14. Bertemu untuk Pertama Kali

.
.

Tidak ada yang dapat Giselle ungkapkan bahkan setelah kepergian Hayden sepuluh jam yang lalu. Perempuan itu hanya menatap dinding yang dingin menusuk tulang dengan memeluk kedua kaki. Tak ada alat untuk menutupi hawa yang menyerangnya, membuat tubuh Giselle perlahan bergetar. Seraya menggigit bibir bawah, Giselle mulai meneteskan air mata, membayangkan bagaimana dia hidup dalam keadaan menyiksa ini setiap hari.

Ada penyesalan yang timbul ketika bayangan ibunya tiba-tiba muncul. Di tengah malam ini, Giselle berujar lirih di sela tangis pelannya, "Ibu, aku rindu Ibu ... Sekarang aku takut. Aku takut tak dapat bertemu Ibu lagi. Maafkan aku, Ibu."

Tuk... Tuk...

Ketukan demi ketukan dari ruangan sebelah membuat Giselle terkesiap. Ia mengangkat wajahnya menuju asal suara yang ternyata berasal dari dinding, lalu berucap pelan, "Ada apa? Siapa itu?"

"Nona, maaf, aku mendengar semua pembicaraanmu dengan pemuda tadi. Apakah benar kau ... bagian pembelot?" tanya seorang pria bersuara serak dan berat. Untuk sesaat, Giselle merasa akrab dengan suara dari tahanan tersebut. Apa mungkin? Ah, itu tidak mungkin!

"Pem-belot ... apa?" Giselle kemudian bangkit dengan sedikit terhuyung, lalu berjalan tertatih. Ia menyandarkan tubuh ke dinding sambil menunggu respons dari sel di sebelah.

"Para pemberontak itu...."

Giselle menggeleng pelan seolah pria itu melihatnya. "Tidak, Tuan. Saya bahkan tidak tahu apa itu pembelot, lebih tepatnya saya tidak pernah mendengar hal tersebut," terang Giselle.

"Sama seperti yang pemuda tadi katakan, mereka adalah sekumpulan orang yang menentang pihak istana. Kau tahu, Nona, apa tujuan mereka selain membuat kerusuhan?"

"Tidak, Tuan."

"Mereka ingin mencuri kristal hijau dan membuka terowongan!" Mendengar itu, mata Giselle membulat sempurna.

Ah, ya, mengapa ia melupakan kristal hijau itu?
Bukankah tujuan utama Giselle adalah mengambil kristal?
Jika ia sedang berada di istana dan di penjara, berarti ruangan kristal tidak jauh dari sini?

Dengan cepat, gadis itu berdiri, lalu mencari di mana tasnya diletakkan. Ia mengacak-ngacak tumpukan jerami dengan kaki dengan harapan menemukan buku hunter, meskipun tidak berada di tasnya lagi. Akan tetapi, ia tetap tidak menemukan tas apapun di sana. Tidak perlu bertanya, sebab Giselle sudah tahu jika tasnya kini berada di tangan pihak istana.

Giselle menyesalkan bahwa ia terlambat menyadari keberadaan tas tersebut!

Kembali, sang hawa hanya terduduk menyandar dinding seperti sebelumnya seraya mengatur napas yang sudah tak beraturan. "Tidak ada!"

"Apanya yang tidak ada, Nona?"

"Buku hunter. Saya juga ke Nethervile untuk mengambil kristal hijau itu dengan bantuan buku hunter!"

Pria di sana terdiam sebentar. "Ah, berarti benar kau bagian dari pembelot!"

"Berhenti menyimpulkan sendiri! Saya memang menginginkan kristal itu, tetapi saya tidak tergabung dengan kelompok yang dimaksud."

"Oh, benarkah?"

"Tentu saja!"

"Lalu, jawab pertanyaanku, Nona. Dengan siapa kau ke Nethervile?"

"Eh?"

Giselle benar-benar mengatupkan rahang, pandangan lurus dan kosong seketika nampak di kedua bola mata bening miliknya. Mengingat Mark membuat hati Giselle menahan perih tak tertahan. Ia meletakkan tangan di dada dan meremasnya keras, hingga kini mungkin saja sudah menampakkan warna kemerahan di kulit.

"Dia seorang helper di dermaga. Dia pernah bilang ... dia janji, dia tidak akan meninggalkanku. Tidak menyuruhku untuk meninggalkannya. Tidak terpisah seperti sekarang," lirih Giselle mengusap wajah dengan kasar, "tapi lihat sekarang, dia bahkan entah berada di mana ... atau mungkin, dia sudah kembali ke Arkala!"

"Ah, apakah anak muda di dermaga?" tebak pria itu.

"Bagaimana Anda mengetahuinya, Tuan?"

