3. Night Class

.
.

Ini ... Night Class? batin Giselle sembari meneguk ludahnya dengan sulit.

Seketika, seluruh tatapan di koridor itu terpaku pada Giselle. Sang gadis hanya menunduk, tak mampu melihat keramaian yang terkesan horor. Pemandangan ketika seseorang disiksa dengan keji hingga wajahnya lebam-lebam, sepasang kekasih yang saling memadu kasih dengan berpelukan bahkan berciuman panas, hingga aktivitas merokok dan meminum alkohol pun tersaji di hadapannya. Tak sedikit dari para siswi yang menggunakan rok di atas lutut, memperlihatkan pahanya. Atau mengetatkan seragam hingga lekuk tubuhnya terlihat jelas.

Tak hanya itu, siswa Night Class pun terlihat mondar-mandir di koridor dengan membuka dua kancing atas kemeja dan dasi yang digunakan pun menggantung asal. Terkadang, satu-dua siswa setengah telanjang berlarian dengan rokok yang berada di mulutnya.

Ini sungguh berbeda dengan Day Class yang sangat menerapkan kedisiplinan terhadap siswa-siswinya.

Benarkah ini Evergreen?

"Apa yang kau lakukan di sini, siswi Day Class?" ujar seorang gadis yang mengenakan pewarna merah merona pada bibirnya yang tebal, bulu mata yang lentik, kulit sawo matang, hidungnya mancung, tinggi semampai, dan surai hitam bergelombang. Oh ya, dan jangan lupakan bagaimana ia berpakaian seragam, karena Giselle sendiri tak mampu membuka dua kancing atasnya dan memperlihatkan baju dalam berwarna senada dengan kemeja.

Akan tetapi, Giselle mengakui jika gadis ini sangat seksi dan tubuhnya pun proporsional. Jika Winter melihatnya, mungkin ia akan dongkol setengah mati karena ternyata ada yang lebih seksi darinya di Evergreen.

"Ah, ini ... aku ingin mengambil bukuku," acap Giselle, kikuk.

"Di mana?" tanyanya dengan mengangkat satu sudut bibirnya.

"I-itu ada di ... ada di loker."

"Lantai berapa? Di sini atau lantai atas?"

Giselle sekali lagi meneguk ludahnya. "Lantai di sini...."

"Kalau begitu, jalanlah! Aku yang akan menjagamu di belakang."

Giselle pun mengangguk, lalu berjalan lambat menuju lokernya. Sesekali, ia mendapat siulan dari para siswa yang duduk di koridor. Tak cukup sampai di situ, beberapa dari mereka bahkan berani mendekati Giselle dan memegang helaian rambutnya. Tentu saja mereka mendapatkan bentakan dari siswi yang menjaga Giselle, sehingga membuat para siswa nakal itu pun menjauh perlahan.

Tatapan Giselle sesekali menoleh ke arah kelas, di mana ia bisa melihat dengan jelas ada guru yang mengajar dan siswa yang benar-benar ingin belajar pun mendengarkan dengan baik, tak berbeda jauh dari Day Class. Hanya saja, siswa-siswi yang berada di koridor lebih banyak dari yang berada di dalam kelas.

"Kau tak perlu takut dilihat oleh guru. Sebab, kaca jendela kelas itu hanya satu arah. Kau bisa melihatnya, tapi guru itu tak bisa melihatmu dari dalam sana," ujar perempuan asing itu.

Sekali lagi, Giselle hanya mengangguk lemah.

Setibanya ia di loker, Giselle dengan cepat membuka gembok dengan kode yang sudah ia atur sedemikian rupa. Siswi itu tak menjauh dari Giselle. Ia bahkan menyandarkan tubuhnya pada loker-loker di samping putri Hampton tersebut.

Saat Giselle mengeluarkan beberapa bukunya dan baru saja menutup pintu loker itu, tiba-tiba dari arah berlawanan seorang siswa menabrak bahu Giselle, sehingga buku-buku mereka pun berhamburan di lantai.

Pemuda berambut hitam itu dengan cepat menunduk dan meraih bukunya, begitu pula dengan Giselle. Tak ada satu kata maaf pun yang keluar dari mulut siswa tersebut yang pada akhirnya membuat Giselle bergumam kesal dalam hati.

Giselle kemudian berdiri tegap dan tiba-tiba saja perempuan yang menemani Giselle itu mengangkat lengannya, mendorong tubuh Giselle hingga bagian belakang menabrak loker. Jangan tanyakan suaranya, sebab itu sudah cukup menarik perhatian siswa-siswi lainnya.

Perempuan tersebut mengeluarkan sebuah pisau kecil dari saku seragamnya, membuat napas Giselle seketika menderu. Bulir keringat mulai terlihat di pelipis gadis tersebut. "Apa yang kau inginkan?"

