25. Kekhawatiran Tak Berdasar

.
.

Indra penciuman Giselle tiba-tiba saja menguat, membuatnya seketika menggeliat dalam selimut di pagi itu. Tak lama kemudian, ia terduduk dengan mata yang mengerjap berulang kali. Giselle mengetahui jika matanya sangat bengkak saat ini, sebab ia sedikit pusing dan sulit untuk membukanya.

"Silakan dimakan, Lady."

Giselle memincing pada sesosok laki-laki yang membawa nampan berisi sarapan. "Yang Mulia?"

"Sudah saatnya kau sarapan, Sayang." Pangeran Hayden kemudian meletakkan nampan tersebut di depan Giselle, lalu tersenyum lebar.

Untuk beberapa saat, Giselle sempat termangu. Ia tak menyangka jika sang pangeran membawakannya makanan, padahal ia memiliki banyak pegawai yang bisa disuruh kapan saja. Rasanya terlalu aneh jika Pangeran Hayden menjadi seperti ini.

"Aku yang biasa melayanimu, Yang Mulia. Kenapa sekarang malah sebaliknya?" tanya Giselle sambil memperhatikan isi nampan yang terdiri dari buah, susu, dan sandwich.

"Aku ingin melayanimu hari ini. Lagi pula pasti tanganmu masih sakit. Apakah tidak boleh?"

"Tanganku sudah tidak sakit karena sudah kau balut. Kau sendiri tidak bekerja, Yang Mulia?"

Pangeran Hayden menggeleng. "Aku meminta waktu libur satu hari."

Giselle mengangkat kepala, lalu memperhatikan Pangeran Hayden yang sudah tertunduk di sana. Sedetik kemudian, Pangeran Hayden menegakkan kepala sehingga tatapan mereka berdua saling bertemu. Menatap satu sama lain bukan hal yang tidak pernah mereka lakukan, hanya saja saat ini netra Giselle sudah basah menahan air mata. Penyesalan yang terlampau besar ia rasakan ketika melihat Pangeran Hayden.

Perempuan itu kembali tertunduk. "Aku minta maaf, Yang Mulia. Kemarin, aku bertemu dengan Mark Bowles."

"Aku tahu," jawab Pangeran Hayden, acuh.

Seketika, Giselle menatap Pangeran Hayden seolah meminta penjelasan. "Aku tahu, Lady. Beberapa warga melihatnya masuk ke dalam bangunan.

"Lagi pula, Lady, bisakah kita tak usah membahas orang lain? Bisakah hanya membahas aku, kau, dan kita saja?"

Benar juga, batin Giselle.

"Maaf, Yang Mulia."

"Bagaimana jika kata maaf itu diganti dengan sayang. Jadi kau bisa mengatakan, 'Sayang, Yang Mulia'. Atau 'Yang Mulia, kesayanganku'," usul Pangeran Hayden yang membuat Giselle terkekeh kecil.

"Apa aku harus mengatakannya?"

"Tentu saja."

"Yang Mulia Pangeran Hayden adalah kesayangan Giselle."

Air muka Pangeran Hayden benar-benar merona. Giselle tak menyangka jika laki-laki itu dapat tersipu juga. Selama ini pangeran-lah yang selalu melontarkan kalimat-kalimat romantis yang terkadang membuat Giselle bergidik. Kali ini, Giselle merasa bahwa menggoda Pangeran Hayden ternyata cukup menyenangkan dan mungkin kedepannya ia akan melakukan itu untuk mengerjainya.

"Yang Mulia...."

"Ya?"

"Tolong beri aku kepastian!"

"Tentang?"

"Everything."

Pangeran Hayden mengembuskan napas, lalu memejam. Sementara Giselle sudah memakan sandwich dengan kedua tangan, mulut penuh, dan pipi yang menggempal. Namun tatapannya tetap mengarah ke Pangeran Hayden. Giselle benar-benar menggemaskan!

"Jika itu tentang pernikahan, aku akan menikahimu setelah aku, Pangeran Jace, dan seluruh tim berhasil menangkap para pembelot. Jika itu tentang pembebasanmu, hm ... aku berpikir untuk tidak akan melepasmu dan kau tetap berada di sampingku untuk selamanya. Jika mengenai eksekusi, kau sudah terbebas dari itu. Lalu, apalagi?" jelas Pangeran Hayden.

