26. Mengunjungi Istana North

.
.

Siang itu, Pangeran Hayden mengajak Giselle untuk mengunjungi Istana North, istana paling belakang dalam kompleks Istana Aglait. Giselle yang mendengar itu pun hanya mengangguk mengiyakan.

Saat mobil akhirnya berhenti tepat di depan gerbang utama, Pangeran Hayden memutuskan berhenti, lalu kedua insan tersebut akan berjalan santai menyusuri istana. Sebenarnya mereka tak benar-benar berdua, ada Ann, Nyonya Clara, dan beberapa petugas keamanan lain yang jika ditotal untuk keseluruhan berjumlah enam orang.

Titah Pangeran Hayden adalah mutlak, sehingga mau tak mau seluruh penghuni Istana West pun berjalan kaki. Begitu pula Giselle yang masih menggenggam kuat lengan Pangeran Hayden dengan air wajah penuh kebahagiaan. Hingga akhirnya Pangeran Hayden mengatakan bahwa sang pangeran dan Giselle akan bertemu dengan kedua orang tua Pangeran Hayden. Seketika, Giselle menghentikan derap.

Perempuan itu tertinggal dua langkah di belakang Pangeran Hayden. Menyadari jika Giselle tak berada di sampingnya, laki-laki itu pun ikut berhenti dan berbalik badan. "Ada apa?"

"Yang Mulia tanya ada apa?" ucap Giselle dengan suara yang meninggi.

"Aku tidak mengerti, Lady. Mengapa kau berhenti?"

Giselle melipat kedua tangan di dada, memajukan dan mengerucutkan bibir. Kaki kirinya menghentak tanah berulang kali. "Kenapa Yang Mulia tidak mengatakan jika kita akan berkunjung sebelumnya?"

"Memangnya ada masalah?"

"Oh, God! Kita baru saja melakukan pertandingan balap kuda. Tubuh kita penuh keringat dan beraroma yang membuat tak nyaman. Sungguh tak sopan jika menemui Pangeran Winston dan Putri Tyana dalam keadaan seperti ini, Yang Mulia," Giselle menggeleng cepat, "aku tidak percaya diri."

Pangeran Hayden menghela napas, lalu tersenyum tipis. Ia kembali melangkah ke arah Giselle dan membelai puncak kepala sang gadis. "Sudahlah, tak apa. Meskipun kita dalam keadaan kumal, kita akan tetap diterima di Istana North."

"Bukan seperti itu, Yang Mulia...."

"Aku paham, Sayang. Aku minta maaf jika memang ini mendadak. Tapi, aku sendiri baru menerimanya setelah kita selesai balapan. Tidak mungkin kita kembali ke Istana West terlebih dulu, lalu ke sini, bukan?"

"Lantas mengapa kita tidak berhenti di pintu utama saja?"

"Karena aku ingin kau melihat seluruh bagian istana, termasuk halaman depan ini," ucap Pangeran Hayden dengan mengedarkan pandangan dan menengadakan kedua tangan.

Jujur, Giselle terkadang tak mengerti jalan pikiran pangeran yang telah tersenyum lebar dihadapannya tersebut. Giselle paham maksud pangeran itu sangat baik, hanya saja tak bisakah mereka sekadar berunding dulu untuk beberapa menit sebelum melangkah terlalu jauh. Huft....

Pangeran Hayden kembali meraih lengan Giselle dan melingkarkannya di lengan sang adam. Mau tak mau, Giselle kembali melangkah. Sebelum berjalan kembali, Pangeran Hayden sempat berbisik di telinga puan, "Kau tak perlu khawatir, Lady, karena kau tetap terlihat cantik." Perkataan tersebut sukses membuat Giselle tersenyum tipis di tengah perasaan kesalnya.

Istana North terkenal dengan bangunan yang asri dan apik, memiliki interior serba hijau di segala ruangan. Luas bangunan pun hampir sama dengan Istana West, hanya saja ukuran taman depan dua kali lebih besar dari istana milik Pangeran Hayden tersebut. Dengan penataan taman yang luar biasa, netra Giselle sangat dimanjakan. Terkadang, sang hawa menemukan dua hingga tiga kupu-kupu setiap beberapa langkah menuju pintu utama. Entah mengapa, Giselle sangat menyukainya. Seolah kupu-kupu itu menyambut sang gadis dengan kepakan sayap yang indah.

