16. Malam Berdarah di Arkala

.
.

Tok... Tok...

Malam itu, Winter yang sedang sendirian di rumah --kedua orang tua Winter berkunjung ke rumah neneknya yang sakit, mendengar ketukan berirama di pintu. Ia yang sebelumnya jatuh tertidur di sofa setelah menyelesaikan pekerjaan rumah diselingi lagu-lagu yang berasal dari piringan hitam, pun bangkit.

Ia duduk seraya merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. "Tunggu sebentar!" teriak Winter dari dalam.

Sang puan kemudian melangkahkan kaki dan memutar tuas pintu. Betapa terkejutnya Winter ketika mendapati Jake yang bersetelan hitam telah berdiri di depan rumahnya. Namun, rasa terkejut itu tak berlangsung lama karena Winter sudah meraih pemuda tersebut dalam pelukan dan membenamkan kepalanya di dada Jake.

Winter lalu mendongak. "Hei, apa kau akan menginap di Arkala hari ini?"

Jake tersenyum sambil membelai wajah kekasihnya itu. "Maafkan aku, Sayang. Tapi aku harus kembali ke istana secepat mungkin."

Winter menukikkan kedua sudut bibir ke bawah yang membuat Jake tersenyum tipis. Perempuan itu menunduk sambil memainkan jas sang adam. "Tapi, bukannya kau sudah berjanji akan menginap?"

"Aku minta maaf, tapi aku memang tidak bisa meninggalkan tugas."

"Kau selalu sibuk."

"Dan aku tidak dapat menghindarinya."

Winter mendengkus, lalu kembali menatap netra gelap Jake. "Apa yang membuatmu datang malam ini, Tuan?"

Jake tergelak kecil ketika Winter memanggilnya seperti itu. Jujur saja, Winter mengetahui jika Jake tidak suka dipanggil Tuan. Alasannya adalah karena dia bukanlah konglomerat yang punya banyak tanah yang harus dipanggil Tuan. Padahal, Winter tidak bermaksud seperti itu.

"Kau tahu rumah Giselle?"

"Ah ya, tentu saja. Tapi, mengapa kau menanyakannya? Dan di mana Giselle sekarang? Kau tahu, sebentar lagi pembelajaran di Akademi akan dimulai dan dia harus segera kembali," ujar Winter dengan senyum manisnya.

"Iya, aku akan membawa Giselle kembali, tapi tidak sekarang. Dan ... bisakah kita ke rumah Giselle? Aku ingin berbicara dengan orang tuanya."

"Oke, tunggu sebentar. Aku bersiap-siap dulu!" Winter melesat ke dalam rumah.

Detik pun perlahan berganti menit, hingga akhirnya sang puan kembali menemui Jake dengan memakai pakaian turtle neck berwarna cokelat dan rok bergambar bunga-bunga di bawah lutut. Riasan yang tipis menambah kesan naturan yang dipancarkan oleh sang hawa. Winter sangat menawan malam itu, hingga Jake tak dapat memalingkan pandangan selama beberapa detik.

"Ada masalah?" tanya Winter pada Jake.

Laki-laki itu gelagapan. "Ah, ti-tidak...."

"Lalu?"

"Itu ... kau cantik sekali."

Winter seketika mengibaskan rambutnya ke belakang, tampak penuh percaya diri. "Oh tentu saja. Terima kasih atas pujiannya."

Gadis itu kemudian meraih tangan Jake untuk mengajaknya menuju rumah Giselle. Jake sempat bertanya apakah mereka butuh alat transportasi. Namun, Winter menyebut jika rumah Giselle tak begitu jauh, jadi mereka dapat berjalan kaki. Sebenarnya, Jake memang lebih suka seperti ini, mengingat mereka berdua dapat menghabiskan waktu lebih lama.

