31. Kebenaran Perlahan Terkuak
.
.
Saat perasaan merindu itu akhirnya lenyap ditelan perjumpaan dua insan, seharusnya sang puan dapat tersenyum lebar seraya mengangkat dagu tinggi-tinggi dan memamerkannya ke seluruh dunia bahwa ia berhasil meluluhlantakkan mahligai yang membelenggu.
Tapi, tidak. Ia hanya tersenyum gamang di dalam kamar yang tiga kali lebih kecil dari kamar sebelumnya, bercat pastel ungu yang nampaknya masih terbilang baru, dan penuh pernak-pernik layaknya gadis belia. Giselle bergerak menuju meja belajar, melihat setiap gambar yang terpajang rapi dengan bingkai-bingkai unik nan menggemaskan.
Puan itu takjub. Sebab, semua gambar ini adalah potret dirinya dari ia berusia 2 tahun hingga 19 tahun. Namun, terdapat satu bingkai kecil yang masih kosong di ujung meja yang membuat Giselle menatapnya bingung.
Cklek...
Pintu kamar pun terbuka, menampilkan sosok Mark yang menggunakan kaus hitam dan celana jeans pendek seraya menggenggam segelas susu cokelat hangat dan mengalungkan sebuah kamera. Giselle tersenyum kecil melihat kedatangan Mark, diraihnya gelas minuman itu, lalu menyeruputnya secara perlahan.
Mark tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Sesaat setelah minuman itu berada di tangan Giselle, Mark kemudian mengangkat kamera dan memotretnya. Cahaya dan suara dari kamera itu sempat mengangetkan sang hawa, hingga minuman itu menyembur sedikit dari mulutnya. Bergegas, Mark meraih tisu yang berada di atas meja dan membersihkan bibir gadis itu.
"Maaf," acap Mark singkat.
"Ah, tidak apa-apa. Aku hanya kaget." Giselle menundukkan tatapannya berulang kali, terasa canggung setelah sekian lama tak bertemu dalam suasana seintim ini. "Dan ya, terima kasih atas minumannya."
"Bukannya kau selalu meminum itu saat akan beranjak tidur?"
"Kau selalu tahu kebiasaanku."
Mark tergelak kecil, lalu kembali mengambil kamera yang nampaknya sudah mengeluarkan hasil memotret tadi. Mark kemudian mengangin-anginkan kertas tersebut, lalu memasukkannya dalam bingkai.
Melihat itu, Giselle menyunggingkan kedua sudut bibir. Meskipun gambar-gambar itu tidak lengkap sesuai usia, namun Giselle cukup puas. Pasalnya, ada beberapa potret diri yang ia sudah lupa jika ia memilikinya. Dan Mark berhasil mengingatkannya akan hal itu. Giselle ingin bertanya dari mana ia mendapatkan ini semua, tetapi seketika mengurungkan niat.
"Dan aku memiliki banyak buku dongeng terbaru. Kau pasti suka."
"Apa kau akan membacakannya untukku?"
"Tentu saja."
Giselle tersenyum samar. "Kalau begitu, aku bersiap-siap untuk tidur."
"Ya, ya. Aku akan menunggumu di luar. Oh ya, tasmu aku letakkan di atas sana," tunjuk Mark pada nakas di samping tempat tidur.
"Baiklah...."
Mark pun beranjak meninggalkan Giselle. Segera, perempuan itu mengambil mantel yang telah diberikan Pangeran Hayden sebelumnya, lalu menggantungnya di dalam lemari.
Giselle tak ingin satu orang pun memegang mantel tersebut. Bukan hanya karena itu pemberian pangeran, tetapi juga Giselle memiliki perhiasan dan uang dengan jumlah yang sangat banyak. Giselle menyadari hal itu sesaat dirinya telah masuk ke dalam mobil ketika Mark menjemput dirinya. Dua saku bagian luar dan dua saku bagian dalam, masing-masing memiliki lembaran uang dan kotak perhiasan kecil.
Sebelum Mark membawakannya minuman, Giselle sempat memeriksa empat kotak tersebut dan ternyata masing-masing berisi kalung, cincin, gelang, dan sepasang anting dengan mutiara berwarna senada, merah.
Pangeran Hayden nampaknya sangat tahu jika Giselle tak memiliki apa-apa lagi untuk ia bawa. Akan tetapi, Giselle juga tak berpikir jika ia akan diberi sebanyak ini. Melihat cincin tersebut, Giselle sangat ingin mengenakannya. Namun, ia lebih memilih untuk menyimpannya saat ini. Sang puan tahu jika cincin tersebut sangat berharga karena pemberian turun temurun dari orang tua sang pangeran. Giselle tak tahu mengapa Pangeran Hayden sangat mempercayainya. Dan ini berarti sang pangeran masih mengharap jika ia kembali ke sisinya.
