12. Tak Terlupakan
.
.
Sudah tiga hari Giselle dan Mark menetap di desa kecil, tempat tinggal orang tua Mark dulu. Giselle bersemangat untuk merapikan taman yang penuh dengan beragam bunga di samping rumah --meskipun sebenarnya ia hanya mencabut bunga-bunga itu untuk dijadikan mahkota dibandingkan merapikan. Selain itu, ia juga membersihkan seluruh rumah, pun memasak yang langsung diajar oleh Mark.
Terkadang di malam hari, Mark akan memainkan sebuah piringan hitam dan kedua insan itu mulai menari layaknya pasangan yang sedang dimabuk cinta. Lagu kesukaan Giselle adalah 'The End of The World' karya Skeeter Davis. Ketika lagu tersebut dimainkan dan lirik 'Don't they know it's the end of the world? 'Cause you don't love me anymore' berkumandang, maka pemuda itu dengan sigap memberikan Giselle kecupan ringan di bibir. Hal itu tentu saja membuat wajah sang puan bersemu merah.
Ada beberapa alat musik yang berada di ruang musik --dan Giselle baru mengetahui ruangan itu dari Nyonya Cornell, seperti gitar, piano, hingga biola. Dan sekali lagi, Giselle dibuat takjub oleh Mark karena pemuda itu dapat memainkan seluruh alat musik dengan indah. Mark seorang jenius!
Saat bersiap untuk tidur, Mark yang berbaring di samping Giselle pun akan membacakan perempuan itu dongeng-dongeng yang belum pernah Giselle dengar sebelumnya dari sang ayah, Patra. Dan kebetulan, di rumah Mark ini terdapat tiga buah lemari yang berisikan banyak buku, di mana salah satu di antaranya berisi dongeng yang menjadi cerita kesukaan ibunya Mark.
Perempuan berambut hitam itu akhirnya mengetahui lebih banyak kepribadian Mark, salah satunya adalah sikap protektif. Itu bukanlah sesuatu yang ekstrim menurut Giselle. Pasalnya, perempuan mana yang tidak ingin mendapat perlindungan penuh dan diperlakukan bak putri istana. Mark bahkan menyiapkan segala kebutuhan Giselle yang dibantu oleh Nyonya Cornell. Pemuda itu juga setiap hari melarang Giselle untuk keluar dari gerbang rumah dan tidak membuka kotak pos yang ada di depan sana. Bukan, bukan tanpa alasan Mark melakukan ini.
Mark hanya takut jika seseorang akan mendekati perempuan itu, mengingat Giselle pernah bercerita bahwa ia diikuti oleh seseorang selama beberapa tahun dan hal tersebut cukup memantik rasa awas dalam diri Mark.
Seperti saat ini, hari sebentar lagi akan gelap yang membuat Giselle bergegas untuk mengunci dan menarik kain penutup pintu dan jendela sesuai perintah Mark. Namun, ada satu hal yang membuat perempuan itu tampak mencurigai sesuatu, yaitu ia melihat sebuah mobil sudah bolak-balik di depan rumah sebanyak empat kali sejak pagi hari. Mobil dan jumlah orang yang sama. Giselle tak yakin, namun ia memperkirakan bahwa ada sekitar empat orang yang berada di dalam kendaraan roda empat itu.
Sang puan mencoba menghilangkan pikiran negatifnya, lalu beranjak menuju lemari-lemari buku yang berada di ruang keluarga. Akan tetapi, bukan buku menarik yang ia temukan, melainkan sebuah foto hitam putih dalam kondisi tak terlalu baik yang terselip di antara buku-buku di atas nakas. Mata Giselle seketika memincing, lalu dengan gerak cepat ia mengambil foto tersebut dan memperhatikannya lekat.
