32. Pencarian Para Pemberontak

.
.

Ann berlari menyusuri koridor Istana West dengan cepat menuju kantor milik Pangeran Hayden. Meskipun saat ini ia sudah tidak melayani Giselle lagi, tapi Ann tetap memutuskan untuk tinggal di kediaman yang dijuluki Istana Merah tersebut dan bergabung dengan petugas keamanan kerajaan.

Sret....

Begitu pintu kantor dibuka, Ann sudah menemukan Pangeran Hayden sedang menatapnya serius. Meskipun lemah, namun tak menghilangkan sorot tajam dari pangeran yang tidak tidur semalaman itu.

"Ada apa, Ann?"

"Kristal Hijau di penjara Istana North hilang malam tadi, Yang Mulia."

Netra Pangeran Hayden membulat. "Tapi bagaimana mungkin?"

"Apa ... Lady yang mengambilnya?" curiga Ann.

"Tidak, Ann. Dia bersamaku seharian, lagi pula dia juga tak berpisah darimu selama ini." Ann dan Pangeran Hayden seketika terdiam.

Sang pangeran benar, Ann memang tidak pernah meninggalkan Giselle walau hanya sebentar. Kalau pun ia akan meninggalkan perempuan itu, pasti saat Giselle sudah terlelap di samping Pangeran Hayden. Terlebih, setelah Ann menanyakan pada para pegawai di Istana North, mereka mengatakan tak pernah melihat Giselle berkeliaran, baik siang dan malam. Akan tetapi, mereka pernah melihat salah seorang pegawai, namun tidak pasti dia berasal dari istana apa. Sebab, dia tak mengenakan atribut istana mana pun.

"Apakah pegawai itu perempuan?"

"Menurut yang saya tahu, iya, Yang Mulia."

"Apakah ada pegawai yang tidak mengenakan atribut saat bekerja? Setidaknya ia memakai warna istana tempatnya bekerja." Pangeran Hayden mengelus dagu dan kedua alisnya menyatu.

"Ah, Ann. Pergi ke seluruh istana dan cari tahu siapa saja yang tidak memiliki atribut istana di pakaian mereka. Dan juga, tolong panggil Calvin, Jake, dan Russell!"

"Baik, Yang Mulia."

Cukup lama Ann berkeliling istana. Ia hanya memanggil para kepala pegawai dan menyuruh seluruh pegawai untuk berbaris. Setelah itu, Ann mengamati mereka dengan seksama dan detil, tak ada yang terlewati. Hingga akhirnya, satu jam pun terlewati dan ia tak menemukan apapun.

Segera, Ann kembali ke Istana West untuk menemui seluruh Tim Royals, termasuk beberapa petugas keamanan Pangeran Hayden.

"Saya sudah menelusuri Yang Mulia. Tapi, saya tidak menemukan satu pun orang yang dimaksud. Semua orang memiliki atribut istana," acap Ann dengan napas yang masih memburu.

"Lantas? Ah, mengapa ini begitu memusingkan!" keluh Pangeran Hayden. Ia terlihat mondar-mandir di depan meja kerjanya.

Russell kemudian mengangkat tangan. "Mohon maaf, Yang Mulia. Izinkan saya berbicara."

"Silakan, Russell."

"Saya beberapa kali mengunjungi istana ini dan mengamati seluruh jajaran Yang Mulia. Dan ... salah satu di antara mereka yang tidak memakai atribut adalah Nyonya Clara."

Sontak saja, Ann menoleh pada Russell dengan cepat, begitu pula Pangeran Hayden. Wajah mereka tentu saja menyiratkan rasa terkejut yang tak terkira. Bagaimana mungkin jika mereka lupa dengan Nyonya Clara. Dan jika dipikir kembali, Nyonya Clara satu-satunya pegawai baru yang tidak memakai atribut dari istana manapun. Sedikit aneh, tapi dia memang menolak menggunakan apapun sejak diterima oleh istana dan Pangeran Hayden tidak mempermasalahkan itu sama sekali, hingga akhirnya tibalah hari ini.