Bergegas Giselle mengunci lemari itu, lalu menyimpannya di bawah bantal. Sedangkan dirinya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan mulai bersiap untuk naik ke tempat tidur.
Tak butuh waktu lama, Mark pun sudah melihat Giselle berbaring di atas ranjang dengan sebuah selembaran yang membahas tentang kepemimpinan Pangeran Hayden yang ia dapatkan dalam tas. Entah, mungkin saja terselip ketika Nyonya Clara menyiapkan segala keperluannya.
"Aku kira kau sudah tertidur," acap Mark, melesak ke dalam selimut di samping Giselle. "Aku sudah membawakanmu buku dongeng."
"Ah, bagaimana jika dongeng malam ini tentang kau ... tentang malam itu." Giselle nampak sedikit berhati-hati dalam menyebutkannya.
"Kau mau mendengarkannya?"
"Tentu saja."
Mark melipat tangan kanan dan menjadikannya bantal, tatapan pemuda itu kemudian terbang ke langit-langit kamar.
"Malam itu saat dua hunter masuk, kami sempat beradu senjata. Aku tidak memiliki luka, tapi mereka terluka parah hingga mungkin saat itu mereka tewas. Dan kau tahu? Aku akhirnya melarikan diri, tapi tak terlalu jauh. Mereka mungkin menganggap bahwa aku lari melintasi negara. Sayangnya, tidak. Aku hanya berada di rumah Nyonya Cornell."
Giselle yang memiringkan tubuh ke arah Mark itu, hanya termangu.
"Dan sekarang ... aku memilih untuk menjual rumah ibuku itu."
"Sayang sekali, padahal aku menyukainya. Aku betah tinggal di sana berlama-lama."
Mark tersenyum kecil dan menoleh sebentar pada Giselle. "Nanti aku akan memberikanmu yang lebih baik dari itu."
"Tapi Mark, jawab aku dengan jujur," acap Giselle yang berhasil menarik atensi Mark. "Kau ... bukan pembelot, 'kan? Tidak mungkin Pangeran Hayden menyerahkanku padamu jika kau adalah pembelot. Ah, aku mendengar beberapa kali jika kau bagian dari orang-orang jahat itu."
"Tentu saja tidak. Dan benar katamu tadi, jika aku pembelot, harusnya mereka memenggal kepalaku ketika aku menginjakkan kaki di istana. Tetapi, lihat sekarang! Aku baik-baik saja, 'kan?"
"Sudah aku duga jika mereka memang salah." Giselle mendengkus, lalu kembali berujar, "Lalu, kapan kita akan kembali ke Arkala?"
"Secepatnya. Akan tetapi, aku mengurus beberapa hal dulu sebelum kita kembali. Tidak apa-apa?"
"Iya, tapi tidak sampai seminggu, bukan?"
"Tentu saja." Mark dan Giselle terkekeh pelan.
Giselle kemudian memandang Mark lekat. Senyum, tatapan, dan perhatian adalah hal yang perempuan itu rindukan dari pemuda yang saat ini sudah menarik sudut bibirnya ke atas dengan tubuh mengarah padanya. Tak ada yang lebih membahagiakan dari Mark yang kini membelai lembut wajah Giselle.
"Kau tahu, aku selalu merindukan ini. Setiap hari," ujar Mark.
"Oh ya? Lalu, di mana kau selama ini?"
"Aku bersembunyi, tentu saja. Dan ketika aku menemukan saat yang tepat, aku pun keluar dan menjemputmu."
Giselle mengernyit. "Apa yang kau katakan pada Yang Mulia saat kau datang ke istana, hingga mereka melepasmu dan memberikanku padamu?"
Mark tampak berpikir sangat dalam, lalu berkata, "Karena aku datang dengan damai. Dan yang lebih penting ... kau milikku."
Sontak saja, Giselle menundukkan tatapan. Bayangannya kembali pada kenangan saat ia masih di istana ketika mendengar kata-kata yang diucapkan Mark. Kalimat itu selalu ia dengar, bahkan mungkin sekarang Giselle sudah mulai bosan. Ia seketika merasa bahwa dirinya hanyalah barang yang diperebutkan, dilempar kesana-kemari tidak jelas, diberi tanda sebagai hak milik. Padahal mereka jarang bertanya, pernahkah Giselle merasakan hal yang sama tulus dari hatinya sendiri?
Kini, Giselle benar-benar mulai lelah. Ia hanya ingin kembali ke Arkala, bertemu kembali dengan ibu dan Winter, lalu melupakan segala hal. Meskipun itu akan sangat berat dan mungkin akan mustahil untuk tidak mengingatnya, tetapi setidaknya Giselle terbebas dari semua ini.
