27. Menemani Pangeran Hayden

.
.

Siang itu, Giselle berinisiatif untuk menemani Pangeran Hayden di ruang kerjanya. Ia yang duduk di depan sebelah kanan sang pangeran pun meletakkan kepala di atas meja, lalu jari telunjuk Giselle bergerak menyentuh dan mendorong pipi laki-laki tersebut. Meskipun diganggu oleh Giselle yang nampaknya sudah mulai bosan melihat Pangeran Hayden membolak-balikkan kertas, membaca isi, dan menandatangi dokumen selama satu jam, sang pangeran tetap bergeming.

"Yang Mulia," panggil Giselle, sedikit merajuk.

Pangeran Hayden mengacuhkannya dan tetap melanjutkan menandatangi dokumen tentang yayasan peduli anak yang akan menyelenggarakan sebuah acara akhir pekan depan.

"Yang Mulia...."

Sekali lagi, Pangeran Hayden mengangkat sebuah kertas dan membacanya dengan penuh ketelitian.

"Yang Mulia, Yang Mulia, Yang Mulia ... Yang Mulia Pangeran Hayden Aratohrn Edelhart!" ucap Giselle yang kini terlihat sudah mengerucutkan bibir. Sepertinya ini pertama kali Giselle memanggil laki-laki itu dengan nama lengkap.

Sang empunya nama kemudian menurunkan kertas tersebut, lalu menoleh pada Giselle dengan perlahan. "Ehm?"

Hanya itu?

Giselle melipat kedua tangan di dada, tampak kening mengerut, dan kedua alis yang sudah bertautan menghiasi wajah mulusnya. Ia memandangi Pangeran Hayden dengan sorot mata kesal. "Aku bosan. Ayo, main apa saja!"

"Pergilah main sendirian, Lady. Kau tidak lihat aku mengerjakan banyak dokumen?"

Gadis itu menaikkan satu alis. "Tidak!"

Pangeran Hayden melanjutkan kembali memeriksa dokumen lain yang berada di hadapannya tanpa mendengarkan sang hawa. Melihat itu, Giselle mendengkus, lalu bangkit dan berjalan mengelilingi ruangan kantor. Pangeran Hayden sempat melirik sebentar apa yang dilakukan wanitanya itu, lalu kembali mengurus kertas-kertas.

Sekilas, ruangan kerja nampak seperti ruang kerja biasanya, hanya saja ukurannya dua kali lebih besar dari umumnya. Terdapat tiga sofa panjang berwarna cokelat tua dari kulit, sebuah meja panjang kaca, dinding berwarna krem dengan setengah bagian bawahnya berwarna cokelat tua.

Di setiap sudut ruangan terdapat lemari satu pintu yang berisikan piagam, piala, gambar, pernak-pernik dari berbagai negara, souvenir, dan lain sebagainya. Di ruangan sebelah yang terhubung dengan ruang kerja utama ini berisikan lemari-lemari buku yang memenuhi dinding. Bahkan terdapat tangga beroda untuk mengambil buku di bagian paling atas.

Setelah melihat banyak buku, Giselle kemudian berjalan ke lemari lainnya yang di bagian atas tertulis 'Mode-Mode Kerajaan Atharia'. Netra sang gadis mengerucut pada sebuah buku dengan sampul busana-busana indah, seperti yang dikenakan para bangsawan ketika menghadiri Jamuan Teh di Istana East beberapa waktu lalu. Tak perlu berpikir lama, Giselle pun membuka lemari dan mengambil buku yang hanya berada satu jengkal di atas kepala.

Giselle kemudian mengambil tempat duduk di pinggir dekat dengan jendela yang menghadap langsung ke taman depan istana, lalu membuka halaman demi halaman dari buku tebal itu.

Mata sang puan menatap takjub pada pakaian-pakaian terbaik yang diurutkan dari kepunyaan ratu terdahulu hingga sekarang, warna-warna dan corak yang memanjakan mata. Sayangnya, buku tersebut tak memuat terlalu banyak detil, seperti nama dan bahan dari busana tersebut. Akan tetapi, di bagian bawah gambar-gambar itu terdapat nama acara dan tanggal yang dihadiri oleh anggota kerajaan, serta perancangnya.

Setelah cukup lama melihat-lihat busana para ratu, tangan Giselle kembali membuka halaman yang memuat gambar para bayi istana yang lucu nan menggemaskan. Namun, ada dua gambar di bagian paling bawah yang mencuri atensi sang puan bersurai panjang tersebut. Segera, ia pun melangkahkan kakinya kembali ke meja kantor.

"Yang Mulia, Yang Mulia," panggil Giselle dengan antusias. Namun sekali lagi, Pangeran Hayden tak mengindahkannya.

