11. Day Class vs Night Class

.
.

Mentari mulai tampak di kaki langit yang membuat sinarnya menembus kaca kendaraan roda empat tersebut. Giselle menggeliat di kursi yang sudah diatur sedemikian rupa, agar tubuh gadis itu dapat dengan nyaman terlelap dalam perjalanan. Sesaat setelah mobil diisi dengan bahan bakar dan kedua insan itu sudah mengisi perut di resto malam tadi, perjalanan pun dilanjutkan dan tanpa sadar Giselle jatuh terlelap.

Giselle mengerjap, menatap Mark yang masih mengendarai mobil dengan ekspresi datar.

"Kau tidak istirahat?"

Alih-alih menjawab, Mark justru mengatakan, "Ah, kau sudah bangun. Sebentar lagi, kita akan sampai di tujuan."

Giselle kembali menegakkan punggung dan melihat keadaan sekitar. Betapa takjubnya perempuan itu melihat pemandangan yang memanjakan mata di sepanjang perjalanan. Padang hijau terbentang di luar sana dengan banyaknya hewan-hewan ternak yang mulai menyantap rumput, membuat Giselle menyunggingkan senyum. Meskipun jalan di desa ini tidaklah beraspal seperti desa-desa lainnya, namun tidak dapat dikatakan hancur juga. Hanya saja, Mark harus memelankan mobil ketika kendaraan roda empat itu mulai terguncang akibat melewati jalan berundak dan sedikit berbatu. Giselle mulai berpikir bahwa jika musim hujan telah tiba, jalanan ini pasti akan terasa licin.

Tak lama kemudian, mereka akhirnya tiba di sebuah rumah yang memiliki taman di sebelahnya. Rumah yang berdindingkan kayu dicat dengan warna putih ini, terlihat sangat nyaman. Tak hanya itu, di sekeliling rumah terdapat pohon-pohon menjulang yang menambah kesejukan.

Ini benar-benar rumah impian Giselle!

Mark turun dari mobil dan berjalan untuk membukakan pintu bagi sang hawa. Begitu Giselle menginjakkan kaki di depan rumah, Mark berucap, "Selamat datang di rumahku."

"Rumahmu?" pekik Giselle yang membuat Mark mengangguk.

"Sudah kukatakan bahwa aku pernah bertemu ibuku, bukan? Di sinilah beliau tinggal dan bertemu denganku."

Mark dan Giselle melangkah masuk ke dalam rumah tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Giselle lalu berjalan mengelilingi rumah setelah mendapat izin dari Mark. Sedangkan pemuda itu kembali ke mobil untuk mengambil tas-tas yang ia letakkan di bagasi.

Rumah itu memiliki tiga kamar tidur dengan toilet, dapur yang bersambung dengan ruang makan, ruang tamu dilengkapi oleh beberapa sofa single berwarna hitam, dan ruang keluarga yang menghadap langsung ke taman. Berbagai jenis bunga terawat dan tumbuh subur di sekitar danau buatan, menambah kesan asri. Jangan lupakan bagaimana pernak-pernik yang digantung di dinding dan diletakkan dengan rapi, tak berdebu meskipun sudah tak dihuni dalam beberapa waktu.

Ah, apakah ada yang merawat rumah ini?

Giselle menatap sebuah foto dengan bingkai berukuran besar di ruang keluarga. Sepasang suami istri dan seorang bayi yang berada dalam gendongan sang ibu, terlihat bahagia dengan senyum yang tersungging di wajah. Giselle berani bertaruh bahwa anak bayi itu sudah pasti adalah Mark. Dan tentu saja apa yang sebelumnya Giselle katakan benar adanya. Mark memiliki ibu yang cantik jelita dengan kulit putih, hidung tinggi, dan rambut hitam sepinggang.

"Dia bilang aku tak mirip secara fisik. Tapi menurutku, aku mirip dengan beliau. Pantas saja," monolog sang puan dengan kedua tangan yang sudah terlipat di depan dada.

