[20.03 · 10] - babak terakhir

[ 20.03BABAK TERAKHIR ]
deplesi yang setara ]

***

Tidak ada pertemuan lagi sejak saat itu.

Ia tahu bahwa memang tidak akan ada yang diharapkan lagi setelah mereka berdua sepakat untuk memutuskan hubungan romantis itu. Tentu tidak pula dengan alasan bahwa sebenarnya Novan menganggap Nada sebagai adiknya sendiri, begitu pula sebaliknya. Nada yakin sekali, sebagaimana dirinya, Novan pasti juga sama tidak inginnya hanya untuk sekadar berpapasan saja di kampus.

Kalaupun Putri mengajaknya ke rumah, Nada pasti akan bermawas diri agar tidak sampai harus bertemu dengan Novan. Namun, akhir-akhir ini ia lebih sering meminta Putri sendiri yang datang ke rumahnya. Gadis itu selalu memberi alasan kalau ia hanya ingin Putri juga lebih sering datang ke rumahnya. Padahal, selain itu ia hanya meminimalisir keadaan kalau-kalau bertemu dengan mantan kekasihnya di depan mata Putri.

Sudah pasti, Nada pasti tidak akan tahu bagaimana akan bersikap. Apalagi, ia juga memutuskan akan tetap menjaga rahasia hubungan romantis yang kandas itu hanya untuk dirinya sendiri saja. Kakak dari sahabatnya itu juga tampaknya tidak pernah memberitahukan juga karena Putri pasti akan berang besar kalau sampai hal tersebut menyentuh gendang telinganya.

Namun, sama seperti hari-hari yang pernah dilaluinya, memang sebaik apa pun berusaha mengendalikan situasi, akan selalu ada celah yang membuatnya berantakan sana-sini.

Hari itu adalah di mana ketika Putri mendatangi rumahnya sehabis dari kampus untuk menonton series dengan aktor kesukaan Putri yang baru saja tayang. Awalnya, Putri memang berencana untuk menginap saja dan pulang besok sehabis kampus. Namun, dari seberang telepon, Nada mendengar kalau Novan marah-marah dan tidak mengizinkannya menginap di sana.

Nada tidak pernah mendengar Novan marah-marah. Itu adalah hal pertama yang membuatnya terkejut. Namun, melihat sepeda motor Novan dan sang pengendara sudah berada di depan pintu gerbangnya tiga puluh menit kemudian sambil membunyikan klakson berkali-kali membuat Nada hampir terkena serangan jantung. Ia sama sekali tidak tahu kalau Novan akan memutuskan menjemput adiknya sendiri.

Waktu itu ia mendengar Putri berdecak keras sekali. "Ngapain, sih, pake dijemput? Kaya anak kecil aja." Sembari berderap keluar, ia menarik tangan Nada agar mengikutinya juga.

Di saat itu, Nada tahu bahwa mungkin kali ini ia memang tidak bisa menghindar lagi.

Awalnya memang berjalan baik-baik saja. Nada berderap beriringan dengan Putri yang menggerutu karena masih kesal tidak diizinkan untuk menginap. Ia lega karena bahkan Novan tidak memandangnya dan hanya fokus pada Putri. Namun, tetap saja, ada hal tidak terduga yang menunggunya.

"Oh, iya. Kapan-kapan gimana kalau kita piknik bareng gitu?" kata Putri dengan air muka yang terlalu cepat berubah bersemangat tepat sebelum naik di jok belakang kendaraan kakaknya. "Di belakang rumah kita juga ngga pa-pa. Kita bertiga tapinya."

Untuk sedetik saja, Nada dan Novan saling adu pandang. Nada beralih menatap Putri sambil tertawa canggung. Sedangkan Novan memaksa Putri untuk cepat naik agar karena katanya masih memiliki banyak tugas yang belum dikerjakan. Padahal, Novan dan Nada sama-sama tahu bahwa mereka harus menghindari berada di tempat yang sama dalam jarak berdekatan untuk mengobati luka akibat patah hati.

***

Nada tidak tahu mengapa ia datang ke kampus pagi-pagi sekali. Ia tidak punya tugas yang harus dikejar, tidak punya urusan organisasi, mungkin tidak juga ingin menghindari orang lain. Namun, saat kakinya menginjak pelataran kampus, ia bahkan hampir tidak dapat melihat satu pun mahasiswa yang berlalu-lalang.

Mahasiswi Bisnis Digital itu tidak tahu sedang memikirkan apa sampai-sampai sudah berada di depan auditorium kampus saja. Ia melirik kanan-kiri, mendapati beberapa orang memakai pakaian sangat formal—beberapa lelaki memakai jas setara pakaian ke kantor, dan beberapa gadis memakai kebaya lengkap dengan bawahan batik. Bahkan, hampir seluruh orang-orang yang memakai pakaian rapi itu juga memakai riasan di wajah.

Ia memandang ke arah lain, menemukan beberapa papan bunga yang dipajang tak jauh dari pintu masuk. Beberapa lainnya berdatangan dengan mobil bak terbuka berukuran sedang. Di sana tertera bahwa akan ada pelantikan Pembina Umum baru keorganisasian kampus.

