28. Tak Percaya
.
.
Sekitar pukul sebelas siang, Giselle dan Pangeran Hayden sedang berjalan santai menuju Istana East. Mereka diketahui diundang oleh Pangeran Jace dan Putri Karina untuk berbincang bersama di taman belakang. Mengingat hari ini adalah hari Minggu, tidak ada salahnya juga jika mereka berempat dapat saling merekatkan diri, kata Putri Karina kala itu pada Pangeran Hayden.
Giselle bersyukur sinar matahari tak semenyengat biasanya. Jika hari ini sangat panas dan Pangeran Hayden mengajaknya dengan berjalan kaki, mungkin saja Giselle akan meninggalkan pangeran untuk berjalan seorang diri dan ia akan kembali ke Istana West untuk mengendarai mobil.
Gadis tersebut kemudian mengedarkan pandangan, melihat sekeliling taman depan Istana East yang terlalu rapi. Giselle bahkan melihat tanaman-tanaman yang bunganya berwarna sama, maka akan diletakkan di satu lokasi. Selain itu, setiap tanaman memiliki papan nama latin yang ditancapkan di tanah yang tak terlalu besar dan ditulis seapik mungkin.
Air mancur yang dua kali lebih besar dari air mancur di Istana West, terlihat bersih dan terawat.
Melihat itu, bibir Giselle seketika maju. Sesekali terdengar dengkusan ringan dari gadis itu yang mau tak mau membuat Pangeran Hayden memutar kepala menghadapnya.
"Ada apa, Lady? Mengapa wajahmu jelek seperti itu?
Mendengar kata 'jelek', Giselle semakin kesal. "Yang Mulia tidak lihat ini?" Giselle menengadahkan tangan, "semuanya sangat rapi dan cantik."
"Lantas, apa yang mengganggumu?"
"Aku juga ingin Istana West seperti ini."
"Maka lakukanlah!"
Giselle melepaskan genggaman Pangeran Hayden yang akhirnya membuat langkah sang adam terhenti seketika. Pangeran itu mengernyit dengan kepala yang ia miringkan sedikit ke arah kanan sambil mengamati puan yang sudah jemu.
"Aku tidak mungkin melakukannya seorang diri!" kesal Giselle.
Untuk beberapa saat, Pangeran Hayden hanya menatap Giselle, lalu berujar, "Tentu saja kau tidak akan mengangkat cangkul, sekop tanaman, dan peralatan lainnya, Lady. Lalu apa gunanya aku memiliki pegawai kebun?"
Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut sang pangeran membuat Giselle seketika tersenyum malu, lalu berlari kecil untuk mengambil tangan laki-laki itu dan membelainya lembut. "Jangan marah padaku, Yang Mulia."
"Memangnya aku terlihat marah ya?" tanya Pangeran Hayden dengan tatapan lurus.
"Iya, nampaknya seperti itu. Soalnya wajahmu menjadi jelek."
"Siapa bilang aku jelek? Aku setampan ini. Banyak wanita yang ingin denganku."
Giselle berdecak dengan menaikkan satu sudut bibirnya. "Mungkin saja mata mereka sedikit rabun."
Pangeran Hayden tiba-tiba terdiam, lalu memajukan wajahnya menuju Giselle hingga jarak mereka sangat dekat.
Cup...
Sang pangeran memberikan kecupan kecil di bibir hawa dan berujar jail, "Kalau begitu, kau juga rabun." Pangeran itu kemudian berjalan santai meninggalkan Giselle di belakang yang masih terpaku dengan ucapan sang adam.
Ah, rasa kesal Giselle nampaknya semakin bertambah. Namun, fokus gadis itu seketika pecah saat suara cekikikan terdengar di belakang sana. Siapa lagi jika itu bukan Ann.
Perempuan bersurai panjang pirang bergelombang tersebut melangkah dan berdiri tepat di samping Giselle. Melihat itu, Giselle memutar tubuh pada Ann. "Apakah kau tidak kesal melihat kami yang terkadang berdebat dan sesekali beradegan mesra?"