"Tidak ada" ucap perempuan itu sambil mengunci tubuh Giselle dengan satu tangannya yang bebas.

"Lantas?"

Pisau kecil itu diarahkan menuju kemeja Giselle dan mulai melepaskan satu per satu kancing secara perlahan. "Aku hanya ingin melihat bagian dalamnya."

"Ta-tapi--"

"Sshhh," desis perempuan tersebut dengan menaikkan jari telunjuknya di depan mulut, "ini sudah biasa terjadi di Night Class. Kau hanya tinggal menikmati bagaimana tatapan menginginkan itu mengarah padamu. Dan aku yakin, kau tidak akan pernah melupakannya."

Saat pisau kecil itu akan membuka kancing kedua, debaran jantung Giselle semakin menguat. Ah, ia sempat merasa menyesal untuk datang ke sekolah di malam ini. Dan pada akhirnya gadis itu mengetahui alasan mengapa pihak sekolah melarang siswa-siswi Day Class menuju Evergreen pada malam hari. Andai waktu dapat diputar, Giselle lebih baik menerima buku pemberian Winter.

Harus diakui bahwa sekolah ini nampak seperti sebuah penjara berkedok sekolah!

Tak...

Kancing kedua pun akhirnya lepas yang membuat tubuh Giselle seketika menegang. Sorai-sorai pun terdengar brutal di telinganya. Sakit, sedih, dan amarah yang menumpuk menjadi satu hanya bisa dia pendam dalam dada. Dan tentu saja, puluhan pasang mata akhirnya menyaksikan baju dalaman Giselle yang berwarna hitam itu.

Tiba-tiba saja, seseorang melemparkan blazer hitam miliknya yang refleks ditangkap oleh tangan Giselle untuk menutupi dadanya.

Sesosok pemuda menaikkan tangan dengan pisau kecil tersebut. "Jangan bertingkah bodoh, Andrea!"

Perempuan bernama Andrea itu pun menoleh. "Mark?"

"Berhenti melakukan hal konyol seperti ini!"

"Oh, tingkahmu terdengar seperti seorang pahlawan," ejek Andrea.

Mark kemudian mengambil pisau kecil milik Andrea dan membuangnya entah ke mana. Untuk beberapa saat, Giselle mengembuskan napasnya lega. Sayangnya, itu belum berakhir hingga ia benar-benar dapat memastikan dirinya keluar dari Evergreen malam ini.

Mark melepaskan tangan Andrea dengan kasar. "Bukan begitu cara memperlakukan wanita, Mark."

"Apakah kau seorang wanita? Tidak, kau tidak lebih dari iblis!"

"Sungguh?"

Mark tersenyum miring. "Tentu saja."

Pemuda bertubuh tinggi itu kemudian maju selangkah di depan Andrea. "Mulai sekarang, berhenti bersikap kekanak-kanakan seperti ini! Apakah kau tak malu dengan usiamu yang sudah menginjak kepala dua dan merundung seorang gadis yang bahkan lebih muda darimu?"

Mark lalu berbisik di telinga Andrea, "Aku tahu rahasiamu, Andrea. Dan ini bisa membuatmu dipenjara selama-lamanya di Nethervile."

Andrea seketika membelalakkan matanya.

Melihat gadis itu sudah pucat pasi, Mark kemudian menarik tangan Giselle menuju pintu belakang gedung. Entah mengapa ia seolah mengetahui arah datangnya Giselle sebelumnya. Padahal, ia tak melihat hal tersebut.

.

.

Setibanya di belakang gedung, Mark melepaskan tangannya dari Giselle. Ia terlihat menggaruk lehernya berulang kali, meskipun Giselle tahu bahwa mungkin saja itu tak gatal sama sekali.

"Aku Mark. Oh iya, kau masuk lewat gerbang mana? Ehm--" tanya Mark.

"Giselle, namaku Giselle. Adakah gerbang lain selain gerbang depan?" Giselle justru berbalik tanya dengan acuh.

"Bukankah kau harusnya ketahuan oleh pihak keamanan?"

Giselle yang menundukkan pandangannya itu kemudian menggeleng lemah. Ia terlihat masih menyelimuti bagian tubuhnya yang terekspos dengan blazer milik Mark dan mungkin belum berniat untuk mengembalikannya hari ini, mengingat ia sendiri tak membawa apapun yang bisa menutupi dadanya.

"Aku pikir, kau perempuan luar biasa. Bagaimana mungkin kau bisa masuk tanpa ketahuan sama sekali?" ujar Mark dengan senyum tipisnya.

Mendengar itu, Giselle pun mengangkat wajahnya. Dan untuk pertama kali, dua pasang netra itu pada akhirnya bertemu.

"Ah, itu ... aku hanya menunggu kesempatan," ujar Giselle setenang mungkin yang membuat Mark pun mengangguk pelan.

