22. Terlalu Mengejutkan

.
.

Tiga jam sebelum perayaan di Istana East, Giselle yang saat itu sedang mengunjungi dapur pun mendengar sayup-sayup percakapan para pegawai yang mengatakan bahwa Putri Karina telah bersiap untuk acara Afternoon Tea.

"Dari mana kalian mendapatkan informasi itu?" tanya Giselle yang tiba-tiba saja berdiri di antara dua pegawai dapur yang sedang memotong wortel.

Tentu saja ini mengagetkan dua pegawai tersebut. "Itu, Lady ... kami mendengar dari petugas Istana East. Apakah Lady tidak berkunjung ke sana?"

"Seluruh keluarga kerajaan diundang," sela salah seorang pegawai lainnya.

"Apakah aku harus datang? Tentu saja aku akan datang," acap Giselle.

Mendengar informasi tersebut, Giselle pun melangkah riang menuju kamar. Setelah itu, ia dengan sigap membuka lemari pakaian dan tentu saja semua busana yang tertata rapi tersebut adalah pilihan Pangeran Hayden. Jika boleh mengakui, selera sang pangeran terbilang sangat baik. Giselle menyukai seluruh busana tersebut dan terkadang ia memakainya dengan bangga, walaupun ia menggunakannya hanya di dalam istana.

Setelah hampir satu jam lebih gadis itu melihat-lihat busana --karena Giselle kebingungan, pilihannya jatuh pada gaun panjang elegan berwarna pastel ungu berkerah V-neck dengan tulle dari bagian perut hingga ujung gaun. Di bagian dada terdapat payet-payet mutiara yang berkilauan.

Untuk menambah kesan mewah, Giselle memasang anting dan kalung dengan kristal safir di bagian tengah. Jangan lupakan sepatu hak setinggi 5 sentimeter yang siap melengkapi penampilan Giselle. Surai gadis itu diikat satu dengan ikatan rendah dan sedikit renggang.

Nyonya Clara yang saat itu datang membawa nampan berisi buah pun terkejut bukan kepalang melihat penampilan Giselle. "Anda terlihat luar biasa, Lady."

Giselle tersenyum kecil. "Terima kasih, Nyonya Clara."

"Tapi Anda akan berangkat ke mana, Lady?" Nyonya Clara terlihat meletakkan nampan tersebut di atas meja kecil di samping tempat tidur Giselle.

"Ah, aku akan ke Istana East." Giselle memberikan senyum lebar hingga memperlihatkan gigi-gigi.

"Oh, apakah ada acara di sana?"

"Tentu saja, Nyonya Clara. Putri Karina sedang melangsungkan Afternoon Tea."

"Ahh, seperti itu rupanya. Tapi, Lady, Anda belum meminta izin pada Pangeran Hayden."

"Soal itu, aku akan mengatakannya setelah ia tiba di istana."

"Baiklah jika seperti itu."

Nyonya Clara kemudian mengantarkan Giselle menuju mobil kerajaan, lalu membukakan pintu dan mobil hitam itu pun berlalu meninggalkan istana. Sebenarnya Nyonya Clara sedikit bingung, sebab Giselle diketahui tak boleh meninggalkan Istana West tanpa seizin dan sepengetahuan Pangeran Hayden. Tapi sekarang....

Deretan mobil-mobil mewah nan elegan pun mulai mengantri untuk menurunkan para bangsawan di depan pintu utama setelah mereka melewati gerbang. Tepat setelah mobil Lady August berjalan meninggalkan pintu, mobil Giselle pun akhirnya menggantikan posisi kendaraan roda empat tersebut. Sang pengendara akhirnya keluar, namun ia sempat ditahan oleh petugas keamanan Istana East. Tak lama berselang, ia masuk kembali ke dalam mobil.

"Lady, mohon maaf sebelumnya. Apakah Lady mendapatkan undangan?" tanya pengendara berkumis tipis itu pada Giselle yang duduk di belakang.

Giselle mengernyit. "Ah, itu ... aku tidak menerimanya."

Pengendara tersebut mengembuskan napas pelan. "Lady, Anda tidak diperbolehkan untuk menghadiri acara Perjamuan Teh oleh Putri Karina. Sebaiknya kita kembali ke Istana West."