Sekali lagi, pandangan Giselle terpaku pada sosok pria yang berpose dengan berdiri. Sosok itu dapat dikatakan adalah duplikat Mark. Ah tidak, justru Mark adalah duplikatnya.

Samar-samar, Giselle mendengar langkah kaki dari arah belakang. Hingga akhirnya ia memutar tubuh, menemukan Mark dan seorang wanita paruh baya sedang berbincang asyik.

"Kenalkan, ini adalah Nyonya Cornell," acap Mark pada Giselle dan sebaliknya, "dan ini adalah Giselle."

Perempuan tersebut mengulurkan tangannya dan disambut dengan cepat oleh Giselle. Sekali lagi, Nyonya Cornell memperkenalkan bahwa dirinyalah yang selama ini menjaga rumah tersebut atas perintah Julian. Ya, Mark meminta Julian untuk mencarikannya seseorang yang dapat mengurus rumah tersebut dan terpilihlah Nyonya Cornell yang kediamannya hanya seratus meter dari rumah ini.

"Senang bertemu dengan Anda, Nyonya Bowles."

Hah?
Apakah Giselle tak salah dengar?
Sejak kapan ia resmi menyandang nama belakang Mark?

"Saya harap Anda nyaman tinggal di sini. Segala sesuatunya akan saya siapkan dengan baik."

Mark tersenyum lebar seraya menghadapkan tubuhnya pada perempuan dengan rambut yang digelung tinggi itu. "Terima kasih sudah membantu kami, Nyonya Cornell."

"Ah, tidak masalah, Tuan Muda. Anda dan istri hanya perlu beristirahat dengan tenang. Kalau begitu, izinkan saya mengundurkan diri dan mempersiapkan kebutuhan Anda."

"Silakan, silakan." Mark menengadahkan tangan, memberikan jalan bagi Nyonya Cornell.

Setelah punggung wanita tersebut menghilang dari pandangan, Giselle berjalan ke arah Mark dengan seringai kecil nan jail. "Setelah Gerald, namaku sekarang menjadi Bowles? Oh, aku tidak ingat bahwa aku pernah mengubahnya."

Mark tergelak mendengar celetukan Giselle yang tanpa basa-basi itu. "Nanti juga namamu akan menjadi Giselle Bowles."

"Oh ya? Memangnya aku setuju? Anda terlalu percaya diri, Tuan Muda."

"Kau benar-benar tak ingin mengubahnya?" tanya Mark dengan menatap lekat manik sang hawa. Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Giselle memutar tubuh dan berjalan ke arah jendela seraya membuang tatapan menuju danau.

Langkah kaki Giselle diikuti pula oleh Mark. Gadis itu tersentak ketika mendapati kedua tangan telah melingkar di perutnya dan hembusan napas dari sang pemuda menggelitik telinga kanan Giselle. Untuk sesaat, Giselle hanya menikmati suasana itu tanpa memberikan jawaban yang pasti.

"Kau ragu?" bisik Mark seraya menurunkan kepala ke arah leher Giselle dan menyingkirkan rambut sang puan, sehingga ia dengan leluasa memberikan kecupan ringan di sana.

Giselle menelan saliva dengan sulit, sesekali mengembuskan napas pelan. "I'm hungry," sergahnya cepat, mengalihkan pembicaraan, yang membuat Mark memandang gadis itu.

"Ah, ya," Mark menggaruk kepala, "kita belum sarapan ya?"

"Iya, aku lapar," ulang Giselle yang kini sudah membalikkan tubuh menghadap pemuda itu sambil mengerucutkan bibir.

Mark mengacak surai Giselle gemas. "Aku akan membuatkanmu sarapan. Tunggulah di sini!"

.

.

Setelah menyantap sarapan, Mark memilih untuk duduk di kursi di taman yang menghadap ke danau. Ia kini sudah berganti pakaian, mengenakan kaos hitam dan celana pendek. Pemuda itu terlihat menyesap kopi dingin buatan Nyonya Cornell.

