[20.03 · 09] - babak kesembilan

[ 20.03BABAK KESEMBILAN ]
denotasi tak berguna ]

***

Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari, bahkan seorang peramal pun dapat meleset dalam memprediksi masa depan. Hal ini tentu berlaku untuk setiap makhluk yang ada di bumi, tidak terkecuali pada sepasang manusia yang hari ini masih menganggap seluruh dunia adalah permen kapas, tetapi keesokan harinya pecahan kaca dari setiap jendela rumah sudah tercecer di mana-mana.

Bahkan untuk sesuatu yang rasanya cukup baik pun dapat pula terasa salah.

Hari Senin biasanya akan selalu terasa menyenangkan karena adalah satu-satunya hari di mana Novan dan Nada bersikap seperti layaknya pasangan kekasih. Namun, di hari itu, rasanya serupa dengan Desember yang mengigilkan.

Novan memarkirkan motornya di alun-alun kota, tempat yang hampir selalu mereka kunjungi kalau berkencan. Namun, kedua muda-mudi itu bertahan tidak turun dari kendarannya untuk beberapa waktu. Mereka serempak termenung.

Lelaki jangkung itu tidak tahu apa yang tengah memenuhi isi kepala Nada sampai gadis itu seolah masih tidak sadar kalau mereka sudah sampai. Namun, selayaknya si Mahasiswa Bisnis Digital, Novan juga sama tidak sadarnya.

Dibanding mengkhawatirkan kencan kali ini yang barangkali berakhir tidak cukup baik, Novan hanya takut kalau ia berakhir seperti wanita yang melarikan diri di hari pernikahannya di film yang mereka tonton waktu itu.

"Kamu mau makan putu bambu?" Si Mahasiswa Kimia yang lebih dulu tersadar, berupaya pula menyadarkan gadis yang duduk di belakang joknya.

Nada tidak langsung menjawab, ia lebih dulu menatap sekeliling mereka. Dengan senyum tipis, gadis itu akhirnya menyahut. "Kayaknya enggak, Kak. Aku mau martabak aja."

Mata Novan membulat sebentar. Dari kaca spion, ia memandangi Nada yang berair muka agak mendung. Meskipun kiranya gadis itu tidak melihatnya karena lebih memilih menatap ke sekeliling, si Mahasiswa Kimia tetap mengangguk.

Nada yang turun dari motor lebih dulu. Kedua muda-mudi itu serempak berderap mendekati salah satu penjual yang menjual martabak daging dan telur. Si Mahasiswi Bisnis Digital bilang, ia ingin martabaknya dibungkus saja. Mereka akan makan di kursi alu-alun yang tidak jauh dari tempat kendaraan Novan terparkir.

"Kakak pikir kamu mau bicarain sesuatu."

Kedua muda-mudi itu sudah duduk bersama seusai membeli satu porsi martabak, hanya untuk Nada saja karena Novan lebih suka martabak manis. Namun, mereka betah memangku hening bersama-sama di antara hiruk pikuk orang-orang yang masih bersedia keluar di saat Senin malam. Bahkan Nada tampak hanya memegang bungkusan martabaknya saja sembari termenung menatap lurus.

"Kayaknya kakak duluan aja." Tanpa memandang lawan bicaranya, Nada menyahut. Pandangannya sudah beralih menjadi menatap martabak yang masih terbungkus rapi di tangan.

Novan tidak langsung mengungkapkan apa yang sedang mengerayangi kepalanya beberapa waktu terakhir. Masih berupaya menyusun kata apa yang sesuai, kata apa yang sekiranya lebih baik untuk membuat malam itu tidak terlalu tampak miris. Namun, tampaknya angin Desember seolah tengah memaksanya untuk menumpahkan saja semua.

"What do you think about ...," Novan tidak hanya menjeda ucapannya untuk meraup lebih banyak oksigen saja, tetapi juga memperhatikan ekspresi Nada yang masih belum berubah, "just end up to break up?"

"What?" Nada akhirnya menoleh. Meskipun air mukanya masih mendung, matanya membulat kaget. "I thought ...."

"We were." Novan menyahut terlalu cepat. "Kakak pikir, kakak udah anggap kamu kayak Putri." Lelaki itu mengatakannya sembari memberi ekspresi bersalah dan meminta maaf. "You know sibling doesn't dating each other."

Nada tampak menelan dengan susah payah. Mukanya tampak memerah walaupun mereka tidak disinari dengan cukup baik oleh lampu jalan yang menghasilkan cahaya oranye. "But we're not sibling."

Embusan napas panjang menguar dari bibir Novan. "I know, but that's not my only point."

Laki-laki itu hampir saja melanjutkan kalimatnya, tetapi Nada lebih dulu memotong. Namun, kalimat gadis itu seakan sama besar dengan hantaman batu besar ke dadanya. Si Mahasiswa Kimia hanya bisa mematung.