"Ehm ... kau mau pulang?" tanya Mark.

"Tentu saja. Aku tidak mungkin menghabiskan waktuku di dalam Akademi semalaman."

"Mengerikan, bukan?"

"You know that."

Mark kemudian menurunkan ranselnya di tanah, lalu mengambil seragam Day Class dan sebuah jaket berwarna hitam. "Pakailah!" suruhnya seraya menyodorkan jaket tersebut pada Giselle.

"Kenapa harus jaket?"

"Karena kau tak mungkin membawa blazer itu keluar dari sini dan memperlihatkannya pada warga."

Giselle mengerutkan kening. "Memangnya itu hal yang terlarang?"

Mark pun menggeleng pelan melihat ekspresi Giselle yang tampak sangat penasaran. "Bukan terlarang, hanya saja kau tak pantas mengenakan blazer hitam itu. Seluruh masyarakat juga tahu bagaimana terkenal brutalnya siswa dengan blazer berwarna hitam. Lagi pula, bagiku, warna cerah sangat cocok untukmu."

Untuk sesaat, Giselle merasa wajahnya mungkin saja mulai merona mendengar pujian yang tak seberapa itu dan sudah cukup membuat Giselle tersenyum merekah.

"Oh iya, lalu dari mana kau mendapat seragam Day Class?"

Mark terdiam beberapa saat, mulai memaku tatapannya pada Giselle yang kini menautkan kedua alisnya. Alih-alih menjawab, Mark memilih untuk tersenyum saja.

"Bisakah kau berbalik badan? Aku akan mengganti pakaian di sini," ucap Mark.

"Hei, yang benar saja!" murka Giselle, seketika.

"Di dalam Akademi, toilet sudah penuh dengan anak-anak yang merokok. Kau suka aroma rokok? Kalau begitu, aku akan berganti di sana saja."

"Ah, tidak!" sergah Giselle. "Maksudku, kau tak perlu mengganti di sana. Baiklah, aku akan berbalik."

Giselle pun membalikkan tubuhnya dan membelakangi Mark. Ia tak tahu mengapa dirinya menurut saja disuruh-suruh oleh pemuda yang baru diketahuinya beberapa menit yang lalu. Huft, ini memang mengesalkan, tapi entah mengapa juga memberikan sedikit rasa aman pada Giselle setelah sebelumnya mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dari Andrea.

Ah, mengingat kejadian itu, Giselle berpikir bahwa rasa untuk melindungi dirinya semakin meningkat saat ini juga. Ia tak akan membiarkan hal memalukan terjadi pada dirinya untuk kedua kali. Meskipun begitu, masih ada rasa trauma yang menyelimuti gadis tersebut. Bahkan, tremor di tangan Giselle belum juga menghilang sedari tadi.

"Done," acap Mark yang membuat Giselle segera membalikkan tubuhnya. "Bagaimana?"

"Not bad."

"Okay, aku akan mengantarmu pulang. Oh iya, kau berjalan kaki?"

Giselle menggeleng. "Aku mengendarai sepeda."

"Lalu, di mana kau meletakkannya?"

"Ikutlah denganku!" acap Giselle yang langsung melangkahkan kakinya menuju semak-semak yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

Setelah menemukan kendaraan roda dua itu, Mark pun menawarkan diri untuk mendorong sepeda tersebut. Awalnya, Giselle sempat menolak tawaran Mark. Namun, akibat pikiran negatifnya tentang para penjahat yang mungkin saja akan muncul secara tiba-tiba, Giselle pun mengizinkan Mark untuk mendorong sepeda sekaligus mengantarnya pulang lewat gerbang belakang sekolah.

Selama bersekolah di Evergreen, Giselle tak pernah tahu jika ada gerbang belakang! Ke mana saja dia selama ini?

"Aku baru mengetahui jika Night Class seperti itu. Menurutku, kalian layak mendapatkan pembelajaran yang lebih baik," ucap Giselle yang mulai memecah keheningan.

"Sebenarnya, para guru telah memberikan yang terbaik buat kami. Hanya saja, mayoritas dari kami memilih untuk bersenang-senang."

"Jika kalian seperti itu terus menerus, maka tidak ada ilmu yang akan kalian dapatkan. Kalian tak ingin bekerja di Nethervile sebagai jaksa? Pengacara? Dokter? Atau mungkin ahli mesin?"

Mark spontan menoleh pada Giselle, lalu kembali menatap jalan lurus dengan seulas senyum hampa. "Apakah itu yang para guru katakan pada anak-anak Day Class?"

Giselle mengangguk cepat. "Yup ... and I'm pretty sure that we're halfway there."

Mark mendengkus. "I'm not sure."

"Why?"