Sang hawa sangat yakin jika apa yang ia lihat bukanlah kesalahan. Meskipun foto dalam kondisi buruk dengan beberapa bagian terkelupas, namun ia masih dapat melihat lima orang yang duduk melingkari sebuah meja kayu dengan pose mengangkat dua jari. Perempuan dan laki-laki yang berada di tengah sudah pasti adalah Nyonya dan Tuan Bowles, orang tua Mark. Sementara sepasang insan di samping keluarga Bowles adalah Amanda dan Patra ketika masih muda.
Giselle mungkin tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Namun, ia sangat mengenal kedua orang tua yang membesarkannya. Setiap hari, Giselle memandangi foto Amanda dan Patra semasa muda yang dipajang di ruang keluarga. Ada pula versi kecil yang Giselle pamerkan di meja belajar kamarnya.
Perempuan itu membalikkan foto dan menemukan tulisan 'Mr. and Mrs. Wilson with Mr. and Mrs. Davis'. Seketika, Giselle memijat pelipis seraya kembali mengingat nama-nama tersebut. Akan tetapi, setelah lima menit berpikir, Giselle pun menyerah karena ia tak mengenal atau sempat mendengar nama tersebut. Aneh....
"Apa yang kau lakukan di sana, Nona Hampton?" sapa Mark yang bersandar bahu di kosen pintu dengan kedua tangan terlipat di dada.
Mendengar namanya disebut dari arah belakang, mata Giselle melotot. Ia dengan cepat meremas foto tersebut dan berbalik badan sambil mengangkat sudut bibirnya, sedikit terpaksa. "A-aku hanya melihat-lihat dan juga ... membaca beberapa buku."
Mark pun mengangguk pelan. "Hari ini, kau ingin dibacakan dongeng apa?"
Giselle membolak-balikkan mata ke kiri dan kanan secara teratur seraya bergumam lirih, "Ehm...."
Pemuda itu kemudian mendekat ke arah Giselle dan berhenti tepat di depan tubuh gadis tersebut. Giselle mengerjap beberapa kali sambil memamerkan deretan gigi yang rapi. "Aku bingung. Mungkin, kau ada saran?"
"Baiklah, aku akan mencari dongeng lain untukmu. Omong-omong, apa yang kau baca? Nampaknya serius sekali," tanya Mark dengan seringai jailnya.
"Tentu saja buku yang memuat puisi-puisi Edgar Allan Poe. Ah, kau pasti tidak tahu itu, 'kan?" Giselle berbohong dan mencoba memastikan.
Mark terdiam beberapa saat sambil menatap mata Giselle lebih dalam, seolah ia terhanyut dalam kemilau indahnya netra sang puan. Pemuda itu tersenyum tipis, lalu berujar lirih, "Hanya dengan memandang wajahmu, aku sudah mengetahui hampir seluruh puisi karangannya."
Sontak saja, Giselle mengangkat satu alis dan sudut bibir, meragukan apa yang laki-laki itu katakan.
Entah ada angin apa yang membuat Giselle tiba-tiba saja menaikkan satu tangan, lalu jari telunjuk gadis itu bergerak menjelajahi wajah pemuda keturunan Bowles dengan teratur dari kening hingga ke bibir. Di bawah lampu temaram ruangan, Mark memejam dan menikmati setiap sentuhan lembut Giselle pada wajahnya. Nampak seperti memberi jejak kepemilikan, namun tanpa wujud.
"By a route obscure and lonely,
Haunted by ill angels only,
Where an Eidolon, named NIGHT--"
Dalam sekejap, Mark pun membuka mata dan membelai wajah Giselle dengan pelan. Giselle menyadari bahwa sorot mata Mark telah berbeda dari biasanya, seperti sedang ... mendamba?
"On a black throne reigns upright,
I have reached these lands but newly,
From an ultimate dim Thule—
From a wild weird clime that lieth, sublime,
Out of SPACE—Out of TIME."
