24. Tersampaikan & Menyakitkan
.
.
Tok... Tok...
"Lady, izinkan aku masuk," ucap Pangeran Hayden di depan kamar Giselle. Meskipun begitu, sang puan tidak bersuara sama sekali. Atau mungkin, perempuan itu sempat mengatakan sesuatu hanya saja Pangeran Hayden yang tak mendengarnya. Namun yang pasti, ketika Pangeran Hayden memutar tuas pintu dan menemukannya tak terkunci, laki-laki itu pun masuk seorang diri, lalu ia menutup kembali pintu putih tersebut secara perlahan.
Dilihatnya Giselle telah membelakangi sang pangeran dengan menangis terisak, berdiri menghadap tempat tidurnya.
"Lady...."
Seketika itu juga, Giselle memutar tubuh dan menatap Pangeran Hayden dengan mata sembap, wajahnya memerah, dan napas terengah-engah. Sekali lagi, perempuan itu mengeluarkan air mata yang memberikan tanda di pipi putihnya.
"Katakan padaku, Yang Mulia ... apa kau mencintaiku?" tanya Giselle disela-sela isakannya.
Pangeran Hayden tampak tidak siap dengan pertanyaan mendadak itu, hingga ia termangu selama beberapa detik dan memaku tatapan pada netra gelap Giselle.
"Apakah kau tidak pernah merasakannya?"
"Aku bingung, Yang Mulia," Giselle tampak membuang napas dari mulut dengan pelan, "Di saat kau mengatakan atau melakukan sesuatu yang membuatku merasa menjadi satu-satunya, aku tersanjung dan mencoba memberikanmu segalanya. Namun sedetik kemudian, kau menghempaskannya dengan mengatakan bahwa semua hanya gurauan."
Giselle kemudian menghapus air mata dengan kasar menggunakan lengannya. "Setiap hari aku mencoba untuk mengerti tentang dirimu, Yang Mulia. Aku mencari tahu seluruh kegiatanmu dan berbagi cerita pada orang-orang yang dekat denganmu. Tapi ternyata aku merasa bahwa semua itu hanya sia-sia belaka. Kau ... tiba-tiba pergi meninggalkanku begitu saja, pun tidak mengatakan apapun.
"Aku tahu kau hidup dengan duniamu yang penuh gemerlap dan pujian, bebas melakukan apapun yang kau inginkan. Sedangkan aku berdiam diri di dalam kegelapan dan tidak tahu harus berbuat apa, layaknya anak kecil yang tersesat dalam hutan luas di malam hari. Dari dua keadaan itu, seharusnya kita sadar bahwa kita berbeda, Yang Mulia. Tidak seharusnya aku di sini."
Giselle menengadahkan satu tangan yang ia tujukan pada Pangeran Hayden. "Apa aku hanya mainan yang akan kau genggam ketika kau sedang ingin memainkannya? Apa aku hanya pajangan yang akan kau pamerkan ketika kau sedang ingin bertaruh dengan seseorang? Apa aku--" Giselle menelan saliva dengan sulit, "serendah itu, Yang Mulia?"
Ruangan tersebut menjadi sangat menyesakkan, seolah-olah seluruh oksigen telah menghilang dari muka bumi.
Giselle dapat menangkap rahang mengeras, sorot mata tajam bagaikan pedang, hingga tangan mengepal kuat dari seorang Hayden Aratohrn Edelhart. Netra sang adam berbinar menahan perihnya kalimat demi kalimat yang menusuk nurani. Giselle sangat yakin jika Pangeran Hayden baru pertama kali mendengar kata-kata kasar seperti itu selama hidupnya, mungkin.
Hingga untuk pertama kalinya, Giselle tertegun melihat setetes air menjejak di pipi Pangeran Hayden. Apakah perkataan Giselle akhirnya meluluhlantakkan pertahanan laki-laki terhormat itu?
"Apakah aku benar, Yang Mulia?" bentak Giselle dengan seluruh tenaga yang ia punya. "Kenapa sekarang kau terdiam? Aku yakin kau tak bisu!"