"Bagaimana dengan pendidikanku di Evergreen?"

"Aku bisa mengurus segalanya. Kau bahkan bisa dipindahkan ke Nethervile, di Akademi Kerajaan. Sehingga, kau juga akan belajar seluruh materi tentang kerajaan dan peraturan-peraturannya."

"Lalu, bagaimana dengan para pembelot? Bukannya menangkap pembelot itu butuh waktu yang lama? Jika kau membutuhkan 10 tahun untuk menangkap mereka semua, maka aku juga harus menunggu 10 tahun. Begitukah?"

Pangeran Hayden mengangkat kedua bahu. "Memangnya aku mengatakan seperti itu?"

"Tidak, aku hanya bertanya."

"Tentu saja tidak, Lady."

Mendengar hal itu, Giselle mengulum senyum dibalik suapan demi suapan. Entah mengapa hatinya sedikit menghangat mendengar janji itu. Akan tetapi, ia juga sedikit meragukannya sebab dulu ia pernah saling berjanji dengan seseorang untuk tidak saling meninggalkan. Namun, semua berakhir hanya dalam satu malam. Apalagi dengan mengetahui kenyataan bahwa pemuda itu belum mati di tangan orang-orang yang memegang senjata. Ah, sekarang Giselle tak ingin lagi mempercayai janji-janji. Jika itu terealisasi, maka Giselle mensyukurinya. Jika tidak, maka tidak perlu ada penyesalan di belakang.

"Hari ini aku ingin berkuda. Kau ingin ikut?"

Giselle mengangguk cepat dengan mata yang melebar. "Berkuda? Tentu saja, Yang Mulia. Aku akan senang jika kita benar-benar bisa mengendarainya!"

"Apakah kau bisa mengendarai kuda?"

"My riding skills are incredible."

Seketika mata Pangeran Hayden membelalak dengan sebuah senyum terukir di wajahnya. "Really? Are you sure?" tanya sang pangeran sedikit tak percaya.

"You need to look at it for yourself, Prince Hayden."

Sang adam mengangguk yakin dan terlihat sangat antusias. "Yeah, ok."

Pangeran Hayden tak dapat lagi menyembunyikan raut kebahagiaannya. Seolah dapat membaca pikiran sang adam, Giselle pun turut senang jika perkataan Giselle yang berhasil membuat pangeran itu tersenyum lebar hari ini.

.

.

Giselle memegang tangan Pangeran Hayden dengan erat, lalu ia ayunkan beberapa kali sambil berjalan menuju kandang kuda yang berjarak cukup jauh dari istana. Sesekali, sang pangeran melirik ke arah Giselle yang terlihat seperti anak kecil akan ditemani membeli kembang gula.

Senyum manis tak hilang dari wajah sang puan sejak ia keluar kamar Pangeran Hayden yang tiga kali lebih besar dari kamar Giselle sendiri. Jangan tanyakan ukiran, desain, dan sebagainya. Sebab, kamar Pangeran Hayden benar-benar mewah dengan dominasi warna merah dan emas yang melambangkan warna Istana West. Di dalam kamarnya juga terdapat beberapa pilar-pilar tinggi yang membuat Giselle menggelengkan kepala beberapa kali.

Pangeran Hayden sudah mengatakan pada Giselle untuk naik mobil saja, akan tetapi menurut perempuan itu, jaraknya tak terlalu jauh. Lagi pula, ia sudah telah terbiasa berjalan kaki sejak di Arkala.

Sejujurnya, Giselle mengira jika jaraknya tak terlalu jauh. Tapi ternyata jaraknya sedikit membuat kaki pegal dan peluh mulai membasahi tubuh, karena pada kenyataannya kandang kuda yang dimaksud bukan yang berada di Istana West, melainkan di dekat Istana North. Kandang kuda di Istana North memiliki arena pacuan dan juga hutan belantara yang biasanya digunakan oleh anggota kerajaan untuk berlatih berkuda sambil memanah.

