29. Ancaman Nyata




.
.

"Bawa Lady Giselle menuju gudang!" titah Pangeran Jace yang membuat Pangeran Hayden dan sesosok pemuda itu sukses membulatkan mata.

Namun sayang, tak ada satu pun dari mereka yang mencoba membantah perintah Pangeran Jace. Sebab, itu sama saja sedang mencari mati. Jikalau memang ingin dibantah, mungkin hanya Baginda Raja dan Ratu yang dapat melakukannya.

Sesosok pemuda itu kemudian berbalik badan dan berdiri dengan sudut bibir yang mengeluarkan darah segar hingga mengenai kaus putih bagian depan. Terlihat pula luka memar di ujung mata, di mana semua ini ia terima dari Pangeran Hayden yang melayangkan satu pukulan keras padanya di ruang bawah tanah beberapa menit yang lalu. Jika saja saat itu Russell tak mencegatnya, entah sudah berakhir seperti apa Mark sekarang.

Jake dan Calvin berdiri di sisi kiri ruangan. Sedangkan Pangeran Hayden, Ann, dan Russell berada di sebelah kanan, serta sepuluh orang lainnya adalah petugas keamanan Istana East lengkap dengan senjata mereka masing-masing.

Posisi terdepan pun diisi oleh Pangeran Jace dan Putri Karina yang terlihat berada di tempat duduk kebesarannya.

Mark berdiri di tepat di tengah ruangan menghadap ke arah Pangeran Jace dan Putri Karina.

"Silakan," tegas sang putri.

"Saya di sini tak membawa apapun, Yang Mulia, seperti yang sudah kalian periksa di ruang sebelumnya. Saya tahu, kalian akan menerima siapapun yang datang dengan damai ke istana ini, dan itu yang saya lakukan sekarang," acap Mark dengan sorot mata tajam menuju Pangeran Jace.

Seluruh insan yang berada di ruangan tak menampik perkataan Mark. Sebab, Istana East --lebih tepatnya Istana Aglait keseluruhan-- memiliki peraturan yang telah dibuat oleh Baginda Raja tentang penerimaan orang-orang dalam damai tanpa membawa senjata. Tak peduli ia adalah tersangka dari kasus apapun, selama ia datang dengan damai maka harus diterima dengan baik oleh istana. Akan tetapi, sedamai-damainya itu, seluruh pasukan keamanan harus waspada. Mengingat yang datang adalah pemberontak yang berlawanan ideologi dengan kerajaan.

"Lantas, kau ingin apa?" tanya pemimpin Istana East tersebut.

"Mudah saja," Mark menyunggingkan satu sudut bibirnya, "saya ingin Giselle dilepaskan!"

"Lalu, apa tawaranmu?"

"Saya tak punya penawaran, Yang Mulia. Sebab, saya datang untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi hak saya!"

"Maksudnya?"

"Seperti yang Anda tahu, Yang Mulia, saya masih warga negara yang baik. Saya tidak memiliki catatan kepolisian dan bahkan pengumuman atas diri saya yang tertuduh sebagai pembelot pun belum diumumkan. Atau mungkin ... Anda belum menemukan bukti yang menjelaskan bahwa saya adalah pembelot?" Mark mendecih, seolah merendahkan orang-orang yang berada di dalam ruangan.

"Lalu, sebagai warga negara yang baik, saya memiliki hak untuk mengambil apa yang menjadi milik saya sebenarnya. Jika Anda tak memberikannya, maka Anda melanggar undang-undang yang telah Baginda Raja buat, yaitu mengambil paksa hak milik seseorang," jelas Mark panjang lebar.

Pangeran Jace menautkan kedua tangan dengan siku menopang pada sisi tempat duduk yang ia gunakan. Tatapannya pada Mark tak lepas saat itu juga. Namun, sesekali terlihat pangeran tersebut menatap pada Pangeran Hayden yang sudah mengepalkan tangan dan mengeraskan rahang.

"Lady Giselle bukan hak milikmu!" ucap Putri Karina seraya melayangkan jari telunjuknya.

Mark tersenyum mengejek. "Maaf, Yang Mulia. Tapi Giselle adalah milik saya. Ayahnya, Patra Hampton telah memberikannya pada saya untuk dijadikan istri. Dengan begitu, dia resmi menjadi milik saya, bukan?"