"Nyonya Carol, tolong cari Nyonya Clara dan bawa dia ke lapangan eksekusi di belakang Istana North, sekarang!" titah Pangeran Hayden dengan mata yang menyalang. Wajah sang pangeran sudah tak dapat menyembunyikan murka yang membuat orang-orang yang berada di ruangan seketika terdiam.

"Baik, Yang Mulia."

Sesaat setelah Nyonya Carol menghilang di balik pintu, Pangeran Hayden kembali bertanya, "Ann, berapa orang petugas keamanan kerajaan yang mengikuti Lady Giselle?"

"Sekitar empat puluh orang, Yang Mulia. Dan pagi ini, kami sudah meringkus satu orang yang telah terdeteksi sebagai pembelot. Setelah menggeledahnya, kami menemukan sebuah kertas yang merupakan titik-titik markas bawah tanah para pembelot," Ann kemudian maju untuk memberikan kertas putih yang terlipat empat tersebut pada Pangeran Hayden, "saya ke sini awalnya akan memberikan itu pada Yang Mulia. Namun di tengah jalan, saya berjumpa banyak petugas keamanan yang menjelaskan jika kristal hijau itu telah menghilang, sehingga saya memilih untuk memberitahu Yang Mulia tentang hal itu terlebih dahulu."

Pangeran Hayden seketika membalikkan badan dan meletakkan tangan di atas meja dengan mengepal. Ia kemudian memijat kening berulang kali sambil memperhatikan kertas kecil tersebut. Setelah itu, ia kembali menghadapkan tubuh pada para tim.

"Bagaimana jika kita sekarang menanyakan langkah selanjutnya pada Pangeran Jace?" ucap Pangeran Hayden.

"Tidak, Yang Mulia. Jika Anda lupa, Pangeran Jace telah memberikan seluruh kendali pada Anda beberapa waktu yang lalu. Yang berarti, kami mengikuti seluruh perintah Anda sekarang," sela Calvin cepat.

Pangeran Hayden seketika mengacak rambut dan mengusap wajah dengan kasar. Nampaknya laki-laki itu benar-benar tak mengingat jika sekarang Pangeran Jace hanya akan menjaga Putri Karina dan tidak ingin diganggu untuk sementara waktu hingga kandungan sang putri kuat.

"Tetap tenang, Yang Mulia," ujar Ann, menenangkan. Meskipun ia tahu mungkin ini tidak akan berhasil mengingat hanya Giselle yang mampu menenangkan sang pangeran jika sudah kalut dan bingung seperti ini.

Pangeran Hayden kemudian melangkah pelan menuju kursinya, lalu memejam dan meletakkan kepala pada dua tangan yang ia satukan di atas meja. Setelah tenang, ia mengangkat kepala dan menatap satu per satu anggota tim Royals.

"Pukul berapa kau menemukan pembelot itu, Ann? Dan di mana dia sekarang?"

"Pukul 6 pagi, Yang Mulia. Sekarang dia ada di penjara North."

Pangeran Hayden melirik jam tangan. "Sekarang sudah jam 7, yang berarti sudah satu jam terlewati. Mereka pasti sudah menyadari jika teman mereka hilang."

Sang pangeran menelan saliva dengan sulit, lalu menatap Ann dan Russell bergantian. "Tolong geledah seluruh titik ini, jika kalian menemukan para pembelot itu, langsung bawa mereka menuju lapangan eksekusi. Tapi, jangan membuat keributan di tengah kota, Ann, Russell. Dan satu lagi, sisakan Mark dan Julian untuk bagian terakhir."

"Baik, Yang Mulia," jawab keduanya kompak.

"Jika bisa, tangkap setengah dari mereka hari ini!"

Pandangan Pangeran Hayden kemudian beralih pada Jake dan Calvin. "Apakah kita bisa melakukan evakuasi sekarang?"

Calvin melirik jam tangan, lalu kembali mengangkat kepala. "Sudah terlambat, Yang Mulia. Kita tidak mungkin mengevakuasi sekitar delapan ribu jiwa dalam sehari, apalagi dengan seluruh kendaraan air sedang sibuk untuk mengangkut material dan orang-orang seperti saat ini. Akan tetapi, kita bisa mencegahnya."

Seketika, Pangeran Hayden pun memfokuskan atensinya pada laki-laki bersurai gelap tersebut. "Bagaimana caranya, Vin?"