Ann tergelak kecil. "Tenang saja, Lady. Setiap pulang ke rumah, aku memuntahkan seluruh memoriku tentang kalian berdua dalam toilet."
Giselle berucap dengan lantang dan keras, "Heiii!"
Sontak, Pangeran Hayden membalikkan tubuh. "Kau memanggilku, Lady?"
"Tidak! Ah, aku kesal dengan kalian berdua!"
Giselle melangkah cepat meninggalkan Ann dan Pangeran Hayden yang sudah tersenyum. Namun, belum sempat ia melewati sang adam, tangannya sudah lebih dulu diraih dan lengan Pangeran Hayden seketika melingkar di belakang Giselle.
Tanpa aba-aba, Pangeran Hayden kembali mengecup kepala gadis itu dan berucap, "Kau lagi sensitif ya?" Giselle hanya mengangguk sebagai responsnya.
Melihat reaksi sang hawa, tangan pangeran yang sedang berada di pinggang Giselle secara refleks mengelus perut gadis bermanik gelap tersebut. "Sakit?"
"Tidak, Yang Mulia. Hanya aku ingin marah-marah saja."
"Sabar ya," kata Pangeran Hayden lembut yang sekali membuat Giselle mengangguk cepat.
Tak lama lagi, para penghuni Istana West akan tiba di pintu utama Istana East. Sayangnya, langkah mereka semua terhenti ketika mendapati para pasukan khusus keamanan tiap Istana bergerak cepat sambil mengangkat senjata. Mereka bergerak secara teratur dan jumlah setiap pasukan Giselle perkirakan lebih dari dua puluh orang.
Setiap pasukan istana mengenakan seragam yang berbeda yang membuat mereka dengan mudah dikenali. Giselle meletakkan atensi penuh pada pasukan penembak jarak jauh yang berada di atas dinding luar Istana East dengan berpakaian hitam, lengkap dengan senjata laras panjang yang mengarah ke bangunan besar tersebut.
Giselle tak dapat menyembunyikan rasa kagum ketika melihat para pasukan itu. Ia meraih lengan Pangeran Hayden dengan semangat dan bertanya, "Yang Mulia, apakah sebentar lagi akan ada festival di kota? Mengapa begitu ramai?"
Pangeran Hayden mengangkat wajah. "Ah, itu ... ah ya, mungkin saja," jawab sang pangeran dengan senyum yang ia paksakan. Sayangnya, Giselle dapat menangkapnya dengan jelas.
"Ada apa, Yang Mulia?" Ekspresi Giselle seketika berubah.
"Ah, Lady, apakah kau mau kembali ke Istana West saja?"
"Tidak," Giselle menggeleng, "aku datang denganmu, Yang Mulia. Maka aku harus juga kembali bersamamu."
Laki-laki itu tersenyum tipis seraya membelai puncak kepala Giselle. "Kalau begitu, tunggulah di sini sebentar. Kau akan ditemani oleh dua pegawaiku dan Nyonya Clara. Bagaimana?"
"Baik, Yang Mulia."
Pangeran Hayden tak lupa memberikan kembali kecupan ringan di kening sang puan. Sebelum sang pangeran melangkah, Calvin dengan cepat menghampiri Pangeran Hayden dan menyerahkan sepucuk senjata berwarna hitam, senjata yang Giselle pernah lihat sebelumnya dan itu selalu sukses membuat napasnya terasa sesak.
"Sudah terisi penuh?" tanya Pangeran Hayden.
"Sudah, Yang Mulia."
Giselle kembali meraih lengan sang pangeran yang sudah menggenggam senjata tersebut. Setelah menelan saliva dengan susah payah, gadis itu berkata, "Demi apapun, Yang Mulia. Kau membuatku takut. Untuk apa senjata itu? Kembalikan saja pada Tuan Calvin. Jangan sentuh senjata itu! Kau tidak tahu itu berbahaya?"
