10. Perlahan Membuka Diri
.
.
Cuaca yang sejuk di tengah malam membuat Giselle terbangun dari tidur yang lelap. Ia mengerjap, seraya menggosok mata dengan lengannya. Tatapan sang gadis tersebut bergerak menuju beker yang berada di atas nakas tepat di samping tempat tidurnya.
"Pukul 9 malam," lirih Giselle, lalu menguap lebar.
Puan tersebut mendudukkan dirinya, kemudian menoleh dan meraba sisi tempat tidur yang terlihat kosong. Mata Giselle seketika mengedar, mencari sosok yang sebelumnya membaringkan diri di sampingnya beberapa jam lalu.
Saat Giselle mencoba untuk memanggil Mark, langkah seseorang terdengar dari arah samping. Dan sudah dapat dipastikan bahwa itu adalah Mark yang kini sudah membawa nampan dengan segelas susu dan sepiring daging asap serta salad. Ia tersenyum, lalu duduk di depan Giselle dan meletakkan nampan tersebut di kaki sang gadis.
"Ayo, dimakan!" suruh Mark.
Untuk sesaat, Giselle menatap Mark tak percaya. "Kau yang membuatnya?"
Mark mengangguk pelan. "Kenapa? Mengapa tatapanmu seperti tidak yakin seperti itu?" Mark memotong daging tersebut, lalu menyuap Giselle, "kau harus mencobanya."
Gadis tersebut mengunyah daging dengan pelan, seraya mata menerawang. Sesekali netranya bergerak ke kanan-kiri yang membuat Mark memperhatikan Giselle dengan penuh harap. "Enak?"
Giselle mengernyit dan mengerucutkan bibir. Melihat ekspresi itu, Mark menundukkan kepala dan menjatuhkan kedua bahu. Ia meletakkan garpu yang digunakan untuk menyuap Giselle sebelumnya di atas piring. Tangan pemuda itu diletakkan di gagang nampan, bermaksud untuk meletakkannya di meja. Namun, belum sempat ia bangkit, tangan Giselle bergerak untuk meraih kembali garpu dan pisau.
Perempuan itu memotong daging dan mengangkatnya menuju Mark. Untuk sesaat, Mark hanya memandang Giselle dengan tatapan aneh. "Kau sudah mencobanya?" tanya Giselle.
"Belum. Tapi aku sudah menduga jika rasanya pasti tak enak." Mark mendengkus ringan seraya menekuk wajah.
"Bagaimana kau bisa tahu jika tak mencobanya. Sekarang, buka mulutmu!"
Giselle kembali memajukan potongan daging itu ke mulut laki-laki yang sudah terlihat tak bersemangat. Sayang, Mark menolak menerima makanan tersebut dengan memalingkan muka.
"Ini benar-benar enak, Mark." Giselle meyakinkan.
"Berhenti berbohong padaku."
"C'mon ... hanya buka mulutmu saja."
Dengan melirik sepintas lalu pada Giselle, Mark akhirnya menerima satu suap. Ia lalu tersenyum lebar dan mengangguk-ngangguk cepat. "Ternyata enak ya."
"See? Aku tak pernah berbohong padamu, Mark. Oh ya, apakah kau sudah makan?"
Ah, tentu saja aku terkadang berbohong, batin Giselle.
Mark menjawab, "Sudah."
"Tapi bukan daging seperti ini, 'kan? Lalu, kau makan apa?"
"Roti dan segelas susu."
Giselle meringis. "Itu tak mengenyangkan sama sekali. Jika kau tak keberatan, ayo makan bersama," ajak Giselle. Perempuan itu terlihat sibuk memotong-motong daging menjadi beberapa bagian kecil.
"Ah," Mark menghentikan gerakan tangan sang puan, "aku membuatkannya khusus untukmu. Lagi pula, aku benar-benar sudah kenyang."
"Kau yakin?"
"Tentu saja."