Giselle tidak mengatakan sepatah kata pun hingga akhirnya mobil keluar dari gerbang Istana East. Gadis itu sempat menoleh ke belakang, mengamati satu per satu wanita yang turun dari mobil sambil memamerkan busana. Hati perempuan itu benar-benar seperti teriris jutaan pisau. Ia juga ingin menjadi salah satu wanita yang berdiri di sana dan mendapat banyak sorotan. Giselle yakin bahwa dirinya tak seburuk itu. Akan tetapi....

Bagaimana mungkin ia tak sadar dengan posisinya yang hanya seorang tahanan dan rakyat biasa?
Bagaimana mungkin ia dengan percaya diri pergi ke acara para bangsawan?

Giselle hanya mampu terdiam seraya menunduk dan menggigit bibir bawah. Susah payah ia mempertahankan air mata agar tak tumpah. Namun apa daya, Giselle tetaplah seorang gadis yang hanya punya cita-cita untuk duduk bersama para wanita bangsawan dan melakukan acara meminum teh bersama. Sesederhana itu. Hanya saja, ini menjadi rumit mengingat Giselle berasal dari kalangan menengah dan tidak memiliki darah biru sedikit pun.

Setibanya di depan pintu Istana West, Giselle dengan cepat membuka pintu yang membuat pengendara mobil itu tertegun, mengingat seharusnya ia yang membukakan pintu untuk sang gadis. Tapi untuk saat ini, Giselle sudah tak peduli lagi. Ia hanya ingin cepat tiba di dalam kamarnya dan menumpahkan seluruh perasaan di atas bantal.

Setelah berlari kecil melewati koridor istana yang panjang dan melelahkan, Giselle akhirnya tiba di kamar. Namun, belum sempat ia membuka pintu, dua orang pegawai dapur memegang tangannya. "Lady, kami sudah menyiapkan sesuatu di dapur."

Mendengar itu, Giselle menoleh cepat ke asal suara sambil menghapus air mata dengan kasar menggunakan lengannya. Gadis itu kemudian tersenyum tipis, ketika melihat dua pegawai itu menatapnya miris.

Giselle kemudian mengangguk, lalu mengikuti langkah dua pegawai tersebut menuju dapur. Dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati dapur tersebut telah diubah menjadi ruangan minum teh ala kerajaan, tentunya dengan ornamen seadanya. Para pegawai mempersiapkan meja persegi panjang yang dilapisi dengan kain. Di atas meja itu tertata rapi kudapan yang menggugah selera. Dan tentu saja, pemeran utama adalah secangkir teh.

Pegawai dapur tersebut mempersilakan Giselle untuk duduk, lalu mulai melayani satu per satu permintaan gadis itu. Giselle tak henti-hentinya melebarkan senyum ketika ia mengedarkan pandangan ke penjuru dapur. Ia juga tak merasa kesepian, sebab ada sepuluh pegawai yang saat ini telah menemaninya berbagi cerita. Tak jarang suara tawa menggema di ruangan tersebut.

Benar-benar ramai!

"Lady, kami mendengar tentang insiden tadi. Maafkan kami ya. Kami tidak tahu bahwa Lady dilarang untuk keluar dari istana ini," sesal seorang koki yang bernama Aurora.

Putri Hampton itu pun menggeleng cepat sambil mengangkat tangannya. "Tidak, tidak. Aku tidak apa-apa. Lagi pula, ini bukan salah kalian. Kalian tidak perlu minta maaf padaku."

Suasana sempat hening selama beberapa detik, sebelum akhirnya seseorang berhasil memecah kesunyian dan aura sedih itu. "Lady, jika boleh jujur, ini adalah pertama kalinya kami memiliki tamu wanita di istana ini," ucap salah seorang pegawai bernama Gilbert.

Giselle membelalak. "Eh? Benarkah?"

"Tentu saja, Lady. Anda tahu? Pangeran Hayden tak pernah membawa wanita ke istana ini. Ia juga tak repot mengurusi istana, sehingga seperti yang Lady lihat sekarang, berantakan dan suram," acap Winona sambil berdiri dengan satu cangkir teh di tangannya.