Pangeran jelas melihat raut ketakutan dan mata yang berkaca-kaca menahan agar airnya tak tumpah dari gadis yang berdiri gamang di hadapannya. Dan nampaknya, Pangeran Hayden tak dapat lagi membuat puan itu untuk tetap tenang, ia tidak mengeluarkan sepatah katapun saat memandang lekat wajah sang hawa.
"Aku mohon. Ya? Lepaskan senjata itu, ok?" acap Giselle seraya meraih pelan tangan sang pangeran dan mengambil senjata, menyerahkannya kembali pada Calvin.
"Lady, tunggu di sini sebentar. Aku pasti kembali."
Tanpa menunggu respons Giselle, Pangeran Hayden pergi bersama Ann dan Calvin. Mereka pun tidak melewati pintu utama Istana, tetapi melalui pintu yang berada di sebelah kanan bangunan dan itu cukup membuat mereka terlihat berlari terlebih dulu sebelum akhirnya menghilang dari pandangan.
.
.
Giselle sudah menunggu kurang dari 5 menit di luar istana. Namun, tak ada tanda-tanda sang pangeran akan kembali. Ia yang semula duduk di tempat duduk taman depan dengan pengawalan seadanya, lalu bangkit melihat para pasukan yang berbaris rapi di depan pintu Istana East.
Dulu aku menunggu dan dia menghilang. Dulu aku juga lari, dan dia akhirnya pergi. Kenapa semakin lama, aku merasakan kembali apa yang sudah aku rasakan sebelumnya? batin Giselle.
Gadis itu sempat melirik dari ujung mata ke arah dua pegawai dan Nyonya Clara yang sedang bercengkrama dengan serius. Setelah yakin jika mereka tak memperhatikan gerak Giselle, perempuan itu pun berlari menuju pintu utama Istana East. Meskipun sempat dihadang oleh dua penjaga, namun Giselle tetap dapat melenggang masuk setelah ia mengatakan, "Aku adalah tamu Putri Karina. Jika tak percaya, kalian tanyakan saja pada dirinya langsung!"
Puan keturunan Hampton itu terus berlari, membuka satu per satu pintu, melewati pilar-pilar raksasa dan koridor-koridor dengan dominasi warna biru yang sesuai identitas istana. Dengan keterbatasan pengetahuan mengenai denah Istana East, Giselle masuk ke berbagai ruangan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Tak jarang ia tiba di kantor atau ruangan para pegawai perjalanan kerja Pangeran Jace. Ia juga sempat mengunjungi gudang, ruang anggur, dapur, ballroom, dan garasi. Namun, ia tetap tak menemukan di mana Pangeran Hayden berada.
Jujur saja, kaki Giselle mulai lelah berlari dengan sepatu hak yang biasa ia kenakan. Terlebih beberapa hari yang lalu, kakinya sempat terkilir.
Giselle pun menepi sejenak seraya menarik napas sebanyak mungkin dan menenangkan diri. Ia kemudian melepas satu per satu sepatu berwarna hitam itu, lalu berusaha sekuat tenaga mematahkan bagian alas yang runcing dengan kedua tangan kosong. Pada awalnya, Giselle mulai menyerah karena itu terlalu keras. Namun, setelah ia memandang sepatu tersebut lekat, ia kemudian mengetuk-ngetuknya ke lantai dengan keras dan berulang, hingga terlihat adanya retakan kecil di bagian alas tersebut. Tanpa berpikir panjang, Giselle dengan mudah mematahkannya. Begitu pula pada pasangannya.
Gadis itu meletakkan kedua tangan di samping, seolah menjadikannya tumpuan tubuh sang puan. Ia menunduk dengan bulir-bulir keringat yang menetes secara perlahan dan jatuh di atas gaun berwarna merah muda miliknya, meninggalkan jejak di sana.
Setelah tubuh penuh peluh tersebut terasa sedikit memiliki kekuatannya kembali, Giselle memasang sepatu itu, lalu kembali berlari kecil untuk mengitari ruangan dalam Istana East sekali lagi.
