepat berucap, "Aku membaca berita tentang Giselle."
Winter menundukkan pandangannya yang membuat Jake juga menutup erat mulut. Pemuda itu nampak mendengkus, lalu meraih kedua tangan Winter. Mau tak mau, Winter pun mengangkat wajahnya menuju sang adam.
"Kau mau mendengarkan aku?" tanya Jake pelan.
"Aku akan mendengarkanmu bahkan jika itu hingga malam tiba."
Jake pun mengangguk, lalu menjelaskan semua yang terjadi pada Giselle. Perempuan yang pernah dipenjara di Istana North, dipenjara di dalam Istana West, melayani Pangeran Hayden dan menghabiskan waktu berdua, tak mengetahui tentang kematian Amanda, hingga kematian Patra yang membuat Winter membelalak selama beberapa detik.
Sang adam juga menjelaskan bagaimana mereka sangat menjaga Giselle agar tak tersentuh oleh dunia luar, mengingat ia pernah berada di tangan para pembelot. Jujur saja, Winter tak pernah tahu jika kerajaan memiliki para pemberontak yang harus dilawan. Jikalau tersiar kabar tak menyenangkan di Nethervile, Winter selalu membaca bahwa surat kabar yang menjelaskan jika hal tersebut disebabkan oleh human error atau hal lainnya. Dan yang mengeluarkan pernyataan pun adalah perwakilan istana, sehingga orang-orang akan percaya begitu saja. Padahal menurut pengakuan Jake, terkadang kekacauan memang dibuat oleh para pemberontak untuk menakut-nakuti masyarakat dan pihak istana yang harus turun tangan untuk menenangkan.
"Pada saat Giselle berada di istana, Pangeran Hayden bahkan tidak ingin dia mengetahui kematian ibunya, karena itu akan menyebabkan Giselle memberontak dan tidak akan berpikir jernih. Yang berakibat dia bisa saja melakukan segala cara yang tidak terpikirkan sebelumnya, atau bisa saja para pembelot menggunakan hal ini untuk memancing Giselle agar membuat kekacauan di dalam istana. Sekali lagi, tak ada yang tahu apa yang sedang Lady itu pikirkan. Dia tak terduga," jelas Jake.
"Pangeran Hayden tak ingin memunculkan kasus ini sebagai headline berita, maka dari itu disebut sebagai bunuh diri. Mengapa demikian? Sebab, Lady sangat senang membaca dan setiap hari dia tak melewatkan satu pun surat kabar. Berita tentang bunuh diri mungkin tidak akan dituliskan di surat kabar dan itu benar adanya. Mungkin terdengar jahat, tapi Pangeran Hayden hanya ingin menjaga wanitanya saja."
"Tapi, dia tetap harus tahu itu, bukan?" acap Winter.
"Tentu saja, Winter. Tapi ada waktu yang tepat untuk mengungkapkan semuanya."
"Kapan? Jika dia mencari tahu sendiri, itu lebih menyakitkan, Jake."
Winter sudah tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia tak pernah menyangka jika selama ini Giselle hidup dalam keadaan terbelenggu, sangat terbalik dengan yang ia lihat di surat kabar beberapa lalu ketika Giselle dan Pangeran Hayden menghadiri kunjungan resmi di pabrik keramik dengan penuh senyuman kebahagiaan. Ternyata, semua itu semu.
Akan tetapi, Jake mencoba meyakinkan Winter bahwa Giselle benar-benar diperhatikan oleh sang pangeran, bahkan memenuhi seluruh kebutuhannya. Pangeran Hayden selalu mengutamakan Giselle di atas segalanya. Ia juga sampai berani membawa perempuan itu untuk dikenalkan pada kedua orang tua Pangeran Hayden.
Mendengar informasi tersebut, Winter memejam sebentar dan merasa sedikit lega. Ia menghapus air mata dengan tisu yang berada di atas meja, mencoba menetralkan emosinya.
"Giselle tidak hanya temanku, sahabatku. Tapi dia adalah saudaraku, Jake. Dan aku tidak ingin dia bersedih."
"Aku tahu, Sayang. Aku tahu." Jake membelai surai Winter dengan lembut yang membuat perempuan itu mengeratkan genggamannya pada Jake.
"Kau tadi mengatakan bahwa ia sempat berada di tangan pembelot? Apa kau memiliki gambar orang-orang jahat itu? Supaya aku juga lebih waspada jikalau mereka ternyata berada di Arkala."
Jake kemudian merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah kertas, lalu ia memperlihatkannya pada Winter. Sejenak, sang hawa menatap kertas itu lamat.
"Ah," seru Winter, "aku pernah melihat laki-laki ini!"
"Kau mengenalnya?"
"Tidak, tapi aku pernah melihatnya di Festival Iox waktu itu dan dia sebenarnya adalah laki-laki yang ingin aku kenalkan pada Giselle di festival tersebut. Dia juga yang ada di Dermaga untuk mengangkat barang, bukan? Tapi meskipun begitu, Giselle tetap pergi dengannya. Jadi, sama saja."
Jake menelan saliva dengan susah. "Karena sebenarnya Giselle menemui laki-laki itu untuk menanyakan buku hunter milikku."
"Buku hunter?" Winter mengernyit.
"Kau pernah lihat Giselle memiliki buku berwarna cokelat tanpa gambar apapun?" Jake menatap manik Winter.
"Ya," sang puan mengangguk, "aku pernah melihatnya!"
"Dan itu adalah buku hunter milikku yang hilang," acap Jake yang membuat Winter sekali lagi mendengkus, kedua bahunya jatuh begitu saja.
Benar-benar perempuan gila, batin Winter.
Sudah tak ada informasi tentang pemuda dermaga yang dapat Winter katakan pada Jake. Ia hanya memandang pemuda yang sesekali mendengkus sambil meneguk segelas air dengan ekspresi kosong.
Namun, itu tak berlangsung lama. Sebab kali ini, tatapan teduh Winter pamerkan di hadapan sang adam. Ia membelai jemari Jake, seakan itu adalah hal yang paling berharga dalam hidupnya. Tak lupa ia menepuk-nepuk pundak sang adam untuk memberikannya sedikit kekuatan dalam menjalankan misi. Mungkin tak terlalu berpengaruh, namun Winter berharap jika Jake mengetahui bahwa perempuan itu selalu mendukung apapun usaha sang adam.
Winter tahu jika pemuda yang tersenyum di depannya sudah sangat bekerja keras di istana selama hampir dua tahun terakhir ini. Hal itu dapat terlihat dari wajah Jake yang memperlihatkan garis-garis hitam di sekitar mata, rambut-rambut tipis yang mulai tumbuh, dan tubuhnya semakin kurus. Seperti tak pernah mendapatkan istirahat dan makan yang baik.
"Jake...."
"Ehm?"
"Bolehkah ... aku yang merawat Brianna?"
Jake tergelak kecil seraya memperlihatkan gigi-gigi depannya yang rapi. "Mengapa harus meminta izin jika kau adalah ibunya?"
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top