Ah ya, pegawai-pegawai ini tidak duduk satu meja dengan Giselle. Sesuai peraturan istana, para pegawai tidak boleh duduk bersama keluarga kerajaan atau tamu mereka, sehingga kesepuluh orang ini lebih memilih untuk berdiri. Sebenarnya Giselle sudah menyuruh mereka untuk duduk bersamanya, memberitahu para pegawai bahwa sebenarnya status mereka adalah sama. Namun, mereka mengatakan bahwa ada rasa takut yang mendalam jika melakukan itu. Terlebih jika ketahuan Nyonya Clara atau Ann, ancaman pemecatan akan membayangi mereka.

"Jika Lady tak sibuk, bolehkah kami minta untuk dipimpin? Kami tak masalah jika itu bukan atas perintah Pangeran Hayden langsung."

Giselle menatap para pegawai lekat-lekat. Sedikit merasa aneh dengan permintaan itu mengingat ia bukanlah siapa-siapa di istana ini.

"Benar, Lady. Kami bekerja seperti itu saja, sesuai yang dikatakan oleh Putri Tyana dahulu dan tidak ada pembaharuan seperti biasa. Dan sebenarnya jumlah kami di sini sangat sedikit dibandingkan istana lain," lanjut Gilbert.

"Memangnya jumlah kalian ada berapa?" tanya Giselle.

"Jumlah pegawai di sini di luar dari pegawai kantor dan perjalanan kerja Pangeran Hayden hanya berjumlah--" Gilbert berhenti sejenak dan mulai berpikir, "hanya sekitar kurang dari seratus orang."

"KURANG DARI SERATUS?" Giselle benar-benar tak percaya dengan ucapan Gilbert sekarang.

Sepengetahuan Giselle, ruangan di Istana West ada lebih dari lima ratus. 250 diantaranya adalah kamar tidur yang dilengkapi dengan toilet. Ruangan lainnya adalah kantor, ruang baca, ruang makan, dapur, dan gudang penyimpanan minuman anggur.

Ruang pertemuan terbagi menjadi dua, yaitu ruangan A yang berukuran besar dengan jumlah dua puluh dan digunakan untuk pertemuan resmi keluarga bangsawan seluruh Atharia dan para kepala negara. Sedangkan ruangan B berukuran kecil dengan jumlah lima belas digunakan untuk pertemuan dengan keluarga kerajaan Atharia saja.

Ini belum termasuk ballroom acara kerajaan, throne room untuk Pangeran Hayden dan pasangannya kelak, galeri lukisan dari para raja dan ratu terdahulu yang semuanya diletakkan di Istana West, tiga kolam renang, garasi yang memuat sekitar empat ratus mobil, kandang-kandang kuda milik Pangeran Hayden, danau pribadi, hingga kebun bunga dan buah.

Bagaimana mungkin? batin Giselle.

"Benar, Lady. Kami kekurangan sumber daya untuk menjaga istana ini. Orang-orang itu sudah termasuk para pekerja kebun di halaman depan dan belakang. Kami kalah jauh dari istana lain. Contohnya Istana East memiliki pegawai hampir enam ratus orang dengan spesialisasi pekerjaan."

Jika rahang Giselle dapat terbuka lebar, maka sudah dapat dipastikan saat ini telah berada di lantai dapur. Ia tak menyangka jika Pangeran Hayden begitu tak peduli dengan istana miliknya, walaupun sebenarnya Giselle tahu bahwa sang pangeran sebagai anggota senior kerajaan benar-benar sibuk mengurus yayasan, perusahaan, dan kunjungan-kunjungan negara atas nama raja. Namun, ini sudah terlalu berlebihan.

"Jika Lady memperhatikan, Lady dengan mudah akan menemui pekerja yang sama setiap hari di berbagai tempat. Kami bersepuluh di sini tak semuanya memiliki keahlian di bidang kuliner, tapi terkadang kami juga merangkap menjadi tukang kebun dan panen."

"Tunggu sebentar," Giselle mengangkat tangan sambil menggeleng, "apakah di sini benar-benar tak ada kepala pengurus istana?"