Pangeran Hayden bergeming yang membuat Giselle memejam sesaat, lalu berteriak dan semakin memberontak. Perempuan itu memutar tubuh, menarik selimut dan bantal-bantal yang tertata rapi di atas tempat tidur, lalu melemparnya ke segala arah.
PRANG...
Ia kemudian berjalan ke depan meja rias dan melanting seluruh benda yang berada di atasnya. Vas bunga, guci-guci, cermin, dan beberapa keramik juga tak luput dari Giselle, berakhir pecah berhamburan di atas lantai.
Sang adam terdiam dengan tatapan sendu, tapi ia tak ingin menghalangi Giselle untuk melakukan apa yang perempuan itu inginkan. Meluapkan seluruh amarah dan kekesalannya mungkin yang terbaik bagi puan itu dan Pangeran Hayden tak ingin beranjak dari pandangannya. Pangeran Hayden kini tahu seberapa sakitnya perempuan tersebut, meskipun selama ini sang pangeran selalu menyangkal tentang itu.
Giselle tiba dibatas maksimal kemampuan, hingga akhirnya jatuh terduduk tepat di samping tempat tidur dengan air mata yang terus menggenang. Namun, yang membuat Pangeran Hayden membelalak adalah Giselle memegang erat potongan kaca yang membuat tangan gadis itu secara perlahan mengeluarkan darah segar. Segera, Pangeran Hayden pun terduduk di hadapan Giselle sambil berusaha untuk mengambil potongan kaca tersebut.
"Kau menyakiti dirimu sendiri, Lady!" bentak Pangeran Hayden.
"Apakah aku terlihat peduli, Yang Mulia?" balas Giselle dengan senyum mengejek.
"Kau mungkin tidak peduli dengan dirimu sendiri. Tapi tidak denganku, Lady. Aku peduli padamu!" teriak Pangeran Hayden. "Sekarang, aku mohon lepaskan ini!"
Dengan sedikit usaha keras dari sang adam, Giselle akhirnya melepaskan kepalan dan Pangeran Hayden berhasil membuang potongan itu jauh ke belakang dengan cepat. Sangat jauh hingga perempuan itu tidak dapat meraihnya dengan mudah kembali.
Sang adam pun meraih tubuh Giselle dalam dekapan, membiarkan perempuan itu melepaskan seluruh emosinya.
"Dengarkan aku, Lady Giselle. Aku mohon dengarkan aku sekarang!" Pangeran Hayden berbisik tepat di telinga puan yang masih terisak itu, "Aku mencintaimu ... benar-benar mencintaimu. Dan setiap hari aku selalu berharap kau merasakan hal yang sama. Tapi aku tersadar jika aku memiliki ragamu, tapi tidak hatimu dan itu menyakitkan! Aku ingin semuanya, Lady. Aku ingin semuanya menjadi milikku.
"Aku kesal karena aku tidak dapat menjelaskan padamu apa yang terjadi. Namun yang harus kau tahu bahwa kita tidak memiliki perbedaan seperti yang kau jelaskan sebelumnya. Kita sama, Lady. Kau wanita terhormat."
Deru napas Pangeran Hayden memburu, dadanya naik turun tak karuan melihat hancurnya sang wanita dan darah yang telah menyelimuti lengan Giselle. Perih, tentu saja....
"Maafkan aku jika kau merasa hanya menjadi objek. Aku tidak menganggapmu seperti itu, Lady. Aku sangat menyayangi, pun menghormatimu. Tolong, jangan pertanyakan perasaanku, Giselle Hampton."
Pangeran Hayden perlahan melepaskan dekapan dan memandang Giselle yang sudah mendongak padanya dengan mata memerah dan bengkak. "Maafkan aku ... maafkan aku," ucap sang pangeran dengan pelan.