Sesampainya mereka di kandang, Pangeran Hayden menyuruh petugas kandang untuk mengeluarkan salah satu kuda miliknya yang dititipkan di sana. Alasan dititipkannya yaitu kandang di Istana West sudah tidak muat dan Pangeran Hayden malas untuk menambah lagi, meskipun bukan dia yang mengerjakan kandang tersebut.

Tak lama kemudian, Pangeran Jace dan Putri Karina pun menghampiri mereka berdua. Nampaknya mereka juga memiliki agenda untuk berkuda. Melihat kedatangan kedua anggota kerajaan itu, Giselle melepaskan genggamannya pada tangan Pangeran Hayden dan mundur selangkah di belakang laki-laki tersebut sambil menunduk.

"Bangunlah, Lady," ucap Putri Karina ramah.

Sepasang suami istri itu telah mengenakan pakaian lengkap ala atlet berkuda, persis seperti Pangeran Hayden. Sedangkan Giselle menggunakan gaun berbentuk A di bawah lutut. Untuk berkuda, pakaian Giselle ini tak menyulitkannya sama sekali, mengingat dia telah terbiasa latihan menggunakan busana yang menyerupai yang ia gunakan sekarang ketika pelajaran berkuda di Evergreen.

"Yang Mulia, bagaimana jika aku berkendara dengan Lady Giselle? Tentunya dengan kuda yang berbeda," izin Putri Karina dengan senyum lembut pada Pangeran Jace.

Sang pangeran seketika menoleh pada Giselle. "Apakah Lady bisa mengendarainya?"

"Bi-bisa, Yang Mulia," jawab Giselle, segan dengan pasangan itu.

"Baiklah, kalian bisa pergi," acap Pangeran Jace yang membuat senyum Putri Karina semakin lebar.

Masing-masing mereka pun bergantian untuk berdiri di tempat tumpuan, agar mereka dapat dengan mudah menaiki kuda tersebut. Giselle mengendarai kuda berwarna cokelat, sedangkan Putri Karina berwarna putih. Sebelum berangkat, Pangeran Jace memberitahu keduanya untuk tidak pergi terlalu jauh.

Setelah berjalan meninggalkan Pangeran Jace dan Pangeran Hayden di kandang kuda, Putri Karina dan Giselle pun kini memasuki hutan, jalan berdampingan dengan pelan.

"Ternyata kau lihai mengendarai kuda, Lady," acap Putri Karina.

"Ah, terima kasih atas pujian Anda, Yang Mulia. Tapi memang saya mendapatkan pelajaran mengendarai kuda di Evergreen, Arkala," jawab Giselle seraya memperlihatkan senyumnya.

"Tentu saja. Aku tahu jika Evergreen mengajarkan berkuda karena itu adalah usul Yang Mulia Baginda Ratu."

Giselle mengangguk. "Ah, jadi seperti itu rupanya."

"Kau dapat berbicara padaku dengan santai, Lady."

"Tidak, Yang Mulia. Rasanya tidak sopan."

Putri Karina terkekeh dengan tangan terkepal lemah dan digunakan untuk menutup mulutnya. "Tak apa, Lady. Lagi pula tak lama lagi kita akan menjadi keluarga, bukan? Pangeran Hayden memberitahu kami bahwa kalian akan menikah."

Seketika Giselle membulatkan mata, lalu menggerutu dengan tatapan lurus ke depan. "Mengenai berbicara santai, aku mengucapkan terima kasih, Yang Mulia. Mengenai Pangeran Hayden ... ah, pangeran itu...."

Sekali lagi, Putri Karina tertawa anggun, benar-benar tanpa suara yang berlebihan. Bandingkan dengan Giselle yang tertawa lepas seperti tak ada hari esok dan seluruh pegawai juga dapat mendengar tawa menggelegar miliknya. Dari sini, sudah terlihat mana yang bangsawan dan mana yang tidak beradab.

"Tapi apakah benar kau ingin menikah dengannya, Lady? Kau sudah tahu, kan, bagaimana sifatnya? Dia itu sangat menjengkelkan dan senang berkelakar." Putri Karina lagi-lagi terkekeh pelan.

"Benar, Yang Mulia. Dia benar-benar senang membuatku kesal. Terkadang dia sangat romantis, tapi di satu sisi dia juga selalu membuatku kesal."

