20. Menghabiskan Waktu Bersama

.
.

Waktu semakin lama semakin menunjukkan kecepatan yang tak terhingga. Tanpa terasa lima hari pun terlewati yang semula Giselle hanya diperbolehkan berputar di sekitar dapur, ruang makan, dan kamar tidur, kini jangkauannya telah mencakup seluruh Istana West.

Hal ini ia manfaatkan untuk berkeliling ke taman belakang istana yang penuh bunga beragam warna dan ditata sedemikian rupa. Sebenarnya, penataan bunga-bunga ini tidak terlalu rapi, mengingat para pegawai kebun hanya merapikan seadanya tanpa tahu-menahu estetika. Pangeran Hayden juga diketahui tak mempekerjakan seorang ahli desain taman. Giselle ingin sekali mengatur seluruh taman ini, tetapi dia bukanlah istri Pangeran Hayden. Sehingga, ia tak dapat menyuruh para petugas kebun untuk membantunya.

Ah, sejak makan siang itu, Pangeran Hayden sudah tidak terlihat lagi. Sebelum ia pergi, sang adam mengatakan pada Giselle untuk tak memikirkan permintaannya saat itu yang mungkin hanya sekadar terbawa suasana dan ia sedang bergurau saja. Mendengar hal tersebut, Giselle pun mengangguk dan memakluminya. Toh, Pangeran Hayden tak mungkin menikahi wanita yang bukan dari kalangan bangsawan, tidak berpendidikan tinggi, tata krama yang kurang, dan dulunya memiliki keterikatan dengan para pembelot yang notabene adalah musuh dari kerajaan.

Setelah lima hari kepergian Pangeran Hayden yang entah ke mana --Nyonya Clara dan Ann tidak dapat memberitahu, Giselle merasa sepi. Seluruh pegawai di istana memiliki tugas masing-masing, sehingga tak ada satupun yang memiliki waktu untuk sekadar berbagi cerita padanya.

Giselle tak pernah mengandalkan Nyonya Clara karena ia lebih banyak diam dan tersenyum saja. Sedangkan Ann, dia terlalu serius dan tidak dapat bergurau layaknya Winter. Untuk itu, Giselle lebih memilih menghabiskan waktunya seorang diri, entah membaca buku, mendengarkan musik dari piringan hitam yang berada di ruangan satu --ruangan untuk pertemuan anggota senior kerajaan, atau ikut memasak di dapur.

Istana memang terasa kosong tanpa Pangeran Hayden. Ketika dirinya berada di sekitar Giselle, laki-laki itu akan berbagi banyak kisah tentang kerajaan. Giselle bahkan tahu jika ada sebuah keluarga bangsawan dengan kasta ksatria yang khusus menjaga keluarga The Duke and The Duchess of Floer sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Atau kisah tentang pembentukan lima istana besar di Aglait, di mana dulunya hanya berupa dua bangunan besar untuk memisahkan kekuasaan di bagian Timur dan Barat. Namun sekarang, hal itu tak berlaku lagi. Dan masih banyak kisah nyata layaknya dongeng seperti yang biasa Patra ceritakan pada Giselle saat sang hawa masih kanak-kanak.

Sekarang, Giselle benar-benar tidak mendengarkan kisah apapun lagi dari Pangeran Hayden, membuatnya perlahan mulai merindukan sosok pangeran penuh perhatian dan sangat manis itu.

"Lady, apakah Anda akan menyimpan atau menggunakan setangkai bunga mawar merah yang Anda potong ini?" ucap salah seorang pegawai kebun seraya menyerahkan setangkai bunga.

"Eh? Apakah aku memotongnya?"

Pemuda itu mengangguk pelan. "Iya, Lady."

Giselle menerima bunga tersebut dan menatapnya muram. Sesekali, dengkusan ringan keluar dari mulutnya. Entah, mungkin saja ia membuang bunga ini, sebab ia tak tahu harus diletakkan di mana.

Setelah pegawai itu pergi dari hadapannya, Giselle kemudian mengangkat wajah, lalu memutar tubuh dan kembali melangkah lambat sambil memperhatikan air mancur yang sudah tak terawat. Air mancur ini terbilang besar dengan batu-batu pembentuknya berwarna hitam dan berkilauan. Hanya saja, sekarang air mancur itu diisi oleh air berwarna hijau, mungkin gabungan air hujan dan lumut. Ada pula beberapa kodok kecil dan dedaunan kering yang menghiasinya.