"Tapi, bagaimana mungkin?" Putri Karina menggeleng, tak paham.

"Saya dan keluarga Hampton sangat dekat, Yang Mulia. Akan tetapi, saya baru saja mengenal anaknya ... ehm," Mark terlihat berpikir sejenak, "mungkin sebulan yang lalu. Jauh sebelum itu, Tuan Hampton berbicara pada saya tentang tujuannya dan saya menerimanya dengan senang hati. Saya memiliki surat bertanda tangan beliau sebagai bentuk penyerahan putrinya. Jika saya membeberkan ini pada media, Anda tahu kericuhan apa yang terjadi tengah kota, bukan?

"Mungkin, Anda akan menemukan baliho besar di tengah kota yang bertuliskan, 'Kerajaan Berhasil disusupi Pembelot' atau 'Kerajaan tak mampu memberantas pembelot'. Atau yang lebih sadis, 'Pangeran Hayden adalah pembelot dari istana'. Lihat? Saya yang tetap akan menjadi pemenang, Yang Mulia."

Mendengar namanya disebut, Pangeran Hayden pun bangkit dari duduknya dan siap menodongkan senjata ke arah Mark. Akan tetapi, pemuda tersebut tidak gentar dan memilih untuk menyunggingkan senyum. Pangeran Jace harus menegur Pangeran Hayden untuk menurunkan pistol, dan betapa beruntungnya karena Pangeran Hayden tak gelap mata saat itu juga.

"Sayangnya, Anda tak mungkin menanyakan ini pada Patra Hampton, bukan?" Kali ini tatapan Mark jatuh pada Pangeran Hayden dengan sorot yang sangat tajam.

"Sebab, laki-laki tua yang Anda penjara beberapa minggu yang lalu, sudah Anda eksekusi. Dan dia adalah Patra Hampton yang sebenarnya!"

Tidak mungkin!

Ann ingat bahwa saat menginterogasi pria itu, sosoknya tak terlihat seperti Patra Hampton. Benar-benar berbeda dari gambar yang diberikan dulu oleh Russell. Akan tetapi, ini akan jadi masuk akal jika pria itu mengubah sedikit bentuk wajahnya agar tak dikenali. Satu-satunya yang mengetahui jika benar itu adalah Patra Hampton adalah Giselle, orang yang sempat berbicara dengannya ketika berada di dalam penjara.

Akan tetapi, mereka tak mungkin memanggil Giselle sekarang, mengingat dirinya sedang dikunci di dalam gudang atas titah Pangeran Jace.

Tentang surat tersebut, Ann dan Russell sudah menyampaikannya pada Pangeran Hayden dan Pangeran Jace sesaat setelah mereka menggeledah rumah Hampton, ketika tubuh Amanda ditemukan sudah terbujur kaku. Akan tetapi, mereka tidak pernah menyangka jika ini akan dijadikan senjata Mark dalam meraih Giselle kembali. Tidak, benar-benar tidak menjadi bahan pertimbangan mereka!

"Sesuai hukum, kita dapat menanyakan Lady, apakah ia ingin kembali padamu atau tidak. Jika dia menolak, maka hakmu akan dicabut. Dan aku juga yakin jika dia tak ingin kembali pada seseorang sepertimu!" ucap Putri Karina, lantang.

Mark menunduk sebentar, lalu kembali menatap netra Putri Karina yang nyalang. "Apa Anda yakin, Yang Mulia? Saya datang kemari karena ia yang meminta saya untuk menjemputnya beberapa waktu lalu. Dan agar kesalahapaman ini berakhir, aku pikir seluruh orang harus tahu hal tersebut."

Putri Karina kemudian menoleh sejenak pada Pangeran Hayden yang beberapa waktu lalu masih bersemangat untuk bertemu Mark dan menyelesaikan semua ini. Namun ternyata, laki-laki kini sudah tertunduk lesu dengan kedua bahu jatuh bebas. Mendengar bahwa Giselle sendiri yang meminta untuk dijemput, sudah menjadi pukulan telak bagi Pangeran Hayden.

"Jadi, kau hanya meminta Giselle, bukan?" tanya Pangeran Jace.

"Benar, Yang Mulia."