Melihat itu, Giselle menarik kursi beroda, lalu duduk tepat di samping Pangeran Hayden. Ia mencari cara agar sang pangeran memberikan sedikit perhatian padanya.

Cup....

Giselle mengecup ringan pipi Pangeran Hayden yang seketika membuat sang adam membeku. "Aku akan melakukan segala cara agar kau melihatku sekarang!" bisik Giselle jail setelah pangeran itu menoleh padanya.

Mendengar hal tersebut, Pangeran Hayden menarik tangan Giselle dan mendudukkannya di pangkuan sang adam. Hal ini jelas membuat Giselle terpaku selama beberapa detik, lalu memutar tubuh dan sedikit menunduk untuk melihat wajah sang pangeran.

"Tapi, aku berat," acap Giselle.

Pangeran Hayden mengedikkan bahu. "Biasa saja."

Kepala pangeran pun sedikit maju untuk melihat buku yang sudah tergeletak di atas meja. "Kau ingin bertanya apa?"

"Ah, ya, ini, Yang Mulia," Giselle menunjuk dua gambar yang ada di buku tersebut, "apa beda dari dua gambar ini? Lalu, apa penjelasannya? Sebab, seperti yang kau lihat, Yang Mulia, tidak ada penjelasan tertulis di sini."

Pangeran Hayden mengangkat buku tersebut, lalu berujar, "Ini tentang kain para bayi."

"Maksudnya?"

"Kau lihat dua gambar ini? Yang A adalah kain berwarna putih, benar-benar putih. Kain itu dimiliki oleh para wanita dari anggota kerajaan. Sedangkan kain B ini berwarna putih gading, dimiliki oleh wanita-wanita bangsawan di luar dari kerajaan. Kain-kain ini digunakan untuk membalut tubuh bayi ketika baru saja lahir ke dunia, benar-benar tepat setelah dilahirkan dan masih berlumuran darah."

"Tunggu sebentar, Yang Mulia," Giselle mengangkat satu tangan dan membuat laki-laki itu terhenti sejenak, "ini berlaku untuk seluruh bayi?"

"Tidak, Lady. Ini hanya berlaku untuk bayi perempuan saja karena akan diturunkan terus menerus."

Giselle menganggut. "Lalu, bagaimana jika wanita tersebut melahirkan tiga bayi perempuan?"

"Maka, bayi pertama yang berhak atas kain tersebut. Penerima kain-kain putih ini dapat dikatakan spesial. Sebab, ia juga menjadi simbol keluarga bangsawan tepat di samping anak pertama laki-laki. Dengan kata lain, kedudukan anak pertama laki-laki dan anak pertama perempuan dalam sebuah keluarga bangsawan itu sama.

"Ini akan sangat panjang penjelasannya, Lady. Tapi jika kau bertanya tentang mendapatkan hak spesial seperti apa, para wanita ini dapat menjadi pemimpin dalam satuan militer, pun mendapatkan warisan yang sama besarnya dengan anak pertama laki-laki. Dan tentu saja, masih banyak lagi."

Sang puan mengelus dagu seraya mengangguk berulang kali.

Melihat Giselle yang tampaknya sangat tertarik dengan kain tersebut, Pangeran Hayden menambahkan jika kain dari anggota keluarga kerajaan memiliki simbol bergambar anggrek di bagian atas yang warnanya sesuai istana tempat ia dilahirkan. Sedangkan di bagian belakang adalah inisial dari nama besar keluarga sang ibu. Perbedaan dengan kain dari anggota bangsawan hanya terletak pada simbol gambar mawar emas di bagian atas.

"Lantas, bagaimana jika ... katakanlah seandainya ... what if," ucap Giselle yang membuat Pangeran Hayden tersenyum tipis mendengar kalimat mengandung makna yang sama itu, "aku melahirkan bayimu. Apakah putri kita akan mendapatkan kain berwarna putih ini?"

Pangeran Hayden menatap Giselle lekat yang membuat perempuan itu sedikit malu. "Tentu saja warna putih kerajaan, Lady."

"Tapi, Yang Mulia, aku memiliki kain warna putih gading ini yang aku simpan di tasku, sangat mirip dengan simbol-simbol dan inisial yang ada, entah sekarang di mana tas tersebut. Yang ingin aku tanyakan, apakah kain-kain ini bisa kita lihat imitasinya?"

"Tentu tidak, Lady. Negara tahu betapa berharganya kain-kain ini, sehingga ada peraturan resmi yang mengaturnya. Bahkan, orang-orang yang berani untuk membuat replika dapat dipenjara selama 45 tahun, seumur hidup, atau hukuman mati."