Tak pernah Giselle duga sebelumnya jika pemuda bermata sipit itu mampu menyelesaikan puisi dari Edgar Allan Poe bertajuk 'Dream-Land' tersebut. Tidak, dia memang tak menyebutkan secara keseluruhan puisi. Namun, itu sudah cukup membuat Giselle menuliskannya dalam daftar hal-hal dari Mark yang membuatnya takjub. Semakin dalam ia mengenal Mark, semakin sulit ia melihat kelemahan dalam diri laki-laki tersebut. Ah, mungkin saja Giselle mulai terbutakan oleh pesona Mark. Atau ... usaha Mark untuk menyembunyikan banyak hal selalu berhasil. Entahlah.
Mark semakin maju secara perlahan, yang membuat Giselle dapat merasakan hembusan napas beraroma mint itu menyapu wajahnya. Seolah terhipnotis, Mark berhasil mengunci Giselle dengan kedua tangan yang ia letakkan di samping tubuh gadis itu. Bibir sang adam meraih lembut bibir Giselle, memainkan milik gadis itu di dalam sana. Napas kedua insan tersebut memburu dan sesekali desahan lolos begitu saja, menambah gairah dalam ruangan yang nampaknya mulai memanas.
Pemuda itu kemudian menggerakkan kepala dan mendaratkan kecupan yang begitu dalam di leher Giselle, membuat gadis tersebut hanya mampu terpejam.
Krek...
Suara derap seseorang menginjak sebuah ranting dari luar rumah telah berhasil membuat Giselle dan Mark menghentikan aktivitasnya. Mereka berdua saling pandang selama beberapa detik, sebelum akhirnya suara langkah yang kedua berhasil membuat puan membelalak.
Melihat air muka panik Giselle, Mark menangkup wajah perempuan itu seraya berujar pelan, "Hei, dengarkan aku! Sekarang, ambil tasmu, lalu berjalanlah menuju dapur. Di bagian sebelah kiri atas, ada botol lada yang kau harus pindahkan ke sebelah kanan. Tidak perlu terlalu jauh, kau hanya perlu menggesernya saja. Setelah itu, kau akan melihat sebuah pintu yang tidak terkunci di bagian kaki, lalu masuklah ke sana. Teruslah berjalan hingga kau menemukan tangga. Itu akan membawamu ke hutan, lalu kabur sejauh mungkin ... dan ya, aku sudah menyelipkan pistol di tasmu. Gunakan itu jika kau merasa terancam!"
"Tunggu sebentar. Ma-maksudnya, aku meninggalkanmu?" acap Giselle terbata-bata.
"Ya, kau harus melakukan itu!"
"Kita sudah berjanji untuk tidak meninggalkan satu sama lain."
Mark menatap Giselle dengan sorot tajam. "Biarkan aku menyelesaikan ini sendirian, Giselle. Sekarang, pergilah!"
"Mark, tapi--"
Tiba-tiba saja pemuda itu menutup rapat mulut Giselle dengan sebuah kecupan. "Aku tidak bisa membiarkanmu melihat semua ini, and ... let me handle this. Alone!"
Netra Giselle mulai berkaca-kaca, sedikit tak rela meninggalkan Mark sendirian. Ia tak tahu berapa banyak manusia yang harus pemuda itu lawan di luar sana, tapi menebak jumlahnya saja sudah membuat Giselle frustasi.
Dengan cepat, Giselle pun mengangguk, lalu berucap pelan, "Tetaplah hidup, Mark."
"Kau juga."
.
.
Tak perlu menghabiskan banyak waktu, karena sekarang Giselle sudah berlari ke kamarnya seraya memasukkan pakaian. Tak lupa pula kertas foto yang sudah tak rapi dalam genggaman, ia masukkan juga bersama dengan selimut kecil berwarna putih. Setelah semuanya selesai, Giselle melangkah menuju dapur dan mengikuti seluruh instruksi Mark.
Sebuah pintu di bagian kaki pun terbuka. Namun, Giselle tidak punya banyak waktu untuk mengagumi seluruh karya yang berada di rumah ini, sehingga ia tidak memperhatikan pintu tersebut secara detil. Sang hawa pun berhasil masuk ke dalam lorong, tak lupa ia menutup akses di atasnya sebelum kaki menapak di tanah. Giselle berlari cepat menyusuri lorong yang hanya diterangi oleh cahaya temaram dari lampu berwarna kuning.