Hawa itu pun menegakkan punggungnya, lalu meraih kedua tangan Pangeran Hayden dengan tangan penuh darah miliknya. Ditatapnya laki-laki tampan di hadapannya dengan lekat. "Aku bukan orang baik, Yang Mulia. Aku tidak cantik, kaya, terhormat seperti yang kau katakan, juga terpelajar. Liatlah aku sekarang! Aku sudah berucap kasar padamu yang seorang pangeran di negeri ini, menghancurkan kamar yang kau sudah tata sebaik mungkin, bahkan melukai diri sendiri dan menorehkan darahku yang menjijikkan di kulitmu. Apakah pantas perempuan seperti itu bersanding denganmu?"
Pangeran Hayden seketika menggeleng cepat. Sekali lagi, mengeluarkan setetes air mata. "Tidak, kau sempurna buatku, Giselle. Aku hanya ingin dirimu dan sampai kapanpun itu tidak akan berubah. Maaf jika aku egois, Lady. Tapi ... kau memang hanya untuk aku. Tolong, jangan katakan seperti itu lagi. Aku mohon."
Untuk pertama kalinya seorang pangeran memohon pada rakyat biasa, pun terlihat sangat putus asa. Rasanya Pangeran Hayden telah meletakkan seluruh tubuh dan hati di tanah hingga jika mungkin Giselle ingin menginjaknya, dia merelakannya begitu saja.
Keduanya kemudian saling menatap netra gelap satu sama lain, hingga satu tangan Giselle bergerak untuk menangkup wajah Pangeran Hayden. "Pangeran ... yang malang," ucapnya lemah seraya memperlihatkan senyum sedih yang terlampau kecil.
Pangeran Hayden membalas senyum tersebut, lalu membalas dengan membelai pipi Giselle. Tubuh perempuan itu nampak terengah-engah. "Ayo, kita istirahat. Aku tahu kau terlalu letih."
"Di kamar mana?"
"Di kamarku."
"Aku bukan istrimu, Yang Mulia. Bagaimana mungkin aku istirahat di sana? Lagi pula istana ini memiliki dua ratus kamar, kenapa tidak memilih salah satunya saja?"
Pangeran Hayden kembali menyunggingkan senyum. "Untuk apa memilih kamar yang lain jika suatu saat nanti kau akan jadi istriku?"
"Seberapa yakinkah dirimu bahwa aku ingin menjadi istrimu? 20%, 40%, 70%?"
"1000% dan tidak ada penawaran lagi."
Giselle tiba-tiba menundukkan tatapan, melihat kembali keempat tangan di bawah sana yang sudah bermandikan cairan merah. "Maafkan aku juga, Yang Mulia. Maaf, aku sudah membuat kesalahan."
Entah mengapa bayangan ketika Mark menciumnya di kamar kecil beberapa jam yang lalu itu tiba-tiba muncul, membuat Giselle merasa sangat bersalah pada Pangeran Hayden. Ia tiba-tiba marah dan ingin Pangeran Hayden menjauhinya saat itu juga. Kesal, karena pangeran seolah memisahkannya dengan Mark. Jauh di dalam hati, Giselle tak ingin membuat pangeran itu terluka dan kecewa padanya, ia hanya ingin Pangeran Hayden selalu bahagia. Namun hari ini, perasaannya pada Mark seakan kembali lagi dan menutup seluruh hal indah tentang sang pangeran.
Giselle tak membantah perkataan Pangeran Hayden bahwa pangeran itu hanya memiliki tubuh Giselle, namun tidak dengan hatinya. Dan ini membuat sang hawa berada di fase kebimbangan yang besar. Rasanya hati Giselle ikut teriris melihat sang pangeran yang selama ini berusaha membuatnya bahagia, justru berakhir menyedihkan. Akan tetapi, ia sudah meminta Mark untuk menjemputnya di istana. Akankah ia benar-benar dijemput?
Mengapa ada orang sebaik dirimu, Yang Mulia? batin Giselle sambil memandang iba laki-laki di depannya yang kini sedang membersihkan luka-luka di tangan puan dengan kasa dan obat merah yang ia ambil beberapa menit lalu di nakas.
"Aku gendong ke kamar ya?" tawar Pangeran Hayden.