"Mark? Siapa yang tidak mengenalnya...."

Giselle seketika menghadapkan tubuh ke dinding, seolah ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Ah, seputus asa itukah ia saat ini untuk untuk bertemu pemuda tersebut hingga hanya mendengar nama Mark pun membuatnya antusias.

"Tu-tuan...."

Pria itu terdiam beberapa detik, lalu berujar pelan, "Aku sangat mengenal Mark, bahkan dari usianya masih balita. Dia adalah anak yang baik, pekerja keras, tidak pernah membuat orang-orang di sekelilingnya susah. Karena hal itulah, aku memintanya untuk menikahi putriku, dan dia menerima hal tersebut dengan senang hati."

"Ah, jadi dia telah memiliki pasangan?" sergah Giselle cepat, menundukkan pandangan dengan tatapan sayu.

"Ya, dia akan menikahi putriku. Mungkin tidak dalam waktu dekat ini."

"Mungkin saja ... sebab, tidak ada yang tahu apakah Mark masih hidup atau tidak saat ini."

Pria itu berdeham. "Aku yakin dia masih hidup."

"Semoga seperti itu," acap Giselle, "lalu, apa yang membuat Anda terpenjara di sini, Tuan?"

Pria tersebut kembali tak menjawab dengan cepat, mungkin sekarang ia sedang berpikir cara menjelaskan jenis kejahatan yang ia lakukan hingga pihak istana yang harus menahannya seperti ini, bukan pihak kepolisian Nethervile. Yang Giselle tahu, penjara di istana hanya berlaku untuk kejahatan yang berhubungan dengan politik seperti para pembelot. Ah, apakah pria tersebut juga....

"Aku adalah seorang pembelot. Aku meledakkan sesuatu di pelabuhan sekitar tiga bulan yang lalu, untuk menarik atensi, khususnya pihak istana. Sayangnya, aku tertangkap sepuluh hari kemudian."

Giselle yang semula terdiam lemah sambil terus menerus memusatkan perhatian pada perkataan pria di sana, akhirnya membelalak tak percaya. Ia mendongak, lalu meneteskan air mata tanpa mengeluarkan suara. Sedetik kemudian, tubuh gadis itu bergetar hebat, kedua kaki ditekuk, lalu kedua tangan ia kepalkan di depan mulut seraya memejam.

Rasanya sakit sekali ketika mendengar pria itu mengucapkan, "Mark dicari bukan hanya karena ia kabur dari Arkala. Tapi ia juga pembelot!"

.

.

Entah sudah pukul berapa sekarang, yang Giselle tahu hanyalah dia masih terdiam di dalam ruangan ini seraya memeluk kedua kaki dengan raut wajah datar. Benar-benar merenungi apa yang pria itu katakan beberapa jam yang lalu. Giselle baru tersadar jika pagi telah datang dan menggantikan malam yang penuh rahasia ketika semburat matahari mengenai sudut matanya. Gadis itu menoleh pada garis cahaya, lalu menengadahkan tangan dan membiarkan sinar itu menerpanya, seolah Giselle baru saja mendapatkan mainan terbaru.

Bruk...

Dua orang pemuda bersetelan lengkap membuka pintu dengan keras. Mereka datang bersama dua petugas keamanan yang memakai seragam putih dan senjata laras panjang yang tersampir di bahu sebelah kiri.

Giselle pernah melihat senjata tersebut sekali, ketika ia tidak sengaja membuka pintu sebuah ruangan di rumah Mark. Kala itu, ia tidak diperbolehkan untuk masuk ke ruangan bercat merah. Namun, ketika Mark lengah dan rasa penasaran yang menumpuk, Giselle membuka ruangan yang tidak terkunci itu. Perlahan tapi pasti, ia memandangi ruangan yang penuh dengan senjata. Sejak saat itu, Giselle percaya jika ayah Mark adalah seorang pemasok senjata ilegal. Tapi tidak, ia tetap tidak percaya jika Mark dan keluarganya, mungkin, adalah seorang pembelot hingga ia mendengar langsung dari mulut pemuda Bowles.

Kedua pemuda yang kemarin mengunjungi Giselle pun membuka jeruji, lalu petugas keamanan masuk dan menutup kepala gadis itu dengan kain hitam. Namun, belum sempat Giselle berontak, mereka telah menyumpal mulut dengan sebuah kain.

Ah, apakah ia akan dieksekusi hari ini? Tidak, tidak, ia belum siap mati!

Giselle kemudian diapit oleh petugas keamanan dan mulai berjalan entah ke mana. Sesekali, sang hawa merasakan ia telah menginjak rumput yang sesaat kemudian tergantikan oleh kerikil-kerikil. Tak cukup sampai di situ, ia terkadang menginjak aspal yang panas akibat sengatan matahari, padahal saat ini matahari belum terlalu lama menampakkan dirinya. Atau memang Giselle yang tak tahu pukul berapa sekarang.