Setibanya mereka di depan pintu istana, lalu masuk ke ruang tamu, seluruh petugas keamanan pun menghentikan derap. Sudah menjadi aturan jika para pegawai istana lain tidak dapat masuk ke istana yang dituju terlalu dalam jika tanpa izin. Melihat tak ada lagi Nyonya Clara dan Ann di belakangnya, Giselle semakin mengeratkan genggaman di lengan Pangeran Hayden. Sesekali, ia akan menunduk lebih dalam ketika melihat para pegawai Istana North sedang menatapnya. Jika ia bisa, Giselle ingin selalu berlindung di punggung Pangeran Hayden dan menenggelamkan kepala di sana agar orang-orang berhenti menatapnya aneh.

Pangeran Hayden kemudian berhenti di depan pintu sebuah ruangan yang nampaknya juga terlalu besar dan menyapa seseorang. "Bagaimana kabarmu, Addy?"

"Luar biasa, Yang Mulia."

"Syukurlah jika seperti itu. Oh ya, ayah dan ibuku menyuruh kami kemari. Kau tau sesuatu?" tanya Pangeran Hayden.

"Kau akan mengetahuinya sendiri, Yang Mulia." Addy lalu membuka pintu, menampakkan Putri Tyana dan Pangeran Winston sedang bercengkrama santai seraya meminum teh.

Melihat kedatangan sang putra, Putri Tyana pun tersenyum ramah, menengadahkan kedua tangan, lalu bangkit dari tempat duduknya. Giselle dengan cepat melepaskan pegangannya di lengan Pangeran Hayden dan mundur dua langkah. Ia hanya menunduk seraya meremas gaunnya.

"Oh ... ternyata putraku membawa seorang gadis jelita. Siapa namamu, Nona?" tanya Putri Tyana dengan ramah.

"Nama saya Giselle, Yang Mulia." Giselle mengangkat kepala sejenak, lalu kembali menurunkan pandangan.

"Ibu...." Pangeran Hayden membelai lengan Putri Tyana agar tak melangkah ke arah Giselle.

"Ada apa? Ibu tak boleh bertanya?"

"Bukan seperti itu ... hanya saja Giselle masih terlalu terkejut. Jangan menggodanya," jelas sang pangeran.

Putri Tyana terkekeh pelan, lalu memukul ringan bahu sang anak. "Kau over protective sekali padanya. Bahkan kau sendiri tak pernah memperhatikan Ibu seperti itu."

"Kapan aku bertingkah seperti itu padamu?"

Putri Tyana hanya mengacuhkan Pangeran Hayden dan melangkah ke sisi Giselle. "Kami ingin berbicara dengan Hayden terlebih dulu. Maukah kau menunggu sebentar di luar, Nona?"

"Tentu, Yang Mulia."

Sebelum Giselle membalikkan tubuh, meninggalkan keluarga kecil itu, Pangeran Hayden dengan cepat berucap, "Ah, Addy. Bisakah kau menjaga Giselle sebentar?"

"Baik, Yang Mulia. Mari, Nona."

Giselle kemudian melangkahkan kaki meninggalkan ketiga anggota kerajaan itu dan duduk di depan ruangan, sementara pintu sudah tertutup rapat. Addy yang semula berada di seberang Giselle, sedang berdiri bersandar dinding, kemudian meminta izin pada sang hawa untuk meninggalkannya sebentar. Laki-laki yang Giselle perkirakan seumuran dengan Pangeran Hayden itu pun mengatakan jika ia melupakan sesuatu di lantai tiga.

Sekarang, Giselle hanya seorang diri. Ia duduk terdiam sembari menatap dinding berwarna hijau dengan pilar-pilar raksasa dari keramik yang menjulang. Di beberapa titik tertentu, Giselle melihat gambar-gambar wanita dan pria berukuran raksasa berpose duduk sambil mengenakan busana kebesaran mereka. Giselle tahu jika mereka adalah Putri Tyana dan Pangeran Winston ketika masih muda. Ada pula potret kecil Pangeran Hayden yang diletakkan di antara kedua bingkai ibu dan ayahnya.

Saat Giselle merunduk dan memperhatikan kedua telapak tangan, bayangannya terbang ke hari di mana ia sempat merasakan hal yang sama. Ia duduk di luar setelah Pangeran Jace dan Putri Karina menanyakan banyak hal padanya, termasuk tentang orang tuanya dan Mark. Rasanya aneh, mengingat kembali saat-saat itu.

Sret...