Brak...

Pintu belakang istana tiba-tiba saja terbuka dengan sedikit keras, membuat Giselle spontan memutar tubuh. Untuk sesaat, mata sang puan memincing dan memfokuskan tatapan.

Dan tentu saja, setelah melihat sosok itu, Giselle tersenyum lebar. Tanpa banyak berpikir, gadis itu berlari menuju Pangeran Hayden seraya membawa setangkai bunga merah tersebut dan meraih sang adam dalam pelukannya yang erat. Para pegawai kebun pun tidak dapat menyembunyikan rasa terkejut. Mereka menghentikan seluruh aktivitas dan berdiri dengan menundukkan pandangan setelah melihat Giselle memeluk Pangeran Hayden.

Setelah memberikan jarak, Giselle mendongak dan berujar, "Yang Mulia dari mana saja?"

Wajah Pangeran Hayden begitu tak bersemangat, terlihat di bawah mata mulai menghitam dan guratan-guratan di sekitar bibir yang terlihat tipis. Terlebih, Pangeran Hayden belum mencukur kumisnya tipis itu. Seperti benar-benar tak terawat. Namun ketika ia melihat Giselle dan memeluknya, senyum Pangeran Hayden seketika merekah. Seakan-akan semua beban yang berada di pundaknya telah terangkat.

"Aku ada kunjungan kerja, Lady. Di negara yang jauh."

"Mengapa tak mengatakannya pada saya? Lalu, Anda tidak membawakan buah tangan? Ah, rupanya Anda sangat pelit, Yang Mulia."

Pangeran Hayden tampak berpikir sebentar. "Lady, bagaimana jika mengobrol denganku dengan bahasa sehari-hari saja? Aku seperti memiliki jarak denganmu, padahal aku merasa tidak seperti itu sekarang," anjur sang pengeran.

Giselle menatap netra Pangeran Hayden, lalu mengangguk dan tersenyum manis. "Baiklah, Yang Mulia."

Pangeran Hayden mencibir, "Dan ya, mengenai pertanyaanmu sebelumnya, kau tak pernah bertanya padaku, pun meminta untuk dibawakan buah tangan."

"Bagaimana sa-- maksudnya aku akan meminta jika An-- kau saja tak mengatakan apapun? Aku sudah bertanya pada Nyonya Clara dan Ann tentang kepergianmu, tetapi mereka tidak memberitahu-ku."

Pangeran Hayden tersenyum tipis karena mendengar Giselle yang sedikit terbata-bata. "Itu karena aku melarang mereka untuk mengatakannya padamu. Aku ingin kau bertanya langsung padaku, semuanya ... semua yang aku kerjakan. Kau harus tahu dari mulutku sendiri."

Giselle manggut-manggut. "Siap, Yang Mulia."

"Oh iya, itu apa?" Pangeran Hayden menunjuk dagu pada bunga di tangan Giselle.

Sontak, sang hawa pun melirik, "Oh, ini bunga."

"Iya, aku juga tahu."

"Lalu, mengapa Yang Mulia bertanya?"

Pangeran Hayden benar-benar tak dapat menahan rasa gemas yang menyelimutinya. Ia kemudian mencubit ringan kedua pipi gempal Giselle seraya berujar, "Aku hanya ingin tahu itu untuk siapa? Untuk apa? Mau kau simpan di mana?"

"Aww, sakit, Yang Mulia." Setelah ringisan Giselle itu, Pangeran Hayden pun melepaskan kedua tangannya. "Ini ... ehm, untuk Yang Mulia saja!" Giselle menyerahkan bunga mawar itu dengan kedua tangan.

Pangeran Hayden pun dengan senang hati menerimanya, lalu bertanya, "Kau tahu arti setangkai bunga mawar merah?"

Giselle mengangguk. "Mawar merah melambangkan cinta. Satu tangkai mawar merah menandakan bahwa 'Dirimu hanya satu-satunya yang paling aku cintai'."

Sang adam menatap teduh pada Giselle, lalu memiringkan sedikit kepalanya ke arah kanan sambil tersenyum kecil. "Aku juga ... mencintaimu, Lady Giselle."

"Eh?"

"Lupakan saja! Aku hanya bergurau."

Pangeran Hayden pun memutar tubuh sang hawa, lalu memeluk pinggang Giselle dari belakang dan membawanya berjalan menuju suatu tempat.