Sesaat setelahnya, kaki perempuan itu akhirnya terasa lega ketika menginjak pada lantai keramik. Ia juga merasa tubuhnya dingin, tetapi bukan seperti saat dirinya berada di penjara. Ini jauh berbeda dan lebih nyaman. Ya, suasana di sekitar sini seharusnya sangat nyaman, namun mengetahui ia tak dapat melihat apapun di depan sana membuatnya gentar.

Sebuah suara pintu pun terbuka yang membuat Giselle mengernyit. Kedua petugas kemudian memapah Giselle masuk ke ruangan tersebut dan memaksa untuk bersimpuh dengan cara menekan kasar kedua bahu sang hawa ke bawah. Dengan kedua tungkai lemah, tak sulit untuk membuat gadis itu berlutut di atas lantai.

Seorang petugas kemudian melepaskan sumpalan dan satu orang lainnya membuka penutup kepala. Cahaya pun berhasil menembus netra yang membuat kepala Giselle sungguh berat. Beberapa kali ia mengerjap untuk menetralkan mata dan tubuhnya.

Setelah cukup tenang, Giselle pun mendongak. Seketika mata gadis itu melebar, dada naik turun tak beraturan, lidah keluh, dan kepalanya benar-benar kosong. Ia tak menyangka jika hari ini ia akan melihat langsung Putra Mahkota yang sedang duduk di singgasananya, di kursi berwarna putih dengan lapisan emas di bagian atasnya dan ditempatkan paling tinggi di antara dua kursi yang mengapitnya. Beliau memakai pakaian merah ala militer dengan beragam lencana yang terkait di bagian dada dan bahu.

The Duke of Nethervile memiliki wajah rupawan dengan garis rahang tegas, kulit putih, hidung tinggi, rambut hitam nan halus, dan sorot mata yang tajam. Yang pernah Giselle dengar dari kabar angin saat dirinya masih berada di Arkala adalah bahwa sang pangeran memiliki mata yang akan menyipit mengikuti bibir jika ia tersenyum. Mungkin saja itu benar. Namun kini, ia tak menemukan hal tersebut, sebab Pangeran Jace terlihat menatap Giselle dengan pandangan yang menusuk.

Sret...

Kedua pintu besar itu sekali lagi terbuka, menampilkan The Duchess of Nethervile yang memakai gaun off shoulder A-line warna persik dengan tulle senada menjuntai ke belakang seolah menyapu lantai. Gaun itu sederhana, namun memperlihatkan kesan mewah dan elegan. Sang putri juga nampak cantik ketika bagian bahu hingga lengannya terekspos bebas.

Ah, jangan lupa dengan riasan natural ala sang bangsawan. Putri Karina juga memiliki kulit putih bersih, wajahnya kecil, bibir diolesi oleh pewarna merah yang tipis, bulu mata lentik, hidung mancung, dan pandangan yang juga tidak berbeda jauh dari suaminya, Pangeran Jace.

Beliau meletakkan kedua tangan di perut, lalu menunduk. "Maafkan atas keterlambatanku, Yang Mulia," ujarnya lembut. Ya, lembut sekali.

"Kemarilah!" titah Pangeran Jace yang membuat calon Ratu Nethervile itu melangkah melewati Giselle dengan sedikit terburu-buru menuju tempat duduk di sebelah kanan suaminya.

"Oke, saya tidak ingin berlama-lama," ucap Pangeran Jace yang menengadahkan tangan kiri, meminta sesuatu pada pelayan yang berpakaian serba putih. Pelayan pria itu dengan sigap memberikan selembaran pada pangeran.

Giselle yang mengikuti gerak tangan Pangeran Jace, kemudian menunduk. "Berdirilah, Nona!" ucap Putri Karina pada Giselle.

Sontak, Giselle pun bergegas bangkit. Namun, karena kakinya masih lemah, ia kembali jatuh terduduk dan meringis seraya memegang lutut. Tangan kirinya refleks menjadi tumpuan.

Seseorang dari arah belakang dengan cepat meraih Giselle dan membantunya untuk berdiri. Aroma ini terasa tak asing bagi Giselle. Tentu saja demikian, sebab ia adalah Hayden yang menatap Giselle dengan sayu. "Aku akan berdiri di sini ... denganmu."

Giselle yang memandang lemah Hayden itu, hanya mampu mengangguk.

"Lepaskan dia, Hayden!" suruh Pangeran Jace yang membuat Giselle dan Hayden memusatkan pandangan pada salah satu pemimpin di kerajaan tersebut.

Alih-alih menjauh, Hayden hanya berucap, "Izinkan saya berdiri di sini, Yang Mulia."