Giselle terbelalak sambil mengamati gambar di buku-buku itu. Ia sangat paham jika Pangeran Hayden tak mungkin berbohong, karena selama ini laki-laki itu selalu mengatakan apa adanya pada Giselle. Namun, sang puan merekatkan mulut seraya berpikir sangat dalam. Jika Giselle memiliki kain tersebut, maka ia sudah dapat dipastikan berasal dari keluarga bermartabat.

"Itu berarti aku--"

"Iya, Lady. Kau berasal dari keluarga terhormat. Seperti yang aku katakan tempo hari bahwa posisi kita tak terlalu jauh. Tetapi, kau sudah berpikir bahwa jarak yang terbentang membuatmu tidak pantas untuk berada di sisiku."

Pangeran Hayden mengambil tangan Giselle dan membelainya lembut. Sang pangeran mendongak, mencari manik gadis yang terlihat telah nyaman duduk di pangkuannya itu. "Kau ... milikku, Lady."

"Tolong, bertahanlah sedikit lagi hingga aku dapat mengungkapkan semuanya. Tetap di sini, tetaplah di sampingku."

Permintaan Pangeran Hayden membuat bahu Giselle terasa berat. Di satu sisi, ia ingin selalu berada di dekat sang pangeran. Namun di sisi lain, ia ingin kembali ke Pulau Arkala dan hidup layaknya wanita-wanita biasa. Dan mungkin ... menikah bersama laki-laki lain? Tidak ada yang tahu tentang takdir, bukan?

Tak dapat dipungkiri juga jika Giselle telah nyaman tinggal di istana megah ini, terlebih Pangeran Hayden menyediakan seluruh kebutuhannya. Hanya saja, Giselle tiba-tiba teringat pada Patra, Amanda, Winter, dan Mark. Ia pun tersadar jika kedatangannya ke Nethervile seharusnya tak pernah terjadi. Andai saja ia tetap tinggal di Arkala, mungkin saat ini ia sudah berdebat dengan Winter tentang roti cokelat atau keju yang paling menggugah selera di kantin Akademi Evergreen seperti biasa terjadi.

Suasana di ruangan tiba-tiba saja terasa menghangat, terlebih sentuhan Pangeran Hayden benar-benar membuat Giselle nyaman. Perempuan itu tertunduk, menyembunyikan air mata yang telah terbentuk di pelupuk dibalik surai hitamnya yang tergerai panjang.

Menyadari hal itu, Pangeran Hayden memutar tubuh sang hawa agar sedikit menghadap pada dirinya. Tangan pangeran itu menyugar rambut Giselle, sedangkan tangan bebas lainnya menghapus air mata.

"Lady ... ada apa?"

"Aku rindu ibuku," jawab Giselle cepat yang membuat Pangeran Hayden tanpa berpikir panjang memeluk tubuh gadis itu, menepuk dan membelai bahu puan Hampton tersebut dengan penuh kelembutan.

Untuk beberapa saat, Giselle memejam seraya merasakan tiap sentuhan Pangeran Hayden.

.

.

Setelah cukup tenang, Giselle kembali membawa buku tersebut dan ingin mengembalikannya ke tempat semula. Namun, ketika buku tentang busana itu diangkat setinggi kepala, tiba-tiba saja sebuah kertas tebal jatuh dari sela-selanya. Semula, Giselle tak percaya jika kertas itu jatuh dari buku karena ia ingat bahwa tak ada kertas yang terselip di sana ketika ia membuka lembaran demi lembaran bersama Pangeran Hayden beberapa waktu yang lalu.

Tanpa berpikir lama, Giselle mengembalikan terlebih dahulu buku tersebut, lalu mengambil kertas yang telah tergeletak di lantai. Dari atas saja, Giselle sudah dapat melihat nama lengkap Pangeran Hayden beserta gelar kerajaan yang tersemat. Ketika Giselle memutar kertas kecil tersebut, betapa terkejutnya sang puan.

Untuk beberapa saat, ia memperhatikan kertas itu, lalu dengan semangat ia memutar tubuh menuju Pangeran Hayden.

"Yang Mulia, lihat apa yang aku temukan!"

Giselle kemudian memperlihatkan kertas kecil itu di depan Pangeran Hayden tanpa melepaskan tangannya. Semula, sang pangeran hanya menatapnya biasa saja seraya sesekali tergelak kecil. Akan tetapi, reaksi laki-laki itu membelalak ketika ia mendengar langkah Giselle yang mulai melangkah keluar ruangan sambil berkata, "Aku akan memamerkannya ke seluruh pegawai!"

Sontak saja, Pangeran Hayden pun bangkit dari duduknya dan mengejar Giselle yang sudah menghilang dari balik pintu ruangan yang terbuka lebar.