Sesampainya di depan rumah Giselle, Jake melepaskan genggamannya, lalu menunggu di tepi seberang jalan. Sementara Winter bergegas untuk mengetuk rumah tersebut. Untuk sesaat, Winter mengernyit. Tidak biasanya orang tua Giselle tidak membukakan pintu ketika lampu rumah mereka sedang menyala. Sepengetahuan Winter, orang tua Giselle akan memadamkan seluruh lampu, kecuali di bagian teras jika mereka akan meninggalkan rumah.

Setelah lima menit mengetuk rumah, Winter membalikkan badan menghadap Jake di seberang sana seraya menaikkan bahu dan menengadahkan kedua tangan.

"Winter," panggil seorang perempuan dari teras berjarak satu rumah dari kediaman Giselle.

Mendengar namanya disebut, Winter pun menoleh ke asal suara. "Eh, iya, ada apa, Nyonya Dalton?"

"Kau mencari keluarga Hampton?"

"Iya, apa Anda melihat mereka, Nyonya?"

"Nyonya Hampton terlihat tadi pagi, tapi setelah itu ia tak keluar rumah lagi. Tak biasanya dia seperti itu."

Winter menautkan kedua alisnya. "Ah, begitu rupanya."

"Tapi, tadi sore ketika aku sedang menyapu halaman, ada dua anak muda yang datang ke rumahnya."

"Apakah Anda mengenalnya, Nyonya?"

"Tidak sama sekali. Akan tetapi, kedua pemuda itu tidak seperti anak-anak Akademi Evergreen. Pakaiannya buruk sekali dengan banyak tindik di bagian telinga. Oh iya, aku masuk dulu ya. Jika kau ingin menunggu mereka, silakan menunggu dahulu di rumahku," ajak Nyonya Dalton.

Gadis itu menundukkan kepala berulang kali sembari memamerkan kedua sudut bibir yang terangkat. "Terima kasih, Nyonya Dalton. Lain kali aku akan berkunjung."

Perempuan paruh baya itu pun berlalu meninggalkan Winter yang masih terpaku di depan rumah, mengamati pintu yang masih terkunci rapat itu. Ah, apa mereka benar tidak ada di rumah?

"Winter," panggil Jake tepat di belakang sang hawa, hingga perempuan itu terlonjak kaget dan mengelus dadanya.

"Oh God! Tidak bisakah kau bersikap biasa saja?" bentak Winter yang membuat Jake tersenyum simpul.

Jake mengatakan pada Winter jika ia akan mendobrak pintu ini. Puan yang mendengar itu tentu saja menolak dengan keras. Tidak ada tamu yang mendobrak ketika pemilik rumah tidak ingin membukakan pintu. Bukan begitu?

Sang adam kemudian meletakkan kedua tangan pada masing-masing bahu Winter sambil sesekali celingak-celinguk mengamati sekitar perumahan tersebut. Winter yang melihatnya hanya mengerutkan kening. "Aku tetap akan mendobraknya. Setelah pintu terbuka, berdirilah di belakangku. Oke?"

Winter menggeleng. "Memangnya ada apa?"

"Ada tidak beres di sini!" Gadis berambut pendek itu membelalak, lalu mengangguk pelan. Gadis itu tidak mengerti tentang ketidakberesan yang dimaksud. Namun, ia memilih untuk diam.

Setelah mendapatkan persetujuan Winter, Jake pun maju selangkah dan mengamati pintu dengan menyentuh beberapa kali. Laki-laki itu juga nampak mendongak, lalu menempelkan telinga di pintu tersebut. Winter yakin jika sang adam tidak dapat mendengar apapun. Tentu saja, sebab tak ada orang di rumah ini.

Huft, benar-benar Jake si pembuat onar!

Brak....

Winter pun melangkahkan kaki ke dalam rumah begitu pintu terbuka lebar akibat dorongan lengan Jake yang keras. Namun, puan itu seketika bergeming ketika melihat sesuatu yang mengerikan di lantai. Bibirnya bergetar, kedua tangan secara refleks ia letakkan di depan mulut, dan netra berkilauan akibat air mata yang siap jatuh begitu saja meninggalkan jejak di pipi. Detak jantung Winter tak beraturan dan dadanya sesak luar biasa.