Untuk sesaat, Pangeran Jace dan Putri Karina saling pandang. Namun, nampaknya Putri Karina mengerti. Ia melempar senyum tipis seraya berujar, "Apakah ini orangnya, Hayden?"

"Iya, Yang Mulia," tegas Hayden.

Jika boleh jujur, Giselle merasa bahwa dirinya sangat bodoh. Percakapan Mark dan Julian beberapa waktu lalu juga tak membuat ia paham. Sekarang giliran orang-orang di sini sama saja, percakapan mereka membuat Giselle tak dapat mengerti apapun, meskipun mereka menggunakan bahasa yang sama. Hah, ada apa ini?

Pangeran Jace tiba-tiba saja mengangkat sebuah gambar dan memperlihatkannya pada Giselle. "Kau kenal dengan lima orang di foto ini?"

Gambar itu jelas saja berasal dari tas Giselle, gambar yang ia remas beberapa waktu lalu hingga lipatan-lipatan kasar masih di sana. "Saya hanya mengetahui beberapa, Yang Mulia."

"Maka tunjuk dan sebutkanlah!"

Tangan kanan Giselle yang semula memegang lengan Hayden di perut gadis itu, kemudian terangkat dengan tremor luar biasa. Semua orang di ruangan dapat melihat bagaimana rapuh dan tak berdayanya Giselle. Namun, mereka lebih memilih untuk tetap diam, kecuali Hayden.

"Sepasang suami istri di sebelah kanan adalah orang tuaku, Amanda dan Patra Hampton."

"Hampton?" Pangeran Jace menyipit, "Tapi di sini tak tertulis nama Hampton."

Giselle menggeleng. "Tidak, Yang Mulia. Saya tidak mengetahui mengapa seperti itu."

Pangeran Jace mengangguk. "Lalu, di sebelahnya?"

Giselle menelan ludah dengan sulit. Ia menatap sepasang insan di sebelah orang tuanya itu dengan berkaca-kaca. Untuk sesaat, suasana di ruangan menjadi semakin mengintimidasi. Terlebih tatapan seluruh orang kini terpaku pada Giselle. Sang hawa paham jika semua orang di ruangan ini sudah pasti mencari tahu terlebih dahulu tentang foto itu. Mungkin sekarang, mereka hanya menguji?

"Kau tak ingin memberitahu kami?" cecar Pangeran Jace.

"Me-mereka adalah orang tua dari seorang helper di Dermaga Dexter yang bernama Mark, Yang Mulia." Pernyataan itu lolos begitu saja dari mulut Giselle.

"Apakah kau bagian dari mereka?"

Sang gadis menggeleng cepat. "Tidak, Yang Mulia. Saya tidak tahu apa-apa terkait mereka. Saya hanya mengenal Mark dan melarikan diri dari Arkala menuju Nethervile. Hanya itu, Yang Mulia," acap Giselle.

"Apa yang ingin kau lakukan di Nethervile, Nona? Padahal usiamu belum cukup," tanya Putri Karina.

"Sa-saya hanya ... saya hanya ingin bekerja, Yang Mulia." Giselle berdusta.

Pangeran Jace menjatuhkan bahu, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. Ia mengelus dagu seraya menatap tajam ke arah Giselle. Sedangkan perempuan itu hanya mampu menundukkan kepala sambil menggenggam erat dengan bergetar pada lengan Hayden

Melihat itu, tangan bebas Hayden mengusap bahu Giselle yang secara tak langsung membuat perasaan sang hawa sedikit lega.

"Jake," panggil Pangeran Jace pada laki-laki yang berdiri di ujung ruangan, "kau tahu harus melakukan apa, bukan?"

Laki-laki bernama Jake itu maju dan berdiri di samping Giselle. Seraya menundukkan tubuhnya, pemuda itu berkata, "Saya paham, Yang Mulia."

"Kalau begitu, lakukan hari ini!"

"Baik, Yang Mulia." Segera, ia pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan.

"Biarkan Nona Hampton menunggu di luar. Ann, Russell, Calvin, dan petugas lainnya silakan keluar, kecuali--" Pangeran Jace menunjuk pada Hayden, "kau!"

"Kami bertiga perlu berbicara," lanjut sang pangeran.

Kedua petugas pun mengambil masing-masing lengan Giselle dan mulai memapahnya keluar ruangan. Sebelum mereka bertiga berbalik tubuh, Hayden memberitahu pada petugas untuk tidak kasar pada Giselle dan itu mereka lakukan.

Giselle akhirnya menunggu di luar ruangan hanya bersama dua penjaga. Ia duduk di kursi panjang yang bagian luarnya terbuat dari kemarik. Untuk sesaat, ia dapat merasakan dingin itu mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Aku ... takut."

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top