Cukup jauh ia berlari, hingga pada akhirnya ia berhasil melihat tangga dan menaikinya dengan tergesa-gesa. Sesekali, kaki Giselle tergelincir sebab anak tangga yang terbuat dari besi itu sedikit licin. Tak lama kemudian, ia berhasil keluar dari lorong tersebut dengan bersusah payah, sebelum akhirnya gadis itu tidak dapat melihat apapun akibat sinar rembulan yang meredup tertutupi oleh awan. Entah ini akan berlangsung berapa lama.
Giselle mencoba merogoh tas, berharap mendapatkan alat penerangan. Dan tentu saja, ia berhasil menemukan senter yang cahayanya tidak terlalu terang. Untuk sesaat, gadis itu hanya mampu membuang napasnya kasar seraya mengelap peluh yang sudah memenuhi kening.
DOR...
DOR...
Sahutan senjata beradu pun terdengar dari rumah yang sudah jauh di sana, hanya terlihat seberkas cahaya lampu yang menandakan bahwa rumah tersebut masih memiliki penghuni yang sedang bertaruh nyawa melawan beberapa orang.
Mendengar suara senjata-senjata itu, tubuh Giselle bergetar. Kakinya mulai lemah, namun ia tetap harus berlari menjauhi rumah tersebut dan menyusuri hutan. Sempat ada keraguan yang hadir di hati Giselle tatkala melihat kegelapan jenggala.
"All you have to do is run away. Right now!" Monolog Giselle seraya melangkahkan kaki dengan cepat ke dalam hutan.
Entah sudah berapa kali gadis itu tergores oleh ranting, pun jatuh ketika tersandung akar pohon yang berukuran raksasa. Ia tetap berlari seolah tak peduli pada dinginnya malam yang menusuk tulang. Yang Giselle tahu hanyalah terus menjauh, hingga ia mendapatkan jalan utama desa tersebut dan menemui seseorang.
Ah, Giselle mengingat tentang ini, tentang Mark yang memberitahunya bahwa hutan di belakang rumah tak terlalu luas sehingga jika ia terus berlari, maka kemungkinan untuk tiba di jalan semakin cepat. Entah bagaimana, Mark sudah mempersiapkan segala hal jika sesuatu terjadi di rumah tersebut. Sekali lagi, Giselle tidak mampu berpikir bagaimana Mark melakukan ini semua.
Rasa letih akhirnya mendera sang hawa yang membuatnya harus berhenti sejenak untuk mengatur napas. Dengan penerangan yang seadanya, Giselle mencoba mencari sebongkah kayu yang akan ia gunakan sebagai tempat duduk sementara.
Setelah menemukan kayu yang tebal dan duduk di atasnya, Giselle sempat memainkan senter ke atas dan bawah berulang kali. Sesekali ia menyorot pada tangan dan kaki yang sudah menampilkan visualisasi yang sedikit menjijikkan --kaki berlumuran lumpur dan darah kering. Jika dapat tidur di atas tanah beralaskan langit, mungkin Giselle akan melakukannya mengingat ia sudah tak kuat untuk berlari lagi. Pun jika seandainya ia tetap harus tiba di jalan desa, ia akan berjalan tertatih.
Di tengah kegelapan, bayangan Mark, Amanda, Winter, dan Patra tiba-tiba saja muncul dalam benaknya yang membuat sang hawa melipat kedua kaki dan memeluknya. Giselle benar-benar tak dapat melakukan apapun, selain mengeluarkan air mata. Tubuhnya bergerak ke depan dan belakang, seolah mencoba menenangkan diri sendiri di tengah kekalutan.
Hingga akhirnya, sebuah tangan dari arah belakang berhasil membekap mulut Giselle dan membuat kesadaran perempuan itu terbang seketika.
Semuanya gelap!
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top