Mendengar itu, Giselle menganggut pelan. Ia mulai menyantap makanan itu sedikit demi sedikit. Sedangkan Mark sudah bangkit. Pemuda itu mengambil tas yang berada di atas lemari yang ukurannya sebesar tas atlet. Mark kemudian memasukkan beberapa potong pakaian, pun selimut kecil.
Setelah siap, Mark meletakkannya di atas meja yang berdampingan dengan ransel milik Giselle. Menyadari perempuan itu telah menghabiskan makanannya, Mark kemudian mengambil nampan dan meletakkannya di westafel. Kaki sang afsn kembali melangkah dan duduk tepat di depan Giselle seperti sebelumnya.
Sambil menyugar surai gadis tersebut, Mark berucap, "Ayo, kita pergi!"
Giselle mengerutkan kening. "Ke-mana? Apakah kita akan pergi ke luar negeri?"
Mark tersenyum manis. "Tidak, Sweetheart. Kita akan pergi ke suatu tempat untuk bersembunyi beberapa waktu. Kau mau ikut, 'kan?"
"Tentu saja," jawab Giselle dengan sudut bibir yang tertarik ke atas.
Kedua insan tersebut kemudian bangkit, meraih tas, dan berjalan menuju salah satu pintu yang berbeda dari pintu sebelumnya. Pintu itu terletak di sebelah kiri ruangan yang terlihat menyerupai dinding, sehingga Giselle tak pernah menduga jika ada pintu di sana.
Mark dan Giselle kembali melewati koridor yang temaram dengan langkah yang cepat. Tak lama, mereka menemukan pintu lain yang ternyata menuju sebuah parkir mobil. Jika dihitung, terdapat lebih dari sepuluh mobil dari beragam pabrik terkenal di Nethervile. Giselle sudah menduga jika mobil-mobil ini pasti sangat mahal dan ia sampai kapan pun tidak mungkin memilikinya.
Tapi ... mengapa Mark yang seorang helper di Dermaga Dexter bisa memilikinya? Ah, apakah ini semua bukan milik Mark? Lalu, mengapa ia memiliki kunci salah satu kendaraan ini?
Terlalu banyak pertanyaan di kepala Giselle, sehingga ia sendiri bahkan tak tahu harus mulai menanyakannya dari mana. Tak hanya itu, jika Giselle bertanya, apakah Mark akan menjawabnya? Pemuda itu terkadang terlalu misterius bagi Giselle.
Setelah memasukkan tas-tas tersebut dalam kursi tengah mobil, Mark dan Giselle akhirnya pergi dari parkiran itu menuju suatu tempat.
.
.
Sepanjang jalan, Giselle menatap bangunan-bangunan dari balik jendela dengan sendu. Entah mengapa, ia sedikit tak rela meninggalkan Nethervile. Ah, apakah ia benar-benar akan meninggalkan kota itu?
"Mark?" panggil Giselle seraya menoleh pada pemuda yang sibuk mengendarai mobil.
"Ehm?"
"Kita akan ke mana?"
"Oh, kita akan pergi ke pedesaan yang sedikit jauh dari Nethervile," acap Mark seraya menyunggingkan senyum.
"Pedesaan? Apakah seperti Arkala?"
Pemuda tersebut menggeleng. "Tidak, ini lebih sepi dari Arkala. Namun, suasananya sangat tenang, sebab jauh dari keramaian dan hanya ada tanah yang luas."
"Untuk apa kita ke sana? Mengapa kita tidak langsung ke luar negeri saja?"
"Ah, soal itu ... kita harus mengurus beberapa dokumen dan aku tidak dapat mengusahakannya dalam waktu dekat. Semua dokumen itu harus diurus di Nethervile," Mark membelai belakang kepala Giselle, "lagi pula, aku ingin kau sedikit lebih tenang dan kembali bersemangat."
Ucapan Mark tentu saja membuat Giselle terperangah. Entah mengapa, Mark seakan menjadikannya perempuan paling berharga dan begitu dilindungi. Ada perasaan menggelitik yang membuat Giselle begitu bahagia, bahkan mungkin sekarang pipinya sudah merah merona.