Giselle berlari cepat sambil membawa gambar yang memalukan. Tentu saja demikian, sebab itu adalah gambar Pangeran Hayden saat masih berusia 3 tahun yang berlari mengelilingi Istana North tanpa menggunakan sehelai benang pun. Giselle tak dapat menyembunyikan tawanya selama berlari, hingga suaranya menarik perhatian para pegawai.

"Lady, please...." Entah sudah berapa kali Pangeran Hayden memohon, tetap saja perempuan itu tak menghiraukan.

Setibanya mereka di ruangan pertemuan yang sangat besar, di mana terlihat para pegawai sedang membersihkan ruangan tersebut, tiba-tiba saja Giselle berhenti karena kakinya mulai lelah. Terlebih, ia berlari seraya menggunakan sepatu hak. Sebenarnya tak ada ketentuan jika Giselle harus menggunakan sepatu hak dalam istana, hanya saja ia ingin menggunakannya hari ini.

Sang puan mengangkat tangan tinggi-tinggi agar Pangeran Hayden tak dapat meraih kertas tersebut. Namun, nampaknya Giselle tak memperhatikan jika sang pangeran memang memiliki postur tubuh yang tinggi sehingga sebenarnya sangat mudah untuk meraih kertas tersebut. Hanya saja, Giselle menggoda sang pangeran dengan sesekali menurunkan tangan, menyembunyikan di belakang tubuh, dan gerakan aneh lainnya. Saat Giselle akan berlari, sepatu haknya tersangkut pada karpet yang membuat tubuhnya limbung.

Bruk...

Giselle sukses mendaratkan tubuhnya pada lantai, namun kini Pangeran Hayden juga berada di atasnya. Tak tahu bagaimana ia pada akhirnya juga ikut terjatuh. Sontak saja, Giselle kembali melancarkan serangannya dengan melempar kertas itu jauh di atas karpet, tentunya dengan posisi terbalik agar para pegawai tak melihat gambar tersebut. Hal ini cukup membuat sang pangeran kembali mengerucutkan bibir.

Cup...

Kembali, Giselle mendaratkan kecupan di bibir Pangeran Hayden yang membuat laki-laki itu mendengkus ringan seraya mengulum senyum.

Melihat adegan itu, para pegawai yang berjumlah lebih dari dua puluh orang seketika membalikkan tubuh menghadap dinding. Tentu saja mereka dilarang untuk melihat anggota kerajaan sedang melakukan adegan romantis bersama pasangan. Aturannya sudah seperti itu.

Giselle sangat yakin jika para pegawai memperhatikan apa yang ia lakukan dan mereka juga sedang menahan untuk tak tersenyum.

Pangeran Hayden tiba-tiba saja bangkit, diikuti oleh Giselle. Pangeran itu berjalan untuk mengambil kertas dan menyimpannya di saku jas. Saat akan melangkah meninggalkan Giselle, derapnya mendadak terhenti ketika sang puan memanggil, "Yang Mulia...."

Sedikit enggan, namun pangeran tetap memutar tubuh untuk melihat Giselle yang sudah terduduk dengan cengiran lebar di wajahnya. "Sepertinya, kakiku terkilir," acap puan tersebut, "apa kau akan menggendongku ala bridal lagi?"

Laki-laki tersebut tersenyum tipis. "Mari kita lihat."

Pangeran Hayden berjalan menuju Giselle yang sudah mengangkat kedua tangannya. Bayangan tentang digendong ala bridal oleh sang pangeran sudah tampak jelas di pikiran sang gadis seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Memikirkannya saja sudah membuat Giselle terlihat seperti mengonsumsi minuman beralkohol tinggi, tersenyum lebar dengan mata menghilang akibat pipi yang terangkat dan wajah merah merona.

Sang adam mengangkat pinggang Giselle, lalu meletakkannya di bahu dengan bagian kepala perempuan itu berada di punggung. Benar-benar posisi terbalik.

Ah, ternyata ini tak seperti yang dibayangkan!

"Yang Mulia, aku bukan karung beras. Bagaimana mungkin kau mengangkatku seperti ini. Aaaa ... Yang Mulia, maafkan aku. Tolong turunkan aku! Ah, aku minta maaf. Tolong beri aku pengampunanmu. Aku tak akan melakukannya lagi. Aku berjanji ... Yang Mulia."

Sepanjang melewati koridor, hanya kalimat-kalimat itulah yang keluar dari mulut Giselle. Para pegawai yang melihat dan mendengar sang puan meronta dalam gendongan Pangeran Hayden hanya mampu tersenyum. Beberapa dari mereka telah terkekeh kecil sambil menggelengkan kepala.

"Jangan macam-macam denganku, Sayang," ucap Pangeran Hayden sesaat setelah ia membuka pintu kamar dan akhirnya menghilang bersama Giselle.

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top