"Aku suka sama orang lain, Kak. I'm sorry." Nada menunduk dalam sekali. Gadis itu melanjutkan kalimatnya ketika lelaki yang lebih tua darinya masih betah membeku. "I'm not comparing you two, I even not cheating, I swear. I'm just ..., " bahkan dengan wajah terbenam hampir ke lutut, Novan masih bisa mendengar embusan napas yang tidak teratur, "I think I agree."

"Do you love him?" Novan bertanya lembut, tidak tahu juga dari mana asalanya pertanyaan itu. Ia hanya ingin tahu saja.

Embusan napas keras terdengar ketika Nada kembali duduk dengan tengak. Ia menggeleng sebelum menyahut. "Not that point."

"I just wanna know."

"I don't wanna hurt us," kata Nada agak berang. Ia menoleh dan menatap Novan dengan mata yang entah kapan sudah memerah.

"Kita lagi saling nyakitin, Nada."

Novan tidak mengerti, pembicaraan mereka meluber kemana-mana, tetapi bahkan masih tidak ada kalimat yang bisa disimpulkan. Orang-orang terus berlalu-lalang, tetapi tampaknya tidak ada yang menydari bahwa di sana ada sepasang kekasih yang memiliki hubungan tersangkut di ujung tanduk.

Novan mengetatkan rahangnya ketika melihat jam digital di tangannya menunjukkan pukul delapan lewat tiga. Seharusnya ia tahu bahwa jam itu, waktu itu merupakan sebuah pertanda.

Nada menatap lurus ke depan dengan dada naik itu. "Aku mau pulang, Kak."

Si Mahasiswa Kimia menoleh. "How about us?" Tampaknya memang masih tidak lelah mencari kesimpulan.

"We're broke up, isn't it?" Ucapan Nada lirih sekali dengan mata merah yang langsung tertuju pada Novan, seolah memang kalimat itu harusnya memang hanya ia yang mendengar, meskipun hakikatnya mereka sedang berada di ruang umum.

Lelaki jangkung itu mengangguk beberapa kali. "Kakak yang anterin kamu pulang," ucap Novan tegas, seolah perkataannya adalah putusan yang tidak dapat diganggu gugat.

Bahkan tanpa perlu menarik gadis itu untuk mengikutinya, Nada dengan suka rela mengikuti dan naik ke jok motornya. Mereka barangkali hanya tinggal mengenang saja. Esok, mungkin bahkan mereka tidak bisa bahkan untuk saling menatap mata.

Laki-laki itu tidak tahu mengapa perjalanan rasanya singkat sekali. Apakah proses mengenang memang seringkas ini? Atau apakah kepalanya hanya sedang berupaya memberi ilusi. Novan tidak tahu mana yang benar, tetapi barangkali keputusan ini sudah tepat, ia tidak ingin terjebak pada sebuah siklus kalau-kalau ingin tetap mempertahankan.

"Habis ini, langsung kunci semua pintunya. Kakak tau orang tua kamu nggak di rumah." Novan berucap ketika mereka sudah sampai di depan gerbang rumah Nada, gadis itu juga sudah berdiri di sampingnya.

Nada memandangi dengan mata yang lebih merah dibanding ketika mereka masih duduk di bangku alun-alun kota. Namun, ketika menyadari bahwa kedua mata itu sembab, Novan tahu bahwa gadis itu pasti sempat menangis selama perjalanan. "Can you please just stop it?"

"I'm just tryna be a good brother," sahut Novan dengan ucap serupa bisik. "Please stay safe."

Novan menutup kaca helmetnya dengan kasar, menarik gas kendaraan dengan serampangan, lalu pergi dari sana tanpa perlu menoleh kemana-mana lagi atau melihat dari kaca spionnya.

Laki-laki itu harus mengakhirinya. Sebab, selain perasaannya ternyata hanya sekadar perasaan sayang seorang kakak terhadap adik, Nada juga tengah menyukai orang lain. Bukankah setipal? Mereka punya alasan masing-masing yang membuat memutuskan hubungan adalah alasan yang paling logis.

Ia tahu, bahwa pada akhirnya memang ini bukan hanya sekadar kisah putu bambu yang manis, lembut, dan membawa nostalgia. Ini hanya sekadar kisah yang seharusnya hampir selalu memiliki akhir yang sama. Novan tahu bahwa sekiranya seluruh kisah hanya mengulang siklus yang sama, memilih tema yang serupa, tetapi dengan karakter yang berbeda.

Sayang sekali, lebih dari itu semua, hanya satu orang di benak Novan ketika mendengar kata martabak. Namun, tampaknya ia juga sudah memiliki makanan kesukaan lain dibanding putu bambu. Mungkin pizza yang bisa ia makan bersama adiknya nanti.

***

[ BABAK KESEMBILANselesai ]
[ next » BABAK TERAKHIR ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top