19. Seperti Mimpi
.
.
Tak ada lebih menyenangkan daripada keluar dari kamar untuk menyaksikan dunia luar, meskipun masih ada keterbatasan yang tercipta. Seperti saat ini, Giselle telah menyelesaikan masa tahanannya di dalam kamar yang luar biasa besar. Meskipun menyenangkan, namun tak dapat dipungkiri adanya rasa jenuh yang didera oleh puan Hampton tersebut jika hanya beraktivitas di dalam ruangan selama berhari-hari.
Kini, menurut perkataan Pangeran Jace lewat Pangeran Hayden beberapa waktu, Giselle dapat mengunjungi dapur dan ruang makan yang terletak di lantai 2 Istana West, sesuai dengan lantai kamar tidurnya. Kaki beralaskan sendal tidur berwarna biru tua itu bergantian berayun ke belakang. Kedua tangan menumpuk di depan dada dan menumpu pada jendela. Perawakan gadis itu sangat menggemaskan, terlebih saat ini ia mengenakan piyama biru dengan ornamen bunga-bunga yang menjuntai hingga lutut dan penutup mata berwarna buah persik diletakkan di atas kepala.
Mungkin sekarang para pegawai dapur yang berjumlah sekitar dua puluh orang itu sudah kebingungan melihat tingkah perempuan tersebut. Tentu saja demikian, sebab ini adalah kali pertama Giselle menginjakkan dapur dan ia sudah mulai memegang seluruh alat masak hingga bumbu-bumbu. Ia juga terlihat asyik mengobrol dengan pegawai dapur, padahal mereka tidak pernah saling kenal sebelumnya. Meskipun begitu, Giselle mudah berbaur dengan para pegawai dapur, hingga gelak tawa mengudara di ruangan itu akibat celetukan-celetukan beberapa pegawai yang ditimpa pula oleh sang hawa. Suasana benar-benar menjadi lebih berwarna.
Ketika akhirnya Giselle memutar tubuh setelah memandangi taman belakang Istana West yang penuh dengan bunga lewat jendela, ia telah menemukan tiga pekerja sedang membuat adonan. Dengan langkah seribu, Giselle sudah berada di belakang mereka bertiga yang membuat mereka terlonjak untuk beberapa detik.
"Kalian lagi buat apa?" tanya Giselle dengan semangat.
"Kami akan membuat kue, Lady. Kue ini dipesan oleh Yang Mulia Pangeran Hayden pagi ini," sebut Nona White yang juga pegawai dapur termuda. Bidang yang ia kuasai adalah kudapan-kudapan.
Giselle kemudian menyelipkan tubuh, lalu tangannya mengambil dua plastik bening yang ia gunakan sebagai sarung tangan mengikuti para pembuat adonan ini.
"Apa yang akan Lady lakukan?" tanya Nona White dengan kening yang sudah berkerut melihat Giselle.
"Tentu saja aku akan membantu kalian. Oh, sebaiknya aku saja yang membuat kue ini."
Ketiga pegawai dapur itu seketika membelalak. "Jangan, Lady! Biar kami saja yang membuatnya." panik Nona Laura.
"Tidak, tidak. Biar aku saja. Pangeran Hayden telah memberitahu contoh kuenya, 'kan? Biarkan aku yang membuatnya. Please," pinta Giselle dengan cengiran.
Mau tak mau, ketiga pegawai itu pun mengangguk, lalu menunduk sedikit dan berlalu dari hadapan Giselle. Bolak-balik sang hawa membaca resep yang tertera pada sebuah kertas di depannya. Tak lupa pula ia memperhatikan detil sketsa kue yang diminta oleh Pangeran Hayden. Giselle berhenti sejenak sembari menatap sketsa tersebut dengan lekat. Sang puan merasa bahwa Pangeran Hayden menginginkan kue ulang tahun. Ya, bentuk kue tersebut tiga tingkat dengan bagian paling atas berukuran kecil.