Aku bisa gila jika Pangeran Hayden terus-menerus seperti ini, batin Giselle.

Mereka berjalan sangat lambat mengitari kebun dan menikmati kembang yang tumbuh subur. Sesekali, udara pagi yang sejuk itu menerpa mereka yang membuat Pangeran Hayden dengan sigap memperbaiki helaian-helaian rambut gadis Hampton tersebut.

"Oh iya, Yang Mulia," acap Giselle.

"Ada apa?"

"Aku boleh mengatakan sesuatu?"

"Tentu saja!"

Giselle berdeham. "Jadi, aku selama tiga hari ini sudah berkeliling Istana West. Aku memasuki seluruh ruangan, tapi ada beberapa yang terlihat tidak terawat. Seperti ruangan satu, dua, dan tiga terlihat banyak debu di bagian hiasan-hiasan di atas meja dan lukisan-lukisan. Nampaknya kursi dan karpet juga demikian."

"Lalu, alat-alat makan berupa keramik di dapur terlihat kuno. Belum lagi peralatan masak banyak yang kurang baik. Ah, menu makananmu," Giselle berdecak, "tidak sehat. Tolong, perbaiki dan jaga makanmu. Jangan sampai kau sakit karena gizi yang tidak terlalu baik! Aku tahu kau memiliki banyak kerjaan, jadi tidak pernah memperhatikan makanan. Tapi untuk kali ini dengarkanlah aku!"

"Oh iya, taman ini juga terlihat biasa saja. Terlebih bagian air mancurnya sangat kotor dan butuh untuk dicat ulang, mungkin?"

"Dan ada satu lagi. Gorden-gorden di ruang pertemuan tidak mengesankan sama sekali. Bagaimana jika Yang Mulia menerima tamu kerajaan dan melihat gorden tersebut? Ah, aku tidak dapat membayangkannya. Apakah kau tidak memiliki Pengurus Istana, Yang Mulia?"

Pangeran Hayden tiba-tiba menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah belakang yang membuat Giselle sempat bingung dibuatnya.

"Apa kau sudah mencatat semuanya, Nyonya Carol?"

Perempuan berambut pirang digelung yang berdiri tiga langkah di belakang Pangeran Hayden dan Giselle pun terperanjat. "Ah, maaf, Yang Mulia. Apakah itu perlu dicatat?" Nyonya Carol lalu sibuk mencari pulpen dan catatan kecil di sakunya. "Maaf, Lady. Apakah bisa diulang?"

"Tulis saja yang kau ingat!" acap Pangeran Hayden, acuh.

"Ba-baik, Yang Mulia."

Giselle meringis dan merasa tak enak hati. Ia tak tahu jika memang itu harus dicatat. "Maafkan aku, Nyonya Carol."

Nyonya Carol tampak tersenyum kecut. "Ah, tidak masalah, Lady."

Setelah itu, Pangeran Hayden dan Giselle akhirnya melewati sebuah pagar putih berukuran kecil --hanya setinggi perut Pangeran Hayden, dan para petugas khusus pun tidak terlihat mengikuti sang pangeran lagi. Giselle berulang kali menengok ke belakang untuk memastikan bahwa mereka benar tak ikut dan hanya menunggu di luar pagar.

"Ini sudah masuk area pribadiku, Lady. Jadi, tidak boleh ada yang memasukinya tanpa perintahku."

Ah, jadi seperti itu, batin Giselle.

"Aku tahu kau ingin area pribadi. Akan tetapi, lebih baik tetap memperbolehkan para petugas keamanan untuk masuk ke sini," usul gadis bersurai gelap itu.

Pangeran Hayden pun menoleh pada Giselle, seperti meminta penjelasan. "Mengapa seperti itu?"

Giselle nampak mendengkus. "Yang Mulia, kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Bisa saja hal buruk terjadi, seperti tiba-tiba kau yang pingsan karena kelelahan atau ada seseorang yang bermaksud jahat padamu dan menunggumu di sini. Sekali lagi, tidak ada yang tahu. Jika kau tak mengizinkan para petugas masuk, maka hal buruk itu bisa saja terjadi dan membahayakan nyawamu.

"Kau tahu? Kau itu sangat berharga, Yang Mulia. Dunia menyorotmu, memperhatikan tindak tandukmu, dan mendukung seluruh kebijakanmu yang luar biasa itu. Tidak ada satupun yang tidak bahagia ketika kau menjabat tangan mereka," ucap Giselle dengan nada selembut mungkin.