Putri Karina membenarkan seluruh perkataan Giselle dan menambahkan bahwa meskipun Pangeran Hayden senang bergurau, ia juga laki-laki yang punya tekad kuat. Ketika ia ingin sesuatu, ia harus mendapatkannya dengan cara apapun, suka atau tidak suka. Selain itu, jiwanya juga bebas dan suka bekerja. Jangan heran jika suatu hari ia akan pergi selama satu minggu atau bahkan lebih. Putri Karina bahkan menambahkan jika Pangeran Hayden akan kunjungan ke negara lain, sebaiknya Giselle ikut mengingat perjalanan ke negara lain memakan waktu yang lama.

"Memang butuh kesabaran jika harus berhadapan dengan Pangeran Hayden," tambah Putri Karina.

"Benar, Yang Mulia."

Ada jeda pembicaraan selama beberapa menit di perjalanan mereka di dalam hutan. Hingga akhirnya Putri Karina kembali membuka suara.

"Ehm, sebelumnya aku ingin meminta maaf, Lady."

"Tentang apa, Yang Mulia?"

"Tentang acara Perjamuan Teh. Aku tahu jika kau sempat mengunjungi Istana East. Sekali lagi, aku mohon maaf karena menolakmu untuk datang, Lady. Sekarang, aku merasa tak enak hati."

Ah, Giselle mengingat itu, hari di mana ia benar-benar merasa sakit hati yang luar biasa. Sebenarnya dia tidak berhak untuk merasa sakit, sebab ia memang bukan bagian dari keluarga kerajaan dan tidak menerima undangan apapun. Sudah seharusnya ia berdiam diri saja di dalam kamar. Giselle benar-benar malu sekarang.

"Seharusnya aku yang minta maaf, Yang Mulia. Bagaimana mungkin aku sangat tidak tahu diri untuk datang ke sana, seperti perempuan yang tidak tahu posisi," jelas Giselle dengan kepala tertunduk.

Putri Karina menaikkan kedua alis dan membelalak. Tangannya bergerak melambai di udara. "Ah, bukan begitu maksudku, Lady."

"Tidak, Yang Mulia."

Sang putri masih menatap Giselle iba. "Ah, Lady. Aku benar-benar minta maaf."

"Jangan meminta maaf. Yang Mulia tidak salah sama sekali," ucap Giselle yang menoleh pada Putri Karina dan tersenyum tipis. Ia berharap semoga putri itu tidak lagi menyalahkan diri sendiri, padahal itu bukanlah salahnya.

"Lady, aku hanya ingin memberitahu sedikit saja. Apakah boleh?"

"Tentu saja, Yang Mulia."

Putri Karina menatap netra Giselle lekat, lalu menghentikan langkah kudanya. Hal yang sama dilakukan pula oleh puan Arkala.

"Kita berdua memiliki sesuatu yang memang telah menjadi takaran masing-masing. Jangan sampai sesuatu yang kita miliki berada di tangan yang berbeda, karena itu akan menyakiti kita sendiri. Aku hanya ingin, kau tidak melewati batas, Lady. Tolong, jangan sentuh apapun itu, termasuk milikku."

Untuk sesaat, Giselle mencoba mencerna maksud dari perempuan bersurai panjang gelap tersebut. Dan ketika ia mengerti, Giselle pun mengangguk lemah dan tersenyum lembut.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Yang Mulia."

Giselle seketika mengembuskan napas, berusaha menenangkan diri, meskipun kepala rasanya sudah mendidih membayangkan persepsi yang ia ciptakan sendiri dari perkataan sang putri.

"Jika maksudmu adalah tahta, popularitas, dan perhatian, maka aku tidak akan mendapatkan itu semua. Pangeran Hayden tidak akan memberikanku gelar ratu dikemudian hari. Popularitas di masyarakat dan istana hanya digenggam oleh dirimu, Pangeran Jace, dan Pangeran Hayden. Sedangkan aku akan tetap berada di belakang untuk mendukung semua yang Pangeran Hayden lakukan, menenangkannya di saat ia kacau, dan membantunya berdiri di saat ia rapuh. Lalu perhatian, perhatian yang aku dapatkan selama ini hanya dari Pangeran Hayden, Yang Mulia.