Tapi siapa yang ulang tahun? Apakah Pangeran Hayden berulang tahun hari ini? batin Giselle sambil kembali menguleni adonan.
"Ini kue untuk Putri Tyana, The Duchess of Floer, Lady," ucap salah satu pegawai, seolah membaca pikiran Giselle. Sedangkan sang puan, hanya manggut-manggut saja mendengarnya.
Sebenarnya, membuat kue adalah salah satu kebiasaan Giselle di rumah ketika hari libur sekolah telah tiba, seperti Sabtu, Minggu, atau hari-hari libur lainnya. Ia dan Amanda akan membuat banyak jenis kue di satu hari itu dan akan membagikannya ke para tetangga. Tak jarang juga Amanda yang mengundang para tetangga ke rumahnya, mencicipi kudapan-kudapan tersebut.
Mengingat itu semua, senyum Giselle seketika mengembang.
Tak lama kemudian, Giselle menyadari jika seluruh pegawai dapur menghentikan aktivitasnya dan mundur beberapa langkah mendekat ke arah dinding dengan tangan di depan perut dan kepala tertunduk. Giselle yang melihat sekeliling pun dibuat bingung.
Sret...
Pintu dapur pun terbuka lebar, menampilkan Pangeran Hayden serta empat orang yang mengekor. Dua orang diantaranya adalah Nyonya Clara dan Ann. Ah, mengapa ekspresi mereka menajam seperti akan memakan seseorang? Jika boleh jujur, Giselle tak nyaman dengan ekspresi dingin seperti itu.
Pangeran Hayden berjalan menuju Giselle. Setelah tubuhnya berhenti tepat di hadapan sang gadis, Pangeran Hayden menengadahkan tangan dan seseorang dari arah belakangnya menyerahkan sebuah kain putih dengan ukiran-ukiran emas di bagian ujung. Laki-laki itu kemudian menghapus noda-noda di wajah Giselle. Untuk sesaat, Giselle merasa oksigen di ruangan ini sudah habis. Jantung sang puan berdetak kencang dan mungkin saja pipinya sudah merah.
Harusnya Pangeran Hayden tak melakukan ini di depan seluruh pegawai, batin Giselle dengan rasa sesal.
"Ini apa?" tanya Pangeran Hayden yang masih sibuk membersihkan wajah Giselle.
"Ah, ini tepung!"
"Aku tahu itu."
"Lalu, kenapa Yang Mulia menanyakannya?"
Sontak saja, tawa kecil berhasil lolos dari mulut para pegawai yang sedang tertunduk itu. Beberapa dari mereka saling menyikut satu sama lain, mencoba menghentikan tawa.
"Pertanyaanku bodoh ya?" tanya Pangeran Hayden dengan menaikkan satu alis.
Giselle menggeleng. "Pertanyaan Yang Mulia bukan bodoh. Hanya saja kurang berbobot!"
Tidak ada orang biasa yang seberani Giselle!
Seketika, tawa kembali terdengar. Tanpa terkecuali Ann dan Nyonya Clara yang mengulum senyum di depan pintu. Mendengar celetukan Giselle, pertahanan Pangeran Hayden yang selama ini terkenal dengan sifat cuek pada para pegawai mendadak runtuh pagi itu. Ia tersenyum lebar seraya memperlihatkan gigi-gigi yang rapi.
Hal itu membuat para pegawai dapur membelalak. Mungkin saja mereka tak menyangka bahwa Pangeran Hayden dapat tersenyum dengan manis seperti itu, di depan dua puluh orang yang memenuhi dapur.
Pangeran Hayden menggeleng, lalu menyerahkan kain tersebut pada pegawai di belakangnya.
"Lady, kue ini akan dikeluarkan setelah makan malam. Aku tak ingin makan ini pagi dan siang hari."
Giselle meringis kecil, lalu menoleh pada Nona White. "Ah, kenapa kau tidak mengatakannya dari tadi, Nona White?"
"Hei, kau sekarang menyalahkan pegawai dapur?" tanya sang pangeran dengan lembut.