Pangeran Jace pun menyandarkan tubuh, lalu mengembuskan napas dengan perlahan. Sedangkan Putri Karina mengerutkan kening, sedikit tak nyaman dengan pernyataan Mark yang kukuh meminta kembali haknya.

.



.

Sesaat setelah memastikan bahwa Mark telah meninggalkan kompleks istana, Putri Karina tiba-tiba saja bangkit dan berlari cepat untuk membuka pintu ruangan. Kakinya tak berhenti ketika nama sang putri diteriakkan oleh para pegawai dan petugas keamanan. Sebab, Putri Karina tahu di mana gudang yang Pangeran Jace maksud dan itu sangat mengerikan.

Ia tak dapat membayangkan bagaimana Giselle dapat berdiam diri di ruangan tersebut.

Setibanya Putri Karina di depan pintu gudang, para petugas keamanan mencegahnya untuk tidak membuka pintu.

"Biar aku saja, Putri, yang membukanya," tawar Pangeran Hayden.

Dari luar saja, seluruh orang dapat mendengar suara Giselle yang mengetuk pintu dengan keras sambil berteriak meminta untuk dikeluarkan. Dan itu terdengar sangat pilu. Putri Karina mendadak merasa sangat sedih.

"Mundur, Lady. Aku akan membukannya untukmu!" acap Pangeran Hayden.

Sret...

Segera setelah pintu terbuka, Giselle pun berlari memeluk erat Pangeran Hayden dengan isakan tanpa henti. Tangan perempuan itu seketika dingin, layaknya baru saja dikeluarkan dari lemari pendingin. Jangan tanyakan bagaimana wajah Giselle, sebab ia sudah pucat pasi dan bibirnya bahkan bergetar hebat.

Pangeran Hayden menengok sebentar ke dalam ruangan. Mengejutkan, karena ruangan tersebut nampak remang-remang dengan sinar matahari seadanya yang menembus ventilasi udara di bagian atas ruangan.

Di dalam ruangan itu terdapat banyak kotak-kotak besi yang ditumpuk satu sama lain dan berisikan ular-ular Pangeran Jace, mulai dari yang sepanjang lengan manusia hingga lebih dari satu meter. Sudah dapat dipastikan bahwa Giselle benar-benar ketakutan yang luar biasa menyaksikan ular-ular tersebut. Akan tetapi, Pangeran Jace punya maksud tertentu memasukkan orang-orang ke dalam gudang, yaitu agar orang tersebut tak mengingat apa yang ia lihat sebelumnya dan berakhir memunculkan bayangan ular dalam kepalanya. Mungkin ini terdengar sadis, tapi begitulah sosok Pangeran Jace.

"Aku takut, Yang Mulia. Aku takut ... tolong bawa aku pergi dari sini!" acap Giselle seraya menggenggam dan menggoyangkan jas Pangeran Hayden.

Tak lama kemudian, perempuan itu merasa kepalanya berat dan berakhir pingsan dalam pelukan Pangeran Hayden. Menyadari hal tersebut, sang pangeran segera menggendong Giselle dengan pelan. Tak ada yang lebih khawatir dari Pangeran Hayden saat itu dan semua orang dapat menbaca wajah, serta gerakannya.

"Lebih baik dirawat di sini dulu, Pangeran Hayden," acap Putri Karina yang tidak kalah khawatirnya sambil menyentuh pelan lengan sang pangeran. Berharap jika Pangeran Hayden mendengarkannya.

"Terima kasih, Yang Mulia. Tapi tidak, aku akan membawanya langsung menuju Istana West," Pangeran Hayden memutar tubuh pada Ann, "Tolong siapkan mobil, Ann."

"Baik, Yang Mulia." Sedetik kemudian, Ann pun menghilang dari pandangan.

Putri Karina nampak bersikeras. "Tapi, Pangeran Hayden--"

"Maaf, Putri Karina."

Sesaat setelah penghuni Istana West menghilang dari pandangan, Putri Karina bergegas menghampiri Pangeran Jace yang masih berdiri di depan throne room. "Kau keterlaluan, Yang Mulia."

Pangeran Jace sempat membuang tatapannya, sebelum akhirnya ia meletakkan kedua tangan di bahu Putri Karina. "Tenang saja, Sayang. Kau tidak perlu khawatir seperti itu!"