"Hei," sapa Giselle yang memosisikan diri di kursi samping Mark. Melihat kedatangan gadis itu, Mark tersenyum

"Kenapa duduk di sana?"

Giselle mengerutkan kening. "Memangnya kenapa? Ada yang aneh?"

"Terlalu jauh," acap Mark. Pemuda itu kemudian menepuk-nepuk paha sebagai petunjuk agar Giselle duduk di pangkuannya.

Puan itu tersenyum tipis melihat Mark yang sudah memajukan bibir bawah, seperti anak kecil yang merajuk. "Kau nampaknya memainkan peran ini terlalu serius, Mark."

"Dan apakah itu salah?"

Giselle menundukkan pandangan sekali, lalu menjatuhkan kedua bahunya. "Tidak ... tidak sama sekali."

"Kalau begitu, apa masalahnya?"

Nampaknya Giselle sudah tak ingin berdebat dengan Mark, sehingga dengan terpaksa ia bangkit, lalu berjalan ke arah laki-laki itu dan duduk di pahanya. Mark mengambil kain yang terllipat rapi di atas meja untuk menutupi paha Giselle. Perempuan itu memang mengenakan gaun sepaha berwarna krem yang jika diterpa angin, maka akan sedikit tersingkap.

"Aku laki-laki normal, jika kau tidak tahu," ujar Mark dengan santainya.

"Jangan katakan bahwa hanya dengan melihat itu, kau menjadi tegang? Ya Tuhan, kau lemah sekali," ejek Giselle yang membuat Mark menaikkan satu alisnya.

"Jangan menggodaku, Nona," acap Mark yang sekali lagi membuat Giselle tertawa lepas.

Sang puan memainkan jemarinya di kepala Mark, memilin dan merapikan helai rambut pemuda itu. Jika boleh jujur, aroma tubuh Mark sangat harum dan menyegarkan dengan perpaduan antara apel dan kayu manis. Entah parfum apa yang digunakan oleh pemuda ini hingga indra penciuman Giselle betah untuk merasakannya.

"Oh iya, aku sedikit penasaran. Pernahkah kau bertanya, mengapa dirimu masuk ke Night Class?" ucap Giselle.

Mark seketika menoleh dan mengangkat sudut bibirnya ke atas. "Kau tidak tahu?"

Giselle mengangguk cepat.

Nampaknya, satu per satu pertanyaan Giselle akan terjawab oleh Mark yang mulai hanyut oleh suasana. Jika merasa nyaman, semua hal bisa ia utarakan hanya dengan satu pancingan kecil. Bahkan terkadang tak perlu repot untuk menggoyangkan pancing dengan usaha yang besar. Sebab, ia akan memakan umpan dengan sendirinya.

Mark kembali berbicara tentang Day Class dan Night Class yang dimulai dari ia tak sengaja masuk ke ruang guru untuk mengantarkan tugas teman-teman sekelasnya ketika ia berada di angkatan pertama tingkat menengah. Beberapa kali ketukan Mark tidak mendapatkan respons dari guru yang berada di dalam ruangan, sehingga ia memberanikan diri untuk masuk tanpa seorang pun yang tahu. Dan ternyata benar saja, tidak ada  manusia yang menghuni tempat tersebut.

Pemuda itu kemudian meletakkan tugas di atas meja wali kelas yang sangat ia kenali --nampak banyak hiasan bunga-bunga yang digambar tangan. Saat akan meninggalkan meja wali kelasnya tersebut, terdapat sebuah selembaran yang dicapit di atas papan jalan. Awalnya, Mark tidak tertarik untuk membacanya. Akan tetapi, dari ujung mata ia menemukan kata mafia, sehingga rasa penasarannya semakin meningkat. Tanpa rasa gusar, Mark mengambil selembaran tersebut, meremasnya hingga menjadi sekepalan tangan dan memasukkan ke kantung celana.