"Tidak, Yang Mulia. Saya hanya kesal karena saya mengira bahwa Anda akan memakannya pada jam makan siang." Giselle terlihat mengerucutkan bibir.
Sang adam mengulum senyum. Sambil memperbaiki helai rambut Giselle yang teracak, ia berujar, "Kau ingin makan sesuatu siang ini?"
"Justru saya akan menanyakan itu. Yang Mulia ingin makan sesuatu siang ini?"
"Ah ... untuk makananku sendiri sudah ada di menu Istana West. Tinggal menerima saja nantinya."
"Kalau begitu, ehm..." bola mata Giselle bergerak ke kanan-kiri dengan cepat, "izinkan saya memasakkan makanan untuk Yang Mulia."
Sekali lagi, suasana dapur menjadi sangat hening. Bahkan saat ini hanya terdengar dentingan jam dinding yang terpasang di atas pintu dua setengah meter itu. Jujur saja, Giselle dapat menangkap rasa keterkejutan dari seluruh orang di ruangan --kecuali Pangeran Hayden-- ketika perempuan itu menggenggam kedua tangan sang pangeran dengan bebasnya seperti ia menggenggam tangan teman sepermainan.
Melihat itu, Pangeran Hayden tersenyum yang membuat hati Giselle menghangat. Tak lama kemudian, sang adam pun mengangguk. "Baiklah, Lady. Kau dapat membuatkanku makanan."
Hal ini adalah peristiwa langka yang terjadi di Istana West. Selama ini, hanya ada dua koki dan dua pegawai dapur yang dapat membuat masakan untuk Pangeran Hayden atas perintah ibunya, Putri Tyana. Namun, untuk pertama kalinya ada perempuan lain yang tiba-tiba saja ingin membuat makanan untuk Pangeran Hayden. Tentu saja membuatkan makanan untuk keluarga kerajaan adalah salah satu pencapaian luar biasa, tanpa terkecuali bagi Giselle yang merupakan rakyat biasa.
"Ada apa? Mengapa kau tiba-tiba terdiam?" Pangeran Hayden menatap Giselle tepat di kedua netra sang hawa.
"Saya jadi ingin menangis," lirih perempuan itu dengan kepala yang ditundukkan.
"Oh, God! Kau lucu sekali, Lady Giselle," puji Pangeran Hayden yang membuat gadis Pulau Arkala itu mendongak dan menatap sang pangeran. "Tapi janji satu hal padaku."
Giselle mengganggut. "Apa itu, Yang Mulia?"
"Jangan membakar dapur!"
Giselle dan Pangeran Hayden pun saling berbagi senyum, membuat orang-orang disekelilingnya ikut merasakan aura positif yang dipancarkan oleh dua insan tersebut. Rasanya sangat menenangkan, pun menyenangkan untuk menyaksikan interaksi itu.
"Tentu saja, Yang Mulia."
Pangeran Hayden kemudian menoleh pada dua koki tanpa melepaskan genggaman tangan Giselle. "Tolong beri arahan pada Lady dan awasi dia! Aku tak ingin ada kecelakaan sekecil apapun yang dapat melukainya," titah sang adam.
Kedua koki itu menggerakkan kepala ke bawah. "Baik, Yang Mulia."
Kembali, Pangeran Hayden menatap lembut Giselle. "Aku akan menunggu makananmu di ruang makan, Lady."
"Siap, Yang Mulia."
Perlahan, Pangeran Hayden mendekatkan dirinya pada puan dan memberikan kecupan ringan di kening. Sekali lagi, para pegawai dibuat tak percaya. Rasanya kedua bola mata mereka akan lepas dari tempatnya saat ini. Pangeran Hayden mengecup Giselle di depan seluruh pegawai dapur istana saja sudah terdengar seperti sebuah kemustahilan. Akan tetapi, itu benar terjadi.
Setelah Pangeran Hayden dan para dayang-dayangnya itu telah keluar dari dapur dan menghilang dari balik pintu, Giselle berhasil membuat seluruh petugas dapur fokus pada dirinya hanya dengan satu tepukan tangan.