"Kita menjaga terowongan tersebut agar tidak ada satu pun orang yang mendekat. Tentu saja dengan bantuan kepolisian setempat."

"Bagaimana dengan evakuasi bertahap?"

"Anda akan melakukan hal tersebut? Jika iya, kami benar-benar tidak dapat mengontrol media dan berbagai macam berita yang akan muncul."

Pangeran Hayden menggeleng lemah. "Jujur, aku juga bingung. Jika kita melakukan evakuasi, seluruh warga akan bertanya-tanya. Tetapi jika tidak, pulau itu dalam bahaya yang besar."

Calvin kemudian maju selangkah. "Butuh beberapa hari untuk berkoordinasi dengan para pemilik kapal, Yang Mulia. Jika Anda tetap ingin melakukan evakuasi, maka waktu selama empat hari saya rasa cukup. Setelah empat hari, kita mulai melakukan evakuasi."

Sang pangeran menatap Calvin lekat dengan sorot tajam. "Pertanyaannya, apakah para pembelot itu dapat menunggu hingga empat hari?"

Sontak saja, Calvin pun merapatkan mulutnya. Ia hanya mampu tertunduk seraya menjatuhkan kedua bahu.

"Maka lakukanlah, Calvin, Jake. Pergilah menjaga terowongan itu dan jangan lupa untuk meminta izin pada seluruh pemilik kapal. Aku mengandalkan kalian."

"Baik, Yang Mulia," ucap Jake dan Calvin bersama-sama, lalu meninggalkan ruangan kerja tersebut diikuti oleh Russell dan Ann.

Keempat orang itu mengikuti arahan Pangeran Hayden dengan cepat, berharap jika semua ini lekas selesai.

.

.

Russell dan Ann bersama beberapa petugas keamanan mengitari Nethervile dengan cepat. Sepengetahuan mereka, sekitar 90% titik-titik tersebut berada di Nethervile, selebihnya berada di wilayah lain. Yang berarti, mereka dapat menemukan dari setengahnya dan harapan itu selalu ada.

Sepanjang perjalanan, Russell tak hentinya menggenggam tangan Ann dan memberitahunya jika ini akan segera selesai dan penting untuk selalu bersikap tenang di mana pun mereka berada agar tidak sulit memikirkan langkah selanjutnya. Pikiran yang kacau membuat segalanya terasa lebih berat, sehingga Russell selalu ingin menenangkan sang istri.

Dari satu titik ke titik yang lain, mereka menemukan paling banyak lima orang di satu titik. Sejauh ini, mereka berdua tidak dapat menebak jumlah pasti dari para pembelot. Ketika mereka bertanya pada para tersangka, sebagian besar dari mereka menjawab tidak tahu atau mengatakan lebih dari seratus. Sedangkan yang tertangkap hingga siang ini masih di bawah empat puluh orang. Terkadang Ann dapat berpikir positif, namun tak jarang juga ia meradang dan tidak sabaran.

Hingga pada akhirnya, Russell dan Ann tiba di sebuah kedai kudapan dan mereka berdua bertindak sebagai tamu, mencoba merilekskan diri walau hanya sejenak sebelum akhirnya mereka akan menggeledah bagian bawah kedai ini.

"Enak?" tanya Russell yang memperhatikan Ann sedang memakan croissant.

"Enak, kau mau mencobanya?"

Russell hanya menggeleng. "Aku sudah makan tadi di rumah. Kalau aku makan lagi, aku bisa mengantuk."

Seketika, Ann terkekeh pelan. Ia sangat paham jika suaminya itu cepat sekali tertidur saat perutnya telah terisi penuh. Seperti yang selalu terjadi ketika mereka berada di rumah saat pulang kerja, Russell akan mandi dan Ann menyiapkan makanan. Setelah makan malam, mereka akan duduk berdua seraya mengobrol sebentar yang terkadang lebih banyak dari hati ke hati. Tak sampai 30 menit, Russell akan menguap dan melangkah masuk ke kamar, lalu tertidur pulas.