"Hah? Kau melakukan itu? Lalu, kau tidak ketahuan?" sela Giselle dengan mata yang melebar.

"Tentu saja tidak."

Mark kembali menyebut bahwa setelah ia meninggalkan ruangan, ia bergegas menuju toilet akademi yang sudah dipenuhi oleh siswa-siswi yang merokok. Namun karena takut terganggu, Mark mengurungkan niat dan berjalan cepat menuju belakang akademi.

Setelah membuka dan membaca selembaran yang ternyata adalah biodata bayi, Mark tertegun ketika mendapati bahwa kertas yang sebenarnya ia remas berjumlah tiga lembar. Lembar pertama adalah biodata bayi yang diterima oleh Akademi Evergreen. Lembar selanjutnya adalah penentuan asrama. Sedangkan di lembaran terakhir tertulis klasifikasi bayi yang akan ditempatkan di Day Class dan Night Class.

"Yang paling membuatku terkejut adalah klasifikasi itu. Pekerjaan orang tua seperti mafia, pengedar dan pemakai obat-obatan terlarang, pembunuh, penculik, dan berbagai pekerjaan negatif lainnya, maka bayi mereka akan ditempatkan di Night Class. Sedangkan bayi yang lahir dari dokter, pengusaha, pengacara, dan lain sebagainya yang dianggap menolong sesama, maka akan dimasukkan ke asrama Day Class."

Giselle mengerutkan kening sambil menggeleng. "It doesn't make sense!"

"But, it's real!" balas Mark dengan tegas. "Do you remember when you told me about 'The apple never falls far from the tree'?"

Puan itu mengembuskan napas sambil mengangguk. "Pihak istana dan Akademi Evergreen menggunakan itu sebagai landasan mereka dalam klasifikasi asrama. Tapi ... aku paham dengan maksudmu di malam itu," imbuh Mark.

"Ternyata, banyak hal yang tidak aku ketahui."

"Dan lebih baik untuk tetap tidak tahu, bukan?"

Giselle terlihat menggigit bibir bawah, sesekali netra gadis itu melirik ke arah mata lawan bicaranya. Mark seolah mengerti pertanyaan yang muncul dibenak Giselle. Namun, mungkin saja ia enggan untuk bertanya, sehingga Mark akan memulai lebih dulu.

"My mom is a lawyer and my dad is a prosecutor," jelas Mark yang membuat Giselle menatap pemuda itu lekat. Ah, ternyata memang benar jika Giselle terlalu penasaran dengan latar belakang sang pemuda.

"Kenapa aku dimasukkan ke Night Class? Karena ayahku memiliki pekerjaan sampingan sebagai pemasok senjata ilegal ke Nethervile untuk para pembelot."

Entah sudah berapa kali Giselle termangu dan matanya terbuka lebar ketika satu demi satu informasi terkuak. Rasanya kepala gadis itu penuh, tidak dapat memproses penjelasan lebih cepat sehingga butuh waktu untuk mencerna semuanya.

Mark menangkap ekspresi keterkejutan Giselle, membuatnya menangkup wajah gadis tersebut dan membelai pipi dengan ibu jarinya. "Tapi aku tidak seperti itu."

"Harusnya memang kau tak berada di Night Class. Ayahmu ya ayahmu, sedangkan kau adalah kau sendiri. Tidak bisa disamakan," terang Giselle. "Tell me more about yourself, please."

"I'll do it. Aku akan menceritakan apapun agar rasa penasaranmu itu hilang. Tapi, tidak sekarang, Sweetheart."

Giselle pun mengangguk, lalu tersenyum pada Mark. "Kau pasti sangat lelah," tebak perempuan itu seraya bangkit dari duduknya dan mengajak Mark untuk masuk ke dalam rumah, "sudah seharusnya kau beristirahat, Mark."

.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top