"Oke, sekarang kita mulai dari mana?"
.
.
Siang harinya, Giselle mulai disibukkan oleh desainer yang datang ke kamar dan terus menerus merekomendasikan gaun untuk acara makan siang. Desainer bernama Daniel yang memiliki perawakan tinggi bak model-model terkenal di majalah itu nampaknya selalu tidak puas dengan gaun yang Giselle gunakan. Padahal, seluruh gaun tersebut adalah desainnya sendiri. Ia diketahui datang ke istana atas perintah Pangeran Hayden secara pribadi yang bersifat mendadak. Untuk para desainer, petugas keamanan, dan berbagai lapisan masyarakat lainnya yang dipanggil oleh Pangeran Hayden ke istana, pemanggilan dadakan ini bukanlah sebuah hal aneh.
Sesuai dengan peraturan, seluruh aktivitas menyantap makanan bersama anggota keluarga kerajaan dianggap sebagai sebuah acara resmi, di mana orang-orang yang menghadiri akan menggunakan pakaian yang sesuai, tanpa terkecuali bagi Giselle. Ia nampaknya tidak ingat materi yang diajarkan di Evergreen, sehingga pada awalnya dia benar-benar bingung dengan kehadiran Daniel. Entah dia benar lupa atau memang materi itu belum ia pelajari. Lagi pula, seandainya ia tahu bahwa makan dengan Pangeran Hayden akan menjadi hal yang resmi, maka dia memilih untuk makan di dalam kamar saja.
Tak masalah jika harus seorang diri!
"That's absolutely gorgeous, My Lady," ucap Daniel dengan menaikkan jari, menunjuk pada bayangan Giselle di depan cermin.
"Benarkah?"
"Tentu saja, Lady."
Begitu juga yang dirasakan oleh Giselle. Gaun berwarna pastel merah muda dengan sedikit sentuhan payet berkilauan di bagian dada, membuat gaun yang menjuntai hingga mata kaki itu terlihat mewah dan anggun. Tak lupa pula sepatu hak tinggi berwarna senada yang dikenakan oleh Giselle membuat tubuhnya sedikit lebih tinggi. Sang hawa berkali-kali memutar tubuh di depan cermin, memperhatikan rambut hitam yang dibentuk braided crown dengan aksesoris mahkota kecil di bagian atas.
Daniel mengatakan bahwa saat ini mungkin Giselle belum dapat mengenakan mahkota yang sebenarnya. Namun ia yakin bahwa suatu saat nanti, sebuah mahkota bertahtakan tiara akan menghiasi puncak kepala sang hawa. Mendengar itu, Giselle terkekeh. Karena bagaimanapun, ia sadar bahwa ia tetap tak akan bisa mengenakan mahkota, sebab Giselle bukanlah siapa-siapa bagi keluarga kerajaan selain hanya tahanan biasa.
Setelah semuanya selesai, Giselle dengan cepat melangkah menuju ruangan makan. Ketika pintu terbuka dan melangkahkan kakinya ke dalam ruangan, ia dapat menangkap tatapan dan senyum lebar Pangeran Hayden di ujung meja sana. Hal ini seolah menular pada Giselle yang pada akhirnya juga membalas senyuman itu.
"Apakah yang aku lihat sekarang? Seorang Putri?" puji Pangeran Hayden yang membuat Giselle tertunduk malu seraya mengulum senyum. "Silakan masuk, Lady."
Giselle pun mengangguk dan duduk di tempat yang jauh dari Pangeran Hayden setelah sang pangeran duduk terlebih dahulu. Dapat dikatakan bahwa mereka duduk di antara ujung meja. Jarak keduanya terpaut sepuluh puluh kursi di kedua sisi, membuat Giselle seketika tersenyum kecut. Ia tak pernah menduga jika makan siang formal yang dimaksud adalah duduk berjauhan seperti ini. Ah, ini tidak menyenangkan sama sekali.