Semua pegawai kompak menggeleng. "Tidak ada!"

"Nyonya Clara pun sebenarnya baru di sini, dan dia tidak punya wewenang untuk seluruh pelayan. Dia hanya punya otoritas untuk beberapa pelayan yang khusus melayanimu, Lady," lanjut Gilbert.

Nora kemudian menyela, "Lady juga harus tahu bahwa semua keramik, seperti cangkir, piring, dan peralatan makan lainnya adalah turunan dari Ratu Adel, nenek buyut dari Pangeran Hayden."

"OH-MY-GOD!" pekik Giselle, "seharusnya itu tak digunakan lagi. Dan ada baiknya disimpan dengan penuh ketelitian!"

"Benar, Lady nampaknya paham akan hal tersebut. Maka dari itu, kami mohon untuk pimpin kami mulai sekarang. Kami benar-benar tak peduli lagi dengan perintah Pangeran Hayden. Toh, pangeran tak pernah menyuruh kami juga. Dia terlalu sibuk dengan urusan negara dan yayasan."

Belum sempat Giselle memberikan respons, sebuah kalimat dari salah seorang pegawai membuat hatinya terketuk. "Lady adalah sosok terbaik buat para pegawai, Istana West, dan Pangeran Hayden."

.

.

Setelah menyelesaikan acara dadakan di dapur, Giselle kembali ke kamar pukul sembilan malam. Ia pun sudah bersiap untuk tidur dengan piyama putih andalannya. Begitu tubuh sudah berada di atas tempat tidur, Giselle sempat menatap langit-langit kamar. Pikirannya melayang pada ucapan dari para pegawai beberapa jam yang lalu. Ia yang seharusnya menghabiskan waktu menikmati teh di Istana East, justru berakhir dengan bergosip ria.

Jujur, Giselle tak masalah karena itu berhasil mengalihkan perhatiannya dari acara yang dibuat oleh Putri Karina dan akhirnya mengetahui seluk-beluk istana West. Gadis itu juga akhirnya menjadi lebih dekat dengan para pegawai setelah berbicara dari hati ke hati. Mereka bahkan berbincang hingga lupa waktu.

Akan tetapi, itu benar-benar tak hilang sepenuhnya. Giselle pun bangkit, lalu duduk di atas tempat tidur dengan selimut yang menutupi bagian bawahnya, tetap memikirkan kejadian memalukan tadi. Ia tak menyangka jika ia mendapat pengusiran, pun penolakan besar-besaran dari Duchess of Nethervile. Mengingat itu, rasa sakitnya seolah kembali mengisi ruang-ruang kosong.

Sret...

Pintu pun terbuka yang membuat Giselle refleks berbaring meringkuk seperti kucing dan menutupi seluruh tubuh dengan selimut.

"Kau sudah tidur, Lady?"

Ah, itu suara Pangeran Hayden!

"Sudah."

Giselle seketika merutuki dirinya sendiri yang menjawab pertanyaan sang adam.

Perlahan, ia dapat merasakan sosok itu semakin mendekat ke arahnya. "Bagaimana seseorang yang sudah tidur bisa menjawab pertanyaanku? Apa dia sedang mengigau?"

"Tidak tahu, Yang Mulia."

Giselle pun mendengar suara seringai kecil dari Pangeran Hayden. Ah, dia benar-benar menertawai perempuan ini.

"Bolehkah aku masuk ke dalam selimut ini, Lady?"

Untuk sesaat, tak ada suara yang Giselle keluarkan. Hingga akhirnya sebuah gerakan kecil di dalam selimut yang Pangeran Hayden anggap sebagai anggukan terlihat di pelupuk mata. Sang adam kemudian tersenyum tipis, lalu melepas jas hitam dan meletakkannya di atas meja kecil di samping tempat tidur Giselle.

Ah, ya, tidak lagi terlihat piring buah di sana. Mungkin saja sudah diambil oleh Nyonya Clara saat Giselle pergi ke Istana East dan pulang dalam keadaan menyedihkan.