"Kau tahu? Anak-anak Night Class memiliki masa depan yang suram. Beberapa dari kami sudah terpilih oleh kelompok-kelompok tertentu sebagai pembunuh bayaran, kurir barang-barang ilegal, petugas keamanan untuk para mafia, pekerja kasar di beberapa industri dengan gaji yang mungkin untuk makan sehari pun tak cukup, dan pekerjaan dalam mengangkut barang di dermaga yang hanya dibayar dengan sarapan atau makan malam," jelas Mark.

"Pekerjaan yang paling baik untuk kami di Nethervile adalah petugas keamanan masyarakat, dan itupun kami tak akan mendapatkan promosi untuk kenaikan pangkat," lanjut pemuda berambut hitam itu.

Giselle yang mendengar hal tersebut tiba-tiba saja menghentikan langkahnya dan menatap punggung Mark yang sudah berada beberapa langkah di hadapannya.

Menyadari Giselle yang tak ada di sampingnya, pemuda itu kemudian bergeming. Sembari kedua tangan yang masih berada di stang sepeda, Mark menoleh. "Ada apa? Mengapa tiba-tiba berhenti?"

Sang puan menatap netra Mark lekat selama beberapa detik, lalu menjatuhkan bahu dan mengembuskan napasnya kasar. Sedetik kemudian, Giselle tersenyum tipis dan menggeleng pelan.

Melihat itu, refleks, Mark pun ikut mengangkat kedua sudut bibirnya. "Kita lanjutkan perjalanan? Aku khawatir orang tuamu sedang mencarimu saat ini."

Giselle mengangguk pelan, lalu berlari kecil menuju samping Mark. Kini, bukan sepeda yang berada di tengah mereka seperti sebelumnya, tapi Mark. Kedua insan itu berjalan berdampingan dengan kendaraan roda dua yang berada di sebelah kanan Mark yang membuat jarak di antara mereka semakin menipis. Giselle tak tahu mengapa ia berani untuk berbagi cerita, bahkan berjalan begitu dekat dengan sang pemuda asing yang bahkan baru dikenalnya.

"Ayo, cerita lagi," ucap Giselle.

"Ehm, kau tahu? Ada beberapa di antara kami yang sudah terpilih menjadi hunter."

Giselle mengerutkan kening. "Hah?"

"Semacam pemburu yang dipekerjakan oleh pihak istana untuk menangkap anak-anak Arkala yang kabur ke Nethervile sebelum waktunya."

Deg...

Giselle kembali menghentikan derapnya yang diikuti pula oleh Mark.

"Jika kau melakukan hal seperti ini lagi, jangan salahkan aku jika aku menggendongmu," ancam Mark dengan senyumnya.

"Ah, maaf, maaf," ucap Giselle, tak enak.

"Aku hanya ingin memberitahumu, jangan sekali-kali mencoba untuk keluar dari Arkala jika usiamu belum sesuai dengan peraturan yang ada. Tak boleh!"

Giselle mengangguk pelan. "Aku ... mengerti."

Mark mendadak berhenti yang membuat Giselle menatapnya kebingungan. Untuk sesaat, Mark mengedarkan pandangannya pada deretan rumah-rumah dua lantai yang berjejer rapi. Desain bangunan dan warna putihnya pun serupa satu sama lain yang membuat Mark tersenyum tipis.

"Yang mana rumahmu?" tanya Mark.

"Oh ... itu, ehm yang itu. Nomor 12," ujar Giselle gelagapan.

Ah, ini bukan perumahannya, tapi perumahan Winter. Mengingat ia saat ini sedang menginap di rumah sahabatnya itu, mau tak mau Giselle memberitahu pada Mark bahwa rumah yang ia tunjuk adalah rumahnya. Toh, Mark juga tak tahu.

"Omong-omong, senang bertemu denganmu. Aku harap kau tidak ke Akademi pada malam hari lagi," ucap Mark sembari menyerahkan sepeda pada Giselle.

"Ya, terima kasih telah menolong dan mengantarkanku," balas Giselle yang tak kalah ramahnya.

"Kalau begitu, aku pulang dulu. Jika butuh sesuatu yang berhubungan denganku, kau bisa ke dermaga. Aku bekerja di sana dari siang hingga sore, tak jarang juga malam hari jika aku memilih untuk bolos belajar," Mark kemudian mengangkat tangan dan melambaikannya pelan, "bye."

Sosok itu pun semakin lama semakin menjauh dan hilang ditelan malam. Sedangkan Giselle masih memilih untuk berada di luar. Ia duduk di tepian taman depan rumah yang terbuat dari semen dan dibentuk sedemikian rupa membentuk tempat duduk. Entah mengapa, Giselle memikirkan banyak hal malam itu.

Ia tak tahu bahwa Night Class menyimpan begitu banyak rahasia yang tak ia ketahui. Dan, apakah Amanda mengetahui semua hal ini?

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top