Gadis itu sangat paham tentang tata krama saat makan bersama anggota keluarga kerajaan, karena ia yakin jika ia tak tertidur saat materi ini dijelaskan oleh Mr. Thomas beberapa waktu lalu. Salah satu yang ia ingat adalah gerakan tangan sang Pangeran. Jika sang pangeran tidak mengangkat garpu dan pisau, maka Giselle pun tidak akan melakukannya. Dan saat laki-laki di sana sudah mengangkat kedua alat makan itu, Giselle melakukan hal yang sama. Namun, ia merasa aneh karena harus berjarak seperti ini.
"Mengapa tak dimakan?"
Mendengar pertanyaan itu, Giselle seketika mendongak. "Itu ... ehm, itu, Yang Mulia."
Pangeran Hayden menautkan alisnya. "Ya?"
"Bisakah saya berpindah ke sisi sebelah sana?" tunjuk Giselle dengan telapak tangan ke arah kursi di depan sebelah kanan Pangeran Hayden.
Untuk sesaat, sang pangeran hanya memandang Giselle tanpa ekspresi sama sekali. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Namun, tak lama kemudian ia mengangguk sambil memperlihatkan senyum merekah. Tanpa basa-basi, Giselle mengangkat piring dan alat makan, lalu duduk di tempat yang ia tunjuk sebelumnya.
"Kau senang?"
Giselle mengangguk. "Sangat senang, Yang Mulia."
Setelah menyuap beberapa potongan daging, Pangeran Hayden menoleh pada Giselle. "Kau tahu, Lady?"
Giselle nampak meletakkan atensi penuh pada sang pangeran berkulit sawo matang itu. "Aglait adalah kompleks yang terbagi menjadi lima bangunan istana, ada West, East, North, South, dan Royals." Giselle menggangguk mendengar penjelasan tersebut.
"Istana secara umum memiliki peraturan-peraturan yang telah diwariskan turun temurun. Namun, ada juga peraturan-peraturan yang dibuat oleh para istri untuk diterapkan dalam istana masing-masing, seperti Istana North tempat ayah dan ibuku tinggal, memiliki peraturan yang dibuat oleh Putri Tyana dan Kepala Pegawai Istana yang menjalaninya. Misalnya Yang Mulia Putri Tyana menyuruh seluruh petugas dapur memakai pakaian berwarna hijau, mencuci karpet besar di ruang pertemuan setiap dua minggu sekali, mengadakan perjamuan setiap dua bulan sekali untuk keluarga bangsawan Atharia, dan lain sebagainya.
"Istana East juga memiliki peraturan tersendiri yang dibuat oleh Putri Karina. Sedangkan peraturan Istana South dibuat langsung oleh Baginda Ratu. Istana yang terletak di tengah atau Istana Royals hanya digunakan sebagai kantor bagi para pegawai Baginda Raja dan tidak didiami seperti yang lain."
Giselle kemudian meletakkan kedua alat makan, lalu bertanya, "Jika seperti itu, bagaimana dengan istana ini, Yang Mulia? Sebagaimana kita ketahui bahwa Anda belum menikah. Apakah Istana West juga memiliki peraturan tertentu?"
Pangeran Hayden tergelak, lalu menggeleng pelan. "Tidak ada, Lady. Hanya saja ada satu peraturan yang berlaku untuk seluruh istana."
"Apa itu, Yang Mulia?"
Sang adam tersenyum malu sambil sesekali menundukkan tatapannya. Melihat itu, Giselle semakin dibuat penasaran. Pasalnya, Pangeran Hayden terlihat selalu percaya diri di mana pun ia berada. Namun, kali ini....
"Perempuan yang duduk di sebelah kanan pangeran saat makan seperti dirimu saat ini," Pangeran Hayden terlihat memaku tatapan sendu pada netra gelap Giselle, "hanya untuk para istri anggota kerajaan."
Deg...
"Dan ... maukah kau membuat peraturan-peraturan untuk Istana West, layaknya para pendamping pemimpin-pemimpin istana, Lady Giselle?"
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top