Kepalanya mengangguk-angguk. Orang-orang yang berpakaian rapi itu sudah pasti mahasiswa anggota organisasi.

Dibanding menjadi tamu tidak diundang, Nada berpikir akan mampir saja untuk sarapan bagian kedua di kantin auditorium. Belum lagi, ia barangkali akan bertemu Novan karena lelaki itu adalah salah satu anggota organisasi kampus yang cukup aktif. Tentu, kalau bisa, Nada akan sebisa mungkin untuk bertemu dengan mantan kekasihnya setelah insiden di rumahnya waktu itu.

Kata teman sekelasnya, kantin tersebut menjual beberapa makanan yang tidak dijual di kantin fakultas lain. Ia tidak tahu apakah pagi-pagi sekali para penjual itu sudah menjajakan dagangannya, barangkali Nada bisa mencicip hal lain di sana.

Sayangnya, gadis itu terlalu cepat mengurungkan niat untuk pergi dari sana, terutama setelah melihat seorang lelaki yang kesulitan memakai dasinya. Para mahasiswa yang berlalu-lalang di sana seolah tidak peduli—hanya melirik sebentar lalu berderap memasuki auditorium. Padahal, lelaki berkacamata itu sudah menampilkan air muka frustrasi. Ditambah lagi, kelihatannya juga ia berair muka mendung seolah masalahnya bukan hanya ada di dasi yang tidak sesuai simpulannya.

Perlahan, gadis itu berderap mendekatinya.

"Mau dibantuin, nggak, Kak?"

Lelaki tersebut agak terlonjak begitu mendengar suara Nada. Devan tampak menyipit sebentar sebelum akhirnya menunjukkan ekspresi bahwa ia juga mengenali gadis tersebut. "Kamu tau caranya pakai dasi?"

Nada mengangguk bersemangat, bahkan sampai menggariskan senyum. Begitu Devan memberikan izin, gadis itu menggantikan tangannya untuk membantu memakaikan dasi.

Gadis itu belajar memakai dari ayahnya. Ia sering melihat sang ayah memakai dasi di depannya. Kadang-kadang, Nada sempat berpikir kalau suatu hari nanti ia mungkin akan menerapkan ilmu tersebut kepada dirinya sendiri. Namun, ternyata ia malah menerapkannya kepada orang lain itu. Yang paling mengejutkan adalah bahwa ia menerapkan ilmunya pada orang yang bahkah baru ditemuinya sekali.

"Thanks, Nada," kata Devan sambil tersenyum. Ia melihat dirinya sendiri dari pantulan kaca di depan pintu auditorium.

Nada hanya mengangguk menanggapinya.

Lelaki jangkung berkacamata itu beralih menoleh lagi pada Nada. "Ayo, ikut masuk."

Matanya membulat singkat. Ia lalu cepat-cepat mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Nggak usah, Kak. Aku, kan, bukan anggota organisasi."

"Nggak, pa-pa, kok. Mahasiswa luar organisasi sebenarnya juga boleh ikut." Devan berucap tenang masih dengan senyum yang sama.

Sebenarnya, ia bisa saja masuk ke sana. Namun, ia sangat tahu bahwa sangat besar kemungkinan akan bertemu mantan kekasihnya. Barangkali, Novan pasti tidak memberitahukan pada Devan bahwa mereka sempat menjalin hubungan romantis dan sudah menjadi mantan kekasih pula meskipun tampaknya kedua laki-laki itu cukup dekat. Nada tentu juga tidak mau repot-repot menundukkan kepala agar tidak diketahui kehadirannya oleh si Asisten Laboratorium Kimia.

"Nggak usah, Kak." Air muka Nada agak memohon sambil tersenyum, tetapi justru membuat senyumnya tampak canggung. "Lagian aku ada kelas jam delapan."

Senyum di wajah laki-laki itu luntur sedikit. "Kelas kamu abis jam berapa? Mau makan siang bareng? Don't worry, it's on me." Namun, ucapan-ucapan bersemangatnya seolah mengembalikan senyum yang sempat hilang sedikit itu. "Kakak mau berterima kasih lewat traktiran."

Nada berpikir cukup lama, memandangi wajah Devan yang tampak lebeh cerah dibanding beberapa saat sebelum ia mengajukan diri untuk memasang dasinya. Gadis itu berakhir tersenyum hangat sembari mengangguk. "Jam setengah dua belas, Kak."

Setelah Devan yang berseru semangat dan menghilang di balik pintu masuk auditorium, Nada memutar langkah menjauh dari sana. Berpikir, mungkin ada baiknya menunggu saja di kelas daripada harus membeli sarapan tambahan dari kantin auditorium.

Selagi berderap menuju kelasnya, Nada menatap langit di atas kepala. Selama ini ia selalu mempercayai bahwa Desember akan selalu mendung, hampir setiap hari menurunkan hujan, tetapi ia baru tahu bahwa Desember punya terlalu banyak kejutan.

***

[ BABAK TERAKHIRselesai ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top