Amanda telah terkapar di lantai dengan berlumuran darah!

"Aaarrrggg hmmppp," teriakan Winter sempat terdengar sebelum akhirnya tangan kekar Jake menutup mulut itu. Jake memutar tubuh Winter agar sang puan tidak melihat terlalu lama tubuh yang sudah terbujur kaku di sana.

Winter menggenggam kemeja putih Jake dengan kedua tangan gemetar dan menyembunyikan wajahnya. Ia mengeluarkan air mata di sana bersama dengan suara tangisan yang tertahan. Berkali-kali Jake mengelus belakang Winter dan membisikkan kalimat bahwa semuanya akan baik-baik saja, yang mungkin dapat menjadi mantra agar Winter sedikit lebih tenang.

Gadis itu dapat merasakan dua orang yang melewati tubuhnya dan Jake yang entah sejak kapan mengetahui keberadaan Jake dan Winter. Sepertinya mereka teman Jake, sebab laki-laki itu sempat menyebut nama dua manusia yang pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini.

"Tutup pintunya, Jake!" perintah salah satu teman perempuan Jake itu. Sekali lagi, Winter hanya terus memusatkan pendengarannya.

Mendengar suruhan itu, Jake dengan cepat menutup pintu. Sedangkan kedua orang lainnya memeriksa seluruh ruangan, berjaga-jaga jika saja ada orang di rumah ini.

Winter mencoba untuk memutar sedikit kepala dan melihat dari sudut matanya seorang laki-laki yang berpakaian formal sedang mengambil sebuah selimut dari kamar, lalu menutup mayat Amanda dengan rapi. Dengan darah yang belum mengering, jelas saja membuat selimut berwarna putih itu berubah menjadi merah di beberapa bagian.

Jika darahnya belum mengering, berarti ini baru saja terjadi? batin Winter.

"Kita harus menelpon polisi, Rusell, Ann," tukas Jake yang membuat Winter mendongak padanya.

"Tentu saja. Polisi harus tahu semua ini," jawab pemuda yang Winter duga sebagai Russell.

Ann berjalan ke arah Jake dan Winter dengan seulas senyum. "Kami pastikan bahwa ini akan menjadi kasus bunuh diri!"

Mendengar pernyataan itu, Winter kemudian memutar tubuh ke arah Ann. Toh, mayatnya juga sudah ditutupi selimut, sehingga Winter tidak terlalu ketakutan lagi. Meskipun begitu, perasaan waswas masih ada dalam dirinya.

Perempuan itu tidak setuju jika ini disebut sebagai kasus bunuh diri. Dengan sorot yang tajam, Winter memberanikan diri untuk menatap Ann. "Bunuh diri? Tidak, Nyonya Hampton itu dibunuh. Dan polisi harus mencari pelakunya!" tegas Winter.

"Maafkan aku, Nona. Tapi, lebih baik untuk sekarang ini memang harus ditutupi sebagai kasus bunuh diri. Kenapa demikian? Istana punya pertimbangan sendiri."

Winter menelan saliva dengan susah payah, terasa sesak di dada. Ia tersadar bahwa yang dia hadapi saat ini adalah para Hunter. Mereka mungkin lebih tahu apa yang harus dilakukan dengan semua ini. Namun, mengapa istana harus turun tangan dengan kasus rakyat sipil, padahal ada kepolisian setempat? Apa ini berhubungan dengan sahabatnya, Giselle?

"A-apakah sesuatu terjadi pada Giselle?"

Ann menaikkan satu alis dan menatap lekat pada Jake. Sekilas, pemuda itu terlihat membuang tatapannya dari Winter dan Ann dengan air wajah yang memutih. Panik!

Mengikuti Ann, Winter kemudian beralih pada Jake. "Apa kau tahu sesuatu tentang Giselle? Apa kau menemukannya?" ulang gadis itu.