Pangeran Hayden yang melihat Giselle membelakanginya kemudian secara perlahan menyelipkan tangan di bawah leher sang gadis, sehingga Giselle dapat menjadikan lengan kekar Pangeran Hayden sebagai tumpuan kepalanya. Namun tanpa diduga, Giselle berbalik badan hingga tubuh mereka saling berhadapan satu sama lain.

Melihat Giselle yang tertunduk lesu, Pangeran Hayden meraih gadis itu dalam pelukan erat. Dan benar saja, air mata Giselle akhirnya jatuh juga. Pangeran Hayden tidak mungkin tak mengetahui apa yang terjadi, sebab ia memiliki banyak pegawai. Akan tetapi, sang pangeran tak memungkiri untuk mengungkitnya dan membuat Giselle akan semakin sakit.

"Lady, apakah aku boleh menemanimu malam ini?"

Giselle masih tak bersuara.

"Maafkan aku yang tidak dapat mencegah kejadian seperti tadi, Lady. Jujur saja, hatiku sangat sakit mengetahuinya. Kau tak pantas diperlakukan seperti itu!"

Mendengar perkataan Pangeran Hayden, Giselle pun mendongak dengan mata sayu. "Harusnya aku yang minta maaf, Yang Mulia. Aku yang salah karena sudah mempermalukanmu."

Pangeran Hayden semakin mengeratkan pelukannya. "Tidak, Lady. Kau sama sekali tidak mempermalukanku."

"Dan besok, maukah kau ikut bersamaku?" ajak Pangeran Hayden.

"Ke mana, Yang Mulia? Bukannya aku tidak diperbolehkan keluar dari istana ini oleh Pangeran Jace?"

Pangeran Hayden tersenyum mendengar suara pelan Giselle, seolah itu adalah musik yang memanjakan indra pendengarannya. Jari telunjuk sang adam kemudian bergerak menghapus air mata yang terjejak di pipi Giselle, lalu turun menuju dagu dan mengangkatnya hingga wajah Giselle benar-benar berjarak hanya satu sentimeter dari sang pangeran.

Pria tersebut memejam, lalu mengecup bibir Giselle yang membuat puan itu membelalak selama beberapa detik. Jantung Giselle berdetak sangat cepat, napasnya tercekat, dan ruangan mendadak terasa panas. Sentuhan lembut Pangeran Hayden berhasil meluluhkan pertahanan sang hawa dan membawanya masuk lebih dalam.

Sang puan mengikuti Pangeran Hayden yang menutup mata, lalu meletakkan tangannya di wajah pangeran tersebut dan membelainya. Hingga tanpa sadar, pangeran itu kini sudah berada di atas tubuh Giselle dan mulai melepas satu per satu kancing kemeja putih yang ia gunakan.

Setelah Pangeran Hayden berhasil melepaskan kemeja dan membuangnya entah ke mana, akan kembali melanjutkan untuk merasakan bibir Giselle, kedua tangan sang puan pun diletakkan di dada bidang Pangeran Hayden dan dengan cepat bertanya, "Tunggu sebentar, Yang Mulia. Kau belum menjawab pertanyaanku!"

Pangeran Hayden yang mendengar itu pun terkekeh pelan. "Kau akan ikut denganku untuk kunjungan resmi ke sebuah pabrik keramik. Kau bilang keramik di istana ini sudah kuno, maka dari itu aku mengajakmu untuk berkunjung ke sana dan memilih sendiri yang kau sukai. Dan lagi, aku sudah mendapat izin dari Pangeran Jace."

"Oh, begitu rupanya."

Kepala sang pangeran kemudian tertunduk. "Sekarang ... bisakah kita melanjutkannya, Lady?"

Giselle menggigit bibir bawah dan sesekali menundukkan pandangannya. Setelah Pangeran Hayden kembali mengangkat dagu Giselle dan menatapnya penuh kehangatan, sang puan pun mengangguk pelan, meskipun ia merasa sedikit ragu.

Pangeran Hayden menganggut dan mengangkat kedua sudut bibir ke atas. Jari telunjuk sang adam pun mulai bergerak perlahan di leher Giselle. "Maka aku akan melakukannya dengan pelan, Lady."

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top