"Mengapa Yang Mulia begitu takut dengan perempuan lemah sepertiku? Berdiri di sampingmu pun sangat tak pantas buatku, karena sekarang aku semakin tahu tentang diriku. Jadi, Yang Mulia tak perlu khawatir. Dan aku sangat berterima kasih karena Yang Mulia telah menasihatiku. Aku merasa senang karena dapat berbicara langsung dengan Yang Mulia."

Putri Karina yang semula menatap tajam Giselle, mendadak berubah menjadi lembut dan teduh. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih berulang kali. Sang putri juga mengatakan bahwa ia sangat senang jika Giselle mau berteman dengannya mulai saat ini. Tak lupa permintaan maaf kembali mengalun dari mulutnya jika perkataannya beberapa menit yang lalu melukai hati Giselle.

Namun, Giselle dengan kebesaran hatinya menyebut jika tak ada yang perlu dimaafkan. Lagi pula, sangat wajar jika Putri Karina memiliki banyak kekhawatiran. Ia membuat banyak peraturan di Istana East, menjadi pemimpin di beberapa yayasan terkemuka, meletakkan seluruh perhatian pada Pangeran Jace dan menjadi perwakilan sang suami di beberapa kesempatan, serta menjadi anggota senior kerajaan dengan jadwal kunjungan resmi yang melimpah. Semuanya benar-benar menguras tenaga, waktu, dan pikiran. Sang putri tentu saja tak ingin menambah daftar panjang yang harus ia pikirkan ketika terjadi konflik di dalam kerajaan.

Tap... Tap... Tap...

Derap beberapa kuda di belakang Giselle dan Putri Karina membuat keduanya menoleh dengan cepat. Setelah melihat kedatangan Pangeran Jace, Pangeran Hayden, dan beberapa petugas keamanan, kedua perempuan itu tersenyum lebar.

Pangeran Jace turun dari kuda dan berjalan menuju kuda Putri Karina. Ia mengangkat tangan kedua tangan, menggendong dan menahan sang istri agar tak jatuh ketika Putri Karina turun dari kudanya.

"Putri lama sekali," rajuk Pangeran Jace ketika kaki Putri Karina telah menginjak tanah.

Sang putri menaikkan kedua sudut bibirnya yang disambut senyuman oleh Pangeran Jace. Dan ternyata kabar yang Giselle dengar selama ini benar adanya. Sebab, mata Pangeran Jace ikut menyipit mengikuti senyumnya yang menawan.

"Kalau begitu, kami kembali lebih dulu. Selamat bersenang-senang," ucap Putri Karina pada Giselle dan Pangeran Hayden dengan melambaikan tangannya. Begitu pula Pangeran Jace.

Ia naik ke kuda Pangeran Jace, sementara kuda sang putri dikendarai oleh petugas dari Istana East.

Begitu para penghuni Istana East sudah tak terlihat lagi, Pangeran Hayden memajukan kuda sehingga berdiri berdampingan dengan hewan berkaki empat milik Giselle itu.

"Kau mau balapan?" tanya Pangeran Hayden.

Giselle tersenyum jail. "Kau menantangku, Yang Mulia? Ah, bagaimana penawarannya?"

"Jika kau menang, kau dapat menyuruhku apa saja. Tapi jika aku yang menang--" Pangeran Hayden menatap Giselle dari atas ke bawah, "kau akan melakukan apapun permintaanku."

"Oke. Pertanyaannya, apakah kuda ini sudah tahu rute di sini?"

"Tentu saja."

Giselle pun tersenyum puas. Ia membalikkan kuda mengarah pada Ann. "Apa kau memiliki pengikat rambut, Ann?"

"Ini, Lady." Ann memberikan ikan rambut berwarna biru yang langsung diterima oleh Giselle.

Puan Hampton itu kemudian berkata, "Jangan menyesal mengajakku balapan, Yang Mulia Pangeran Hayden."

Sesaat setelah Giselle mengikat rambut, kuda miliknya dan kuda Pangeran Hayden pun bersiap di lintasan. Dan dalam tembakan ketiga yang dipegang oleh Ann, kedua kuda itu pun melaju pesat dan meninggalkan seluruh petugas keamanan di belakang.

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top