Jake mengembuskan napas dan berucap pelan, "Dengarkan aku! Aku sama sekali belum menemukan Giselle. Entah berada di mana ia sekarang. Akan tetapi, Unit VII Hunter tengah mencarinya di seluruh negeri." Bohong pemuda itu.

Winter terdiam sejenak sambil memaku tatapan pada netra gelap sang adam. Tak lama, ia pun mengangguk pelan. "Oke, aku percaya padamu."

"Dan untuk Nyonya itu," sela Ann sambil menunjuk pada tubuh Amanda, lalu menatap Winter, "Aku harap, Nona menutup mulut dan tidak ikut campur terkait hal ini. Dimohon kerjasamanya."

.

.

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Akan tetapi, rumah keluarga Hampton kini masih saja ramai oleh banyaknya warga yang penasaran dengan apa yang terjadi mengingat garis polisi telah terpasang rapi dan banyaknya petugas keamanan yang lalu-lalang di perumahan mereka.

Winter yang kini menatap kosong ke arah rumah sambil melipat kedua tangan di dada dan bersandar pada mobil polisi, pun masih tak percaya dengan kejadian mengerikan ini. Beberapa menit yang lalu, ia sempat melihat Ann dan Russell sedang berbicara serius dengan salah satu petugas --Winter duga sebagai petinggi di kepolisian itu-- secara pribadi di samping rumah. Dari gestur yang Ann tampilkan saat menjelaskan pada pihak kepolisian, Winter sudah dapat menebak jika perempuan tersebut sedang meyakinkan petugas bahwa kejadian ini adalah murni bunuh diri. Entah dari mana keyakinan itu berasal.

Jake tiba-tiba berdiri di samping Winter, ikut menyandarkan diri pada pintu mobil polisi yang tertutup itu. "Kopi?" ucapnya seraya menyerahkan segelas minuman tersebut dengan senyum tipis.

Winter menoleh sebentar, lalu meraih minuman tersebut dan menyeruputnya pelan. Dengan mata yang bengkak akibat tangisan yang tidak terbendung sebelum polisi tiba di tempat kejadian perkara, Winter kemudian menaikkan gelas kopi dingin itu untuk mengompres matanya dengan bulir-bulir air yang sejuk.

Jake tergelak kecil melihat tingkat laku kekasihnya yang tak terduga. Sambil menurunkan gelas minuman tersebut dari mata Winter, Jake berkata, "Seharusnya aku mengambilkanmu es untuk mengompres, bukan kopi."

Tanpa menoleh sedikit pun pada sang adam, Winter mengangguk setuju. "Iya, harusnya memang seperti itu. Kau ingin membuatku terjaga dengan kopi ini ya?"

"Tapi, kau tetap meminumnya juga."

Winter mengangkat kedua bahu. "Aku tidak punya pilihan lain."

Tak lama kemudian, Russell dan Ann melangkah menuju Winter dan Jake. "Kau bisa pulang, Nona!" ucap Ann seraya menyugar rambut, "semua sudah ditangani dengan baik."

"Ehm," sela Jake, "bisakah aku mengantarnya pulang?"

Russell menarik sudut bibir ke atas. "Tentu saja. Kau bahkan harus menemani dia untuk malam ini. Bukankah begitu, Nona?" goda Russell.

Winter menggelengkan kepala dengan cepat. "Ah, tidak. Tidak apa-apa. Aku bisa tinggal sendirian."

Russell, Ann, dan Jake menatap Winter dengan sorot mata memincing. Kedua tangan mereka secara kompak terlipat di depan dada, seolah mereka sedang menyidang anak kecil yang tertangkap basah mencuri dari rumah warga. Melihat itu, Winter hanya tersenyum kecut seraya menggaruk kepala yang tak gatal sama sekali.

"Kau yakin?" tanya Jake.

"Tidak," jawab Winter, malu-malu.