Jangan tanyakan kapan mereka akan melakukan hubungan, sebab Russell lebih senang melakukannya pada pagi hari yang terkadang membuat keduanya terlambat untuk bekerja. Kalau sudah begitu, Ann akan marah-marah seharian. Sangat tidak teratur sekali, kata Ann.

"Sayang, aku memperhatikan pegawai itu sedang mengamati kita dari tadi," ucap Russell dengan setengah berbisik pada Ann seraya melirik seorang pegawai yang sedang mengelap gelas-gelas di balik meja panjang. Mendengar itu, sang puan hanya menggangguk-ngangguk sambil menyendok krim di kopi Russell.

"Ehm ... mari kita kita mulai!"

"Ok," jawab Russell.

Dengan cepat, Russell menjatuhkan gelas kopinya pada Ann yang membuat puan itu seketika berdiri. "Apa yang kau lakukan, Sayang?" bentak Ann.

"Ya Tuhan, maaf, Sayang. Aku tak sengaja." Russell dengan cepat mengambil tisu, lalu menyeka jas Ann yang terkena kopi tersebut. Untuk sesaat, orang-orang sekitar hanya memandang mereka sekilas, lalu kembali sibuk dengan obrolan mereka masing-masing.

Sang istri kemudian mengambil tangan Russell dan membuangnya kasar. "Tak perlu, aku bisa membersihkannya sendiri!"

Bergegas, Ann menuju kamar kecil yang terletak di bagian belakang kedai. Sang hawa melewati sebuah lorong dan akhirnya tiba di dapur dengan lima orang yang sedang sibuk menyiapkan makanan. Dengan cepat, Ann mengeluarkan senjata dengan silencer dan menembak bagian belakang para pegawai satu per satu. Tidak, mereka tak mati, tapi pingsan. Dan Ann telah menyisakan satu orang untuk diinterogasi. Tangan Ann yang memegang senjata telah ia diarahkan pada belakang pegawai yang membuat laki-laki tersebut bergetar hebat.

"Di mana seluruh pemberontak itu?" tanya Ann dari belakang.

"Di-di bagian basement, Nyonya."

"Tunjukkan padaku jalannya!"

Segera, pegawai tersebut membuka ruangan pendingin, lalu mengangkat sebuah papan yang berada di lantai. Sebelum masuk ke ruangan itu, Ann sudah memberi isyarat pada petugas keamanan yang ia lihat dari jendela, bahwa ia akan segera masuk ke markas para pembelot.

Setelah Ann berhasil masuk, satu per satu para pemberontak dilumpuhkan dengan pistol tanpa suara tersebut. Benar-benar senyap, hingga Ann sendiri tidak sadar jika petugas keamanan telah masuk ke dalam ruangan itu dan memborgol, lalu memasukkan para pemberontak ke dalam mobil yang terparkir di dalam gang. Hal ini mereka lakukan agar masyarakat tidak memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi dan tidak ada kegaduhan yang tercipta.

Tak lama lagi lapangan eksekusi akan penuh dengan darah jika jumlah mereka terus bertambah, batin Ann.

Russell tiba-tiba masuk ke dalam basement dan menepuk pundak Ann. Sontak, sang istri pun membalikkan badan. "Aku sudah mengamankan yang ada di atas!" acap Russell dengan napas terengah-engah.

Mendengar itu, Ann tersenyum tipis. "Aku tahu kau selalu bisa diandalkan, Sayang."

"Terima kasih," acap Russell yang sudah memajukan wajahnya, ingin mengecap bibir Ann. Namun, perempuan itu dengan cepat mengangkat tangan dan mendorong wajah Russell menjauh darinya.

"Sama-sama, Sayangku. Dan sekarang, ayo kita lanjutkan pekerjaan kita!"

Russell mengikuti langkah Ann yang berjalan cepat keluar dari basement sambil mengatakan, "Ann, tapi sekarang tidak ada orang. Apakah aku tidak boleh mendapatkannya? Padahal tidak ada juga yang melihat. Ann, apakah kau mendengarku?"

Sedangkan Ann hanya berlalu, seolah menutup telinga dari kalimat-kalimat dengan nada yang manja dari seorang Russell. Tapi tentu saja, Ann tidak dapat menyembunyikan senyum manis dari wajahnya.

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top