Setelah lebih dari 15 menit berdiam diri di luar, pintu kembali terbuka dan menampakkan sosok Pangeran Hayden. Ia bermaksud untuk mengajak Giselle kembali ke dalam ruangan. Namun, Giselle justru menggeleng pelan yang membuat Pangeran Hayden mengerutkan kening, lalu mendekat ke arah sang gadis dan berjongkok bertumpu pada satu kaki.

"Ada apa, Lady?"

Pangeran Hayden meraih kedua tangan Giselle yang sudah mendingin, bibirnya pun terlihat memucat, dan tatapan sayu. Untuk beberapa saat, sang pangeran dilanda rasa panik.

"Apakah kau sedang tak enak badan, Sayang?"

Menyadari kekhawatiran sang adam, Giselle menggeleng. "Tidak, Yang Mulia. Aku hanya ketakutan."

"Kenapa? Apa yang membuatmu takut?" Pangeran Hayden membelai punggung tangan puan itu lembut.

"Aku ingat kejadian ... waktu itu. Kejadian saat Pangeran Jace dan Putri Karina--"

"Ahhh, aku paham," sela sang adam. Ia lalu mengangkat tangan dan mengelus pipi Giselle. "Kau tak perlu takut, ibu dan ayahku hanya akan berbicara sebentar. Bolehkah, Lady? Namun jika kau merasa tubuhmu sedang tak sehat, kita kembali saja."

Mendengar perkataan Pangeran Hayden, Giselle seketika mengangkat wajah. Ia menatap laki-laki itu dan mengernyit. Ah, mereka sudah terlalu jauh melangkah hingga tiba di sini, Giselle sedikit tak enak hati jika harus kembali.

"Ah, jangan, Yang Mulia. Baiklah, ayo kita masuk!"

Pangeran Hayden pun mengangguk, lalu menggenggam kembali tangan Giselle dengan erat. Ia terus berada di sisi perempuan itu hingga Giselle dapat sedikit tenang nantinya.

Setelah pintu ruangan tertutup dan keduanya sudah duduk di depan Putri Tyana dan Pangeran Winston, Giselle kemudian sedikit terperanjat ketika Pangeran Winston yang duduk di depan sang gadis pun mengulurkan tangan. Melihat itu, Giselle segera menjabatnya.

"Selamat datang di keluarga Edelhart, Nona Giselle. Kami sangat senang kau akan menjadi bagian dari keluarga ini. Baginda Raja dan Baginda Ratu yang akan memberikanmu gelar, jika kalian telah resmi menjadi suami-istri," kata Pangeran Winston dengan suara yang dalam dan berat. Tak lupa pula senyum ramah di wajahnya yang ternyata mirip dengan Pangeran Hayden. Seperti melihat bayangan sang pangeran 30 tahun kemudian.

Ah, apakah semuanya sedang bergurau? Secepat ini? Benar-benar keluarga tak tertebak, batin puan itu.

Giselle membelalak dan mulutnya seolah terekat kuat, tak tahu harus mengatakan apa. Sedangkan ketiga orang lainnya hanya tersenyum memandang Giselle penuh kehangatan. Entah mengapa, rasa takut yang mendera Giselle beberapa waktu lalu perlahan mulai lenyap.

Setelah menyambut Giselle, kedua orang tua Pangeran Hayden pun melanjutkan dengan berbicara ringan tentang masa kecil pangeran yang ternyata sangat badung. Putri Tyana menjelaskan tentang si Hayden kecil yang selalu menjeburkan diri dalam kolam ikan yang berada di halaman belakang Istana East. Tak hanya itu, terkadang Hayden juga akan berlari keliling istana tanpa pakaian sesaat setelah dimandikan ketika usianya baru menginjak 3 tahun.

Mendengar itu, Giselle tidak tahan untuk tak tertawa. Sebisa mungkin ia menahannya, namun terkadang ia juga tertawa lepas. Untuk beberapa saat, Putri Tyana dan Pangeran Winston memperhatikan Giselle, lalu kembali tersenyum yang membuat sang puan malu sendiri. Giselle merasa bahwa ia sudah mulai nyaman di lingkungan ini.

Melihat bagaimana Pangeran Hayden yang terkadang menyembunyikan wajah dibalik sandaran bantal, Giselle tergelak. Ia ingin sekali mencubit pipi sang pangeran yang sudah memerah menahan malu akibat banyaknya informasi yang dibeberkan oleh kedua orang tuanya. Namun, pangeran itu hanya tersenyum sambil sesekali merajuk kecil.