Ia hanya ingin bebas!
Mark tiba-tiba saja bergerak di atas Giselle, lalu menyugar surai sang hawa dengan lembut. Perlahan, wajah pemuda itu maju menuju wajah putih Giselle yang tampak tanpa ekspresi. Ketika akhirnya bibir Mark tiba pada bibir Giselle, perempuan tiba-tiba saja menoleh ke kanan yang membuat Mark seketika memejam. Giselle dapat mendengar dengkusan ringan dari laki-laki itu, sebelum akhirnya Mark beranjak keluar dari kamar dengan membanting pintu.
Giselle bisa merasakan kekecewaan dari Mark karena sang hawa menolaknya. Akan tetapi, Giselle tak dapat membohongi diri jika ia belum siap. Bayang-bayang Pangeran Hayden yang menyentuhnya membuat Giselle tak ingin siapapun menggantikan posisi sang pangeran untuk sekarang.
"Yang Mulia, kenapa jadi seperti ini?" Giselle bermonolog, lalu menutupi wajahnya dengan selimut dan mengeluarkan seluruh air matanya di dalam sana.
.
.
Pagi itu, Giselle mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya ia melangkah menuju dapur yang juga tersambung dengan meja makan. Ia mengenakan jaket tipis dan kedua tangan yang dimasukkan dalam saku.
Giselle duduk menghadap meja makan dengan sandwich berada di depannya. Melihat Giselle yang menguap beberapa kali, Mark tersenyum tipis. "Selamat pagi, Sweetheart."
"Selamat pagi," jawab Giselle, sedikit malas.
Mark pun memajukan tubuh, lalu meraih dagu dan mengecup ringan bibir sang hawa. "Tadi malam aku belum mendapatkannya," acap Mark jail yang membuat Giselle seketika mengernyit.
"Oh, i-iya."
Sambil memakan sandwich dengan kedua tangan, pandangan Giselle seketika mengedar.
Perempuan itu mengetahui jika sekarang mereka berada di basement sebuah rumah yang tak terlalu jauh dari Nethervile, masih di tengah kota. Rumah sederhana yang berada di atas tanah itu hanya sebagai pengalihan saja, sementara di bagian basement adalah tempat tinggal sebenarnya.
Di bagian ini, Giselle dapat melihat tiga sofa panjang, beberapa lemari, dapur, dan lain sebagainya. Desain basement ini tak terlalu jauh dari yang Mark dan Giselle tempati dahulu, hanya sekarang sedikit lebih luas.
"Kau tinggal dengan siapa, Mark?"
"Dengan Julian. Dia berada di atas."
Tuk... Tuk... Tuk...
"Aku mendengar namaku disebut," ucap Julian yang baru saja terbangun. Ia terlihat mengacak-ngacak rambut sebelum akhirnya duduk dan mulai menyantap sandwich buatan Mark. "Apa kau merindukanku, gadis nakal?"
Mendengar pertanyaan itu, Giselle menaikkan satu alisnya, lalu tersenyum mengejek. "Wah, apakah aku sekarang terlihat seperti jalang?"
"Well, let see," Julian menatap Giselle dari atas ke bawah dengan seksama. Kedua pasang mata mereka akhirnya saling bertemu, lalu sedetik kemudian mereka berdua terkekeh pelan yang membuat Mark --yang sedang berdiri di depan kompor-- pun ikut tersenyum.
"Kau tidak tahu, La-dy," Julian menggeleng beberapa kali, "kau sangat terkenal sekarang. Orang-orang di luar sana sedang membicarakanmu seperti kau baru saja mendapatkan penghargaan Oscar kategori Artist of The Year."
Giselle mendecak. "Aku tidak peduli dengan itu semua."
"Kau yakin?"
"Tentu saja. Lagi pula, aku tidak mendapatkan apapun dari popularitas itu, selain bahaya yang mengancam nyawa." Giselle kemudian meneguk susu dengan cepat, lalu bangkit dari tempat duduknya. "Aku masuk ke kamar dulu, badanku terasa lengket dan ingin mandi."
"Oh ya, silakan," ujar Mark dan diberi anggukan oleh Julian.
Tapi tidak, entah ada angin apa yang membuat gadis itu menghentikan derap dan tak benar-benar pergi menuju kamarnya. Giselle merasa bahwa ada yang aneh dari Mark dan Julian, tapi ia tak tahu apa, sehingga Giselle memutuskan untuk berdiri menyandar pada dinding di luar sana untuk mendengarkan percakapan yang mungkin akan menuntaskan rasa penasarannya.
"Kau semalam tiba jam berapa? Aku bersama Giselle tak menemukanmu setibanya di sini," tanya Mark.
"Oh, aku pulang jam 3," jawab Julian sekenanya.