"Kau mendedikasikan dirimu untuk rakyat Atharia, itu luar biasa."

Giselle tak berbohong tentang dunia luar sana yang mencintai seorang Pangeran Hayden. Ketika gadis itu tiba di ruang tunggu istana yang berada di lantai dasar beberapa waktu lalu, terdapat beberapa surat kabar yang tertata rapi di bagian lemari kayu. Giselle menanyakan terkait surat kabar pada pegawai di istana dan mereka menjawab bahwa surat kabar itu akan datang setiap hari. Kertas-kertas tersebut akan menumpuk selama sebulan, sebelum akhirnya semuanya akan diganti dengan surat kabar baru hingga sebulan ke depan. Dan lebih mengenaskan lagi, Pangeran Hayden tak pernah membaca, pun menyentuhnya. Padahal surat kabar itu memang dikirimkan untuk Yang Mulia.

Sang hawa pun mulai membuka satu per satu surat kabar. Ia tak kaget ketika melihat headline yang membahas tentang isu-isu negara atau tentang kegiatan Baginda Raja, Ratu, Pangeran Jace, dan Putri Karina. Namun, ketika ia membuka lembaran kedua, maka Giselle menemukan berita tentang kegiatan Pangeran Hayden dan tanggapan-tanggapan masyarakat yang bersifat membangun dan positif. Sebagian besar pujian atas usaha dan kerja keras Pangeran Hayden dalam melayani masyarakat membekas dalam ingatan Giselle.

Entah mengapa, sejak saat itu Giselle selalu menunggu surat kabar di pagi hari dan mencari berita yang membicarakan tentang Pangeran Hayden. Dan setiap hari, Giselle menemukan setidaknya minimal satu subjek yang mengangkat nama pemimpin Istana West tersebut.

"Memang bukan aku yang mendapat pujian berharga itu, Yang Mulia. Tapi dengan membaca topik-topik tentangmu dan bagaimana masyarakat meresponsnya, aku merasa sangat bangga. Aku bangga padamu. Pangeran Kesepian yang Bekerja Keras, begitu mereka menjulukimu.'

Langkah Pangeran Hayden dan Giselle pun terhenti di tepi sebuah danau buatan yang luas. Jujur saja, Giselle tak pernah menyangka jika Istana West memiliki danau sebagus ini. Di beberapa bagian terdapat kursi panjang dari kayu dan besi dengan ukiran-ukiran bunga yang memanjakan mata. Namun, Giselle memilih untuk tetap berdiri saja dan memandang takjub ke arah danau.

Pangeran Hayden yang semula berada di sisi kiri Giselle, kini bergerak menuju belakang sang hawa. Untuk sesaat, Giselle terpaku ketika kedua tangan besar Pangeran Hayden melingkar di perutnya. Lelaki itu meletakkan kepala di bahu Giselle yang terekspos, sebab Giselle mengenakan gaun selutut off-shoulder. Sang hawa tampak menikmati sentuhan Pangeran Hayden yang hangat.

Giselle meletakkan kedua lengannya pada tangan sang adam, lalu menoleh pada wajah yang sangat dekat dengannya itu. "Terima kasih untuk kerja kerasmu, Yang Mulia. Terima kasih karena selalu melindungiku ... selalu membuatku nyaman, menyediakan apapun yang aku inginkan."

Gadis itu dapat menangkap binar netra Pangeran Hayden, meskipun laki-laki tersebut tidak memandang Giselle sama sekali. Entah apa yang sekarang Pangeran Hayden pikirkan. Sedetik kemudian, Giselle meluruskan tatapan pada danau tenang di depan sana. Ia memejam, merasakan suara pepohonan yang diterpa angin dan hembusan napas hangat sang pangeran menyapu kulit.

Hingga akhirnya, suara berat dan pelan Pangeran Hayden membuatnya membuka mata. "Aku sedang mengusahakan semuanya, Lady. Semuanya tentang dirimu. Aku minta ... bertahanlah sedikit lagi."

Meskipun Giselle tak paham dengan topik yang Pangeran Hayden utarakan, ia tetap mengangguk dan tersenyum manis.

Sekali lagi, keduanya pun terdiam sembari menikmati suasana damai taman pribadi sang pangeran yang sangat indah. Sebab saat ini, mereka hanya ingin menghabiskan waktu berdua saja tanpa kebisingan.

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top