Saat Putri Tyana bertanya tentang keluarga dan keseharian Giselle selama di Arkala, sang puan menceritakannya dengan penuh antusias. Putri Tyana bahkan begitu perhatian pada setiap kalimat yang Giselle lontarkan. Terkadang ia menyela, lalu kembali menambahkan pendapatnya.

Ah, benar-benar menyenangkan.

Sebentar lagi, waktu akan menunjukkan pukul 4 sore. Pangeran Hayden menyadari jika ini saatnya ia kembali ke Istana West.

Putri Tyana sempat tak memperbolehkan keduanya untuk kembali, bahkan ia mengajak pangeran dan Giselle untuk makan malam bersama. Namun, seketika Putri Tyana ingat bahwa makan malam akan menjadi acara resmi kerajaan jika mengundang Giselle, yang notabene masih merupakan warga sipil. Rasanya sungguh sulit melepas gadis yang akan bergelar Putri itu. Namun apa daya, ketika Pangeran Hayden mengatakan akan pulang, maka semuanya harus kembali ke Istana West.

"Aku janji untuk mengunjungimu sesering mungkin, Yang Mulia," acap Giselle ketika ia memeluk Putri Tyana.

"Terima kasih, Cantik. Terima kasih sudah datang menerima undangan kami."

"Aku yang harusnya mengucapkan terima kasih, Yang Mulia."

Setelah keluar dari bangunan Istana North, Pangeran Hayden kemudian bertanya, "Apakah kau ingin berkunjung ke suatu tempat sebelum benar-benar kembali?"

Pikiran Giselle berputar dengan cepat ketika memandang Istana North, lalu berujar, "Bagaimana jika kita ... menuju ruang penjara?"

Sang pangeran mengernyit, lalu mendengkus pelan. "Lady...."

"Ah, aku yang menang balapan, kan? Maka sekarang aku meminta Yang Mulia untuk menemaniku ke sana."

Pangeran Hayden memandang Giselle dengan sedikit keraguan, lalu akhirnya menganggut ringan. "Baiklah jika itu maumu."

.

.

Tak ada yang berbeda dari penjara itu, masih tetap gelap dengan beberapa penerangan dari lentera dan lampu berwarna kuning. Para petugas keamanan bersama Ann dan Nyonya Clara masih terus berada di belakang mereka berdua, tak melepaskan pandangan.

Giselle kemudian menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah kanan dari lorong masuk dan melihat sebuah pintu yang terkunci dengan dua gembok sebesar kepalan tangan. Giselle meraih gembok yang terbuat dari besi itu dan menatapnya lama.

"Ada apa, Lady?" tegur sang adam.

"Ini ... ruangan apa, Yang Mulia?"

"Kristal hijau."

Seketika Giselle menoleh pada Pangeran Hayden. Sedangkan laki-laki itu sudah menyentuh pintu dingin tersebut dengan tangan kanannya. "Di dalam sana adalah barang yang para pembelot itu inginkan."

"Seperti itu rupanya," ucap Giselle dengan ekspresi datar.

Giselle kemudian melangkah lebih jauh dan meninggalkan Pangeran Hayden beberapa langkah di belakangnya, hingga akhirnya ia menemukan penjara yang berderet. Beberapa diantaranya masih dihuni dan ada pula yang sudah kosong. Seperti saat ini, Giselle kembali terhenti di sebuah sel kosong dan memegang jeruji besi dingin itu.

"Dulu, ini adalah penjaramu, Lady," jelas Pangeran Hayden.

"Ah, ya. Aku masih mengingatnya, Yang Mulia."

Setelah mereka terdiam selama beberapa menit, Giselle memiringkan tubuh dan melirik pada sel yang berada di samping selnya dulu. Sang puan sudah tak menemukan penghuninya yang membuat Giselle seketika mengerutkan kening. Ia yakin jika dulu penjara itu dihuni oleh seorang pria tua dan berkata jika anaknya akan menikahi Mark Bowles. Ah, itu masih terpatri jelas diingatan Giselle.

"Di mana tahanan yang berada di sel ini?" tanya Giselle dengan memutar tubuh ke arah seluruh petugas keamanan Istana West.

Mendengar pertanyaan tersebut, Ann pun maju selangkah dengan punggung yang begitu tegap, lalu berujar, "Tahanan itu ... sudah dieksekusi, Lady."

Deg....

"Kalian yang melakukannya?"

"Tentu saja pihak istana Royals, Lady," sela Pangeran Hayden yang membuat Giselle mendadak bungkam.

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top