Langkah sang hawa berhenti dalam sebuah ruangan berwarna biru yang memperlihatkan sebuah peta negara Atharia dalam bentuk tiga dimensi dan ditutupi oleh kaca. Benar-benar besar dan sangat memanjakan mata.
Ia melangkah pelan menuju peta tersebut dan mengamatinya dengan lekat. Di samping legenda peta, Giselle dapat melihat daftar wilayah, seperti Strea, Frenia, Nethervile, Creaule, dan Froer. Di antara lima wilayah tersebut, Floer memiliki wilayah paling besar dengan ibu kota bernama Gundiar.
Tatapan Giselle kemudian terpaku pada wilayah yang diberi warna ungu tua bernomor satu di atas peta timbul itu. Luas wilayahnya mencakup seluruh perbatasan antarnegara dan antarwilayah di Atharia.
Dengan rasa penasaran yang menumpuk, Giselle mengangkat kepala, lalu bergerak menuju sebuah daftar tepat di samping peta. Di daftar itu tertulis jelas nama-nama bangsawan di luar dari kerajaan dan luas wilayah yang dilambangkan dengan nomor pada peta.
Pada nomor satu tertulis jelas keluarga Stein dengan simbol huruf S dan angka 1 yang berukuran kecil di sebelahnya. Entah mengapa, Giselle kembali membaca satu per satu nama keluarga bangsawan dan mencari huruf S yang sama. Sylvester, Swain, Sherbourne, Sanders, Safford, dan masih banyak lagi. Giselle pun tak mampu membaca secara keseluruhan, sebab kepalanya mulai pusing.
Sret...
"Apa yang Anda lakukan di ruangan pertemuan ini, Lady Giselle?" tanya seorang pegawai Istana East yang terbilang masih muda.
"Ah, aku-aku ... aku sedang mencari ruangan pertemuan Pangeran Hayden dan Tim Royals."
"Ohhh, ruangannya bukan di sini."
"Lalu, di mana?"
"Mari saya tunjukkan, Lady. Tapi, pertemuannya belum dimulai. Baru akan dimulai beberapa menit lagi setelah pemeriksaan di bawah tanah selesai."
"Bawah tanah? Kenapa harus di bawah tanah?"
Pegawai itu tersenyum tipis. "Maafkan saya, Lady. Saya hanya mengetahui sebatas itu saja. Mari, Lady."
Giselle pun tanpa ragu mengikuti pegawai tersebut dan ternyata melangkah ke lantai atas, lantai dua istana. Setelah melewati koridor dan ruang-ruang utama, mereka akhirnya tiba di sebuah persimpangan. Dari jauh, pegawai tersebut menunjuk sebuah ruangan yang memiliki tulisan 'Throne Room'.
Pegawai tersebut menundukkan kepala satu kali, pamit undur diri setelah memperlihatkan ruangan.
Tak lama kemudian, dari kejauhan Giselle dapat melihat Pangeran Hayden, Calvin, Jake, Ann, Russel, dan beberapa petugas keamanan masuk ke dalam ruangan dengan sedikit tergesa-gesa. Sang gadis yang melihat itu hanya mampu mengerutkan kening. Ia juga tak berani untuk maju lebih dekat ke ruangan tersebut, mengingat terlalu banyak petugas keamanan yang memegang senjata serta pedang bermata tajam.
Namun, kedua mata Giselle akhirnya terbelalak lebar dan ia terkesiap ketika melihat seseorang yang sedang didorong berkali-kali oleh petugas keamanan dengan kedua tangan dilipat ke belakang dan diborgol, untuk melangkah cepat masuk ke dalam ruangan. Semula, Giselle tak percaya begitu saja dengan apa yang ia lihat. Dan ntuk memastikannya, ia berlari menuju ruangan yang masih terbuka tersebut dan berdiri tepat di depan pintu.
"Mark?" panggil Giselle.
Pemuda itu sontak memutar tubuh ketika namanya dipanggil. "Giselle?"
BRAK...
Dan pintu ruangan itu akhirnya tertutup sempurna!
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top