Ann mendengkus. "Sudah kuduga. Kalau begitu, aku dan Russell akan kembali lebih dulu ke istana. Urusan dengan Pangeran, biar aku yang memberi tahu lokasimu dan menjelaskan padanya," jelas Ann, lalu mengangguk pada Russell sebagai tanda jika mereka harus meninggalkan tempat itu.

Jake dan Winter akhirnya berjalan menuju rumah sang hawa. Selama perjalanan, Jake tidak melepaskan tangan dingin gadis itu. Ia berkali-kali menoleh pada Winter, sebab perempuan tersebut berjalan dengan tatapan yang kosong. Jake tidak bertanya, tidak pula memulai pembicaraan. Ia lebih memilih untuk mengeratkan genggamannya pada sang puan dan berjalan di samping.

Winter benar-benar tak dapat menutupi rasa trauma setelah melihat mayat gurunya itu. Ingin rasanya ia menghapus potongan-potongan ingatan tersebut. Sayang, ia tak mampu melakukan apapun, selain membiarkan bayangan mengerikan mengambil tempat di memori terdalam.

Setelah tiba di dalam rumah, Winter mendudukkan diri di sofa. Sedangkan Jake sudah berjongkok menumpu satu kaki di hadapan gadisnya. "Istirahatlah!"

Winter mengangkat wajah. "Aku ... apakah setelah ini kau akan meninggalkanku?"

Jake membelai wajah Winter dengan pelan. "Jika kau memintaku untuk tinggal, maka aku akan tinggal."

"Bukannya kau bilang harus kembali ke istana secepat mungkin?"

"Aku berubah pikiran sejak Ann mengatakan bahwa semuanya telah tertangani dengan baik."

"Tapi, bagaimana jika pihak istana membutuhkanmu di saat yang tidak terduga?"

"Hunter dan petugas istana sangatlah banyak. Aku bisa digantikan untuk sementara waktu."

Sia-sia, rasanya hanya membuang energi berdebat dengan Jake. Namun, ia memang tidak memiliki keinginan untuk berdebat dengan pemuda pemilik rambut pirang tersebut.

"Tetaplah ... di sini," acap Winter dengan lirih yang membuat sang adam mengangguk.

Winter pun masuk ke dalam kamar dan mempersiapkan diri untuk menuju ke alam mimpi. Jake sempat mengatakan pada gadis tersebut untuk tidak mengunci pintu kamar, sehingga jika terjadi sesuatu, Jake dapat dengan mudah membukanya. Sementara laki-laki itu memilih tidur di sofa di ruang tamu, Winter pun sudah berbaring di tempat tidurnya.

Kembali, gadis itu tidak dapat terlelap mengingat kejadian hari ini. Sambil menatap langit-langit kamar, Winter juga memikirkan perasaan Giselle dan Patra jika mereka kembali ke Arkala. Tentu saja keduanya akan kebingungan dan merasa kehilangan, tak menduga apa yang terjadi.

Hingga jam menunjukkan pukul tiga dini hari, Winter masih terjaga. Ia memutuskan keluar dari kamar, mendekat ke arah sofa tempat Jake berbaring dengan lengan laki-laki itu yang menutupi kedua mata, lalu duduk di lantai seraya membelakangi sang adam dan memeluk kedua lutut. Ia pun akhirnya dapat memejam dengan posisi yang dapat dipastikan membuat pegal seluruh tubuh, nantinya.

Winter tiba-tiba saja terbangun, lalu mengerjap beberapa kali ketika ia sudah mendapati dirinya berada di atas tempat tidur. Di sebelahnya, ada Jake yang tidur di kursi dengan tubuh yang membungkuk, kepala yang berada di tempat tidur Winter, dan menjadikan tangan sebagai bantal. Di atas tempat tidur Winter juga, Jake meletakkan sebuah senjata. Tangannya yang bebas diletakkan di perut sang hawa yang membuat Winter seketika tersenyum tipis.

"Maaf sudah merepotkanmu, Jake."

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top