"Aku bisa jalan sendiri, Yang Mulia," tolak Giselle.
Pangeran Hayden menggeleng lemah. "Orang-orang tak boleh melihat darahmu, Lady."
Sontak, Giselle mengerutkan kening. "Memangnya kenapa?"
"Itu akan memunculkan persepsi bahwa aku yang melukaimu dan tidak akan baik jika dilihat oleh para pegawai. Percaya padaku, setelah aku membuka pintu kamar ini, seluruh pegawai sedang berbaris di luar sana."
Sekali lagi, Giselle menautkan kedua alisnya.
"Ketika terjadi sebuah pertengkaran besar, maka seluruh pegawai menghentikan aktivitasnya, ikut berdiam diri. Dan ketika kau tadi berteriak dan memecahkan barang, itu terdengar di luar sana, Lady. Aku yakin satu atau dua pegawai mendengarnya dan akhirnya seluruh pegawai pun mengetahui pertengkaran kita."
"Maafkan aku, Yang Mulia."
"Tidak apa-apa. Itu normal untuk marah."
"Tapi marahku seperti naga terbang."
Seketika, Pangeran Hayden memperhatikan wajah Giselle yang merunduk. Sedetik kemudian, ia tertawa terbahak-bahak sambil memegang perut. Sungguh tawa yang meledak-ledak yang membuat sudut mata sang pangeran memperlihatkan setetes air. Giselle pun ikut menyunggingkan senyum dibuatnya.
"Apa kau pernah melihat naga terbang, Sayang?" tanya Pangeran Hayden di sela-sela tawa lebarnya.
"Yang Mulia...." Giselle mengerucutkan bibir, lalu sedetik kemudian berganti menjadi senyum manis akibat mendengar tawa sang pangeran yang renyah.
Setelah Pangeran Hayden menghentikan tawa, ia kembali menatap Giselle dan perlahan mulai mendekati wajah perempuan itu. Ia menyentuh wajah puan, lalu berujar lirih, "Aku mencintaimu."
"Aku tahu, Yang Mulia ... dan maukah kau menunggu juga?"
"Tentu saja."
Pangeran Hayden pun memberikan kecupan lembut bibir Giselle, lalu menggendong gadis itu ala bridal dengan kedua tangan Giselle yang ditutupi menggunakan jas menuju kamar pribadi miliknya. Perempuan tersebut juga memejam ketika kepalanya telah menyandar ke dada bidang Pangeran Hayden.
Kini, ketika pintu kamar akhirnya terbuka, Giselle sempat membuka sedikit mata dan menemukan bahwa benar seluruh pegawai telah berbaris di koridor sambil menundukkan kepala dan kedua tangan diletakkan di depan. Wajah mereka menyiratkan perasaan duka yang mendalam. Padahal, tidak ada yang terjadi di kamar selain barang-barang yang berterbangan dan luka yang disengaja dibuat oleh puan itu sendiri untuk memancing amarah Pangeran Hayden, meskipun yang ia dapatkan justru sebaliknya.
Sebelum masuk ke dalam kamar, Pangeran Hayden menyuruh Ann untuk mengumpulkan seluruh Tim Khusus Royals di kantornya.
.
.
Setelah Giselle beristirahat, Pangeran Hayden bergegas menuju kantor yang terletak di lantai dua. Di dalam kantor, dia sudah melihat Russell, Ann, Nyonya Clara, Nyonya Carol, Jake, dan Calvin.
Dengan langkah mantap, Pangeran Hayden berjalan ke tempat duduk berwarna hitam kebesarannya. Setelah itu, ia mulai memberikan titah, "Nyonya Clara bersama para pegawai istana, aku minta tolong untuk membersihkan kamar Lady dan juga menyiapkan beberapa pakaiannya di kamarku. Untuk Nyonya Carol, aku membatalkan seluruh jadwalku esok hari. Jika ada kegiatan yang terpaksa harus dihadiri, maka Russell yang akan mewakili."
Russel, Nyonya Clara, dan Nyonya Carol pun menunduk satu kali.