"Tapi ... tapi kau tidak perlu menguncinya di sana! Kau tidak tahu seberapa bahaya ruangan itu, Yang Mulia. Bahkan aku sendiri pun, tidak berani. Terlebih Lady Giselle."

Pangeran Jace mengangguk pelan sambil mendengkus. "Ok, ok. Aku minta maaf, Sayang. Aku minta maaf."

"Jangan minta maaf padaku, tapi minta maaf pada Lady. Aku hanya takut terjadi sesuatu padanya, Yang Mulia, dan berakhir kau yang kena imbasnya. Tolong mengerti perasaanku bahwa aku juga memikirkanmu!"

"Tidak ada yang terjadi padanya, ok? Sekarang kau harus tenang."

"Bagaimana aku dapat tenang, sementara dia tak sadarkan diri di sana?" Putri Karina menengadahkan tangan kanan, mengarah pada koridor dengan beberapa pegawai yang sudah menundukkan kepala begitu dalam. Untuk pertama kali dalam pernikahan mereka, Putri Karina membentak Pangeran Jace di depan banyak pegawai Istana East.

Putri Karina lebih mendekatkan diri pada Pangeran Jace yang sudah menatapnya tanpa ekspresi. "Kau tahu, Yang Mulia? Semalam ketika kau sedang sibuk dengan seluruh pekerjaanmu, aku mendapatkan bercak darah. Tadi pagi aku beranikan diri untuk memeriksanya dengan alat sederhana--" Putri Karina tersenyum lemah, "dan aku positif."

Sontak saja, Pangeran Jace membelalak. "Apa?"

Putri Karina mengangguk pelan. "Iya, aku positif hamil."

Tatapan Pangeran Jace tampak berpusat pada manik gelap Pytri Karina. Tanpa berpikir panjang lagi, Pangeran Jace meraih Putri Karina dalam pelukannya yang erat. Berkali laki-laki tersebut mengecup puncak kepala sang hawa, bahkan sekarang netra pangeran itu berbinar.

Putri Karina paham jika Pangeran Jace tak dapat membendung rasa bahagia mendengar berita ini. Sebab, ia selalu bercerita tentang keinginan memiliki keturunan di sela-sela kebersamaannya dengan sang istri. Mendengar itu, Putri Karina tidak merasa berkecil hati, justru perempuan tersebut menjadikan harapan dan doa. Meskipun pernah merasakan keguguran satu kali, namun Putri Karina tak pernah menyerah. Terlebih, Pangeran Jace juga selalu mendukung apapun yang Putri Karina lakukan, begitupun sebaliknya sehingga ia terasa memiliki kekuatan lebih.

Sang putri memberikan sedikit jarak pada Pangeran Jace. "Maka dari itu, Yang Mulia, aku mohon untuk memperhatikan apapun yang kau lakukan. Karena perbuatanmu juga berdampak padaku. Kau tahu itu, bukan?"

"Aku paham, Sayang. Aku minta maaf."

"Sudah aku katakan, minta maaf pada Lady, bukan aku."

"Baiklah, aku akan meminta maaf padanya nanti," ucap Pangeran Jace seraya mengecup kembali kening sang istri. "Kau sudah memeriksakan diri ke dokter?"

"Belum, Yang Mulia."

"Kalau begitu, hari ini kita periksa. Oh iya, tunggu sebentar."

Pangeran Jace melepaskan pelukannya, lalu memanggil Vale dan Aaron --asisten pribadi sang pangeran. "Kosongkan jadwalku hari ini, Aaron. Dan untuk Vale, aku minta seluruh daftar kegiatan Putri selama dua bulan ke depan jika ada. Beri tahu juga pada seluruh Tim Royals bahwa kita akan mengadakan rapat malam ini untuk membahas kasus yang baru saja terjadi. Aku ingin malam ini kita susun dan matangkan strategi lagi."

Vale dan Aaron berujar kompak. "Baik, Yang Mulia."

Pangeran Jace kemudian memutar tubuh dan tersenyum pada Putri Karina. Ia menggenggam tangan wanita itu, lalu meninggalkan koridor dengan airmuka cerah, meskipun Putri Karina tahu jika sang suami pasti saat ini sedang memikirkan banyak hal.

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top