Ah, tentu saja tidak ada yang aneh dari percakapan dua sahabat itu. Seharusnya aku juga tak perlu repot untuk mendengarnya juga, bukan? batin sang hawa.
Saat Giselle akan melangkah meninggalkan dua orang tersebut, tiba-tiba saja indra pendengaran sang hawa menajam ketika Mark mengucapkan, "Lihat apa yang aku dapatkan dari tas wanita itu,"
"What? Kristal hijau?" ucap Julian tertahan.
Hah? Sejak kapan kristal hijau ada di tasku? batin Giselle sekali lagi. Kali ini, mata perempuan tersebut terbelalak sempurna.
Perempuan itu dapat mendengar Mark meletakkan kristal tersebut di atas meja dan beberapa kali mengenai alat makan yang ada di atasnya. Giselle sempat melirik sebentar ke arah meja makan, dan benar saja kristal hijau ada di atas meja sekarang. Deskripsi kristal itu persis dengan yang ada di buku hunter. Dan jika Mark memiliki kristal tersebut, berarti apa yang ia katakan sebelumnya hanya kebohongan belaka.
Mark dan Julian benar-benar bagian dari para pembelot!
"Kau gila, Mark!"
"Sejak kapan aku tidak gila? Ayolah Julian, kau pasti juga senang dan terkejut dengan ini, bukan?"
"Tentu saja. Ta-tapi ... tapi bagaimana mungkin? Kita bahkan belum melakukan gencatan senjata menuju istana."
Mark terkekeh. "Kita tak mungkin menang jika melakukan gencatan senjata, Jul. Sepenglihatanku ketika mengunjungi Istana Aglait, mungkin ada sekitar seribu pasukan keamanan yang berada di sana. Tak mungkin kita dapat mengalahkan mereka."
Julian nampak berdiri dari kursi kayunya, lalu berjalan entah ke mana. Yang pasti, tidak ada suara dari mereka berdua membuat detak jantung Giselle mendadak tak karuan. Setengah mati perempuan itu menahan napasnya.
"Apakah Giselle yang mengambilkan ini untukmu, Mark?"
"Tentu saja tidak."
"Lantas?"
"Aku menggunakan bantuan orang dalam. Siapa lagi yang melayani Giselle selama ini...."
Julian dan Mark kembali hening selama beberapa saat, hingga akhirnya perkataan Mark membuat Giselle membelalak dan mulutnya terbuka lebar. "Nyonya Clara!"
Bagai disambar petir di siang hari, Giselle mencoba untuk tetap fokus, meskipun sekarang kepalanya terasa pening. Tidak, dia tidak menyangka jika Nyonya Clara yang selama ini melayaninya justru adalah orang yang membantu mengambil kristal hijau itu. Ah, Giselle teringat bagaimana Nyonya Clara memegang tasnya malam itu, dengan tangan ia tutupi berkali-kali. Sayangnya, Giselle tak peduli dengan apa yang perempuan tersebut lakukan. Yang ada di pikiran Giselle hanyalah Pangeran Hayden.
Jika Nyonya Clara adalah salah satu pengkhianat istana, maka bukankah hidup Pangeran Hayden sekarang berada dalam bahaya? batin Giselle.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Mark?"
"Aku dan Giselle akan berangkat ke Arkala, entah mungkin besok atau dua hari lagi. Yang pastinya, selama kristal hijau ini sudah di tanganku, maka aku tidak perlu memikirkan yang lain, bukan?"
"Tidak, Mark. Bagaimana jika Giselle mengetahui jika ibunya sudah terbunuh?"
Kaki Giselle tiba-tiba saja tak bertenaga mendengar hal tersebut. Ingin rasanya ia berteriak saat itu juga, akan tetapi jika Giselle melakukan hal tersebut, mungkin Mark akan mengangkat senjata yang ia lihat di dapur beberapa waktu lalu dan nyawanya sudah melayang sekarang.
Ya, perempuan itu tidak salah mendengar. Amanda sudah meninggal dan ia tidak mengetahui apapun. Giselle baru teringat jika sejak kehadirannya di publik bersama Pangeran Hayden, tak ada lagi surat kabar yang masuk ke istana. Tak ada pula selembaran, kabar angin, atau apapun itu tentang dirinya yang hadir saat itu. Tapi ternyata, mungkin seluruh orang sudah mengetahui ini dan hanya Giselle yang seperti orang bodoh dengan tidak mengetahui kematian ibunya.
Tragis, kematian Amanda Hampton benar-benar tragis!
"Julian, semua juga orang tahu jika yang membunuh Nyonya Amanda--" Mark mengembuskan napas, terdiam selama beberapa detik, lalu berbisik, "adalah pihak istana."
Tidak mungkin!
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top