"Untuk Calvin, tolong beritahu semua informasi yang kau dapatkan ke aku dan Putri Karina secara bersamaan. Jangan sampai salah satu dari kami tidak mengetahui informasi tertentu. Dan juga ... apakah Putri Karina sudah mengetahui bahwa aku juga mencari tahu sesuatu?" tanya Pangeran Hayden.
"Putri Karina sudah mengetahuinya dari Lady Abigail, salah satu penyedia jasa penyelidikan swasta paling terkenal di Nethervile, Yang Mulia," jawab Calvin.
Pangeran Hayden pun mengganggut. "Jadi, acara Jamuan Teh memiliki tujuan tertentu?"
"Betul, Yang Mulia."
Sang pangeran menyandarkan tubuh di kursi, lalu mengusap dagu. Ia berpikir sejenak, sebelum akhirnya ia berujar, "Jangan biarkan Putri Karina bertindak gegabah atau Pangeran Jace akan benar-benar marah padanya. Dan juga, terus lanjutkan pencarian para pembelot itu bersama Jake. Jika perlu, kita harus berbicara lebih lanjut dengan Pangeran Jace untuk langkah selanjutnya."
Sekali lagi, Calvin mengangguk.
"Dan Ann, tutup semua informasi dari luar. Jangan biarkan media apapun masuk ke istana ini hingga satu minggu ke depan. Karena aku tahu, hari ini media sedang mengulik Lady secara membabi buta sejak kehadirannya dalam kunjungan resmi. Aku belum ingin Lady mengetahui kejadian yang menimpa ibunya di Arkala.
"Juga, kau harus menjaga Lady di dalam dan luar istana. Untuk sementara, jangan biarkan Lady kemanapun tanpa sepengetahuanku. Kau paham, Ann?"
Ann mengangguk. "Baik, Yang Mulia."
"Jika tak ada pertanyaan, silakan tinggalkan ruangan ini!"
Satu per satu pun meninggalkan ruangan, kecuali Ann. Ia berjalan menuju meja Pangeran Hayden dan menyerahkan sebuah dokumen dalam amplop cokelat dengan stempel Istana West. Melihat itu, bergegas sang pangeran membukanya.
Pangeran Hayden menatap dua buah kertas di depannya, lalu sedetik kemudian ia mendengkus ringan ketika mendapati fakta yang sebenarnya. Ah, seharusnya sang pangeran sudah tahu akan berakhir seperti ini. Sebab, ini adalah salah satu tujuannya bersama Pangeran Jace.
"Lady Giselle bertemu dengan Mark Bowles, Yang Mulia. Ini adalah potongan gambar dari video yang diambil oleh warga, hari ini di RedT," jelas Ann.
"Sialan!" umpat Pangeran Hayden, seraya mengepalkan kertas-kertas tersebut hingga tak berbentuk dan melemparkannya ke dinding.
"Ternyata usulan Duke of Nethervile untuk memancing Mark Bowles telah berhasil, Yang Mulia. Saya pikir, kita akan terus memakai strategi ini," terang Ann.
"Tidak, Ann. Aku tidak setuju, sebab ini bisa saja jadi di luar kendali. Aku tidak ingin terjadi hal yang buruk pada Lady. Mari kita semua memikirkan strategi yang lain."
Ann dan Pangeran Hayden pun terdiam untuk beberapa saat.
"Di luar dari tugas ini, Yang Mulia. Aku ingin menanyakan, kenapa Anda tidak jujur pada Lady?"
"Tentang apa?"
"Semuanya, termasuk di Arkala--"
"Tidak, Ann," potong Pangeran Hayden cepat, "belum saatnya."
Ann yang mendengar itu pun seketika mengangguk, lalu meminta izin untuk mengundurkan diri. Setidaknya, ia sudah memberitahu Pangeran Hayden tentang pertemuan antara Giselle dan Mark yang membuat Giselle meradang hari ini. Dan selanjutnya, Ann hanya perlu memikirkan cara agar dapat menangkap Mark Bowles tanpa harus membuat keributan dalam negara.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top