Mark meraih tangan Giselle dan menggenggamnya erat seolah Giselle adalah milik pemuda itu seutuhnya. Bukannya menolak, sang hawa membalas Mark yang membuat laki-laki itu tersenyum tipis.
"Mengapa kau melakukan ini padaku?" tanya Giselle.
"Apakah itu tidak boleh?"
Giselle menggeleng. "Bukan. Maksudku, kau bisa saja pergi meninggalkanku sendirian kemarin dan tidak terlibat lebih jauh. Kita tidak saling kenal sebelumnya, lalu mengapa kau begitu repot untuk melakukan ini semua padaku?"
"Apakah aku terlihat seperti itu?"
Seketika, Giselle mendengkus pelan dan membuang tatapannya ke luar jendela, lalu memilih untuk mengatupkan rahang. Ah, rasanya percuma bertanya pada Mark, karena terkadang jawabannya memang tidak sesuai yang Giselle harapkan.
"Kau mirip ibuku."
Gadis itu menoleh cepat. "Hah?"
"Ya, kau mirip sekali dengannya. Bukan, bukan dari segi fisik. Tapi keberanianmu yang membuat aku tergerak untuk melindungimu. Keberanian itu ... mengingatkanku pada ibuku, ibu kandungku." Mark memegang stir dengan cukup kuat hingga urat-urat di tangannya menonjol. Sesekali, pemuda itu menatap ke spion luar dengan air muka tegas.
"Kau ... sudah bertemu dengannya?"
Mark mengangguk pelan.
Hati Giselle terasa pedih ketika mendengar pernyataan tentang pertemuan dengan orang tua kandung oleh anak-anak yang berasal dari Arkala. Sebab, ia juga ingin merasakannya. Giselle ingin melihat bagaimana rupa, kehidupan mereka di Arkala, atau apapun yang terkait dengan orang tuanya.
Namun, Giselle dengan cepat menyingkirkan kembali perasaan itu. Bukankah ia juga harusnya ikut senang ketika orang-orang di sekitarnya sedang bersukacita?
"Aku berani bertaruh jika ibumu adalah wanita yang cantik."
"Mengapa kau bisa mengatakan demikian?"
"The apple never falls far from the tree, right?"
Sang adam menyeringai kecil. "Jadi, kau menganggapku tampan?"
"Well ... lumayan."
Mark menjentikkan jari. "Aku menganggap perkataanmu ini benar."
Giselle dan Mark pun tertawa lepas yang membuat suasana kembali melebur.
Mark kemudian menjelaskan tentang ruangan bergaya vintage dan mobil yang sedang mereka gunakan ini. Pemuda itu berucap bahwa keduanya adalah milik Julian dan Mark mengetahui ini karena ia diberitahu dan sering mengunjunginya bersama laki-laki jangkung itu. Mark mengulangi perkataan Julian bahwa ruangan tersebut memang diperuntukkan untuk mereka jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.
Giselle sedikit ragu dengan penjelasan Mark, sebab Julian juga hanyalah seorang helper dan ABK. Atau pekerjaan Julian itu hanya selingan belaka di saat dirinya sedang merasa bosan?
Sang pemuda seolah mengetahui isi kepala Giselle dan membeberkan bahwa Julian adalah anak seorang konglomerat di Nethervile. Ayahnya memiliki banyak tanah yang luasnya bahkan hampir menyaingi lahan para bangsawan di kota tersebut. Mendengar itu, keraguan Giselle seketika luntur begitu saja.
Giselle berangan-angan sambil mesem, jika ia adalah seorang putri konglomerat yang memiliki banyak harta, ia pasti sudah berfoya-foya. Membeli banyak pernak-pernik, pakaian, atau mungkin membeli mobil seperti yang ia gunakan saat ini. Ah, ia juga ingin membangun rumahnya menjadi tiga lantai di Arkala sana. Dan tentu saja, Amanda dan Patra akan berhenti banting tulang, lalu menjalani hari tua di rumah nyaman itu.
"Apakah ada yang lucu? Hei, kau terlihat manis dengan senyum itu," goda Mark.
Pemuda tersebut telah berhasil memecah imajinasi indah Giselle. "Ah, tidak, tidak. Aku hanya menertawakan nasib kita sekarang. Sungguh tragis!"
"Aku tidak menganggap ini tragis. Justru, ini sesuatu yang baru."
Mendengar itu, Giselle menoleh pada Mark sambil mengusap dagu. Perempuan tersebut mengernyit yang membuat Mark menaikkan kedua alisnya berkali-kali dan tersenyum jail.
Giselle kembali menatap ke luar jendela seraya memperhatikan sekitar. Hanya ada kegelapan dengan lampu jalan, tanpa adanya satu pun bangunan dan kendaraan yang lalu-lalang. Jalan ini benar-benar sepi. Sang puan tak bertanya lebih jauh tentang tempat tujuan mereka. Yang ia tahu, sekarang dirinya hanya mengikuti ke mana langkah Mark membawanya.
Untuk sesaat, ia merindukan dekapan Amanda jika malam telah menyapa seperti ini. Atau menyantap makanan buatan ibunya. Kebiasaan mereka setelah makan adalah saling berbagi cerita satu sama lain tentang peristiwa yang terjadi hari itu. Topik yang dibahas sangat banyak, hingga terkadang para tetangga mungkin saja dapat mendengar tawa yang menguar dari dua perempuan tersebut.
Meskipun Giselle memiliki kamar sendiri, namun jika Patra tidak berada di rumah, maka ia yang akan tidur bersama Amanda. Saling memeluk satu sama lain dan membelai surai Giselle hingga gadis itu masuk ke dalam mimpi adalah kebiasaan yang dilakukan Amanda. Dan Giselle sangat menyukainya.
Terkadang ia merutuki diri sendiri ketika menyadari bahwa yang ia lakukan saat ini membuatnya tak dapat melakukan kegiatan seperti biasa. Namun, semuanya sudah terjadi dan lebih baik untuk tidak menengok kembali ke belakang. Sebab, tidak ada gunanya menyesali apa yang sudah terjadi.
Giselle sedikit tersentak ketika tangannya menerima sentuhan dari tangan besar Mark. Pemuda itu meloloskan jari-jarinya di antara jemari Giselle yang membuat perempuan tersebut refleks menengadahkan tangan dan saling menggenggam erat.
"Ada apa?" tanya Mark dengan nada pelan dan suara yang dalam.
Giselle seketika menoleh pada pemuda tersebut. Ditatapnya iris Mark lekat seraya berujar, "I miss my mom...."
Mark membuang napas, lalu tersenyum tipis pada Giselle. "Mendekatlah padaku."
Giselle tanpa ragu melakukan apa yang Mark katakan. Laki-laki itu kemudian meletakkan kepala sang gadis di pundaknya sambil membelainya lembut. Sesekali, Mark mendaratkan kecupan ringan di puncak kepala yang membuat Giselle mendongak dan menatap pemuda itu dengan senyum manis.
"Ah, ternyata kau menyukainya," tebak Mark seraya meletakkan tangan di bahu Giselle. "Di depan sana ada resto dan juga stasiun pengisian bahan bakar, kita berhenti sebentar, ya? Nampaknya kau harus sedikit merenggangkan kakimu."
"Aku terus yang kau perhatikan. Mengapa tidak memperhatikan dirimu sendiri?"
"Untuk apa memperhatikan diri sendiri, jika tahu akan berakhir seperti apa."
Giselle mengernyit. "Ehm, maksudnya?"
Mark hanya menggeleng sambil diselingi tawa yang lolos dari mulutnya. "Jangan dipikirkan! Lagi pula, terserah aku mau memperhatikan siapa. Bukan begitu?"
"Kau benar-benar...."
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top